Oleh Tajuddin
Noor Ganie
Biografi Ringkas
Merayu Sukma (MS) dilahirkan di Desa Seberang Masjid, Banjarmasin, pada tahun 1914. Nama aslinya adalah Muhammad Sulaiman. Mulai menulis karya sastra sejak tahun 1930-an. Publikasi karya sastranya antara lain di Majalah Pelita Masyarakat Banjarmasin (1935--1936), Majalah Kebudayaan Timur Jakarta (1943), Majalah Sastrawan Malang (1946), dan Majalah Suara Asia Jakarta.
Pada zaman kolonial Belanda 1930--1942, MS sudah berhasil menerbitkan sejumlah roman/novelnya di kota Medan, yakni : Kunang Kunang Kuning; Berlindung di Balik Tabir Rahasia; Menanti Kekasih Dari Mekah; Teratai Terkulai; Yurni Yusri; Sinar Memecah Rahasia; dan Putra Mahkota Yang Terbuang.
Pada zaman kolonial Jepang 1942--1945, MS berhasil meraih prestasi sebagai pemenang pertama dalam sayembara menulis naskah drama yang diselenggarakan oleh Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan Jepang) yang berkedudukan di Jakarta. Naskah drama dimaksud diberinya judul Pandu Pertiwi, pada tahun 1943 diterbitkan oleh Majalah Kebudayaan Timur Jakarta bersama-sama dengan naskah drama Bende Mataram karangan Arifin K. Utoyo.
Pada tahun 1945, MS pindah ke Malang. Di kota ini MS mendirikan Majalah Sastrawan (1946) dan mendirikan antologi puisinya berjudul Jiwa Merdeka (Penerbit Sumi Malang, 1946). Sementara itu, roman/ novelnya yang diterbitkan di kota Medan pada kurun waktu 1945--1949 adalah Jurang Meminta Kurban; Dalam Gelombang Darah; Gema Dari Menara; Mariati Wanita Ajaib; dan Kawin Cita Cita.
Pada tahun 1950, MS sempat kembali ke Kota Banjarmasin, tapi tidak lama kemudian, karena tidak betah, MS kembali ke Kota Malang. Di kota Malang inilah MS meninggal dunia dan dimakamkan pada tanggal 11 Maret 1951. Pada tanggal 17 Agustus 1980, MS menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel Soebardjo Soerjosaroso.
Kutipan
Teks Puisinya
Di Sungai Martapura
(Koleksi Artum Artha, 1983)
Sungai Martapura merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Kekayaan alam yang ada di daerah Kalsel ini digambarkan sebagai lanskap yang indah dipandang mata.
Pesan tersirat yang ingin disampaikan MS sebagai penyairnya adalah fakta bahwa tanah air kita tercinta sesungguhnya sangat indah sehingga kita semua akan rugi besar jika membiarkannya terus dibelenggu oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pesan lain yang juga tersirat di dalam puisi di atas adalah nasihat agar kita semua berjuang tak kenal lelah, dan pantang menyerah, apalagi jika sampai surut ke belakang. Setiap orang mestinya meneladani perilaku air di sungai Martapura yang tak kenal lelah dalam perjalanannya menuju muara (lambang cita-cita yang ingin diraihnya). Perjalanan air sungai Martapura dari hulu ke hilir memang sangat jauh, sangat banyak tempat-tempat yang harus dilaluinya sebelum akhirnya tiba di Laut Jawa sebagai muara yang ditujunya.
Ombak Samuderra
(Koleksi Artum Artha, 1983)
Laut bebas dalam puisi di atas merujuk kepada Indonesia merdeka. Laut bebas itu tak mungkin dapat kita arungi bersama jika kita semua tidak memiliki sebuah kapal samudera. Kapal samudera itulah (negara berdaulat) yang harus kita bangun bersama jika ingin mengarungi laut bebas itu (berkehidupan sebagai bangsa yang merdeka).
Jika kita sudah memiliki kapal samudera maka kita dapat dengan mudah mengarungi laut bebas itu tanpa takut diombang-ambingkan gelombang atau diporak-porandakan karang. Jika kita sudah saling bersatu padu maka gelombang dan karang (pemerintah kolonial Belanda) dapat kita taklukkan dengan mudah.
Pada tahun 1984, Yus Badudu (hal 563-564) memuat ulang 2 judul puisi MS yang dimuat di Majalah Pujangga Baru Jakarta, yakni Tekanan Sunyi (1940) dan Suling Pujangga Baru (1941). Puisi MS dimaksud dikutipkan selengkapnya di bawah ini:
Tekanan Sunyi
Mata kekasih dikhayal senyap yang sedang berada di dalam gua gelap tak bersuluh itu merupakan lambang kejayaan bangsa Indonesia yang terpuruk karena tanah air kita sedang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Melalui puisi di atas penyair menggambarkan perasaan hatinya yang sedang merindukan kejayaan masa lalu bangsa Indonesia yang gilang gemilang sebagai bangsa yang berdaulat di tanah airnya sendiri (hati nan rindu dikerling gemerlap).
SULING PUJANGGA
BARU
Kebangunan masa adalah lambang masa depan bangsa Indonesia yang gilang gemilang, yakni bangsa Indonesia yang hidup di zaman kemerdekaan sebagaimana yang dicita-citakan oleh segenap bangsa Indonesia yang ketika itu sedang terpuruk harga dirinya sebagai bangsa jajahan.
Suling pembangunan rasa adalah lambang sarana yang harus dimiliki bangsa Indonesia jika ingin kembali hidup dalam kejayaan bersama yang gilang gemilang seperti di zaman-zaman kerajaan dahulu (Majapahit, Sriwijaya, Mataram, Demak, Banjar dll dst).
Sarana
yang dimaksudkan penyair adalah institusi dalam bentuk negara Republik
Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat dari Sabang hingga Merauke. Pada
tahun 1992, Suripan Sadi Hutomo mempublikasikan dan membicarakan puisi MS
berjudul Di Taman Puspa (SKH Banjarmasin Post Banjarmasin, 24 Juni
1992, halaman 11). Puisi MS dimaksud dikutipkan selengkapnya di bawah ini :
TAMAN SISWA
Taman
puspa merupakan lambang tanah air bangsa Indonesia yang sudah tiga abad ini
dibiarkan merana karena porak poranda diamuk buta (raksasa) yang tidak lain
merupakan lambang dari pemerintah kolonial Belanda yang angkara murka.
Rama-rama dan puspa adalah lambang dari bangsa Indonesia yang hidup menderita karena taman tempatnya hidup selama ini (tanah airnya) sudah rusak binasa karena dikuasai secara semena-mena oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dalam
dialog yang terjadi antara rama-rama dan puspa tersirat adanya harapan bangsa
Indonesia untuk bangkit kembali sebagai bangsa yang besar yang hidupnya makmur
di tanah airnya yang subur.
Sumber tulisan: buku Jagat Puisi Indonesia di Kalsel 1930--1942
Sumber foto: Ensiklopedia Sastra Kemdikbud RI