Saturday, July 31, 2021

Lemari Unik


 

Friday, July 30, 2021

Bunga


 

Thursday, July 29, 2021

Jambu


 

Wednesday, July 28, 2021

Keindahan Alam


 

Tuesday, July 27, 2021

Penyiraman yang Menyenangkan


 

Monday, July 26, 2021

Kompor


 

Sunday, July 25, 2021

Menyiram Bunga


 

Saturday, July 24, 2021

Pembungkus Buah

 


Friday, July 23, 2021

Sutardji dan Pasar Seni

 



Thursday, July 22, 2021

Belimbing Wuluh

 


Wednesday, July 21, 2021

Sukun

 

Sumber foto Pixabay


Tuesday, July 20, 2021

Kotak Bibit


Anda dapat dengan mudah membuat sendiri kotak untuk menyimpan bibit sebelum ditanam. Berikut adalah video-video pembuatan kotak tersebut. 








Sunday, July 18, 2021

Puisi-Puisi Puntadewa


TRAGEDI HATI
pro: Bung Prie G.S.

Kutangkap sesosok setan
saat engkau malam-malam hadir mengibarkan bendera
tiang sunyi kemerdekaan kolusi sahabat
tak ada iringan lagu merdu dan doa-doa syahdu
biar semua tahu
di hati ini menjelma tragedi

Kutangkap sesosok setan lain
saat engkau mencoba melirikkan rembulan
malam penuh bintang kedamaian
tak ada kunang-kunang berkilau
di makam puisiku teronggok khayalan
tragedi hati anak tiri

Kutangkap suara-suara sumbang
keadilan terbuang
sampang runyam berbelukar
di rawa-rawa kejujuran pecundang kematian
gelak gagak menyeruak
menemukan bangkai di hati ini di ujung sendiri

Kudus, 1998


JABOTABEK

Sepotong ketela kumakan pagi-pagi
saat mentari belum menari
mengiringi embun-embun berlari
mencari-cari jati diri
Seteguk air putih menyapa lidah
selamat pagi tuan
sudahkah bendera kelaparan tuan kibarkan
batu-batu nisan tuan gadaikan
semen-semen tuan timbun di gudang kemarahan
buruh-buruh kecil tuan beri sayap
biar terbang seperti debu-debu jalanan
hinggap di kebun singkong
kurus juga badan bertulang kemauan
dan peluh-peluh berceceran
di tanah bebatuan

jika sebatang rokok terbakar
asap mengepul tak henti-henti
ke mana tuan berjalan
pabrik-pabrik diam tak menyapa
pohon-pohon meranggas pucat menunggu ajal
di pinggir jalan
matahari hadir

Kudus, 1997

Puntadewa. Puisinya dimuat di Buana Minggu, Suara Karya, Suara Pembaharuan, Suara Muhammadiyah, dan lain-lain, di samping terantologi dalam Angin Ladang, Menara 2, Blue, dan Antologi Puisi Indonesia

---------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Jentera Terkasa
Sumber ilustrasi: Pixabay

Sastra dan Kreativitas


Terkadang ada saja orang yang merasa kesusahan untuk berkarya sastra. Alasan paling gampang terlontar adalah, perihal tema. Lebih spesifik lagi karena ketiadaan tema. Dengan kata lain blank. Kosong. Padahal, kekosongan itulah tema yang sudah ditemukan. Dari kekosongan, bisa muncul gagasan tentang kekosongan dalam rumah tangga semisal ketiadaan sosok ayah. Bisa juga bermakna kekosongan kantong alias kantong kering. Atau hal lainnya. Sebagai analogi, di bawah ini tersaji video kreativitas dari gardu menjadi penjepit makanan. 



Saturday, July 17, 2021

AMSAL SEBATANG POHON


 

Karya Ibramsyah Amandit

Tumbuh seperti di negeri tukang:
kita mabuk darat
menderita pencernaan

Sedang di atas dahan kicau burung
mengajarkan realita mimpi
dan khayalan menu makanan

Banyak buah halal-haram
diracik dibagikan
tutur ketuhanan telah ranum
masak berjatuhan

Di pucuk pohon;
segelintir pemanjat
berkata: - ya, ya!
tak hirau lapar dan sekarat

Aku ke sana akhirnya
tak tiru-tiru orang tuhan
masalahku menjadi bagaimana
                - seperti tuhan!

Tamban, 6 Oktober 2008
----------------------------------------------------------------
Sumber puisi: Badai Gurun dalam Darah
Sumber ilustrasi: Pixabay


Thursday, July 15, 2021

Sajak-Sajak Tok Indratno, Penyair Jawa Tengah


 

SAJAK KEPADA TUAN YANG TERHORMAT

Sungguh saya kasihan kepada tuan
yang terhormat yang selalu meneriakkan
suara biar tambah bermakna

yang selalu menyiasati kata-kata

Sungguh saya kasihan kepada tuan
yang terhormat yang selalu berargumentasi
pada pembahasan program dan rencana-rencana

sebenarnya proyek ini untuk kepentingan siapa
sungguh saya kasihan kepada tuan
yang terhormat kala tuan cuma dianggap mitra pakai
dasi agar kelihatan lebih terhormat lagi

Wonogiri, 1995


PENGKHIANATAN

Sambil serahkan pedang
Yang Mulia berkata
: Aku butuh Panglima
Dan engkaulah orangnya

(genderang, sangkakala, bendera-bendera, cakrawala penuh mantra)

Di padang rekayasa
Demokrasi penuh luka
Keadilan penuh luka
Keadilan, kejujuran-fatamorgana
Kesetiakawanan asing dan langka
Kebenaran hanyalah sabda sang raja

: maka setelah yang
semula sangsi menjadi pasti
semula lawan menjadi kawan
Yang Mulia terbirit lari
Kesepakatan telah dihianati

Di padang Kurusetra
Seorang Panglima kambing hitam
Mati
Dieksekusi kawan sendiri

: Yang Mulia
Aku ingin kembalikan pedangmu
Yang nancap ngilu
Di punggungku!

