Kalimantan melahirkan banyak penyair andal. Tidak sekadar eksis di tempat lahir mereka saja, akan tetapi puisi-puisi para penyair dari Pulau Seribu Sungai ini juga merambah wilayah nasional dan regional. Berikut adalah tujuh contoh puisi karya penyair dari Kalimantan tentang alam.
Aku Ingin
Mengajak Kau ke Hutan
Karya
Akhmad Zailani (Samarinda, Kaltim)
I
Aku
ingin mengajak kau ke hutan. Berkelana menulis puisi yang indah. Puisi tentang
hutan. Mumpung belum punah. Sekalipun keindahannya hanya sedikit. Tentang
pohon-pohon yang kita lihat di sepanjang langkah. Jangan takut ada harimau,
ular, beruang atau binatang buas lainnya. Ada aku. Aku bisa menjadi lebih dari
harimau untuk membunuh harimau atau aku bisa lebih menjadi ular dan beruang
untuk membantai ular dan beruang. Untuk mengusir rasa takut kau. Tapi tentu
saja, binatang binatang itu sudah tak ada lagi. Orang orang telah
memelihara di dalam diri. Ya, aku berharap di dalam hati. Bila aku dan
kau beruntung; kita akan
mendapati kupu-kupu yang terbang , mungkin akan ada bunga anggrek hutan, yang
tumbuh liar di antara pohon-pohon besar, yang aku pun tak tahu namanya,
lalu kau berteriak girang ; “ oh indahnya”.
II
Seorang
kenalan menawarkan kelezatan hutannya. Mungkin dia bercanda. Mungkin
masih hutan. Tapi aku kurang terpikat, dan berpikir; hutan dia, hutan ku
dan hutan kau, tidak berbeda jauh. Sudah dijamah. Aku dan kau memang bisa
saja mencari hutan di daerah lain, berkelana untuk menulis puisi. Mencari kupu
kupu dan inspirasi pun muncul berterbangan ke luar lewat telinga, mata dan
mulut. Tapi cukup lah
sementara hutan yang ada di pikiranku saja. Atau hutan di kepala kau
saja, yang belum dijamah. Tapi tidak menutup kemungkinan, bisa saja kita
diam diam sambil mengendap-ngendap menengok hutan kenalan itu, lalu merasakan
aromanya. Seperti menghirup secangkir kopi nikmat di hari dingin dan kita
rasakan perbedaannya ; “oh lezatnya”
III
Hutan
perlu buru-buru diubah menjadi puisi, karena mimpi-mimpi dari tidur aku dan kau
tentang hutan telah habis dimakan babi-babi, yang berdatangan dari jauh. Hutan
perlu segera diberi sayap, agar segera terbang bersama kupu-kupu, dan tidak
merasa kesepian. Karena kupu-kupu bukan sepenuhnya asesoris hutan. Bila
suatu ketika aku dan kau beruntung, akan ketemu kupu-kupu yang terbang bersama
hutan-hutan secara terpisah. Bila
hutan sudah beterbangan, babi-babi hanya bisa memakan kotoran sendiri
secara berulang-ulang, tiada habis. Hutan-hutan berterbangan, bersama
kupu-kupu, lalu ada bunga anggrek yang menuliskan harapan di
pohon-pohon besar, dan kau pun terkagum kagum melihatnya;” oh mari buru-buru
kita lukis kenangan”
IV.
