Sunday, January 31, 2021

Puisi Ayat Rohaedi


Pahlawan

Pahlawan ialah mereka yang berjuang
di setiap medan pertempuran
tanpa mengharap balas jasa,
lantaran sadar
bahwa semuanya
adalah tugas yang dibebankan
ke pundaknya
untuk kemerdekaan tanah air,
kesejahteraan warga bangsa
berdasarkan keadilan dan kebenaran
atas nama Tuhan.

Pahlawan ialah prajurit di garis depan
memuntahkan peluru senapan
kepada musuh di muka.
Jika mereka pulang,
pulanglah pemenang dari medan perang
semua mengucapkan selamat datang.
Jika sampai mereka gugur
bumi pun bertabur bunga
mengiringinya kembali
kepada maha panglima,
sedang semangat serta jiwanya
adalah warisan yang tak terpadamkan
di dada tiap warga bangsa
yang mereka tinggalkan.

Pahlawan ialah petani
di sawah dan ladang
mengayun cangkul, membalik tanah
dengan bajak dalam-dalam.
Jika panen tiba
bumi pun bergetar saking gembira.
Jika diserang hama
hati yang pasrah
mengucapkan kerelaan
atas segala cobaan Tuhan.
Atau seorang purbakalawan
keluar masuk hutan
mendekul di atas runtuhan
sisa-sisa kebudayaan
yang diwariskan para pemula
kepada angkatan sesudahnya

Atau nelayan di lautan,
mahasiswa di garba ilmiah,
penarik beca
bersenandung di jalanan,
pemetik teh di perkebunan,
dan segenap warga bangsa
yang berjuang
untuk kemerdekaan tanah air,
kesejahteraan warga bangsa,
berdasarkan keadilan dan kebenaran
atasnama Tuhan.

Adalah semuanya pahlawan
di setiap medan pertempuran

10 November 1965


Tentang Penyair


AYAT ROHAEDI dilahirkan di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 5 Desember 1939. Menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI (1964), kemudian memperdalam pengetahuan linguistik dan filologi di Universitas Leiden, Belanda (1971--1973), memperdalam ilmu dialektologi di Universitas Grenoble III, Paris, Prancis. (1975--1976), terakhir meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1978) dengan disertasi berjudul Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa.

Ia mulai menulis puisi dan cerpen saat di SMA. Adik kandung sastrawan Ajip Rosidi ini dikenal sebagai penyair yang berdaya humor tinggi. Namun demikian, humor-humor yang dilontarkannya itu tidak tercermin dalam puisi-puisi yang ditulisnya, melainkan tercermin dalam obrolannya atau tulisan-tulisannya mengenai bahasa Indonesia.

Adapun karya-karyanya antara lain, Yang Terpilih (cerpen, 1965), Warisan (cerpen, 1965), Panji Segala Raja (cerita anak, 1974), Pabila dan di Mana (kumpulan sajak, 1977), dan Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa (disertasi 1978, diterbitkan 1985). 

Sementara karyanya dalam bahasa Sunda antara lain, Hujan Manggaran (kumpulan cerpen, 1960), Kabogoh Tere (novel, 1967), dan Pamapag (kumpulan sajak, 1972).

Di samping menulis puisi, cerita pendek, dan roman. Ia juga menerjemahkan karya penulis lain, diantaranya: Puisi Negro (bunga rampai, 1970), Senandung Ombak (novel, Yukio Mishima, 1976), Tata Bahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda (karya J. Kats dan R. Soeriadiraja, 1980) dan Tata Bahasa Sunda (karya D. K. Ardiwinata, 1985). Selain itu ia juga menjadi editor buku Kepribadian Budaya Bangsa (kumpulan esai, 1986).

Dalam kumpulan puisi Pabila dan di Mana (1976), ia menuangkan rasa kecintaannya yang dalam terhadap lingkungan hidup. Kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya ini memuat 59 puisi, yang dibagi ke dalam tiga subjudul. Dalam Waktu Terjadi Gerhana memuat 30 puisi, Tanah Sunda Senja Hari memuat 20 puisi, dan Surat Akhir Tahun memuat 9 puisi.

Dirinya pernah bekerja di Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Mojokerto (1965--1966), menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Padjadjara (1966--1967). Di tahun 1972, menjadi dosen Fakultas Sastra UI dan kemudian diangkat menjadi Ketua Jurusan Arkeologi 1983--1987). Menjadi Pembantu Rektor Institut Kesenian Jakarta selama lima tahun (1989--1994) serta menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik (1999--2000) di IK. Selain itu ia juga banyak terlibat dalam kegiatan di bidang kebahasaan, kesusastraan, kesejarahan, kebudayaan dan kepurbakalaan.

Budayawan, sastrawan, linguis, sekaligus arkeolog Indonesia, Ayat Rohaedi, wafat pada tanggal 18 Februari 2006, di Sukabumi, Jawa Barat karena sakit.

-----------------------------------------

Sumber tulisan dan foto penyair: Pusat (Majalah Sastra) 


Saturday, January 30, 2021

Sekilas tentang Yuni Ambarwati Winardi dengan Puisi-puisinya


Yuni Ambarwati Winardi lahir di Ambarawa. Menghabiskan keriangan masa kanak-kanak di Kota Prabumulih yang dikenal dengan belalai panjang kilang minyak juga dari cerita tentang perlawanan Saman. Alumnus Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan bekerja pada program Strata Tiga UMY ini akrab dengan kebun karet, layang layang, kupu-kupu, capung, kunang-kunang, dan pematang sawah.

Penyuka warna-warna senja, harum tanah selepas hujan, sunset, dan laut. Menjadi penikmat sastra, menulis-membaca-menulis dan membaca sembari ditemani secangkir kopi. 

Berikut adalah sebagian puisi karyanya.


PERSEMBAHAN TANPA MAKNA

Bila saat ini kau menekuri malam
Menghitung ribuan tapak
Yang tertinggal terpupuk kenangan
Mengenyahkan sepi yang menggerogoti dinding nurani
Izinkan aku menemani bersama nyanyian bulan pucat
yang tak lelah bertengger di langit pekat

Kupanggil ribuan kunang-kunang
yang berkedip, replika gugusan bintang
Untuk menemani keping hati yang menanti siang
jangan pernah mempertanyakan
lagu apa yang pernah dinyanyikan kunang-kunang?
juga untuk apa ramarama terbang di pangkuan?