Wonogiri, 1995

Tentang Penyair

Tok Indratno merupakan  tokoh masytarakat. Mantan anggota DPRD Wonogiri ini mengaku tak bisa pisah dari dunia puisi. Itulah sebabnya, meski jarang mempublikasikannya karyanya, namun ia telah mencoba menghidupkan iklim sastra di kotanya.
--------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Jentera Terkasa (Kumpulan Puisi Penyair Jawa Tengah, terbitan pertama oleh Taman Budaya Jawa Tengah pada 1998 dan cetakan kedua oleh Balai Bahasa Jawa Tengah pada 2018)

Sumber ilustrasi: Pixabay


Puisi-Puisi Rohadi Noor, Penyair Jawa Tengah


KANAK-KANAK
: Bambang Set

Lihatlah kanak-kanak bermain
niscaya kau temukan kejujuran
serupa angin
mengalir bersama harapan
dalam kegembiraan permainan
siapa saja bisa menjadi apa saja
maka jangan renggut kebebasannya

Lihatlah kanak-kanak duduk-duduk di kursi
bermain-main jadi mentri
biarkan mereka bermimpi

Kudus, 1998


EPISODE LELAKI

seorang lelaki tanpa wajah
melambaikan tangan pada masa depanku
yang bermuara pada ketidakpastian
gelisah yang membatu

selanjutnya kupahatkan huruf-huruf
dan angka-angka pada setiap tarikan napas
(amboi keindahan apakah begini wewangi
di langit-langit hati
ataukah cuma fatamorgana)

seorang lelaki
mencari-cari selembar wajahnya
di antara lipatan-lipatan waktu

Kudus, 1997


Tentang Penyair

Lahir di Jepara. Puisinya dimuat di Suara Merdeka, Suara Muhammadiyah, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaharuan, Wawasan, Bahari, Kartika, dan lain-lain. Seperti Angin, Sang Parasu, Angin Ladang, Kembang Setaman adalah sejumlah antologi yang merangkum karya puisinya. 
------------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Jentera Terkasa
Sumber ilustrasi: Pixabay

Wednesday, July 14, 2021

MUSIM BARAT MUSIM MELARAT


Karya Nurngudiono

nelayan comprengan mimpi
buih ombak
ikan tongkol, bawal, bangbangan, tengiri, kripu
dan berjuta ikan lainnya
antri masuk jala

nelayan comprengan mimpi
amis manis bergepok duwit hasil tangkapannya

              (di luar di laut lepas
              angin musim barat tak bersahabat
              mendesis desis
              mulutnya menganga mencaplok
              bergepok gepok duit para nelayan)

nelayan comprengan tetap saja mimpi
bangun pagi, medang teh tubruk,
sarapan ketan pecok, melinting tembakau wangi
sambil leyeh leyeh nonton nuansa pagi di tv

              (di luar di laut lepas
              angin baratan
              menjejalkan kemelaratan)

Maret 1997


Tentang Penyair

Lahir di Tegal. Puisinya dimuat di beberapa
media massa, di samping terangkum dalam ROA dan Ruwat Desa. Ia juga merupakan seorang aktivis teater.

-------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Jentera Terkasa
Sumber ilustrasi: Pixabay


Tuesday, July 13, 2021

Menikmati Keeksotisan Kalimantan


Kali ini bukan karya prosa atau puisi. Akan tetapi,  video berikut mungkin dapat menginspirasi Anda dalam berkarya sastra. 



Monday, July 12, 2021

DUKA HUTAN PAYAU SEGARA ANAKAN


Karya  Sutarno Jayadhiatma

angin laut
        dercak ombak
              lumpur pesisir
telah bertahun-tahun menahan kegundahan
merambah hutan payau segara anakan
sisa legenda pulebahas dan nusakambangan
pucuk-pucuk daun nipah nampak begitu legam
terbungkus asap hitam yang tak pernah berhenti
terhembus cerobong kilang minyak
akar-akar bako pun nampak pucat mencengkeram
lumpur yang selalu berkilat limbah residu
yang tak terpedulikan
ikan-ikan yang tak mau mati
terpaksa melahap gumpalan aspal yang mengapung
di setiap celah ombak
akh, kita hanya bisa mengeluh
tak bisa mengaduh!

Jojok, Desember, 1997.


Tentang Penyair

Sutarno Jayadhiatma. Lahir di Cilacap. Puisinya dimuat Suara Karya, Sinar Harapan, Mutiara, Swadesi, Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan lain-lain. Tanah Persinggahan, Mencari Jejak, Antologi Puisi Jawa Tengah, Serayu adalah antologi yang memuat puisinya. 