Tapi
terlambat. Aku dan kau gagal membungkam waktu. Babi-babi tak bisa ditahan,
terus berdatangan seperti hantu. Mungkin berkendaraan angin. Tidak
tampak, namun terus mencukur hutan hingga botak. Kau pun menangis sejadi
jadinya. Hutan-hutan beberapa di antaranya tak sempat diterbangkan. Hutan-hutan
yang tak sempat diberi sayap, lenyap dimakan babi-babi hingga tak
bersisa. Bukan sekedar mati. Bahkan hingga ke dalam jantung hati. Tersisa
galian lubang-lubang besar seperti mulut raksasa. Air mata kau menetes, tertampung di
dalam lubang yang telah memakan anak-anak pewaris mimpi-mimpi aku dan
kau. Lalu dari lubang lubang berlarian babi-babi. Kau pun makin menangis
sejadi-jadinya. “ Oh …”
Kabar dari
Rajawali
Karya
Edi Santosa (Banjarbaru, Kalsel)
Rajawali
terbang di senja yang jingga
cakarnya merobek langit
lengking suaranya menyayat cakrawala
mengepak menggetarkan semesta,
cakarnya merobek langit
lengking suaranya menyayat cakrawala
mengepak menggetarkan semesta,
menyampaikan
kabar berita
Aku
berdiri dalam genangan tanda tanya
angin menerpaku dalam hampa
mendesau bergemuruh
angin menerpaku dalam hampa
mendesau bergemuruh
datang
dari degup jantung rimba
yang tertindas oleh serakah,
yang tertindas oleh serakah,
Dibawa
ke kota meninggalkan luka
Di
antara jejak - jejak buldoser
gergaji
yang terus meraung
Menumpahkan
derita,
menuliskan
sejarah
yang
akan dieja oleh anak cucu kita
Kapankah
mereka menanam pepohonan itu?
Kenapa mereka menebangya sekarang?
Kapankah mereka merawat tunas-tunas itu?
Kenapa mereka membakarnya sekarang?
Kenapa mereka menebangya sekarang?
Kapankah mereka merawat tunas-tunas itu?
Kenapa mereka membakarnya sekarang?
Kapankah
mereka mencintai rimba itu?
Mereka
mengkhianati dan tak pernah kembali
Wahai
rajawali, terbanglah lebih jauh
melengkinglah lebih tinggi
Kutitipkan risauku bersamamu
melengkinglah lebih tinggi
Kutitipkan risauku bersamamu
Banjarbaru,
Juli 2016
Hutan
di Mataku
Karya
Micky Hidayat (Banjarmasin, Kalsel)
sebuah
hutan
tak
bernama
tak
berpeta
tak
terbaca
terhampar
di anganku
sebuah
hutan
tak
berpohon
tak
berakar
tak
berdahan
tak
beranting
tak
berdaun
terbakar
di jantungku
sebuah
hutan
menjerit-jerit
melolong-lolong
mengerang-erang
meraung-raung
merintih-rintih
terkapar
di lorong jiwaku
sebuah
hutan
menjelma
jadi api, asap,
bara,
dan puing
berserakan
di ruang sunyiku
sebuah
hutan
adalah
luka adalah duka
sebuah
hutan
adalah
perih adalah pedih
sebuah
hutan
menjadi
hujan di mataku
menderaskan
bencana
berkepanjangan
2005
Hutan Penuh
Air
Mata
Karya
Rusdi Fauzi (Barabai, Kalsel)
Hijau
hutanku terhampar luas
udara
yang sejuk berembus di antara pucuk-pucuk
tanah
gembur menghasilkan kehidupan
flora
dan fauna yang baru
Air
hutanku mengaliri sungai-sungai
Yang
bertanah, berumput, dan berbatu-batu,
menciptakan
panorama benua kita
dalam
deras segala di hati ceria berpadu
Kini
hutan mengadu dalam lusuh
benua
hewan, tumbuhan hampir musnah
tanah
pun merintih
oleh
nafsu penuh keserakahan
Apakah
semua berakhir, bencana di benua
mungkinkah,
kami telah banyak meminta
kalian
telah bangga dengan salah dan dosa
ketamakan
yang membuat hutanku tak tersisa.
Barabai,
15/07/2016
Baritoku
Karya
Selamat Bakumpai (Muara Lahei, Kalteng)
Melalui
keruhmu yang seluruh,
Kau
kabarkan tentang hutan belantara yang dibabat oleh mesin-mesin raksasa yang
menggemuruh, memekakkan telinga, mengusir dan membunuh satwa-satwa liar serta
membuahkan banjir-banjir yang menyengsarakan.