Bila kemarin kau membantuku
menyusut air mata yang membeku di sudut mata
Maka kini izinkanlah aku
Mengirim bait doa
lewat sepoi angin malam yang kian menggigit tulang
Di awal hari jadimu

Semoga masih kau sediakan
jeda di hatimu ...
biar setiap orang merasa mendapatkan tempat lapang
dalam rahim keteduhan itu ...
Selamat hari jadi sahabatku ...


SESIANG INI KOTA SEPERTI MATI

Ke mana saja kau mengembara duhai angan
Kucari di laci
Gelas kopi tadi pagi
Tumpukan buku, surat kabar, dan majalah yang berserak

Tak kau lihat matahari garang di cakrawalaku
Menjilat atap gedung yang angkuh
Membuat angsa memilih berteduh
Tertegun di tepi kolam batu

Aku masih menanti ...
ditemani rasa yang kian menjulang tinggi
tak perduli detak arloji yang memukul hati
dan obrolan siang tentang teori antara logika dan hati
masih saja tak mencuri minat untuk dicermati

Sesiang ini kota seperti mati
Seperti batu terpanggang matahari


TAK AKAN MENYERAH PADA MALAM

Kukayuh biduk sampai jauh
Meski laut hari ini mendendang nyanyian pilu
Kata membias, awan pias
di ambang waktu dan celah ranting kering bebukitan

Kusibak pintu ombak
Dengan kayuh merengkuh waktu
Menuju tepi ...
berbekal kiriman doa, bunga, dan cinta
yang bertebaran di sisi cadik yang kutumpangi

Aku tak akan pernah menyerah
pada malam yang menyimpan rahasia
juga pada kelam yang mencintai kecemasan
karena di sana ...
ada bintang sang penunjuk arah
Hasratku tak padam, meski usia berkurang

Aku ingin memberi arti
untuk sisa umurku ini

-----------------------------------

Sumber: buku Menjaring Cakrawala


Friday, January 29, 2021

DAIAN, Cerpenis dan Penyair Cantik Kalimantan Timur


Kalimantan Timur terkenal dengan panoramanya yang sungguh eksotis, sajian kuliner lezat, dan penduduknya yang ramah. Selain itu, provinsi ini juga menyimpan banyak sastrawan andal yang membanggakan. Salah seorangnya dari sekian sastrawan tersebut adalah Daian. Siapakah dia?

DAIAN, alumnus Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini memiliki hobi membaca dan menggemari karya-karya Putu Wijaya. Sekarang bekerja menjadi peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur dan telah menyelesaikan pendidikan S2 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta. 

Cerpen dan puisinya dipublikasikan di beberapa media massa. Sebutlah cerpen-cerpennya telah dimuat di SKH Seputar Indonesia, Jurnal Indonesia, antologi cerpen cerpenis Kalimantan Timur Bingkisan Petir (Jaring Penulis Kaltim dan Mahatari, 2005), dan kumpulan cerpen perempuan Kaltim Badadai (Jaring Penulis Kaltim dan Araska, 2010). 

Puisinya masuk dalam Antologi Kaos Hitam Cinta (Masyarakat Sastra Jakarta, 2009). Sementara itu, esai sastranya masuk dalam antologi esai perempuan Kaltim Perca (Borneo's Women Community dan Jaring Penulis Kaltim, 2010). Mantan pegawai dari Penerbit Intan Pariwara ini kini berdomisili di Samarinda dan masih terus berproses untuk mematangkan tulisan-tulisannya. Berikut  ini dimuat cerpen karyanya berjudul Mengapa Matanya Berwarna Hijau?.


Mengapa Matanya Berwarna Hijau?

Daian


Ceritaku dimulai di senja ini. Senja yang tampak masih berpelangi. Gurat biru, merah, dan kuning menandakan kecerahan di langit. Semakin hari waktuku memang semakin berpelangi, semakin cerah, dan aku begitu berubah. Melesat seperti anak panah. Yah, aku bukan lagi laki-laki yang hanya bernama Abdi. Aku bukan lagi orang yang menuruti kemauan majikan dan hanya sebagai abdi. Namaku sekarang adalah Abdi Hartawan. Bukannya aku mengabdi pada harta, tapi Abdi yang kaya raya, berharta tumpah ruah. Akulah majikan dan semua oranglah yang mengabdi padaku.

"Pak, rapat, segera akan dimulai," sekretarisku masuk mengabarkan bahwa rapat akan segera dimulai. Berpura-pura memandang jam tangan, aku lalu mengangguk dan bersiap masuk ke ruang rapat. 

Ruang rapat itu sudah terisi penuh. Kupandang mereka satu persatu. Aku puas, mereka memang abdi yang baik. Tak pernah meninggalkan rapat-rapat yang aku adakan. Tapi tunggu dulu, ada satu orang yang belum datang. Bu Cahya.

"Ke mana Bu Cahya?" tanyaku pada Satya, kepala bidang keuangan.

"Bu Cahya sedang cuti melahirkan, Pak," jawab Satya. Wajahku mengeras. Tak ada yang tak boleh tak datang di rapat ini. Termasuk Cahya, yang sedang cuti melahirkan.

"Semua harus hadir di rapat. Ini rapat penting menyangkut perusahaan. Sia-sia saja kita menggaji orang, kalau di rapat penting dia tak datang," kujelaskan pada semua orang agar mereka mengerti. Ada yang mengangguk-angguk, ada yang melongo, ada yang geleng-geleng kepala.

"Kenapa Anda menggelengkan kepala, Siska. Tidak setujukah Anda dengan peraturan saya?" kutunjuk Siska, kepala bidang HRD.

"Bu Cahya baru saja satu melahirkan, Pak. Cuti tiga bulannya adalah hak setiap perempuan yang melahirkan," kata-kata tegasnya membuatku naik darah.