-------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Jentera Terkasa
Sumber ilustrasi: Pixabay

Sunday, July 11, 2021

O Berkunjung ke Istanamu


Karya Yupnical Saketi

dan bulan sudah agustus, musim meletus lagi
lalu kita berkunjung lagi ke istana itu
mempersembahkan luka dusun-dusun sebagai upeti reraja
O lihatlah upacara gerhana sudah kembali digelar
bagi negeri nan lah lama tergadaikan
sedang orang-orang masih sibuk memperebutkan
harga sebuah tahta
lalu berpura-pura lupa kirim undangan pada kekawan di ujung desa
ketika leladang kita kini lah lama enggan berbunga
siapa peduli
agustus, cuaca meradang matahari memanggang
dan diantara mersik reranting randu di halamannya
kita menari dengan hati nan resik pula
ah angin kering menggasing, berputar-putar dalam
gelas-gelas anggur di meja percaturan
kita pun lantas ikut bersulang meminang mabuk
kabut tersudut, bidak-bidak terdepak
jadi tumbal pemuas dahaga para pemakai mahkota
selebihnya, bumi menggasing, bumi kian terasing
O di istananya kita menulis langit dengan tinta ketakutan
tentang garuda nan kepayang, lupa warna bendera pusaka
apalagi "Karamentang" nan tak pernah lagi terunjang
waktu cuma diam, detak tak menjadi hitungan
hanya angin genting saja menyayat
engkau tak ada, tak pernah ada
di sepanjang desa-desa aku bagai pimping di tebing, ratapi langit
dan bertanya siapa nan menabung semesta prahara
akhirnya kudengar desah bangunan
menjalin sajak igau dalam lenguhan do'a nan parau
O bulan sudah agustus rupanya, saatnya kemarau

Istana negara, Kota metropolitan, Jakarta; 17/08/04
--------------------------------------------------------------------
Sumber puisi: Penelusuran Filosofi dan Identitas Simbol "Karamentang" dalam Puisi Yupnical Saketi pada Buku "Mengangkat Batang Terendam"

Sumber ilustrasi: Pixabay


Saturday, July 10, 2021

TAFSIR PERPISAHAN


Karya Dino Umahuk

apa yang bisa kita kabarkan dari perihnya perpisahan
selain melebarnya jarak dua hati bagai jarak berpuluh pulau
yang mematikan angin juga kenangan yang berguguran bagai daun

meski kitab-kitab mengajarkan kita tentang kehilangan
tentang perpisahan yang mengajarkan kita bahwa
setiap yang ada hanya kesementaraan yang dipinjamkan
tak urung jua air mata ini jatuh berderai
bagai hujan pancaroba yang membunuh kenyataan

apa yang bisa kita tulis dari jauhnya jarak pelarian
selain perih dan luka-luka tersebab matahari
yang mengeringkan cuka di sudut mata

meski kitab-kitab mengajarkan kita tentang kesabaran
tentang segala yang terjadi adalah takdir yang harus kita lalui
tak urung jua luka ini terlanjur melebar bagai muara sungai
yang menjadikannya payau di batas pantai

apa yang bisa kita ceritakan di masa depan kepada anak-cucu
selain ketidakmampuan kita sebagai pecinta yang renta
yang mematahkan kemudi harapan ketika badai datang menghadang

meski kitab-kitab mengajarkan kita tentang kepasrahan
tentang setiap urutan kejadian hidup adalah takdir yang harus diterima
ingatkan aku halimah, biar tak lupa. bahwa bukan aku yang memutus cerita
sebab selama kita hidup bersama tiada pernah ku membuatmu luka
hingga engkau berpaling muka tiada lagi menjaga cinta

Ternate 23 Agustus 2016

Tentang Penyair

DINO UMAHUK kelahiran Maluku. Telah menerbitkan buku, antara Lelaki yang Berjalan di Atas Laut (Lapena 2009), Mahar Cinta Lelaki Laut (Tinta Pena 2009), Riwayat Laut (UMMU Press 2010), Puisi Pilihan “Panggilan Laut Halmahera” (UMMU Press 2011), dan Sebelum Laut Merebutku 'Sepi (Garasi Genta 2013).

Selain menulis puisi ia juga menulis
kolom dan menyutradarai film dokumenter. Mengajar di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Direksi BUMD Provinsi Maluku Utara.
-----------------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Puisi-Puisi MUNSI
Sumber ilustrasi: Pixabay

Thursday, July 8, 2021

NYANYIAN KALI PROGO


Karya Es Wibowo

Dengan keyakinan jiwaku terus bergolak
Mendeburkan gelombang kebencian
Kepada pintu air yang
menyumbat perjalanan hidupku
Biarkanlah aku mengalir menempuh kemerdekaan
Untuk mengairi sawah-sawah penduduk

Bertahun-tahun lamanya kunyalakan semangat
Ketabahan, keberanian serta kesetiaan menerima
Zikir malam dan doa subuh yang meluncur
Dari puncak Gunung Sumbing
Sedang batu-batu tasbih berguguran
Menghanyutkan wiridku ke Samudra Indonesia

Izinkanlah aku mengalir
Mengapungkan nilai-nilai kebenaran yang
Terpendam di dasar bumi
Tetapi untuk apa kau malah menenggelamkannya?
Jangan tuan! Bukalah pintu air kemerdekaan itu
Agar kesadaranku tidak membangkitkan kemarahan

1995


Tentang Penyair

Es Wibowo. Lahir di Purwodadi. Menulis sejak tahun 1980 dimuat di Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Suara Muhammadiyyah, Wawasan, Suara Merdeka, Riau Pos, Lampung Pos, Independen, Pedoman Rakyat, Serambi Indonesia, Mimbar Umum, Taruna Baru, Waspada, Analisa, Semangat, Senggalang,
Merdeka, Swadesi, Simponi, Suara Pembaharuan, Republika, dan lain-lain. 

Beberapa antologi yang memuat karyanya antara lain Wadista, Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka, Progo, Kepodang, Perjamuan, Bangkit III, Batu III, Dari Negeri Poci 3, Dari Bumi Lada, Pemintal Ombak, Mimbar Penyair Abad 21, Antologi Puisi Nusantara, Menoreh, Serayu, Antologi Puisi Indonesia
---------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Jentera Terkasa
Sumber ilustrasi: Pixabay


LAGU AKHIR JULI


Karya Surachman R.M.