Melalui
tongkang yang merayap ke muara,
Kau
kabarkan tentang bumi yang dijungkirbalikkan dengan pongah demi emas hitam yang
melimpah untuk menghidupkan industri dan listrik di pulau seberang sementara di
tempatmu sendiri lebih sering gulita.
Melalui
riakmu yang miskin kecipak dan sambaran ikan,
Kau
kabarkan tentang maraknya penyetruman, penggunaan racun serangga dan potas di
seluruh aliran sampai ke paling udik dirimu, untuk kemudian mencipta rerintih
dari tubuh-tubuh yang telah teracuni.
Melalui
sampah dan limbah yang hanyut,
Kau
kabarkan tentang penduduk yang sudah menaik taraf pendidikannya namun tak juga
sadar bahwa sungai bukanlah tempat pembuangan akhir yang tepat.
Melalui
jamban-jamban yang mengapung sepanjang aliranmu,
Kau
kabarkan tentang masih adanya orang-orang yang berpikir setengah primitif atau
sebagian lainnya lagi menganggap bahwa itu bagian dari rantai makanan dan
manusia adalah bagian dari semesta makhluk hidup.
Melalui
arusmu yang kian sepi dari perahu dan kapal yang hilir mudik,
Kau
kabarkan tentang telah dibangunnya infrastruktur jalan dan jembatan yang
membuka segala akses sampai ke kampung terisolir di pedalaman, kemudian
lahirlah gadis-gadis dusun dengan bibir berlipstik dan pandai ber-selfie.
Baritoku,
Melalui
seluruhmu kau kabarkan bahwa zaman telah berubah.
Muara
Lahei, 14 Maret 2016
Nyanyian Sebatang Pohon
Karya
Syarif Hidayatullah (Banjarmasin, Kalsel)
Burung-burung terbang tersesat di kotamu
Mencari hutan untuk jalan pulang
Mendengar nyanyian pohon
Yang semakin terkikis peradaban
Dan pagi sedang menikmati kopinya
Di antara jalanan tua
Tempat orang berlalu-lalang menuju pasar
Tanah terkikis bersama pohon yang tumbang
Kawah bumi menjadi genangan terbaikan
Di tumbuhi lumut dan jentik bersarang
Rumput pun menjadi mati
Tempat yang dulu jaya kini merana
Sementara kita di desa terus mencoba menanam oksigen
Kembali berharap mendengar nyanyian pohon
Meskipun hanya sebatang
Bantuil, 8 Juli 2016
Tangis Hutan
Benuaku
Karya
Taberi Lipani (Barabai, Kalsel)
Coba
selami arti
ketika
batang kayu-kayu tumbang
di
antara kerlip bintang-bintang
buram
kelabu
masa
hijau benua ini telah ternoda
hati
daki berdasi
Kering
renta merana
hutan
ini menangis rawan
sungai-sungai lali
kehilangan
batu-batu pualam
ketika
langit kita muru muram
Sisi
hutan nan rawan
gelap
tak terlalui mimpi
dan
langkah pribumi yang serba salah
tak
kuasa mengajak sanak saudara
pergi
menjauhinya
Mari
mendaki lembah-lembah
barangkali
di sana terbaca sebabnya
tentang
bayu yang memanas
kering
merana
karena
bibir tanah rengkah
tak
kuasa memetik embun
senyap,
getir bisiknya
kepada
siapa ia dermakan air mata
berliku
tak terjawab
Bila
amarah sungai menyapa
tiada
bergumam tentang kedamaian
yang
keruh gemuruh
menyerbu
padang-padang
tanpa
sesunting senyum menyapa
dan
dari hulu sungai-sungai itu
ada
gunung yang hanyut
tanpa
isak menyambutnya
Wahai
kepada siapa bumi mengadu
apakah
kami masih bias menangis
demi
anak cucu
yang
belum mengenal benua
hanya
mampu merindu
ingin
memeluk batang kayu
karena
hutan ini jangan sirna
dimakan
si tamak tama
matahari
sudah mereguk ubun-ubun
gunung-gunung
terapung
keringnya
paya-paya
tuan,
bapak, saudara-saudara
ini
ruh gunung-gunung datang bertamu
menuntut
setiap ulah polahmu
Sungguh
karena kalian
sungai-sungai
menjadi kubangan lumpur besar
setiap
benua akan akan tahu hal ini
tentang
kami yang telanjang tak berbaju
mencoba
memberi wangi-wangi bunga
pada
bau lumpur hutan bernanah
petikan
dawai panting tak mampu mencanda kalbu
hanya
pucuk-pucuk kering dimangsa sepi
balai-balai
tanpa kehilangan balian
hutan
jangan kehilangan tuah
Memang
tak seharusnya beku kalbu
pura-pura
tak merasa
di
langit sana tertulis ribuan cerita
tentang
keramahan sejuk benua kita
dan
maaf tuan,bapak, saudara-saudara
berhentilah
memamah kayu dan tunas-tunas
karena
kami telah lebih mawas
saat
dada rindu anak cucu menunggu
Barabai,
01 Juli 2016
Biodata Para Penyair.
