Sunday, June 30, 2024

Puisi-Puisi Jang Sukmanbrata



KENANGAN 

Kenangan itu seruling dari lembah
jika ketemu danau - melintas di atas riak, 
sayup lembut diseru angin,
suka wanita terkurung sepi, 
rumah di tanah datar,
keluar masuk bawa pesan,
Kenangan adalah penguasa tiran, kejam memaksakan kehendak, 
pelukan kuatnya -
kebejatannya mengalahkan pengalaman; 
menekan di ruang terang,
mendikte di kegelapan pada langkah 
lengah di remang-remang.

Kala kudaki bukit sepi,  
dikau jadi tebakan buah manggis  
Rintik hujan Desember mengantarku 
ke ujung jalan kampung
Rindu meniti di batu-batu berlumut,
Pergimu bukanlah tanda menyerah
Wajahmu semanis semangka, 
kulukis kedip matanya di bianglala
tanpa kuas dan cat merah.
Semua jendela, pintu dibukakan,
catatan perjalanan hidup dibukukan.
Suka duka berhamburan di tepi zaman
Kenangan datang, duduk di beranda,  
senja menyambutnya dengan tertawa.
 
Kucium rambutmu dari ujung ke tengah, 
tersisa duka, ketuaan gegas mendekat, 
melebur di pasir pantai
Bayang maut o melaut, 
belum tiba di sungai uratku
Pikiran lalai berhasrat jadi penguasa darah.

Hidup, waktu ke waktu itu gunung harap dan bukit rindu
Berkaca di cermin sunyi, lagu mendayu,
Kuseru rumput di taman untuk mencium kakimu
Membiarkan mulut ombak membasuh bersih kaki kaki pendatang
Jiwa-jiwa tenang tak kan terpasung kelompok buih,
nikmat disapa Tuhan di dua alam.

Kenangan menyeret ke air pusaran
Angin pagi menitipkan musim dingin di celah jari
Semesta kita seluas mata, 
hasrat segede jiwa kembara
Tatapan lama mengudara, penawar lara satu satunya,,
kata-katamu itu bunga 
Kenangan itu loncatan katak ke kolam tua, 
gemanya dilahap senyap, berenang, tenggelam dalam kesenangan, 
kadang terbawa arus kesementaraan.

Dekaplah sebelum hangat lengan hilang,
kenangan ketiga itu usai pergolakan, sayang 
Tinggalkanlah hutan dirimu, 
babatlah belukar hutan di cinta kita, 
buah-buah mudanya simpan, 
biar matang, layak dimakan bersama.

Kita perbaiki jembatan dunia yang rusak, 
jembatan cinta perkasa kita telah kuat
sebelum tutup tahun,
sebelum kabut gunung berduyun-duyun turun menutup mata, hidung 
dan rambut. 

/Bukit Padalarang, 
9. 12. 2018
______________


RUMAH ITU KITA

adalah rumah mempertemukan cerita perjalanan di desa dan di kota
adalah jalanan membuat langkah.
Sejarah dan waktu sekarang terpapar di lembar catatan,
adalah ombak bagi nelayan, 
melalui batu karang kenal dekat bayangan. 
Surut kembali ke tengah, 
hilang mulutnya di pantai, rayuan resah
adalah buih tipis tipis hampa, 
basah sesaat, kering diserap matahari
adalah air mengalir di hening, cermin diri
adalah dupa mewangikan doa, menghormati arwah moyang
asapnya bagai sayap burung dara, lembut, jinak dan selalu perawan

adalah suara suara, kita berkata
adalah gema, sepanjang masa bertahta
adalah cinta, buritan buritan itu tanda kita merajut benang keputus-asaan 
atas kain, tusukan angin pemberontakan: tiada percuma bunga bunga itu gugur, serahkan diri ke bumi 

Adalah roda menggilas, waktu terlepas
kita memutarkannya, sampai tujuan

Adalah kita, jadi manusia atau hiena
berbagi makanan, 
atau hidup dari kelemahan
adalah benderang, punya lampu jiwa
adalah remang, kita cari cari dian 
api si perkasa 
dunia dilipat mata
adalah canda maya 

/bukit Berlian, 20 Juni 2022
___________________


KUNANG - KUNANG

Keluar kampung,
senjakala menjauh
gelap bertepuk
kunang-kunang berlampu
kerlip sayapnya oh jiwaku

Mulut membisu
rambut sudah berdebu
tatapan ragu
Waktu lampu-lampu menyala, 
kunang-kunang berikan sinarnya
dedaunan menunduk

Di kota di desa bagai perahu berlabuh, 
camar-camarnya itu anak gadis pilu tanpa asuhan orang tua, mati lebih dulu
denyut hidup terus dibuat lagu,
siapa yang mengetuk pintu kala subuh