I
Bulan sabit akhir juli
bertolak mengombak siang
jambangan berulang kosong
mekar mawar kaki pagar
biarkan tumbuh liar
jemari gemetar ragu
memetik janji setia.

II
Bulan sabit akhir juli
duhai, paras bedak perak
pelampung harapan oleng
hidup burung sebab sayap
terbang keluar sarang
kerut laut tahu surut
kepundan hanya belerang.

III
Bulan sabit akhir juli
pamitan depan jembatan
daun keyakinan rontok
terbanting ranting ke jurang
hijau pucuk siuman
mentari menyorot kabut
petualang kapan pulang?

Siasat Baru (1959)
---------------------------------------------------------------
Sumber puisi: Puisi Indonesia Modern
Sumber ilustrasi: Pixabay


Tuesday, July 6, 2021

Rumahku, Puisi Isbedy Stiawan ZS


matahari yang berangkat dari kepalaku
kembali ke kalbu langit, meneteskan peluh
yang kuhirup berulang bersama pasir
dari badai gurun yang turun

"allah akbar, aku hanya pendatang
yang telah mengerti arti undangan
jika mesti pulang, bangunkan rumahku
di al-baqi. tak penting nisan, selain
payung-Mu agar tenteram kutuju
pangkuan paling nyaman..." doaku
sambil berlari kecil mengitari kakbah

kalau airmataku terbit, bukan sebab
aku takut pada amuk-Mu. hanya aku
bahagia bisa sampai menapaktilas
orangorang-Mu terkasih
yang pahalanya tak terperi
"bila aku seperti dia?"

jika aku harus menangis, sebab aku
telah meminum zamzam-Mu
seusai berlarilari dari safa ke marwa
..............................dari marwa ke safa
tujuh kali putaran...

jika matahari berangkat dari kepalaku
bukan ingin meninggalkan rambutku
tapi pulang ke kalbu langit
setelah menuliskan kalimat
yang selalu kunanti. bertahuntahun

"rumahmu al-baqi
adakah kau selalu rindu?"

sesuara bertanya

Mei 2011


Tentang Penyair



Orang mengenalnya sebagai Isbedy Stiawan ZS. Lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan hingga kini masih menetap di kota yang sama. Dia merupakan anak keempat dari delapan bersaudara pasangan Zakirin Senet (alm) bersuku Bengkulu dan Ratminah (Winduhaji, Sindanglaut, Cirebon). Menjadi pengarang adalah pilihan hidupnya.

Selain menulis karya sastra (cerpen, puisi, esai sastra), kini dia aktif di Dewan Kesenian Lampung dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Sehari-hari, mulai Juli 2010, bekerja di Lampung TV (LTV)--grup MNC--sebagai produser New Cekal (berita-berita kriminal dan hukum). Pernah diundang ke berbagai pertemuan sastra dan budaya di Tanah Air dan luar negeri seperti Malaysia, Thailand, dan Brunai. Sempat membacakan puisi-puisinya di Utan Kayu Internationan Binnale (2005), Ubud Writers and Readers Festival (2007), dan lain-lain. Karya-karyanya dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Suara Merdeka, Sinar Harapan, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Republika, Horison, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Radar Lampung, Riau Pos, Jurnas Nasional, Harian Global (Jurnal Medan), dll.

------------------------------------------------------------------

Sumber puisi: Tuas Media
Sumber biodata dan foto: Wartamantra
Sumber ilustrasi: Pixabay

REKAM JEJAK SAJAK, Karya Dimas Arika Mihardja


: prologue de major

di dada puisi yang penuh sesak
muncul aneka suara, rupa, dan irama
suara-suara paling bermakna
merupa wajah pribadi bernurani
jadi irama yang bergejolak dalam sajak

di sini tak ada tuak yang tua, tak ada fatwa pujangga
yang mengudara ialah suara-suara aneka: rindu, pedih
cinta sebagai simalakama atau batu malin kundang
yang dikutuksumpahi adat kelakuan diri sendiri

di sini takkan ada wujud kesombongan yang purba
yang berwujud ialah saling merajut benang asah-asih-asuh
dan sesiapa yang berkeluh kesah akan memanen resah
sesiapa yang menyebar fitnah akan menuai sejarah
hitam peradaban

di sini tak ada konser dangdut
yang ada irama cinta kasih dan merpati putih--tak letih menembus langit
menyampaikan pesan-pesan wingit: suarakan bangsi kesangsianmu
suarakan gendang rebana gong lalu nang neng menuju ning hati
bernyanyi dalam qasidah cinta di kenduri airmata menghamba


16/1/2012

--------------------------------------------------------------

Sumber puisi: Tuas Media

Sumber ilustrasi: Pixabay


Monday, July 5, 2021

Puisi-Puisi Goenawan Mohamad dalam Puisi Indonesia Modern


DINGIN TAK TERCATAT 

Dingin tak tercatat
pada termometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja

di sana. Seakan-akan

gerimis raib
dan cahaya berenang

mempermainkan warna.

Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?

1971


KWATRIN TENTANG SEBUAH POCI 

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanahliat ini
selain separuh ilusi?

Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi

1973
-------------------------------------------------------------
Sumber puisi: Puisi Indonesia Modern
Sumber ilustrasi: Pixabay

Saturday, July 3, 2021

Sekitar Konsep Pengertian Puisi, Sebuah Tulisan Dimas Arika Mihardja


Hingga kini studi puisi belum berhasil memberikan batasan teks puisi yang secara luas dapat diterima. Mengherankan, tetapi hal ini dapat dimengerti. Mengherankan karena sulit untuk mengharap suatu bidang ilmu dapat menjelaskan bidang ilmunya dengan istilah sedemikian rupa sehingga memperoleh konsensus dalam bidangnya itu. Dapat dimengerti karena tidak pernah ada garis pemisah yang jelas antara teks puisi dan nonpuisi. Garis pemisah ini telah dihapus di masa lalu dan akan terus dihapuskan di masa mendatang. Alasan penghapusan ini disebabkan oleh rumitnya struktur objek penelitian dan evaluasi yang selalu berubah terhadapnya. Juga faktor metode yang digunakan untuk mendefinisikan konsep teks puisi merupakan faktor yang menyebabkan kacaunya konsep.

Jika seseorang mencermati kekacauan ini, agaknya Morris Weitz-(1960)-lah yang benar. Menurutnya, seseorang mencari terlampau lama dan sia-sia untuk batasan objek estetik dan subkategorinya. Menurut Weitz, konsep seni merupakan suatu konsep terbuka yang tidak memungkinkan adanya definisi operasional. Pada sisi lain, mungkin mendefinisikan apa yang oleh Weitz disebut sebagai konsep tertutup, misalnya “tragedi Yunani”. Ciri-ciri umum semua tragedi Yunani yang terkenal mungkin dikumpulkan, untuk selanjutnya sebuah definisi terhadap tragedi Yunani dapat dibuat. Selanjutnya Fokkema menyarankan bahwa “menghindari definisi konsep puisi berarti akhir dari pendekatan yang sistematik terhadap studi puisi” (Fokkema, 1974a:254). Zdenko Skreb melihat suatu definisi baru tentang suatu objek, yakni teks puisi, sebagai tugas yang paling urgen bagi penelitian teori puisi (Skreb, 1973:29).

Definisi-definisi dan hipotesis kerja tentang istilah seperti literature, literary, dan literary text yang dirumuskan beberapa tahun terakhir bercirikan dua aspek yang ada dalam kebanyakan definisi. Di satu pihak kualitas tekstual disebutkan sebagai elemen konstitutif konsep puisi; sementara di pihak lain tekanan diberikan pada nilai-nilai yang oleh pembaca diberikan pada suatu teks. Kualitas-kualitas tekstual yang sering dipertimbangkan secara khusus bersifat kessatraan adalah penyimpangan penggunaan bahasa dan fiksionalitas teks. Jadi, Austin Warren dan Rene Wellek yakin bahwa ciri pembeda puisi dapat dijumpai dalam “pemakaian khusus yang dibuat terhadap bahasa”’ mereka menekankan ciri konotatif bahasa puisi dan hakikat fiksional puisi (Wellek dan Warren, 1949:22—23).

Objek studi puisi yang berorientasi pada semiotik tidak harus berupa teks puisi seperti yang dianggap sebagai bagian dari proses komunikasi atau dalam istilah Wienold ‘pemrosesan teks’. Pendeknya, bidang penelaah-an ilmu puisi diterima sebagai proses total tentang komunikasi kepuisian, komunikasi puisi dianggap subsistem dari sistem komprehensif komunikasi verbal dalam masyarakat (Schmidt, 1976:242). Schmidt secara meyakinkan membagi proses global komunikasi puisi menjadi empat komponen, yaitu produksi teks, teks, transmisi teks, dan resepsi teks. Perbedaan-perbedaanya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Aktivitas produser, pengarang: sebagai contoh tentang jenis ini adalah penelitian terhadap varian tekstual yang mungkin disebutkan. Ini memungkin-kan suatu insight ke dalam aktivitas pengarang yang akan mengarah pada produksi teks. Kegiatan interpretatif langsung dipusatkan pada suatu teks. Transmisi teks: di antara hal-hal lain, sosiologi puisi mempelajari cara ketika teks didistribusikan melalui perantaraan editor, penerbit, toko buku, dan sebagainya, dan akhirnya mencapai para pembacanya. Kegiatan penerima, pembaca: Rezeptionaesthetik (estetika resepsi) merupakan suatu sasaran muta-khir yang berkenaan dengan studi reaksi-reaksi pembaca terhadap teks puisi.

Lotman memberikan konsep teks puisi sebagai sebuah arti “netral” (tidak khusus linguistik). Hal itu dicirikan oleh tiga hal. Sebuah teks berciri eksplisit: sebuah teks diungkapkan dengan sarana tanda-tanda dan itu membedakannya dengan struktur ekstra tekstual yang tidak diungkapkan. Teks juga terbatas: sebuah teks mempunyai awal dan akhir karena berbeda dengan semua struktur lain yang tidak memiliki ciri “terbatas”. Terakhir, sebuah teks adalah terstruktur: sebuah teks tidak mempunyai susunan arbitrer antara dua batasnya. Sebuah teks mempunyai organisasi internal yang membuatnya menjadi sebuah keseluruhan yang terstruktur pada level sintagmatik. Yang diistilahkan Lotman sebagai “teks” seperti istilahnya tentang “bahasa”, merupakan istilah teknis, tidak bersangkutan dengan arti umum, misalnya sejumlah kata-kata tertulis dalam bahasa Inggris. Sebagai misal, lukisan, film, atau sebuah soneta juga disebut teks.