Akhmad Zailani. Jurnalis kelahiran Samarinda Kalimantan Timur ini suka menulis puisi, cerpen, essai, sejarah, cerbung, karya ilmiah, berita, dan lain-lain. Puisi-puisinya di antaranya dimuat di antologi puisi bersama penyair 5 negara SINAR SIDDIQ (Sempena Mahrajan Persuratan dan Kesenian Islam Nusantara 2012, Membakut Sabah-Malaysia/8-11 Februari 2012), Kepada Sahabat (antologi puisi Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia) yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Cawangan Sabah), Suara 5 Negara (prakata Korie Layun Rampan), dan Langit Terbakar Saat Anak-anak Itu Lapar (Sastra Welang Pustaka, Bali 2013). Cerpennya dimuat di beberapa kumcer bersama antara lain, Aminah Sjoekoer di Atas Kapal Nederland (22 Cerpen Borneo Pilihan 2012, Metro, 2012) bersama pengarang Malaysia dan Brunei Darussalam, Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia (editor Korrie Layun Rampan), dan Para Lelaki (Sultan Pustaka, 2013). Selain buku sastra, juga menulis buku sejarah politik di Kaltim, Wajah Parlemen Samarinda, wakil rakyat dari masa ke masa (DPRD Samarinda, 2006), Catatan Kecil tentang Kerja Besar Walikota Achmad Amins Membenahi Samarinda (Pemkot Samarinda, 2005), Melawan Banjir di Kota Air Samarinda (Pemkot Samarinda,2004), Gubernur Datang, Bawa Uang Nggak? (Pemprov. Kaltim, 2002. Pos-el: Akhmadzailani2@gmail.com.
Edi Santosa lahir di Kabupaten Kulonprogo, Daerah
Istimewa Yogyakarta, 18 September 1974. Aktif menulis baik dalam bentuk fiksi dan non fiksi di laman
pribadi www.edisantosa.com,
dan juga dalam pembacaan puisi pada berbagai
acara sejak SMP sampai sekarang .
Karya-karya puisi yang dimuat antara lain pada antalogi puisi: Kalimantan
Selatan: Menolak untuk Menyerah (2015), Goyang Wc (2016), Ibu
dalam Balutan Rindu (2016) Arus Puisi Sungai (2016), Ayo
Goyang (2016), dan Melepas Tubuh dalam
Cahaya (2016 ).
Micky Hidayat lahir di
Banjarmasin, 4 Mei 1959. Mulai bergiat menulis sajak sejak tahun 1978. Di
samping sajak, ia juga menulis esai sastra, ulasan/kritik sastra dan teater,
reportase seni, resensi, artikel masalah sosial, politik, dan gerakan
mahasiswa, di sejumlah media cetak daerah dan nasional antara lain, Pelita, Republika,
dan Majalah Horison, serta di beberapa Jurnal Sastra. Kumpulan
sajak tunggalnya Meditasi Rindu (Tahura Media, Banjarmasin, 2008, dan Penerbit
Bukupop, Jakarta, 2009). Pembicaraan atas sajak-sajaknya terhimpun dalam
buku Memikirkan Sajak-sajak Micky Hidayat (Pustaka Puitika,
Yogyakarta, 2016). Sajak-sajaknya juga diterbitkan dalam antologi bersama di
berbagai event/forum dan festival sastra lokal dan nasional. Ia juga menjadi
editor beberapa buku antologi sastra karya sastrawan Kalimantan Selatan.
