Thursday, September 17, 2020

Setujukah Anda dengan Integrasi Sains dan Teknologi dengan Nilai-Nilai Islam?



Diakui bahwa saat ini sains dan teknologi seakan-akan hanya diproduksi barat. Sebutlah di bidang penerbangan dan informasi. Barat menjadi pemegang kunci utamanya. Sementara umat Islam, dicirikan sebagai umat yang tertinggal dalam urusan duniawi. Padahal, dulu Islam memegang kendali penuh atas sains dan teknologi di segala aspek kehidupan. Alhasil, muslimlah yang menguasai dunia. 

Menyoroti kemunduran tersebut, pengamat politik Islam dan demokrasi, Muhammad Najib, dalam artikelnya yang dimuat RMOL, Jumat (17/9/2020) menawarkan kembali cara pandang beragama seperti dulu. 

Di awal artikelnya, ia mengutip sejumlah ayat Alquran yang menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi akal dan fikiran manusia, yakni Surah Ali Imran: 190 dan Surah Al Ghasyiyah: 17--20. 

Dalam hal itu ia yakin bahwa penggunaan akal dan pikiran memiliki posisi sangat penting dalam implementasi ajaran Islam. Hal inilah menurutnya yang menyebabkan pentingnya ilmu bagi umat Islam. 

Islam pada hakikatnya tidak membeda-bedakan antara ilmu dunia dan akhirat, bagi umat Islam semua ilmu bersumber dari Allah swt. Cara pandang beragama seperti inilah yang mengantarkan kemajuan dan kejayaan umat Islam di era Abbasiyah, yang mencapai puncak kejayaannya saat dipimpin oleh Khalifah Harun Al Rasyid, dan dilanjutkan putranya Al Makmun pada abad akhir abad ke-8 M. 

Menjadi lebih menarik adalah, ia mengajukan sebuah pertanyaan, mengapa umat Islam mengalami kejumudan, yang mengakibatkannya kemudian disalip oleh Barat yang dulu menjadi muridnya.

Menjawab pertanyaan tersebut, Najib menyebutkan sebuah tesis bahwa saat dalam masa kejayaannya, para petinggi Islam bergelimang harta dan hidup dalam kemewahan bendawi. Dalam situasi seperti ini muncul keprihatinan dan kekhawatiran sejumlah ulama, kalau-kalau umat Islam dan para pemimpinnya semakin jauh dari urusan akhirat. Salah satu ulama yang sangat menonjol bernama Imam Ghazali. 

Dikatakan para ulama ini kemudian mengembangkan sufisme dan mistisisme yang lebih menawarkan kebahagiaan batin dibanding materi, memilih hidup bersahaja dibanding bergelimang harta, dan mengejar akhirat dibanding dunia.

Dengan kata lain, hasil dari kemajuan Islam dengan sains dan teknologi membuat para petinggi negeri Islam kala itu hidup bergelimang harta dan dikhawatirkan dapat melalaikan diri dari urusan akhirat. 

Nah, tesis semacam ini memang dalam kenyataannya memunculkan antitesis berupa penyalahgunaan kekayaan dan wewenang elit politik masa itu. Banyak ulama yang sangat cemas dengan kondisi tersebut. Dan, lewat artikelnya, Najib menawarkan kembali sintetis baru yang lain daripada yang dicetuskan ulama sufi pada masa keemasan dunia Islam. 

Apakah itu?

Sebenarnya baru di sini maksudnya kebaruan setelah sufisme dan mistisme berkembang pesat di masyarakat Islam. 

Pembaruan itu sangat terasa dengan adanya gerakan tajdid di bidang politik yang dimulai oleh Syaikh Jamaluddin Al Afghani dan muridnya Syaikh Muhammad Abduh, kemudian dilanjutkan dengan tajdid di bidang pendidikan modern oleh Syaikh Rasyid Ridha. 

Maka, dalam artikelnya ia menyerukan saatnya umat Islam untuk kembali menekuni sains dan teknologi agar perhatian kita seimbang antara urusan dunia dan akhirat, atau antara urusan material dan spiritual. 

Dirinya mencontohkan tahun 1970-an seorang cendekiawan muslim bernama Syed M. Naguib Al Attas mendengungkan istilah Islamisasi Ilmu. Ia kemudian mendirikan International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur, Malaysia. 

Tahun 1981, di Virginia, Amerika, didirikan International Institute of Islamic Thought  (IIIT) yang dipelopori oleh para imigran cendekiawan yang berasal dari berbagai negara Muslim yang belajar di Amerika dan Kanada.

Lantas bagaimana dengan di Indonesia?

Sebenarnya, Syaikh Rasyid Ridha merupakan salah seorang guru Kiai Haji Ahmad Dahlan. Sang pendiri Muhammadiyah itu telah banyak melakukan pembaruan di bidang pendidikan dan sosial di tanah air ini. Kini, Muhammadiyah telah memiliki banyak sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan amal usaha lainnya yang memadukan sains dan teknologi di dalamnya.

Pemikiran Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Tentu saja, Muhammadiyah hanyalah satu contoh nyata yang telah ada. 

Diharapkan integrasi sains dan teknologi dengan nilai-nilai Islam kian berkembang dan terwujud dalam segala bidang kehidupan di Indonesia. 

Lalu, setujukah Anda dengan hal tersebut di atas?


0 comments: