Ini bukan cerita
fiksi. Sungguh telah benar-benar terjadi. Dan, mungkin bisa menjadi
sangat menarik jika suatu waktu kelak dituliskan dengan lengkap, kemudian dibaca banyak orang dari zaman ke zaman.
Sebut saja nama
kota itu A. Begitulah
kira-kira penyebutan yang menurut saya ideal. Di wilayah pinggirannya hidup sebuah keluarga
sederhana. Suami istri dengan empat orang anak. Anak pertama dan kedua lahir di pulau yang jauh dari tanah perantauan mereka.
Sedang dua yang lainnya lagi
lahir di kota tersebut.
Sebagai seorang
guru yang berstatus pegawai negeri sipil dengan
tanggungan sejumlah
lima orang, membuat sang ayah
juga mengajar di beberapa sekolah sebagai tenaga honorer. Selebihnya, ia bertani di lahan subur dekat rumah mereka. Alhamdulillah, dengan uang
tambahan dari pekerjaan-pekerjaan sampingan itulah, kebutuhan mereka dapat
tercukupi sehari-hari.
Musim pun silih
berganti. Hujan digantikan kemarau. Lalu hujan kembali.
Begitu berulang-ulang. Kala itu anak
pertama dan kedua yang telah sekolah selalu membuat bangga keluarga. Prestasi belajar mereka sangat cemerlang. Sementara
yang dua lagi masih kecil dan menyenangkan.
Suatu ketika anak
kedua mereka sakit
parah. Lebih kurang satu bulan
harus menginap di rumah sakit. Penyakit liver yang menyerang tubuhnya itu pun menyebabkan ia harus lama meninggalkan bangku sekolah.
Padahal ujian kelulusan tingkat sekolah dasar hampir tiba. Artinya, jika
dirinya ingin lulus dan melanjutkan pendidikan formal di sekolah impiannya, maka
ia harus sembuh. Setidaknya mendekati tingkat kesembuhan dan dinyatakan dokter bisa
menghadapi soal-soal ujian kelulusan.
Atas kehendak Allah swt jualah ia mampu
mengikuti dan menyelesaikan seluruh
ujian kelulusan tersebut. Dan, tak disangka-sangka, meski lebih daripada satu
bulan telah menginggalkan ruang kelas, nilai ujian yang diperolehnya paling tinggi di sekolahnya. Hati
anak kedua dari pasangan suami istri perantau itu pun begitu berbunga-bunga.
Harapan bersekolah di SMP unggulan yang menjadi impiannya tinggal selangkah lagi. Sebab, nilai yang diperolehnya
itu sangat memenuhi syarat dari SMP tersebut.
Namun, ibarat
panas setahun dibasahi hujan sehari, harapannya pupus. Sang ayah tidak
mengizinkannya. Bukan karena tak sayang. Apalagi kejam. Penyakit liver membuat
ayahnya tak tega jika
harus melihat anak keduanya itu kembali terbaring sakit karena
kelelahan. Benar saja, jarak rumah mereka dengan sekolah impiannya lumayan
jauh. Sementara tubuhnya yang telah diserang liver, mengharuskannya tidak boleh
lelah. Ia harus dalam kondisi prima. Kondisi bugar. Dirinya hanya boleh
beraktivitas yang ringan-ringan saja. Jika kelelahan, penyakit itu kemungkinan
besar akan kambuh. Maka, mau tak mau, ia pun
harus menyerah dan kalah dari penyakit yang pernah diidapnya.
Dengan hati yang
gundah gulana, ia melanjutkan pendidikan di sekolah swasta dekat rumahnya.
Sebuah sekolah milik yayasan pendidikan Islam yang telah berdiri sejak 1946
silam. Mirip pesantren, ada sejumlah mata pelajaran
Islam, siswa laki-laki dan perempuan berbeda ruang kelas, serta hari
Jumat mereka libur sedangkan
hari Minggu masuk sekolah.
Tahun pertama,
kedua, hingga ketiga ia jalani dengan tetap semangat dalam belajar. Dirinya selalu
menjadi juara kelas dan umum
dari semua kelas sederajat. Tak
seorang siswa pun dapat mengalahkannya dalam hal prestasi belajar di sekolah
itu.
Kemudian, tibalah
saatnya ujian kelulusan sekolah lanjutan tingkat pertama ia hadapi. Satu
harapannya yang masih tersisa saat itu, bisa bersekolah di SMA impiannya.
Itulah sebabnya, ia sejak jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri menaklukkan
soal-soal ujian tersebut. Hasilnya?
SANGAT MEMUASKAN.
Dirinya kembali meraih nilai tertinggi di sekolahnya. Dan, seperti tiga tahun
sebelumnya, nilai ujian yang diraihnya berada di atas syarat masuk sekolah
unggulan sesuai impiannya.
Namun, apa yang
terjadi?
Lagi-lagi ayahnya
melarang dirinya mengenyam pendidikan formal di sekolah unggulan impiannya itu. Alasannya sama, jarak yang jauh dari rumah. Tempat tinggal
di pinggiran kota dan penyakit yang pernah diidapnya seperti dinding tebal,
tinggi, dan menyeramkan. Sungguh menjadi momok yang membuatnya menyerah dan kalah.