"Itu secara formal. Secara nonformal, pimpinanlah yang berhak menentukan," kataku lebih ketus. Kalau Anda tidak setuju dengan peraturan ini, Anda boleh mengundurkan diri dari perusahaan," kataku lebih tegas. Wajah Siska memerah menahan marah, tapi ia kemudian terdiam. Aku puas. 

Bu Cahya segera dipanggil. Ia datang masih dengan badan lemas. Tapi ia datang. Aku sangat puas!!!

***

Tak ada yang mengatakan kalau aku tidak diktator. Aku tahu itu. Tidak ada yang mengatakan aku tidak mata duitan. Aku tahu itu. Tapi, aku ditugaskan untuk memajukan perusahaan di kantor cabang di daerah ini. Apa pun akan kulakukan. Termasuk menjadi diktator dan mata duitan. Dan, lihatlah, aku selalu dipuji menjadi direktur terbaik. Direktur di kantor pusat mengakuinya dan memberiku berbagai macam fasilitas. Tapi, aku tetap harus mengumpulkan rupiah demi rupiah. Demi masa depan anak-anakku, agar mereka tidak menjadi abdi, tapi menjadi majikan sepertiku. Apalagi anak ketigaku bulan depan akan lahir. Semakin kukebut untuk menaikkan rupiah demi rupiah di kantongku. Yah, semua demi mereka.

"Pak, proyek pengadaan mobil untuk beberapa instansi terancam gagal. Pesaing kita lebih kompetitif," perkataan manajer baru bagian proyek di suatu senja itu membuatku kepalaku pusing di senja itu.

"Suap kepala proyek itu. Anda harus banyak belajar untuk menguntungkan perusahaan," jawabku cepat. Manajer baru itu tampak kaget.

"Suap itu sangat kecil jumlahnya dibandingkan dengan nilai proyek yang akan kita dapatkan," lanjutku. Ia mengangguk.

Apabila perusahaan mendapat untung besar, mereka jugalah, para pekerja jitu, yang akan menikmati hasilnya. Meski, aku memang yang harus mendapat untung paling banyak. Tak apalah. Usaha menyuap perlu diteruskan.

***

Senja yang senyap ketika istriku mengejan akan melahirkan anak ketigaku, Kukebut mobil setelah beberapa saat menerima telepon dari pembantu rumah tanggaku.

"Istriku, bersabarlah," kataku sambil mengendarai mobil.

Rumah sakit yang senyap saat aku masuk ke kamar itu. Dokter mengucapkan selamat atas kelahiran anakku. Istriku tersenyum meskipun masih kelihatan sangat lemah.

"Selamat. Anak Bapak laki-laki," dokter itu memberi selamat sambil menjabat tanganku.

"Tapi, Pak. Ada hal serius yang harus saya bicarakan." mendengar perkataannya, aku agak lemas, karena berarti sesuatu telah terjadi. Entah menyangkut istriku atau anakku.

"Anak Bapak masih di ruang bayi. Semua normal, kecuali matanya, ucapannya serius.

"Ada apa dengan mata anak saya, Dok? Butakah atau kenapa?" aku sesak dalam rasa penasaran.

"Mari, saya tunjukkan." aku mengikuti dokter itu berjalan ke ruang bayi.

Aku memandang bocah laki-lakiku. Gendut, kulitnya bersih, rambutnya, tapi, Tuhan... matanya... matanya.... Bola mata anak itu berwarna hijau menyala! Mengerikan! Aku tidak bisa bernapas dan tubuhku tak bertenaga lagi. Seketika terngiang-ngiang ucapan para stafku di kantor yang sering kudengar tanpa mereka ketahui, "Pak Abdi itu mata duitan banget, ya. Semua uang mau diambilnya." Lalu yang lain menyahut, "Iya, matanya selalu berwarna hijau.”

Tuhan.... Kupandangi bocah laki-lakiku. Ia tersenyum sambil mengedip-ngedipkan matanya.

"Astaga!" dokter itu tiba-tiba kaget melihatku.

"Ada apa, Dok?" tanyaku.

"Mata Bapak, mata Bapak, bola mata Bapak juga berwarna hijau," ia menunjuk sambil membalikkan badanku ke kaca sebelah kiriku.

Ya, warna hijau itu sekarang ada juga di bola mataku! Lalu... aku... lalu aku... dokter itu tergopoh-gopoh menopang tubuhku saat dunia kurasakan gelap.

***

Samarinda, Selasa, 4 Mei 2010, 22.18 WITA

--------------------------------------

Sumber tulisan: buku Kalimantan dalam Prosa Indonesia

Sumber foto: Facebook


Thursday, January 28, 2021

Mengenal Awang Khalik di Kancah Sastra Indonesia


Awang Khalik adalah salah seorang sastrawan Borneo, tepatnya Kalimantan Timur. Ia banyak mendapatkan keahlian dalam berkarya sastra saat menempuh studi di Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Selama mengikuti kuliah ia juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu dari beberapa sastrawan ternama, seperti Umar Kayam, Yudi Aryani, dan Norsahid.

Sehari-hari Awang Khalik bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Taman Budaya, Samarinda. Pekerjaan tersebut sesuai dengan latar pendidikan yang ditempuhnya sewaktu kuliah dan ia berpendapat bahwa bekerja di bidang yang terkait langsung dengan budaya atau sastra memacu kreativitasnya dalam menghasilkan karya-karya sastra. Berdiskusi dengan para sastrawan dan seniman adalah upaya yang ia lakukan untuk meningkatkan kreativitasnya tersebut.

Puisi karya Awang Khalik pernah memenangi lomba cipta puisi anak pada tahun 1985, yaitu puisi "Surat untuk Pak Gubernur". Puisi tersebut kemudian dibacakan pada saat menyambut Gubernur Suwarna pada 2004 yang berkunjung ke Bontang.

