Friday, April 14, 2023

Pisau

Cerpen Maya Wulan


AKU TAK tahu lagi apa yang harus kulakukan dalam hidupku. Sudah sekitar enam bulan ini aku hanya menghabiskan waktuku dengan duduk merenung di atas sebuah bukit di desaku, sambil menunggui perjalanan pulang matahari sore. Diam, tanpa melakukan apa pun. Mungkin terasa aneh, terutama bagi orang-orang yang telah lama mengenalku. Mereka tampak heran melihat kebiasaan baruku ini.

Banyak yang mengatakan aku berubah. Dulu aku dikenal sebagai gadis yang suka tertawa dan bergaul dengan siapa saja. Sementara kini aku cenderung lebih suka untuk menyendiri dan diam. Tapi, beginilah aku. Inilah aku apa adanya sejak aku mulai merasa sendiri. Tepatnya sejak kematian ayah kandungku dua tahun lalu akibat penyakit gagal ginjal.

Namun, kesedihanku itu perlahan-lahan bisa kuredakan. Sedikit demi sedikit aku memupuk kekuatan untuk dapat bangkit dan bertahan. Dan, aku berhasil, sampai ibuku menikah lagi dengan seorang pria setengah baya yang ada di desa kami. Aku sempat menentang keinginan ibukuku itu. Tetapi setelah perdebatan panjang, akhirnya aku mengalah dan hanya memilih diam.

Pernikahan itu terjadi enam bulan lalu. Di sinilah awal mula aku merasa berada di dalam sebuah lubang hitam yang merebut segala semangat hidup yang telah kubangun selama ini. Aku menjadi seorang gadis yang pendiam, namun menyimpan sekian luka dan dendam. Sejak itu pula aku tak pernah lupa untuk membawa sebilah pisau ke mana pun aku pergi, dan siap kutikamkan kapan saja kepada orang-orang yang mencoba menggangguku.

Sore ini seperti biasa aku menaiki tubuh bukit. Matahari meluncur pelan di hadapanku. Kulipat kedua lututku bertemu dengan daguku. Dinding terjal bukit seolah menjadi cermin memantulkan sisa-sisa cahaya matahari. Aku telanjangi bulat merah raja siang itu dengan lamunan. Makin penuh ruang khayalku saat ini. Pikiranku mengawang menyusuri langit sore yang berwarna merah nyala.

Dimana Tuhan bersembunyi? Tanyaku dalam hati. Aku hampir tak merasakan kehadiran-Nya di sisiku lagi. Mungkin kau yang tidak pernah mau menemui-Nya. Bagaimana mungkin? Tiap hari aku duduk di sini dan memanggil-manggil nama-Nya. Tapi Dia sekali pun tidak pernah menjawab seruanku. Bahkan hingga aku pulang lagi ke rumah meninggalkan-Nya. Mungkin karena kau sudah lama tidak sembahyang. Ha? Apa gara-gara itu lantas Tuhan tidak mau menemuiku lagi? Tidak mau menjawab panggilanku yang sudah demikian serak dan basah air mata?

Nah, kau lihat sendiri 'kan. Kau hanya bisa terus berteriak-teriak tak henti memanggil nama Tuhanmu. Bertanya, ataupun memaki. Tapi tak pernah kau mau melangkahkan kakimu menuju-Nya. Kalau begini terus maka sampai kapan pun kau tidak akan bisa bertemu dengan Tuhan. Bahkan sekadar melihat wajah-Nya. Atau bayangan-Nya. Aku tercengang mendengar ucapan nuraniku.

Matahari kian menghilang dari pandanganku. Pelahan senja mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu. Ini mengingatkanku pada para penyair di desaku. Tak jarang aku membaca kata senja dalam bait-bait puisi mereka. Seolah senja adalah masa yang demikian agung dan bisa menimbulkan rasa cinta dan bahagia pada hati mereka. Aku sempat setuju. Tapi sejak enam bulan ini aku sama sekali tidak merasakan senja dapat menumbuhkan kekaguman.

Tentu saja, sekarang hatimu sudah tidak punya ruang untuk menciptakan cinta. Hatimu sudah terlalu sesak dengan segala bentuk luka dan dendam. Yang ada di pikiranmu hanya bagaimana menyembunyikan pisau di punggungmu, dan menikamnya pada orang-orang yang selama ini menorehkan luka di dirimu. Nuraniku mengusikku lagi rupanya. Tapi kau memang benar. Mungkin aku sudah menjadi orang kehilangan gairah cinta. Aku tidak percaya pada siapa pun juga akhir-akhir ini. Semua terlihat mencurigakan, dan aku harus waspada setiap waktu.