Tapi, kali ini
berbeda. Meski dirinya bersedia bersekolah di SMA Negeri dekat rumahnya,
perasaannya benar-benar hancur. Anak remaja itu telah kehilangan impian
besarnya. Hidupnya pun seperti tak berarti. Tak ada harganya lagi baginya.
“Segala apa yang telah diusahakannya menjadi
sia-sia.”
Begitulah yang ada
dalam pikirannya kala itu. Ia tak peduli dengan kenyataan bahwa sebenarnya ia
dipuji-puji oleh teman-teman dan guru-guru barunya saat awal-awal bersekolah di
SMA itu karena masuk dengan nilai ujian SMP tertinggi. Bahkan, ada saja siswi
cantik yang tertarik padanya lantaran hal itu pula.
Benar-benar
tragis. Hari-harinya ia isi
dengan kesedihan dan dendam. Ya, dendam. Di usianya yang masih remaja, ia belum
mampu memikul beban berat sehingga belum sanggup pula menerima keadaan dengan
ikhlas. Api amarah yang terpendam dalam dirinya menjelma dendam terhadap
ayahnya sendiri.
Dalam pikiran
belianya, karena ayahnya lah
dirinya gagal dua kali mencapai impiannya. Ia belum paham bahwa sejatinya
ayahnya tak menghendaki dirinya menderita oleh penyakit liver seperti yang
pernah ia alami sebelumnya. Ayahnya ingin ia hidup sehat meski harus bersekolah
di tempat yang fasilitas belajarnya masih terbatas dan tidak difavoritkan. Dalam pikiran ayahnya, di mana pun bersekolah asalkan
ada kemuan kuat dalam diri siswa, hasilnya juga akan bagus. Toh ayahnya juga
bisa menjadi guru privat bagi diri anak keduanya itu.
Maka, hal
mengerikan yang tak pernah terbayang oleh keluarganya ia wujudkan. Ia mulai
merokok, bermalas-malasan, dan berbuat semaunya. Alhasil, nilai-nilainya di
setiap mata pelajaran jeblok sepanjang ia duduk di bangku SMA. Tak ada lagi
kebanggaan yang terkadang menjadi bahan cerita dalam perbincangan ayahnya saat
duduk-duduk santai. Dan, saat itu ia telah benar-benar berhasil membuat ayahnya
malu.
Meski demikian,
rupanya masih tersisa kecerdasan dalam otaknya. Ia
lulus dari SMA itu dan berhasil pula masuk perguruan tinggi negeri unggulan dan
terfavorit sepulau tempat ia tinggal.
Singkat cerita, kini anak kedua dari pasangan
perantau itu mengabdikan dirinya sebagai guru di sekolah terpencil yang jauh
dari kota tempat ia tumbuh bersama ayah, ibu, kakak, dan adik-adiknya. Bersama istri tercintanya, ia
melanjutkan hidup dengan rasa syukur dan semangat.
Cerita di atas
mungkin juga dialami anak-anak lain. Lalu adakah yang menarik perhatian kita
dari isi cerita itu?
Apakah tentang
minat dan
prestasi belajar anak? Kasih
sayang orang tua terhadap anak-anak mereka? Sekolah unggulan dan nonunggulan?
Jarak sekolah dan rumah siswa? Pemerataan sarana dan prasarana di semua
sekolah? Ketersediaan guru yang memiliki kompetensi di bidang masing-masing?
Atau lainnya?
Tampaknya ada
lebih banyak lagi daripada yang sudah saya sebutkan di atas.
Dari sekian yang
menarik perhatian tersebut, agaknya ada satu hal yang perlu kita pahami bersama
bahwa ada keterkaitan antara satu dan lainnya. Sebutlah siswa. Ia tak bisa belajar sendiri dalam mengarungi
kehidupannya. Dirinya perlu orang tua, guru, sekolah, buku-buku, juga lainnya.
Dan, untuk
menunjang proses belajar-mengajar itulah, idealnya ada pemerataan di bidang
pendidikan. Tentunya pula, pemerataan di sini
tidak sekadar merata dari sisi ketersediaan bangunan sekolah di setiap wilayah.
Akan tetapi, jauh lebih daripada itu. Diperlukan pemerataan guru yang
berkualitas, suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan, ketersediaan alat praktik belajar seperti komputer canggih, dan lainnya yang semuanya mendukung tercapainya outcome yang diharapkan.
Khusus mengenai
jarak antara rumah dan sekolah, saya membayangkan perjalanan yang menggembirakan. Ya, terbayang di otak saya, para siswa naik bus sekolah melalui sebuah jalan beraspal mulus yang
membentang lengang. Di kanan dan kirinya
ditumbuhi pepohonan rindang yang tumbuh subur di
pekarangan rumah-rumah penduduk. Jarak antara rumah mereka dan sekolah pun paling jauh hanya satu kilometer. Dan sesampainya
di sekolah, para siswa dan guru dapat menikmati proses belajar-mengajar yang
nyaman. Begitu pula sebaliknya, setibanya di rumah,
kondisi badan mereka
yang masih segar dan prima. Dengan demikian, seakan-akan tak ada lagi jarak antara rumah dan sekolah.
(MJA)