SUWARNA AF DISAMBUT PUISI
Rangkaian Kunjungan Gubernur ke Kaltim Utara

Pak.....
Kami ingin mempunyai kampung yang asri
Kami adalah sama seperti lainnya
Kami adalah sekumpulan warga yang menginginkan kemajuan
Kami tak ingin terus diberi janji
Kami tak ingin terus dibodohi

Demikian bunyi sebagian puisi berjudul "Surat untuk Pak Gubernur" menyambut kedatangan Gubernur Kalimantan Timur--Suwarna AF--kala itu, mengawali kunjungan ke wilayah utara Kaltim, yang dimulai dari Bontang. Puisi karangan Awang Khalik itu dibacakan Dimitrya Briyant N.W, siswa kelas V SD YPK. Sentuhan bait per bait, puisi yang syarat makna itu, cukup memukau orang nomor satu di Kaltim tersebut (Tribun Kaltim, 27 Juli 2004 dalam Biografi Pengarang Kalimantan Timur).

Selain menciptakan puisi, Awang Khalik juga sering diminta untuk membacakan puisi pada acara-acara yang digelar oleh Taman Budaya, Samarinda, misalnya acara seni menyambut tamu kehormatan dari provinsi lain. Beberapa puisi karyanya pernah dibacakan dalam berbagai kegiatan apresiasi sastra. Puisi tersebut, antara lain, "Mantan Kali" (dibacakan di Taman Budaya Kalsel, 2000), "Obsesi" (dibacakan di ISI Yogya, 1993), "Penari" (dibacakan di SMUN 2 Samarinda, 2002), "Surat untuk Pak Gubernur" (puisi wajib pria dalam ajang Porseni SD). 

Bagi Awang Khalik, karya sastranya yang paling mengesankan adalah naskah drama "Ayan Sae". Menurutnya, proses penulisan karya tersebut memerlukan waktu yang cukup lama. Banyak pengalaman nyata yang dialami oleh Awang dalam kehidupan sehari-hari disajikan dalam naskah tersebut. Selain "Ayan Sae", salah satu naskah drama yang dihasilkan oleh Awang Khalik adalah "Kutunggu Loe di Smada". Naskah drama tersebut berlatar di SMAN 2 (Smada) Samarinda. "Kutunggu Loe di Smada" menceritakan kisah cinta yang dialami oleh siswa-siswi Smada yang diperankan oleh John dan Dewi. Kisah cinta tersebut harus terpisah karena John harus melanjutkan sekolah di luar daerah, tetapi akhirnya mereka bersatu dan sama-sama mengajar di sekolah tersebut.

Menurut Awang, untuk meningkatkan kehidupan bersastra, sasaran pembinaan sastra haruslah ditujukan bagi generasi muda. Bahkan, bila perlu dibuatkan sekolah khusus sastra. Pengajaran sastra di SD, SLTP, dan SMU juga harus lebih berkualitas dan kurikulum, teknik pengajaran, dan pengajarnya harus lebih kreatif.

Selain menghasilkan karya sastra berupa puisi dan naskah drama, Awang juga pernah menulis artikel yang dimuat di Suara Kaltim pada 10 September 1997 dengan judul “Tata Rias yang Seadanya”. Di dalam tulisannya, ia mengamati bahwa para pekerja seni teater kurang memperhatikan tata rias bagi para pemain.

----------------------------------

Sumber tulisan dan foto Awang khalik: buku Biografi Pengarang Kalimantan Timur


Wednesday, January 27, 2021

Puisi-Puisi Yant Mujianto


RUMAH PENYAIR

Dalam rumah penyair, jiwa menyemai dan merawat
cinta kasih dan amanat
Kebenaran yang menguntum dari taman Ilahi Rabbi
Hati berteduh dari terik kehidupan yang berdenyar-denyar
Istirah dan mengucapkan selamat tinggal
bagi segenap kelelahan dosa

Rumah penyair membukakan pintu-pintu
bagi para tamu yang lebih suka menggantikan obrolan kosong
dengan omong-omong, yang meskipun ringan
ada isi
Tidak apalah kita berbincang tentang
embun tergantung di daun, angin berdesir di dahan
Membaca semesta dengan hati bening, dan yang lebih
mampu menghayati
apa-apa yang sederhana

Masuklah ke dalam rumah penyair, sebuah jiwa yang
diperindah oleh cinta, perdamaian dan doa
Di sini ditepiskan debu-debu yang membuat
kalbu keruh kelabu
Di sini memancur air jenih rahmat Gusti Mahasuci
karena telah ditempuh perjalanan
memenuhi panggilan karsa kehendak-Nya

Rumah penyair, jadilah ia jiwa yang bebas
dari belenggu perbudakan materi
serta segenap cinta dunia fana dan nikmat sesaat yang
dijanjikan oleh nafsu-nafsu rendah dan kepalsuan

Oh hati, bukankah dalam rumah penyair, kamu pun
lebih menemukan hening
Karena telah ia jadikan iman dan zikir
sahabat terdekatnya
Nurani setia hakikati


MEMANDANG LANGIT

Memandang langit kubaca kebiruan
Kubaca pendar-pendar cahaya
Kubaca cinta nan indah mulia

Memandang langit aku pun bertanya
Manakah lebih luas, langit itu ataukah hatiku
Manakah lebih biru, langit itu ataukah sukmaku
Manakah lebih benderang, langit itu ataukah jiwaku

Memandang langit, memandang langit
terkadang kubaca juga mendung, kekelabuan, hidup yang
murung
Tetapi selalu saja duka itu sirna
Setiap gelap tersibak cahaya

Memandang langit senantiasa kutemukan
Keluasan, kearifan, sentuhan cahaya-cahaya memandang
langit serasa aku pun menikmati lambaian
sayap-sayap kebebasan, kemerdekaan
Hidup dalam pangkuan kasih Tuhan penuh kemesraan
Langit selalu berganti lukis setiap saat,
namun dalam setiap pergantiannya
selalu indah dan mesra
selalu penuh cinta
Maka memandang langit, memandang langit
kita pun bisa lebih merenungresapkan
hidup
Untuk lebih dekat
Untuk lebih bercinta-setia
Pada hati-nurani
Pada pentingnya membeningkan
kusamnya kaca-kaca jiwa


NYANYIAN MUSAFIR

Kuingin menjadi musafir yang baik
yang tak mengeluh ketika kehausan
tegar menahan terik surya dan badai kehidupan

Lusuh tubuh ini oleh debu-debu jalanan
Berdarah kakiku tertusuk koral-koral nan tajam
Tapi mestikah aku berhenti menyusuri jalan berkelok ini
sedang di kanan-kiri, jurang menganga semata

Tak jauh di seberang ada lampu-lampu gemerlapan
Memancar dari sebuah istana pualam
Penghuninya ingar bingar dalam pesta memabukkan

Wahai, mestikah kucari jembatan penyeberangan atau sayap-
sayap kebebasan untuk terbang ke sana?