Satu masalah penting adalah dalam hal apakah teks estetis berbeda dengan teks nonestetis. Dengan referensi Formalisme Rusia dan Strukturalisme Praha, akan diusulkan hipotesis kerja: sebuah teks estetis adalah seperangkat tanda yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Dalam definisi ini fungsi estetik yang ditujukan pada sebuah teks oleh pembaca bersifat decisive terutama berkaitan dengan perbedaan antara teks estetis dan teks nonestetis. Dari sudut pandang semiotik, dengan demikian, harus terdapat indikasi di dalam teks atau dalam situasi komunikasi untuk memperkuat judgement penerima (pembaca).

Analog dengan penjelasan tentang teks estetis di atas, definisi kerja tentang teks puisi adalah: sebuah teks puisi adalah seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Dalam definisi ini, “pembaca” disebutkan; jelas bahwa hal itu merupakan suatu generalisasi yang selanjutnya harus dibuat spesifik. Apa yang menyebabkan pembaca menyebut-nyebut fungsi estetis suatu teks? Sebuah teks puisi akan berisi sejumlah stimulus yang mempunyai efek estetis bagi penerima dan dengan demikian menyebabkan teks memiliki fungsi estetik bagi pembaca. Misalnya, mungkin rima dan penyimpangan pemakaian bahasa memiliki efek estetis terhadap pembaca sehingga dia akan menetapkan fungsi estetis ada pada teks itu. Fungsi estetis menunjukkan bahwa dalam situasi komunikasi minat si pembaca pertama-tama terarahkan pada teks sebagai sebuah keseluruhan tandaa-tanda verbal yang tersusun. Dalam kasus ini, cara ketika teks distrukturkan bersaing kuat dengan isi yang disampaikan.

Akhirnya, marilah kita ingat definisi kerja tentang konsep “teks puisi” sebagai seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur; dan fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Definisi bergantung pada keputusan pembaca dan dengan demikian, hal itu memerlukan suatu penilaian terhadap responsnya.

---------------------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Tuas Media
Sumber ilustrasi: Pixabay

Friday, July 2, 2021

Kritik Sosial dalam "MALING KONDANG" Karya Syarifuddin Arifin Oleh Esti Ismawati


‘meluncur sejumlah galon, muncrat dari tanah
menyubsidi kemiskinan, mendesak kerongkongan
berduyun pasir menampung di telapak tangan
siapa yang mampu membunuh kesengsaraan?
sementara kebodohan semakin dininabobokkan

bau beras menyengak kumbang
setiap hari mengorek jendela rumah mereka
daftarkan segera semua hutang primer
bengkakkan kaki mendesak kartu miskin
yang bertahun lamanya kau rindukan itu

lalu kita menari
di atas kebangkrutan negeri

(LALU KITA MENARI, halaman 17)


(Syarifuddin Arifin..., untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku ingin meminta maaf dahulu sebesar-besarnya kepadamu sebelum aku menulis. Ini pertama kali kulakukan, karena sebelumnya aku tak pernah meminta maaf kepada pengarang untuk tulisan yang akan kuulas. Mengulas ya mengulas. Begitu saja. Langsung menulis. Tetapi tidak untuk karya antologi puisi tunggal Syarifuddin Arifin bertajuk “Maling Kondang” (Teras Budaya Jakarta, 2012)  ini. Aku harus meminta maaf dulu kepada penulisnya. Bukan lantaran apa.

Pada waktu aku menulis skripsi S1 tahun 1980-an di Yogya, aku membahas “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis di bawah bimbingan Prof.Noer Toegiman yang asli Minangkabau, kala itu, aku mendapatkan segala pernak-pernik pengetahuan tentang budaya Minang. Tentang rumah gadang. Tentang ninik mamak.Tentang hukum waris. Tentang matriarchat. Tentang indahnya Bukit Barisan.Tentang apa saja. Maka, ketika aku mendapatkan sebingkai buku kumpulan puisi berjudul ‘Maling Kondang’ yang ditulis oleh Syarifuddin Arifin  dari Minang yang akrab disapa If oleh sahabat-sahabatnya itu, aku taruh saja buku ini di rak buku. Dalam benakku aku sudah mengenal Minangkabau, dan aku yakin itu yang menjadi isi dari buku ini. Dan buku elok dengan tanda tangan penulisnya serta dibubuhi tulisan ‘setulus hati, buat Esti Ismawati’ itupun tertidur pulas hingga disapa oleh penulisnya,‘sudah dibaca ?’ beberapa bulan kemudian.... dan akupun tergerak untuk membacanya.... dan ternyata... oh, aku minta maaf, If... aku telah suudzon kepadamu, mengira bahwa puisi-puisi di bukumu tak jauh-jauhlah dari apa yang kubayangkan..........Dan ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi diriku, terima kasih If......).

Terperanjat saya membaca satu demi satu puisi-puisi Syarifuddin Arifin di buku ini. Hampir semua puisinya itu berisi kritik sosial nan keras namun anggun penyampaiannya. Bukan puisi jika kritik sosial itu hanya ditulis deskriptif seperti berita koran. Dan bukan sastra jika kritik sosial itu tidak digubah dalam bahasa yang indah dan bermakna. Di luar itu, hampir semua puisi yang ditulisnya ini mempunyai kekuatan yang hebat atau ‘nendang’pada endingnya. Bukan itu saja, seperti yang dikatakan Pak Wahyu Wibowo, Syarifuddin Arifin gemar melakukan kolokialisme (penyandingan kata) secara tidak umum, dan ungkapan-ungkapan fenomenologis yang bisa saya temukan di semua puisinya,misalnya : mengalir mulus drama siri itu (umumnya mengalir air sungai itu),yang lapar terus dimamah (umumnya yang lapar terus makan), bagaikan sawah menuai lapar (umumnya menuai panen, menuai padi, dst), dibelainya angin itu, dijengkalnya ranjang dengan jari, dan fajar menjilati embun, di antara kita saling memangsa, dan seterusnya. Marilah kita baca puisi berikut ini:

RINDU YANG TERBELAH

ketika di dada ini menyala kesumat anak negeri
rindu yang lama terpendam tiba-tiba membelah
saling mencakar wajahnya
saling mengasah lidah melebihi silet
mengasah kuku mencengkeram kekuasaan
sampai berderik-derik

lalu rindu menjelma bagai seribu jarum
menusuk belulang, menghisap perih
derita anak negeri yang membatin
terbelenggu dalam tubuhnya
kenapa diam dalam zikir
jadi tak sempurna?

kurasakan salju ketika di dada ini
menyala kesumat membelah rindu
yang berderingan jatuh bagaikan kristal

(Padang, 2008).