Langit sudah sangat merah. Seperti darah, pikirku. Langit itu berdarah! Apakah langit itu terluka? Atau malaikat-malaikat sedang berperang dengan para setan dan jin yang ada di balik awan sana? Hingga darah mereka mengalir dan menjadi langit merah senja ini? Terjadi pertumpahan darahkah di sana? Aku jadi teringat berita perang yang kulihat di televisi semalam. Semua persis langit senja ini. Penuh warna merah. Aku makin bersemangat melihat seluruh langit kini telah tenggelam di aliran merah darah. Langit itu merasakan apa yang kurasakan. Hatiku bersorak gembira. Barangkali Tuhan kali ini menjawab panggilanku. Kasihan. Kau sudah begitu sakit tampaknya. Nurani berbisik padaku. Aku tak peduli!

***

Masih kususun mimpi kebencian di batas sipitnya matahari. Tiba-tiba ayah tiriku muncul di hadapanku di garis cakrawala yang menipis. Serentak rasa dendam mengurungku yang telah siap dengan sebilah pisau di punggung.

"Mau apa kau ke sini?"

"Aku ingin menjemputmu pulang, Sayang."

"Aku tidak akan pernah pulang."

"Tapi rumah kita juga masih rumahmu. Dan akan menjadi tak lengkap jika kau tidak cepat kembali menemui ayah ibumu ini."

"Kau bukan ayahku. Dan jangan memanggilku dengan sebutan sayang lagi."

Perutku terasa mual-mual mendengar cara bicara ayah tiriku itu.

"Kau tetap harus pulang! Bagaimanapun kau harus menuruti perintahku. Aku ini ayahmu!"

Kebencian dan dendamku terasa memuncak. Ini sudah kelewatan! Kurasakan ada yang bergetar di dalam jiwaku untuk segera berdiri dan menabrak tubuh ayah tiriku itu hingga ia terjatuh ke dasar bukit. Tapi aku masih membiarkannya berdiri di depanku beberapa saat. Kau tidak boleh mati semudah itu. Pikiran jahatku mulai menguasaiku.

Tatapanku menajam menatap wajah ayah tiriku. Kulihat juga dua mata ayah tiriku itu memancarkan pandangan yang sudah sangat kukenal. Ya. Pandangan itu sama seperti biasanya jika ia melihatku di rumah. Saat ibuku tidak ada, dan ayah tiriku akan mendobrak pintu kamarku untuk dapat menyetubuhiku di rumah kami sendiri. Dan aku hanya bisa pasrah menahan marah ketika ibuku malah menyuruhku untuk tutup mulut.

Kutatap mata ayah tiriku yang saat ini masih berdiri di hadapanku. Tampak ia mulai mendekati aku dan berusaha menindih tubuhku. Aku melawan. Aku meronta sekuat tenagaku.

"Semua akan berakhir saat ini juga."

"Apa maksudmu, Sayang?"

Aku tak memperdulikan kata-kata ayah tiriku itu. Kuambil pisau yang selalu kusembunyikan di balik punggungku, dan kuhunjamkan satu tusukan tepat diperutnya. Darah mengucur membasahi badanku. Lelaki itu meletakkan tangannya di perutnya. Tapi luka itu sangat lebar. Darah muncrat ke mana-mana. Akhirnya kulihat ia mengembuskan napas terakhirnya di hadapanku. Langit pun menjadi bertambah merah.

Aku tertawa puas. Samar-samar ayah tiriku hilang dari benakku. Lenyap.  Begitu juga bayangan laut darah yang tak pernah ada di atas bukit ini. Aku masih tertawa-tawa mengingat kejadian barusan. Aku berhasil! Tidak. Kau tidak pernah berhasil. Kau kalah! Aku berhasil! Aku berhasil membunuhnya dengan tanganku sendiri. Tidak! Aku bertengkar dengan nuraniku. Baik, kau akan lihat kalau aku memang telah berhasil.

Aku memandang lagi ke arah langit senja. Aneh, senja hari ini terasa lebih lama daripada hari-hari kemarin. Angin berembus lembut. Hawa dingin menepuk-tepuk kedua pipiku dengan mesra. Aku sedikit mengantuk dibuatnya. Tapi bayangan kejadian ayah tiriku tadi membuat aku tak ingin tidur. Aku rindu erangan sakit itu. Aku ingin lagi orang lain ikut merasakan luka yang selama ini kusimpan. Aku ingin melihat kucur darah dari orang-orang itu. Orang-orang yang telah dengan sengaja menorehkan luka padaku. Aku ingin membunuh mereka. Dan muncullah bayangan ibuku tepat di depan wajahku. Secepatnya kuambil pisau....

"Jangan pernah mencoba mendekatiku lagi."

"Sayang, ini aku...ibumu."

Kalimatnya putus seiring jatuhnya tubuh ibuku di bukit. Sekali lagi darah mengalir deras sepanjang tanah bukit berumput ini. Aku makin kacau. Darah seperti benar-benar menguasai seluruh jiwaku. Ada rasa asing pada diriku sendiri, namun semua hilang seketika kala aku mengingat segala luka dan dendam yang ada dalam diriku. Kubiarkan ibuku menemui kematiannya di antara senja. Aku berhasil lagi.

Batinku lirih mengucapkan kalimat kemenangan. Sementara bayangan tubuh ibuku yang berlumuran darah perlahan-lahan sirna dari pemandanganku.