Sang musafir, berzikirlah!
Arah jalanmu lurus ke puncak, bukan ke seberang
Kamu harus menempuh jalan cahaya!

Bekal apa mesti kubawa
menyusuri jalan panjang penuh liku dan deru ini?
Harus kupunya kompas, agar tak tersesat aku
Mesti kuwaspadai segenap batu sandung dan ranjau
kehidupan
Kuingin menjadi musafir yang baik
yang tahu arah ke mana aku mesti melangkah
Tempat teduh yang kutuju hanyalah satu
ialah Puncak Segala Puncak
Titik Temu Semua Perjalanan

-----------------------------------------

Tentang Penyair


Yant Mujianto. Tulisannya banyak tersebar di media cetak, baik nasional, maupun daerah. Ia juga menulis beberapa buku pegangan perkuliahan dan makalah-makalah seminar dalam pertemuan ilmiah bahasa dan sastra Indonesia.

Sumber puisi: Jentera Terkasa
Sumber biodata dan foto penyair: Taman Tembang Sastra
Sumber ilustrasi: Pixabay



Tuesday, January 26, 2021

Penyair dan Penulis Terkemuka Ini Dikonfirmasi Telah Meninggal Saat Dipenjara

Sastra harus bicara ketika jurnalisme dibungkam, bukanlah perkara yang tanpa resiko, terutama di negara-negara berhaluan komunisme. Ini terbukti dengan penangkapan dan penjatuhan hukuman penjara kepada penyair di Negara China. 

Mengutip Radio Free Asia (RFA) Haji Mirzahid Kerimi dijatuhi hukuman 11 tahun penjara, meskipun kondisi kesehatannya serius, karena dia menulis lima buku yang kemudian masuk daftar hitam oleh pemerintah dan telah menyampaikan pidato "bermasalah" selama upacara penghargaan untuk puisinya.

Laporan bahwa Kerimi telah meninggal pada 9 Januari 2021 baru-baru ini mulai beredar di media sosial berbahasa Uyghur dan RFA dapat mengonfirmasi bahwa ia meninggal di penjara saat menjalani masa hukuman terakhirnya.

Dua petugas polisi dari Kashgar, yang berbicara kepada RFA dengan syarat anonim karena takut akan pembalasan, mengatakan, "Kami mendengar kabar bahwa dia (Kerimi) meninggal — kami tidak tahu detailnya."

Ia menambahkan, "Mereka membawa jasadnya dari rumah sakit."

Petugas kedua mengatakan bahwa ada rekan kerja lain telah memberitahunya bahwa Kerimi dibawa ke rumah sakit dari penjara setelah insiden di mana penyair, penulis, dan mantan editor tersebut "melompat dan jatuh".

“Mereka tidak pernah mengatakan apa-apa tentang (persisnya) apa yang terjadi,” katanya, "Mereka membawanya (ke rumah sakit) untuk perawatan dan saya mendengar bahwa dia meninggal saat mereka merawatnya."

Penangkapan Kerimi dan rekan-rekannya merupakan bagian dari "kampanye sweeping" di XUAR sejak awal 2017 untuk menyensor literatur berdasarkan konten politik. Buku-buku sensitif dikategorikan sebagai "berbahaya" atau "bermasalah," dan siapa pun dianggap bertanggung jawab karena telah menerbitkannya dan menjadi target penahanan.

Kerimi adalah seorang kritikus yang blak-blakan, dan bahkan ketika situasi politik di Kashgar memburuk dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir, dia menyuarakan pendapatnya secara terbuka. Pada 17 Juni 2017, dia memberi tahu RFA bahwa polisi (Bangsa) Han di kota itu baru-baru ini menggerebek rumahnya, menyita total lima novel sejarah yang dia tulis.

Dia mengaku telah menghabiskan lebih dari 30 tahun di penjara atau di bawah tahanan rumah, dimulai saat dia berusia sekitar 20 tahun.

Dirinya juga mengatakan, selain lima novel sejarah, pihak berwenang juga menyita materi tulisan tangan, termasuk draf beberapa karyanya yang belum diterbitkan.

Dan, orang-orang Uyghur di seluruh diaspora telah berbagi kesedihan mereka atas kematian Kerimi di media sosial dalam beberapa pekan terakhir. Seorang penulis anonim bahkan menulis nyanyian dalam ingatannya, meratapi tragedi pendeknya hidup yang hebat.

Laporan kematian Kerimi datang beberapa hari setelah RFA dapat mengkonfirmasi penahanan Qasim Sidiq, seorang penyair Uyghur terkenal lainnya dan sekaligus guru sastra yang hilang di XUAR hampir empat tahun lalu, berdasarkan informasi yang diberikan oleh seorang karyawan di biro pendidikan lokalnya. 

Sidiq ditahan oleh pihak berwenang pada Maret 2017, setelah itu dia menghilang.

Menurut sumber yang enggan disebutkan namanya, syair lagu dan puisi ciptaan Sidiq sebanyak 15 tahun lalu telah digunakan sebagai "bukti" dakwaan terhadapnya.

Menurut individu tersebut, yang tinggal di luar China dan meminta namanya tidak disebutkan, pihak berwenang memutuskan bahwa ada "masalah" dengan puisi yang ditulis Sidiq, dan dia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.



