Sejak awal kemunculannya, virus yang diyakini berasal dari salah satu laboratorium di Kota Wuhan (Provinsi Hubei, Cina) terus menyebar. Pihak otoritas Cina sempat menutupi hal tersebut dengan beragam cara. Salah satunya membungkam dokter yang mengetahui adanya penyebaran virus itu. Tujuannya agar masyarakat dunia tidak mengetahuinya.
Tetapi sia-sia saja, penyebaran virus kian merajalela. Seiring dengan itu, disebarkan pula sebuah isu dari pemerintah Cina bahwa virus berasal dari pasar basah (ikan segar, kelelawar, dll). Sebagian orang menyebutnya pengalihan isu dari yang sebenarnya, yakni virus lepas landas akibat kebocoran laboratorium di Wuhan.
Selain COVID-19, ada ribuan orang di Cina Barat Laut dinyatakan positif terjangkit bakteri pascakebocoran di sebuah laboratorium pabrik farmasi milik negara, yang memproduksi vaksin hewan sejak tahun lalu.
Dikabarkan sekitar 3.245 orang terjangkit brucellosis di kota Lanzhou. Penyakit infeksi ini diakibatkan bakteri Brucella yang umumnya terjadi pada hewan ternak, seperti sapi, domba, kambing dan menyebabkan nyeri sendi dan sakit kepala.
Komisi Kesehatan Lanzhou mengatakan wabah ini berasal dari kebocoran di pabrik farmasi biologis Zhongmu Lanzhou, yang terjadi antara akhir Juli hingga akhir Agustus tahun 2019 lalu.
Apa penyebabnya?
Saat memproduksi vaksin Brucella untuk hewan, pabrik ini menggunakan desinfektan dan pembersih kadaluarsa, menyebabkan tidak semua bakteri dibasmi dalam limbah gas. Bakteri juga tidak dibasmi pada exhaust fan (penghisap udara) pabrik tersebut.
Limbah gas yang terkontaminasi ini membentuk aerosol yang mengandung bakteri dan bocor ke udara, terbawa angin ke Institut Penelitian Hewan Lanzhou, tempat wabah pertama kali dilaporkan.
Kembali ke COVID-19, beberapa negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat mendesak diadakan penyelidikan independen di laboratorium yang ada di Wuhan. Akan tetapi, pihak Cina menolaknya. Ini sungguh menggambarkan bagaimana negeri tirai bambu itu menutupi kebenaran tentang virus mematikan itu. Kemungkinan penyebaran virus akibat kebocoran di laboratorium pun kian menguat.
Kemudian, virus menyebar ke seluruh negara di dunia. Maka dikenallah istilah pandemi global yang mewakili konsep bahwa virus itu bukan lagi urusan domestik, melainkan internasional termasuk Indonesia.
Pada awal penyebaran, pihak Pemerintah Indonesia begitu santai menyikapinya. Bahkan, sebagian pejabat seakan bermain-main dengan menggelontorkan kata-kata semisal, makan nasi kucing dapat mencegah COVID-19 atau virus ini bisa hilang dengan sendirinya. Akibatnya, kesalahan fatal semacam itu membuat Indonesia kian terpuruk khususnya dalam bidang ekonomi.
Lantas?
Pemerintah daerah, khususnya DKI Jakarta, dapat dikatakan provinsi yang sangat gigih memerangi virus ini ketika pemerintah pusat meminta warga untuk berdamai dengan COVID-19. Namun, langkah-langkah pemerintah daerah pun terganjal dengan perilaku sebagian masyarakat yang tidak mau mematuhi protokol kesehatan.
Dari pantauan di lapangan, masih banyak rakyat Indonesia yang tidak percaya dengan keberadaan virus Corona jenis baru ini.
Padahal, seperti di atas jelas bahwa virus tersebut memang ada dan berasal dari Cina. Jika memang tidak ada, untuk apa mereka membungkam dokter yang mengetahui keberadaan COVID-19? Ini sangat mirip dengan perilaku Cina yang menutupi keberadaan kamp-kamp konsentrasi sebagai tempat penahanan jutaan muslim Uyghur di Xinjiang. Cina memang dikenal sebagai negara tirai bambu yang tertutup atau tidak transparan kepada khalayak internasional.
Kalaupun ada ditemukan kasus oknum yang menyebutkan penyakit biasa sebagai COVID-19 untuk tujuan bisnis, kita perlu memikirkannya secara mendalam dan luas. Misalnya, apa yang sebenarnya oknum lakukan terkait kasus tersebut?
Yang bersangkutan "berbohong" dengan memvonis pasien biasa terkena COVID-19 untuk mencari keuntungan. Contoh yang lain, penyakit tifus itu memang ada. Seorang oknum bisa saja memvonis pasien sakit perut biasa dengan tifus agar obat-obatan tifus laku terjual atau ruang opname terisi dan pihaknya mendapatkan untung.
Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan kobohongan yang demikian dapat membatalkan fakta dalam realitas kemunculan COVID-19 di Cina dan penyebarannya hingga di seluruh dunia?
Kalau dengan berbohong seperti itu dapat membatalkan sebuah realitas, akan lebih gampang untuk memusnahkan semua penyakit. Sebutlah dengan berbohong, tifus menjadi tidak ada dan orang-orang pun tidak ada yang terkena penyakit tersebut. Atau penyakit kanker langsung sirna dari tubuh para penderitanya hanya dengan berbohong.
Memperhatikan fakta, opini, kebohongan, dan lain-lain dalam realitas empiris yang nyata terkait COVID-19, agaknya kita bisa menjadi lebih dapat berpikir matang. Diharapkan, kita bisa lebih waspada terhadap virus itu sendiri dan terhadap orang-orang yang memainkan isu negatif tentangnya.