Senja kembali sepi. Langit masih berwarna merah nyala. Dan bukit tetap kosong seperti sediakala. Tak ada setetes pun cecer darah tertinggal di sini. Aku meraba pisau yang terselip di punggungku, masih melekat rapi tak berubah sedikit pun.

Bagaimana? Sudah puas membunuh semuanya? Nuraniku datang lagi di ujung sepi. Aku mendesah. Aku sudah berhasil membunuh mereka. Apa kau tadi ikut menyaksikannya? Tidak. Aku tidak tertarik dengan semua itu. Hati-hati dengan bicaramu. Aku bisa membunuhmu kapan saja aku mau. Boleh saja. Asal kau tahu aku adalah bagian dari dirimu. Jika kaubunuh aku, maka berarti kau membunuh dirimu. Aku ragu. Baik, aku tidak akan membunuhmu.

Hemm... rupanya kau takut mati juga ya. Tidak! Aku bukan takut mati.

Tapi masih ada yang harus aku bunuh lagi. Apa? Iya, masih ada satu yang belum kubunuh. Senja hampir habis, aku harus cepat-cepat melakukannya sebelum terlambat. Kau benar-benar sudah sakit parah. Inilah aku. Jika kau tak suka, kau boleh pergi. Okey, aku pergi. Aku mendesah lagi. Selalu berakhir begini jika bicara dengan nuraniku. Bertengkar. Tapi sudahlah. Aku harus menuntaskan tugasku.

Aku mengatur lamunanku yang terakhir. Kuingat lagi wajah ayah kandungku yang meninggal dua tahun lalu. Bermacam-macam kenanganku bersamanya dulu kembali datang menemuiku senja ini. Tiba-tiba ada rasa benci melihat ayah kandungku yang terlalu cepat meninggalkan aku sendiri untuk pulang ke pangkuan Ilahi. Membiarkanku masuk ke dalam lubang hitam yang dibuat oleh ibu dan ayah tiriku. Maka sebelum senja habis, segera kubunuh bayangan ayahku itu berikut kenangan lama dengannya. Kuambil pisau dari punggungku dan kulemparkan kearah ayahku yang berdiri melayang dilangit senja. Pisau menancap di dada kiri ayahku. Darah menetes jatuh ke dasar bukit. Saat darah itu berhenti menetes, bayangan itu pun sirna. Tinggal jejak senja yang menyiksa. Semua sudah selesai. Aku merasa sangat tenang.

Hari mendadak gelap. Tak ada lagi warna merah nyala di langit, atau sisa-sisa darah di bukit ini. Dadaku sesak berguncang, gamang menjemput malam. Telah banyak yang kubunuh senja ini, bagaimana bila malam ini mereka datang dan berbalik menyiksaku? Menawarkan kesedihan seperti yang telah lama kulewati bersama air mata? Tubuhku bergetar kencang, semua tak boleh terulang lagi padaku. Aku tak ingin ada hari-hari berikutnya yang membuatku jadi lebih kejam daripada hari ini. Membunuh sebelum terbunuh. Tidak boleh!

Serentak aku beranjak dari tepi bukit yang kian gelap menunggu sinar bulan. Matahari telah hilang sempurna. Hanya dialah selama ini yang menjadi teman hidupku. Dan kini ia telah pergi. Aku akan sangat sendiri malam ini. Tapi tidak!

Telah kutemukan jalan ke luar semua ini. Ya! Matahari, tunggu aku!

Tubuhku melayang mengikuti arah perjalanan pulang matahari senja. Beberapa lama kurasakan gesekan angin dingin menusuk tubuhku yang hanyut di udara. Hingga tak kulihat lagi berkas cahaya bulan di mataku. Sempat kuingat kepalaku menghantam batu besar di dasar bukit beberapa puluh meter dari tempatku duduk tadi. Lalu semuanya menjadi begitu hening.


Jogjakarta, 2002

Sekilas Tentang Maya Wulan



MAYA WULAN Lahir di Bontang, Kalimantan Timur. Setelah lulus dari SMU ia melanjutkan studinya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Menulis karya sastra dimulai sejak SMU, dan secara intens menggeluti dunia sastra sejak awal 2002. Ia tergabung dalam Kelompok ICCIA TERKINI Diskusi Lantai VI yang kemudian menjadi Creative Writing Institute yang didirikan sastrawan Hudan Hidayat, di samping bekerja di Majalah Teratai, majalah satuan Korbrimob RI. 

Karya-karyanya dipublikasi di berbagai media massa, baik pusat maupun daerah seperti Mimbar Pembangunan Agama, Malang Post, Jawa Post, Lamin Sastra, Republika, Horison, dan lain-lain, terutama di situs-situs internet. Di antara bukunya yang sudah diterbitkan adalah Membaca Perempuanku (kumpulan cerpen), dan novel Swastika

-----------------------------------------------------------
Sumber cerpen: buku Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia (Korrie Layun Rampan, Ed.) 

Sumber foto terbaru: koleksi pribadi Maya Wulan