Monday, January 25, 2021

Puisi-Puisi Shantined di Buku Kalimantan dalam Puisi Indonesia


Bunga Liar yang Tumbuh di Rambut Mayangmu

(buat Henny Purwanti)

Dan sore itu
Tetes madu yang jatuh dari bibirmu
Telah membasahi seluruh lantai dansa

Seperti engkau telah memaniskan
Sekuali racun
Demikianlah telah terpikat ribuan lebah
Pada sekelopak mawarmu
Yang ranum
Yang merah

Tapi benarkah madu?
Ketika pilihan menjadi teramat pelik
Dan rantai rantai tak jua mampu membelenggumu
Kau melenggang di tengah padang gersang
Dengan sekepal gundah yang tiba tiba datang.
Sama seperti angin yang kencang mengirim hujan
Tanpa kau sempat berteduh dari terjangnya

Lalu pagi ini kau terjaga
Mengusap salju yang mulai membatukan mayang rambutmu
Di situ juga telah tumbuh setangkai bunga liar
Ya, setangkai bunga liar
Yang menjulur, meriap di antara ikal mayang rambutmu
Membuat wajahmu nampak eksotik
Lugu namun menggoda
Hmm....

Hen, setangkai bunga liar itu tak sepadan sebenarnya
Dengan sekelopak mawar yang tumbuh dari hatimu
Betapa kecantikan yang berbeda telah membuatmu ngungun

Ini hidup Hen, mesti selalu bertarung
Dengan mesin waktu yang tak juga tercipta
Detik terus saja berjalan
Yang pudar hanyalah jasad, tubuh, rupa, badan, raga
Tapi tidak dengan jiwa, ruh, hati nurani, budi baik dan pekerti mulia

Melangkahlah tanpa ragu, Hen
Cabutlah setangkai bunga liar itu
Sebelum rimbun kepalamu oleh akar belukarnya
Wangikan saja dunia dengan sekelopak mawarmu
Warnai dengan pesona merahnya

Seperti sore ini
Secangkir teh hangat tersaji di meja kita
Telah manis oleh kerlingmu


Ufuk

namun ketika senja itu terasa amat indah
ada kecemasan yang tak mungkin terelak
mendetak dalam setiap waktu

laut biru, langit cerah, tak ada awan tak ada hujan
tapi mengapa petir bersahutan dalam jantungku
menderaskan semerbak aroma mayat
dan mumi mumi berjalan hilir mudik dalam benakku

Lalu saat remang memang datang
aku tak akan beranjak dari dudukku
menunggu fajar terbit kembali
di ufuk yang tak kuketahui arah datangnya


Biru

Tak ada kepak kupu kupu
Gerimis pagi ini basahkan imaji
Sunyi, sangat sunyi
Alam tak bernyanyi, hanya sedikit senandung rintik
Mengiringi leleh kesedihan yang kian menghunjam
Sedang dingin masih membuatku ingin memelukmu

Denting hatiku yang tak berdawai
Melentingkan berupa rupa kerinduan
Namun biru harus kuendapkan
Untuk menjadi semakin biru, ataukah menjadi ungu
Dimurnikan oleh waktu

Maret 2006

-------------------------------------------

Tentang Penyair

SHANTINED, menulis puisi sejak SD. Beberapa diterbitkan oleh media massa di berbagai kota di Indonesia. Beberapa puisi dan cerpen telah dibukukan dalam antologi bersama, di antaranya Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia 2005 (Risalah Badai & Komunitas Sastra Indonesia, 2005), antologi puisi perempuan penyair Indonesia Negeri Terluka (Risalah Badai, 2006), antologi puisi The End of Trilogy "Dian Sastro For President" (Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2005), antologi puisi Perkawinan Batu (Dewan Kesenian Jakarta, 2005), antologi puisi 17 penyair perempuan Indonesia Selendang Pelangi (Indonesia Tera, 2006), antologi puisi 142 Penyair Menuju Bulan (Banjarmasin), antologi cerpen Kalimantan Timur Bingkisan Petir (Penerbit Mahatari dan Jaring Penulis Kaltim, 2005), antologi puisi Medan Puisi (Laboratorium Sastra Medan), dan lain-lain.

Sumber tulisan: Buku Kalimantan dalam Puisi Indonesia 

Sunday, January 24, 2021

Cinta, Apakah Sastra Melulu Berisi Ungkapan Itu?


"Halah masih kecil udah main puisi-puisian! Hayo puisi buat siapa?" 

Pernahkah Anda mendengar perkataan di atas? Mungkin kalimat-kalimat semacam itu seringkali muncul pada era dulu, ketika anak-anak remaja masih gemar menulis surat bermedia kertas di atas garis-garis lurus mendatar. Tidak jarang ada yang menuliskan ungkapan batinnya hingga lebih daripada tiga lembar kertas. 

Meskipun demikian, predikat ini masih dikenakan pada sastra bagi sebagian orang sampai saat ini. Itulah sebabnya, tak perlu heran jika sastra hanya dimaknai sebagai ungkapan cinta oleh mereka. Maka, dengan begitu sastra pun menjadi tidak penting bagi sebagian orang. Untuk apa bersastra, misalnya. Atau, bersastra hanya membuang-buang waktu dan melemahkan jiwa. 

Lantas, memang sudah sesuaikah predikat itu disematkan pada sastra? 

Penyair, misalnya, memang menggunakan klitik "-mu" dalam puisi karyanya. Tetapi, itu tidak semata-mata tertuju pada kekasihnya (pacar atau pasangan hidup). Bisa saja kepada saudara, negeri, presiden, atau bahkan Tuhan.


Selain itu, sastra tentu tidak hanya bertemakan cinta. Bisa saja tentang hutan, sungai, atau banjir dan bencana alam lainnya. Para sastrawan berusaha menggunggah jiwa penikmat sastra untuk lebih peduli terhadap dunia sekitar. 

Bagian yang perlu digarisbawahi adalah, tema yang diangkat dalam sastra itu beragam. Sebutlah puisi-puisi berisi kritik terhadap pemerintah, sangatlah jauh dari tema percintaan muda-mudi. Sosok Wiji Thukul malah dianggap ancaman karena puisi-puisinya berisi kritik pedas yang ditujukan kepada Pemerintah Orde Baru masa itu. 

