Pahlawan
di setiap medan pertempuran
tanpa mengharap balas jasa,
lantaran sadar
bahwa semuanya
adalah tugas yang dibebankan
ke pundaknya
untuk kemerdekaan tanah air,
kesejahteraan warga bangsa
berdasarkan keadilan dan kebenaran
atas nama Tuhan.
memuntahkan peluru senapan
kepada musuh di muka.
Jika mereka pulang,
pulanglah pemenang dari medan perang
semua mengucapkan selamat datang.
Jika sampai mereka gugur
bumi pun bertabur bunga
mengiringinya kembali
kepada maha panglima,
sedang semangat serta jiwanya
adalah warisan yang tak terpadamkan
di dada tiap warga bangsa
yang mereka tinggalkan.
di sawah dan ladang
mengayun cangkul, membalik tanah
dengan bajak dalam-dalam.
Jika panen tiba
bumi pun bergetar saking gembira.
Jika diserang hama
hati yang pasrah
mengucapkan kerelaan
atas segala cobaan Tuhan.
Atau seorang purbakalawan
keluar masuk hutan
mendekul di atas runtuhan
sisa-sisa kebudayaan
yang diwariskan para pemula
kepada angkatan sesudahnya
mahasiswa di garba ilmiah,
penarik beca
bersenandung di jalanan,
pemetik teh di perkebunan,
dan segenap warga bangsa
yang berjuang
untuk kemerdekaan tanah air,
kesejahteraan warga bangsa,
berdasarkan keadilan dan kebenaran
atasnama Tuhan.
di setiap medan pertempuran
10 November 1965
Tentang Penyair
AYAT ROHAEDI dilahirkan di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 5 Desember 1939. Menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI (1964), kemudian memperdalam pengetahuan linguistik dan filologi di Universitas Leiden, Belanda (1971--1973), memperdalam ilmu dialektologi di Universitas Grenoble III, Paris, Prancis. (1975--1976), terakhir meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1978) dengan disertasi berjudul Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa.
Ia mulai menulis puisi dan cerpen saat di SMA. Adik kandung sastrawan Ajip Rosidi ini dikenal sebagai penyair yang berdaya humor tinggi. Namun demikian, humor-humor yang dilontarkannya itu tidak tercermin dalam puisi-puisi yang ditulisnya, melainkan tercermin dalam obrolannya atau tulisan-tulisannya mengenai bahasa Indonesia.
Adapun karya-karyanya antara lain, Yang Terpilih (cerpen, 1965), Warisan (cerpen, 1965), Panji Segala Raja (cerita anak, 1974), Pabila dan di Mana (kumpulan sajak, 1977), dan Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa (disertasi 1978, diterbitkan 1985).
Sementara karyanya dalam bahasa Sunda antara lain, Hujan Manggaran (kumpulan cerpen, 1960), Kabogoh Tere (novel, 1967), dan Pamapag (kumpulan sajak, 1972).
Di samping menulis puisi, cerita pendek, dan roman. Ia juga menerjemahkan karya penulis lain, diantaranya: Puisi Negro (bunga rampai, 1970), Senandung Ombak (novel, Yukio Mishima, 1976), Tata Bahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda (karya J. Kats dan R. Soeriadiraja, 1980) dan Tata Bahasa Sunda (karya D. K. Ardiwinata, 1985). Selain itu ia juga menjadi editor buku Kepribadian Budaya Bangsa (kumpulan esai, 1986).
Dalam kumpulan puisi Pabila dan di Mana (1976), ia menuangkan rasa kecintaannya yang dalam terhadap lingkungan hidup. Kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya ini memuat 59 puisi, yang dibagi ke dalam tiga subjudul. Dalam Waktu Terjadi Gerhana memuat 30 puisi, Tanah Sunda Senja Hari memuat 20 puisi, dan Surat Akhir Tahun memuat 9 puisi.
Dirinya pernah bekerja di Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Mojokerto (1965--1966), menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Padjadjara (1966--1967). Di tahun 1972, menjadi dosen Fakultas Sastra UI dan kemudian diangkat menjadi Ketua Jurusan Arkeologi 1983--1987). Menjadi Pembantu Rektor Institut Kesenian Jakarta selama lima tahun (1989--1994) serta menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik (1999--2000) di IK. Selain itu ia juga banyak terlibat dalam kegiatan di bidang kebahasaan, kesusastraan, kesejarahan, kebudayaan dan kepurbakalaan.
Budayawan, sastrawan, linguis, sekaligus arkeolog Indonesia, Ayat Rohaedi, wafat pada tanggal 18 Februari 2006, di Sukabumi, Jawa Barat karena sakit.
-----------------------------------------
Sumber tulisan dan foto penyair: Pusat (Majalah Sastra)