/bukit Padalarang, Juli 2022
__________________


MUSEUM KELILING 

Dulu secarik kertas surat apapun isinya sebagai tanda kedekatan hubungan; 
antara tuan, kekasih, dan teman,
kini coretan di gedung tua
senyum di lekuk kenang
Cekungan dunia maya 
Tak terhitung hasrat dibariskan khayal

cakrawala pucat, ya puan kesepian
dimamah laki-laki rambut merah
ada baiknya hutan digelapkan
antologi puisi jadi jalan kota
Adik kandung peradaban

selembar kertas 
putih, buram balik ke asal
keluhuran rencana duduk tipis saja
Kita nikmati susu soda di zaman janda

/bukit Berlian, 1 Juli 2022
______________


Biodata Penyair




Jang Sukmanbrata lahir di Bandung. Menulis puisi sejak kelas tiga SD dan produktif di masa remaja; 1977 sampai kini kembali menulis puisi dan lain-lain. Karya puisinya beragam genre: lirik, balada epik, di buku antologi puisi Negeri Pesisiran; 2019 & buku Antologi Puisi Negeri Rantau; 2020 & Raja Kelana; 2022-DNP.

Sejumlah 30 haiku dan puisinya di koran PosBali 2019, Koran NusaBali, puluhan karya puisinya di beberapa buku antologi bersama. Karya tanka dan haiku-nya di buku-buku antologi Newhaiku, di dua buku antologi 100 puisi HPI- 2021--2023, di Koran Pikiran Rakyat, KR,  Suara Merdeka Semarang, Waspada Medan,  Tribun, medcet lainnya, tersebar di majalah sastra digital dan komunitas Fb. Buku puisinya Merjan Kemuliaan baru saja terbit.

----------------------------------
Sumber puisi: Penyair Jang Sukmanbrata
Sumber foto: Akun FB Penyair Jang Sukmanbrata
Sumber ilustrasi: Pixabay

Saturday, March 23, 2024

API JIHAD, Sebuah Puisi Ibramsyah Amandit


Lelaki lansia... 
tafakur di musala
kampung jauh!

Tapi, hatinya ke ibukota
dengan doa
berbaris dalam juang
bagi reformasi ke-2
ingin berunjuk rasa
merobohkan rezim istana

Lelaki lansia..
mantan demonstran '66
sepanjang Malioboro
kampus bulak sumur
karang malang
malioboro---alon-alon lor
istana siti hinggil jogja.

Lelaki lansia...
belum mati
dari dalam
mengirim api jihad
ke Jakarta.

Tamban

-------------

Tentang penyair



Bernama asli H. Ibramsyah bin H. Lawier, lahir pada tanggal 9 Agustus 1943 di Desa Tabihi Kanan, Kelurahan Karang Jawa, Kecamatan Padang Batung, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam dunia puisi ia menggunakan nama pena Ibramsyah Amandit dan di kalangan sastrawan Kalsel dirinya lebih dikenal dengan sebutan si Janggut Naga.

Mulai menulis sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1971 ia aktif dalam diskusi dan pembacaan puisi Persada Club Yogyakarta di bawah bimbingan Umbu Landu Paranggi.

Di samping rajin menulis puisi ia juga rajin mendalami ajaran tasawuf melalui guru-gurunya yaitu: KH Gusti Abdussamad, KH Ramli Tatah Daun, KH Ahmad Arsyad, KH Muhammad Nur Tangkisung, KH Sam’ani, Guru H. Basman Tinggiran, KH Abdul Mu’in yang membaiatnya dalam Thariqat Akhirul Zaman, dan KH Muhammad Zaini Ghani yang membaiatnya dalam Thariqat Syamaniah.

Keakrabannya di dunia tasawuf membuat hampir seluruh puisinya kental dengan pemikiran tasawuf. Hal ini dapat kita lihat dalam setiap puisinya yang pernah dimuat dalam berbagai media.. Di antaranya yang dimuat di Mercu Suar Yogya (1971), Sampe Balikpapan (1978), Banjarmasin Post Banjarmasin, (1980-an).

Puisi-puisinya juga pernah dimuat dalam antologi puisi bersama antara lain Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998 ), La Ventre de Kandangan (2004), Sajak-sajak Bumi Selidah (2005), Seribu Sungai Paris Berantai (2006), Cinta Rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), Konser Kecermasan (2010), Menyampir Bumi Leluhur (2010), Seloka Bisu Batu Benawa (2011), Kalimantan Dalam Puisi Indonesia (2011), Sungai Kenangan (2012), Tadarus Rembulan (2013), dan dalam Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah Manusia (2014). Buku kumpulan puisinya Badai Gurun dalam Darah (Penerbit Tahura Media, Banjarmasin, 2009).  




Saturday, March 16, 2024

Keromantisan dalam Makanan


 

Saturday, March 2, 2024

Penggelembungan Angka yang sangat Berbahaya bagi Umat Manusia


 

Friday, February 23, 2024

Ke Dapur aja Dulu!


 

Saturday, February 17, 2024

Sastra Bicara Politik!


 

Thursday, February 15, 2024

Pilihan Sebagian Bapak pada Pemilu 2024