Kini pun, masih ada sastrawan yang gigih menuangkan isi batinnya guna hal-hal yang positif bagi semua. Soal cinta? Ah, tentu tetap ada, tapi tidak melulu tentang perasaan itu. 


Saturday, January 23, 2021

Puisi-Puisi Anggoro Suprapto dalam Jentera Terkasa


SUARA-SUARA

Seringkali ku dengar suara-suara
bergema, mengganggu tidurku tengah malam
sampai seringkali aku bertanya
suara-suara siapakah engkau?
tiada jawab, kembali suara-suara berdecak
tiada henti

Seringkali ku dengar bisik-bisik
melintas cepat tengah hari
sulit sekali menangkap maknanya
berderak, bergumam, tiada henti

Suara-suara itu kini jelas datang kembali
menekan, mendesak, mengatakan:
matikan suara bising televisi, suara-suara radio
suara ribut antar golongan suara jumawa diri sendiri
lalu dengarlah
sudah lama tak kau dengar suara angin
suara kemresak daun, suara gemericik air,
suara kicau burung, suara alam

Lalu suara itu datang lagi,
Riuh rendah memenuhi segalanya
mendesak-desak, menekan-nekan gendang telinga
berkata penuh wibawa:
“Cobalah sehari kau tanggalkan,
atribut-atribut kebesaran,
kursi-kursi kekuasaan
supaya dapat kau dengar
suara hati nurani rakyat yang sebenar-benarnya

Semarang, 27 November 1996


BUKTIKAN KAMU CINTA INDONESIA

buktikan, bahwa kamu cinta Indonesia
cinta Indonesia tak sebatas kata-kata
bukan pula hanya sekedar menyumbang emas,
menukar dollar, atau sedikit memberi harta benda
lalu kamu tersenyum dan menepuk dada
: akulah sesungguhnya pecinta indonesia

cinta Indonesia adalah
kepedulian mendengarkan jeritan rakyat jelata
menaikkan taraf hidup petani-petani miskin
memberikan kemakmuran yang merata
tersedianya lapangan kerja
pendidikan yang murah untuk kalangan bawah

cinta Indonesia adalah
mencintai anak-anak yatim
janda-janda miskin
menjaga keutuhan nusantara, dan
tidak menimbulkan sara
menghilangkan kolusi dan korupsi
pajak-pajak yang tinggi
cinta Indonesia adalah kesediaan
membiarkan alamku tetap terjaga indah
sawah-sawah yang luas, hutan yang hijau
sungai yang jernih, laut yang biru
dan tidak mengeksploitasinya
demi kekayaan pribadi, sampai ke anak cucu

cinta Indonesia adalah
menulis puisi yang menjelma jadi doa-doa sakral
untuk keselamatan rakyat Indonesia
menyingsingkan lengan baju
membangun negriku
agar harga kebutuhan jadi murah
dan terjangkau oleh kaum ibu
agar mulut-mulut mereka tidak mecucu

malam pun kadang datang dengan cepatnya
keheningan menyembunyikan kegelisahan
keweningan pantulan kecemasan, kerisauan
atau kesulitan hidup kawula alit yang menderita.
di kala seperti itu, selalu muncul sebuah tanya
“buktikan bahwa kamu cinta Indonesia”

Semarang, Maret 1998


Tentang Penyair



Anggoro Suprapto lahir di Juana. Banyak menulis karya fiksi. Antologi yang memuat puisinya antara lain Album Biru, Antologi Puisi Jawa Tengah.

-------------------------

Sumber tulisan: Jentera Terkasa
Sumber foto penyair: Facebook
Sumber ilustrasi: Pixabay



Friday, January 22, 2021

BIRD OF PARADISE, Sebuah Puisi Dato Kemala (Malaysia)

 


(Burung Syorgawi)

:kau & aku
cintaku tak bakal luntur
walau
satu demi satu
gempa bumi
walau
satu demi satu
tsunami menjulang
menggulung menghempas
sunyi. Planet ini sudah tua
namun cintaku
tetap muda, amukan
dahsyat ini iradah-Mu jua
mauMu, kehendak-Mu
aku tak kuasa menahan Dikau!
urusan-Mu di pundak-Mu
meletuslah Karakatau
meletuslah Merapi

Anggun Cintaku,
Anggun
tawazun
bergemerau
dari bibirku
kudekap setia
mengemilau
wabak mewabaklah
dunia ini sudah tua kekasih
di sangkar kalbuku
laguku mengungu rindu
mengungu meremangi
gurindam dendam
yang kuteguk syerbat asyik
berapa juta Kau cabut
nyawa hamba-Mu yang lunak
dengan tamparan dahsyat-Mu
asasnya
asal amsal
iktibar
Satu Huruf
Kau robek Kau sembuhkan
Kau sembuh Kau robekkan
aku piara cinta anggunku ini
di tengah kecamuk amuk baru
sudah lesap kau hisap
airmataku
kekasih, aku menatap
tembok-tembok angkuh -snobishme
roboh dan hancur
namun takkan roboh
dan hancur
Cinta Dirgahayuku ini
      Kun!


Kualalumpur 12 maret 2011
Bottom of Form


Tentang Penyair



Ahmad Kamal Abdullah yang lebih dikenal dengan nama Dato Kemala merupakan pemenang SEA Write Thailand, kini Sarjana Tamudi Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi Univeriti Putra Malaysia. Menerima gelar Datuk Paduka Mahkota Selangor (DPMS, 2001), menerima Doktor Falsafah (Persuratan Melayu) daripada Universiti Kebangsaan Malaysia (2000), menerima gelar Pujangga dari Universiti Pendidikan Sultan Idris (2003), menerima Anugerah Budayawan Selango (Kesusasteraan, 2005), menerima Anugerah Abdul Rahman 'Auf (2006). 

Tiga dari 9 kumpulan puisinya menerima Hadiah Sastera Perdana Malaysia, yaitu Meditasi (1972), Titir Zikir (1995) dan MIM (1999); Pada musim gugur 1993, Dato Kemala berpatisipasi di IWP, University of Iowa Amerika Serikat. 