Mengikuti berbagai forum sastra dan pembacaan puisi di Kalimantan Selatan dan
berbagai daerah di tanah air.
Rusdi Fauzi lahir di Barabai,
Kalsel, 11 Agustus 1971. Mulai bergiat Seni dan Budaya sejak duduk di bangku
sekolah dasar. Karya-karyanya pernah di muat dalam beberapa antologi puisi
antara lain, Suara 5 Lima Negara (Kumpulan Puisi Penyair Lima
Negara/2015), Nyanyian Kacincirak (Antologi 6 Penyair Hulu
Sungai Tengah/2015), Ibuku Mendaki Badai (2015), dan Arus
Puisi Sungai (2016). Tinggal di Jalan Perintis Kemerdekaan
RT.007/RW.003. No. 97, Kelurahan Barabai Darat, Kec. Barabai, Kab. Hulu Sungai
Tengah, Kalsel.
Selamat Bakumpai lahir di Muara Lahei (Kalteng) pada 1 Agustus 1972. Berprofesi
sebagai guru SMP di kampung halamannya. Karyanya pernah dimuat di antologi
puisi Suara Lima Negara dan antologi haiku 1000 Haiku
Indonesia.
Syarif Hidayatullah,
penikmat sastra asal Marabahan, tepian sungai Barito, lahir 20 oktober. Aktif
di LPM SUKMA (lembaga pers mahasiswa suara kritis mahasiswa) LPM
AnalisA dan Pondok Huruf Sastra (PHS) organisasi
kampusnya. Menghadiri beberapa peluncuran antologi puisi semisal Memo
Untuk Presiden (MUP) Januari 2015 di Kotabaru. Puisi-puisinya pernah
di muat di media massa seperti Banjarmasinpost dan Harian
Pagi Jakarta. Puisi-puisinya juga dimuat dalam antologi-antologi
puisi bersama antara lain, Tadarus Rembulan (2013), Solo dalam Puisi
(2014), dan, lumbung puisi sastrawan 2014 jilid 1 (2014). Sekarang
ia bermukim di kos, Jln. H. Mahat Kasan No 54. Rt. 35. Kel. Kuripan. Kec.
Banjarmasin Timur, Asrama Putra Batola. Fb: syarif. Pos-el: lihums@yahoo.com.
Laman: yangbernamasunyi.woordpress.com.
Taberi
Lipani lahir pada tanggal 6 September
1971 di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Penulis yang
satu ini mulai belajar merangkai kata sejak di bangku SMP berlanjut di majalah
dinding SMA 1 Barabai. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media massa
antara lain, SKH Banjarmasin Post, Majalah Dwi Mingguan Fakta,
dan Tabloid Legalitas Bandung. Selain itu, karya-karyanya juga dimuat dalam
antologi puisi bersama di antaranya, Tarian Cahaya Di Bukit Sanggam (2008), Suara
5 Negara (2015/Antologi Puisi Penyair Lima Negara), Ibuku
Mendaki Badai (2015), dan Arus Puisi Sungai (2016). Antologi puisi
tunggalnya adalah Puasa dan Rasaku (2013) dan Tadarus
Kerinduan (2014). Taberi Lipani juga pernah menjuarai Lomba Bakisah
Bahasa Banjar Museum Banjar Baru Kalimanan Selatan. Kini Taberi Lipani,
aktif sebagai pegiatsastra di LapakSeni Dan Sastra Dwi Warna Hulu Sungai Tengah
dan sejak tahun 2000 aktif sebagai Ketua Bidang Sastra Dewan Kesenian Kabupaten
Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan.
1 comments:
Terima kasih pak, semoga alam tetap lestari
Post a Comment