Apa yang kita rasakan dari puisi di atas adalah sebuah suasana yang sangat tidak nyaman, ‘saling mencakar wajah, saling mengasah lidah, saling mencengkeram kekuasaan’, dan inilah puncak kemarahan penyair menyaksikan negerinya yang tumbuh tak seperti yang diinginkan : menjadi negeri yang sangat dirindukan. Negerinya kini menjadi negeri yang penuh kesumat, dan rindunya kini menjelma bagai seribu jarum menusuk belulang. Sementara anak negeri menghisap perih derita dan zikir pun jadi tak sempurna. Sebuah satire yang sangat pedas untuk sebuah negeri yang dulu diberi julukan‘gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kerto raharjo’. (negeri yang subur, tertib, dan sejahtera). Marilah kita baca puisi berikutnya:

BUKAN PADI BUAHNYA

bukan padi buahnya, merunduk padang ilalang
aku jadi kenyang pada lapar yang sempurna
terdengar provokasi, intrik, yel-yel
serombongan pipit mematuk-matuk ilalang
mengalahkan keperihan kehidupan,
bersarang di balik perdu
irigasi mengering, bendungan di mata ini
tak kunjung bobol juga

di tengah padang, spanduk terbentang
ada seikat padi dalam gambarnya:
‘Bila menang semua akan kenyang’
tapi seekor biawak dalam semak pun tak suka
bau kerisik yang anyir. diam-diam ia menyergap
sepasang puyuh yang asyik berkayuh
menyisir silet di ujung ilalang

sawah membungkuk di sepoi bayu
berserpihan bunga rumput
kekenyangan jadi lapar yang sempurna
pemilihan umum menimbun dusta
sejumlah proposal bertebaran
bagaikan sawah menuai lapar
mata ini semakin perih ditusuk ilalang

kekuasaan semakin terik

(Padang 2004)   


Sebuah puisi yang penuh dengan metafor-metafor: kenyang pada lapar, bendungan di mata tak kunjung bobol, sawah membungkuk di sepoi bayu, bagaikan sawah menuai lapar, kekuasaan semakin terik, dan seterusnya. Ada pilu dan pedih di balik metafor-metafor itu.

Selama penyair masih memiliki kepedulian untuk memberikan kritik sosial, kita masih bisa berharap akan adanya kehidupan yang‘terjaga’, kehidupan yang aman dan damai, kehidupan yang menjunjung nilai-nilai moralitas yang tinggi, kehidupan yang lebih jujur dan manusiawi. Pada puisi di atas tampak bahwa kritik sosial yang dilontarkan penyair tidak hanya berkutat di masalah ekonomi seperti kelaparan yang menyangkut sandang pangan papan, tetapi juga menyangkut masalah politik. Dalam puisi di atas penyair bersuara antang bahwa “pemilihan umum telah menimbun dusta”, sejumlah proposal bertebaran, janji-janji palsu merajalela. Berjanji jika menang semua akan kenyang, dengan simbol padi, tetapi ternyata hanya ilalang yang tumbuh subur,dengan segudang provokasi, intrik-intrik, yel-yel yang memabukkan pemilih tetapi semua itu adalah dusta. Duh....

Sebagai penyair Minangkabau, tentulah Syarifuddin Arifin sangat lekat dengan tradisi pantun yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Melayu khususnya Minangkabau secara turun-temurun. Dalam buku puisi “Maling Kondang” ini pun pantun mampu dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial. Sebuah simbolisme bahwa Syarifuddin Arifin tidak pernah meninggalkan akar tradisi nenek moyangnya. Bacalah puisi berjudul “Mengurai Padang” di halaman 54 dan halaman 55 yang cuplikannya antara lain sebagai berikut: tikungan tajam di mata pedang / turunan terjal licin selayang (Padang Panjang). Padi ditumbuk ke Thailand / kincir menangis terabaikan (Padang Sawah). Dan seterusnya. Marilah kita simak juga puisi bergaya pantun tetapi sudah diupdate berikut ini:

SEPANTUN DAUN UBI

sepantun daun ubi
tak berpucuk di mulut bandot
kau telanjangi ibu pertiwi
berbungkus dedaun anekdot

tak ada topeng aku merunduk
terantuk kerikil si batu aji
keringat dingin menguap di tengkuk
aku nanar menantang mentari
tersenyum juga sambil mengutuk
lalu saling mengangguk basabasi

bertamu ke rumah tetangga
nampaklah kacaunya kamarku
sepantun daun ubi
kambing dan aku

(Kualalumpur, Des 2007).


