Saya suka sejarah. Apalagi dalam bentuk cerita yang mengharukan. Ya, berupa cerita nyata dalam realitas kehidupan secara apa adanya. Sebutlah bagaimana menariknya kehidupan Kaisar Hongwu sang pendiri Dinasti Ming. Termasuk puisinya yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad saw.
Lantas, bagaimana dengan beragam versi dalam sejarah? Ini agaknya susah dihindarkan, terutama jika peristiwa sejarah tersebut terjadi dalam waktu yang berkurun-kurun.
Meski demikian, idealnya diperlukan upaya maksimal untuk sedapatnya mendekati kebenaran berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan masuk akal.
Nah, September pun menyimpan sejarah, termasuk di Indonesia. Bahkan, bulan ini sangat identik dengan peristiwa sejarah yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), baik pada tahun 1948, maupun 1965. Kedua tragedi besar tersebut menyisakan kepedihan dan juga kewaspadaan bagi seluruh Bangsa Indonesia.
Itulah sebabnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap September, bangsa kita selalu dilanda ingatan yang kuat akan kekejaman Partai Komunis Indonesia pada masa lalu.
Pertanyaannya, apakah saat ini masih perlu menonton film G30S/PKI? Apa manfaatnya? Toh semua itu sudah berlalu, 'kan?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu bahwasanya paham komunis atau komunisme masih ada di dunia. Lebih nyata lagi, paham ini masih dipertahankan dan dipraktikkan di dua negara adidaya hingga kini: Republik Rakyat Cina dan Rusia.
Memang sempat muncul kekhawatiran kalau-kalau komunisme akan tenggelam. Sebutlah Kim Iil-sung (Kim Il Sung) yang merupakan pendiri dan presiden pertama Korea Utara. Presiden Kim tersebut sempat berpikir komunis mulai terkikis karena kurang laku. Alhasil, dirinya yang juga berpaham sosialis tidak menggunakan komunisme, melainkan menciptakan genre baru, yaitu paham Juche yang juga berakar pada sosialisme.
Paham ciptaannya masih eksis hingga kini dan begitu pula dengan komunisme. Keduanya tumbuh subur.
Memperhatikan hal itu, tentu saja tidak menutup kemungkinan komunisme di Indonesia bisa bangkit kembali. Ditambah lagi, pentolan PKI yang bernama D.N. Aidit pada masanya sangat akrab dengan Pemimpin Besar Komunis Cina, Mao Zedong, yang kala itu berkuasa penuh di negeri tirai bambu.
Dan, ketika mengetahui Aidit telah mati, Pemimpin Mao turut prihatin dan membuatkan puisi untuk pentolan PKI tersebut. Artinya, PKI dan Partai Komunis Cina memiliki hubungan yang sangat kuat.
Hal terakhir tadi kian memperkuat potensi yang lebih besar akan kemungkinan bangkitnya kembali komunisme di negeri ini. Maka, film G30S/PKI idealnya masih layak ditonton. Pertanyaan berikutnya, apakah apa manfaatnya?
Tentu saja manfaatnya untuk meningkatkan kewaspadaan akan datangnya pengaruh kuat dari negara-negara adidaya berpaham komunis masuk ke Indonesia. Apalagi, akhir-akhir ini khususnya semenjak Presiden Soeharto dilengserkan, gelagat-gelagat komunis mulai bermunculan sedikit demi sedikit. Keturunan eks-PKI pun sudah berani unjuk gigi.
Dalam hal ini, sudah sepantasnya negara juga turut mencegah bahaya laten komunisme di Indonesia. Salah satunya dengan menggelar acara menonton bareng film G30S/PKI. Presiden dan para pejabat lain, idealnya menjadi contoh penonton yang baik dalam pemutaran film tersebut setiap tahunnya.
Sumber foto: Al-Jazeera
0 comments:
Post a Comment