Beliau dilantik sebagai penasihat kehormatan bagi Asia untuk Jurnal I-Q berpusat di Philadelphia. Dato Kemala telah menerbitkan penelitian Ph.D-nya "Simbolisme Dalam Puisi Islam di Malaysia 1970--1990" (DBP 2010), Landskap Ungu -30 esei pilihan- (UPM 2010), Puisi Melayu Puisi Dunia (DBP 2011), Mengabdi Melestari (PNB 2009), Dua buah antologi puisi sesunannya MUSIBAH Gempa Padang (2009) dan Meditasi Dampak 70 ikut memuat sejumlah puisi penyair Indonesia. 

Beliau ikut menulis kertas kerja untuk HISKI dan sebagai pembimbing penulisan puisi bagi Mastera Indonesia di Tugu (2005). Sebuah CD Baca Puisi dan Lagu, Syurga ke Sembilan diluncurkan di PDS HB Jassin (Januari, 2009) kemudian diikuti peluncuran bagi Landskap Ungu (Esei 2010) dan Meditasi Dampak 70 pada 26 Maret 2011 lalu. Kumpulan puisi Titir Zikir, 'Ayn, diterbitkan dalam bahasa Inggeris oleh Institut Terjemahan Negara Malaysia. Pada tahun 1995 dan 2002 Dato Kemala membaca puisinya pada Istiqlal Poetry Reading dan Puisi Indonesia Internasional. Tahun 2011 beliau telah memperoleh anugerah Sastrawan Negara dari kerajaan Malaysia.

--------------------------------


Sumber tulisan: buku Akulah Musi: Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara V (Palembang 2011)

Sumber foto penyair: Facebook

Sumber ilustrasi: Pixabay


Thursday, January 21, 2021

Suara dari Pedalaman, Sebuah Puisi Karya Marwan Kubu


Langkah tanpa tujuan
bergerak dalam sunyi
hutan-hutan tuhan, yang kini jadi ladang subur para binatang
binatang berdasi
menyulap hutan menjadi besi

Merambah, menjarah
hingga kubu ku berpindah-pindah tak tentu arah
negeri krinok kini hilang elok
selampit delapan jadi kenangan

Nyanyian sunyi pedalaman
melumut tak dihiraukan sang tuan kebijakan
berharap dengan cemas, menanti ajal ketika
sandang, papan, pangan di sulap
jadi gedung pencakar cakrawala

Tidurnya tak lagi pulas
setengah terlelap, setengah terjaga
menatap wajah daun jati yang mulai mati
merenungi sungai dan rawa yang mulai langka
hewan-hewan yang menjadi legenda
menjaga bukit lembah menjadi sia-sia

Hanya menanti takdir bumi
mati terbunuh dari suku kaum sendiri!

Bungo, 2012


Marwan Kubu (H. Marwan Padli. HM). Aktif sebagai Ketua Sanggar Kubu Bungo dan anggota dari Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia. Tulisannya pernah dimuat di beberapa surat kabar lokal dan juga dalam antalogi Tiga Bukit Sungai Au dan Majalah Seni Nol Kilometer Sabang

---------------------------

Sumber tulisan: Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI)

Sumber ilustrasi: Pixabay



Wednesday, January 20, 2021

Puisi-Puisi Dorothea Rosa Herliany dalam Jentera Terkasa


ZIARAH BATU

bahasa batu yang diam, keras dalam
dentum arus tak ke mana
udara dalam cucuran darah
menetes beratus tahun
mengikis keringat kebisuan nurani

bahasa batu yang dingin
beku meremas ribuan abad rindu dendam
mencari-cari udara terbuka
kekosongan yang menyimpan dengus
napas hewan-hewan liar
yang mencari tanah
dalam sejengkal jiwanya

kupilih bahasa batu
buat memecah keangkuhan nuranimu


OBSESI HITAM PUTIH

untuk lukisan
Gusti Alit

aku terperangkap lagu hujan
di antara ilalang: bulan yang itu juga
mendaki dukaku yang pernama

lereng-lereng dan tebing hati tua
melukiskan ketakutan.
kabut melingkar
dalam gelombang jerit serangga
di hutan jauh.

setetes langit hitam menghiburku
di antara daun-daun terbang, angsa dan
sekawanan bangau mencari keteduhan
yang menggenang duka-renta dalam sepercik
cahaya merah

matahari mengabut dalam genangan bulan
menggantung di kekosongan kalbu.
di manakah bertemu antara segala
yang terpisahkan?

tak ada yang bisa kubaca
dari pikiran tua yang mencari segala
yang tiba-tiba hilang. selain ketakutan.
lalu bisikan dari entah siapa-apa, “kekasih,
malam itu getar lolong hewan liar!”

Maret, 1997 – Januari, 1998


DUNIA MENUJU SEKARAT

sebuah lukisan realis

dunia menuju sekarat
jalanan berdarah
tikungan membentur jidatmu yang renta
jiwa tenggorok bagai kakek tua
menunggu gugur daun, tulang menua
dan rabun yang memangkas usia demi usia

dunia menuju sekarat: kematian,
puing peradaban, dan nurani yang gersang.

tengoklah hatimu
mencercit bagi jerit rem
membesut aspal ngilu jiwamu

dunia menuju sekarat:
nurani mengubur dalam segala tanda.
menggumpal dalam rahasia.
tak ada dibaca lewat segala bahasa!

Maret, 1997 – Februari, 1998


Tentang Penyair




Dorothea Rosa Herliany

lahir di Magelang. Puisinya dimuat Suara Pembaharuan, Pikiran Rakyat, Republika, Media Indonesia, Bernas, Suara Merdeka, Horison, Basis, Kalam, Dewan Sastra (Malaysia), Solidarity (Filipina), dan lain-lain. Menulis sejak SMA, puisinya terantologi dalam Nyanyian Gaduh, Matahari yang Mengalir, Menoreh I, Progo, Kepompong Sunyi, Nikah Ilalang, Blencong, Karikatur dan Sepotong Cinta, Antologi Puisi Jawa Tengah, Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka, dan lain-lain. 



Sumber tulisan: buku Jentera Terkasa
Sumber foto penyair: Ensiklopedia Kemdikbud
Sumber Ilustrasi: Pixabay