Sebuah kritik sosial yang jenaka. Jika kita lihat bahwa yang dimaksud tetangga di sini adalah negeri jiran, Malaysia, oh betapa malu kita rasanya sebagai bangsa. Tampaklah kita masih amburadul di segala sektor kehidupan, hingga sepantun daun ubi, kambing, dan manusia pun bercampur baur tak karuan. Dan kita masih juga mengembangkan budaya basa-basi, tersenyum pun sambil mengutuk. Oh betapa topeng itu telah menjadikan kita bangsa yang tidak tulus. Bangsa yang penuh kamuflage, sebagaimana ditulis oleh SyarifuddinArifin dalam puisi lain yang berjudul ‘Peratap Mayat’ yang saya cuplik berikut ini:

‘demikianlah, ia (perempuan itu) meratap menangisi setiap ada yang pergi
memeras air mata para pelayat memendungkan suasana
di mana-mana, ke mana-mana, ia akan selalu begitu
menyiasati irama sumbang tentang kematian

dan ketika perempuan itu meninggal
tak ada yang meratapi mayatnya
tak ada yang menangisi jenazahnya
tak ada yang melantunkan dendang sedih
tak ada yang menyesali kematiannya
tak ada airmata’  

(PERATAP MAYAT, halaman 24)


Meski agak bias gender, (karena yang kematiannya tidak ada yang menangisi itu bukan monopoli perempuan; yang suka menunjukkan perilaku munafik dan perilaku kamuflage itu juga bukan monopoli kaum perempuan), namun puisi berjudul ‘Peretap Mayat’ di atas betul-betul mampu mencapai efek yang meletup-letup di dada pembaca karena jijik melihat perilaku yang demikian. Perilaku yang penuh dengan tipuan. Perilaku yang tidak tulus. Perilaku yang sulit diduga. Perilaku munafik. Naudzubillahi mindzalik. Masih banyak puisi-puisi berisi kritik sosial yang disampaikan dengan elegan olehSyarifuddin Arifin di buku ini, semisal puisi berjudul "KOMISI DI SECANGKIR KOPI" berikut ini:

‘mobil esemka kebanyakan emisi
pakar bertengkar, emosi
kerangka mobil membenam
motivasi pun dikebiri

mencari komisi di secangkir kopi
ditenggelamkannya nalar
menjerat upeti

mencari kerja
sogok menyogok
payah membanting tulang’

(Padang, 010312).


Juga pada penggalan puisi di bawah ini:

‘berapa banyak yang kita laparkan
lalu menipu bayi dengan kempeng atau dot
dan bayi-bayi pun menipu kita dengan tajin

busung lapar, rawan gizi membawa keranda
lalu diarak ke sebuah upacara
mematikan potensi yang bernas
dan membuangnya ke laut lepas

ada senyum yang tak kita inginkan
mayat terapung-apung dibelai gelombang
dan terdengar pernyataan:
semuanya tersalurkan’.

(BAYI PUNMENIPU TAJIN, halaman 3)  


Keistimewaan lain dari puisi-puisi Syarifuddin Arifin adalah terletak pada endingnya, di samping gaya pengucapannya yang blak-blakan, dengan metafor-metafor segar dan kolokialisme. Beberapa ending yang mencengangkan pada puisi-puisi Syarifuddin Arifin dapat dibaca di bawah ini:

‘tuhan, berkahi aku kentut yang lebih busuk lagi,agar
orang-orang tak suka dan hambaMu akan merdeka dinegeri
yang menjijikkan ini’

(AKU BUKAN  MERAMPOK, halaman 74).


‘sabay terkapar di depan lemari
yang menyimpan rahasia hidupnya
“jangan habisin papa, nak”
amat lirih suaranya’.

(HAMIL TIKUS, halaman 72).


‘kau pun terbang melayang meninggalkan jejak
dalam proposal kemiskinan
duh’

(RINDU YANG  TERBANG, halaman 21).


‘kurasakan salju ketika di dada ini
Menyala kesumat membelah rindu
Yang berderingan jatuh bagaikan kristal’

(RINDU YANG TERBELAH, halaman 32).


‘orang orang gagu
menyewa lidah si bisu
dengan senyum kau suburkan
penderitaan ini’.

(MURKA YANG MENDESAK, halaman 20).


‘semakin banyak yang kehausan, semakin membludak yang
merindukan kasih sayang, semakin tinggi angka kemiskinan,
semakin jauh fatamorgana, semakin meregang jantung dan hati’

(KERINDUAN   YANG PECAH, halaman 13).


Dan masih banyak lagi. Semuanya menyajikan ending yang tajam, setajam pisau jagal korban Idul Adha. Dan terakhir, seolah tak mau tertinggal dengan perkembangan puisi dunia yang lagi gandrung dengan haiku, Syarifuddin Arifin menggunakan haiku juga sebagai sarana penyampaian kritik sosialnya yang elegan. Perhatikan puisi berikut ini :


HAIKU: GALAU

jaring terurai
dipeluknya bayangan
mengharap gabah

suara badai
gelisahkan nelayan
tak pernah kalah

jatah si miskin
obat-obat generik
macam kerikil

anak perawan
bergaya di jalanan
cari pembalut

(Padang, 2012).


Demikianlah ulasan saya tentang puisi-puisi Syarifuddin Arifin di buku puisi tunggalnya berjudul “Maling Kondang”, semoga menjadi motivasi bagi kita semua untuk ikut mengkritisi apa yang terjadi dalam kehidupan di sekeliling kita, juga kehidupan bangsa dan negara kita, Indonesia.Teruslah menulis, If... teruslah memberikan rasa indah dan bermakna, teruslah berpuisi, teruslah bersastra.

Klaten, 4 – 5 Maret 2015.


Esti Ismawati

Dosen Pengajaran Sastra Program Pascasarjana Unwidha Klaten.

--------------------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Tuas Media

Sumber ilustrasi: Pixabay