Pagi masih dingin. Sejumlah anak asyik bermain bola di tanah lapang. Tanpa rumput, tanpa alas kaki, dan tanpa wasit. Mereka bermain bebas. Teriakan mereka memecah keheningan. Anehnya bahasa yang anak-anak itu gunakan bukanlah bahasa ibu, ayah, dan kakek-nenek mereka. Ya, dengan kata lain bukan bahasa suku mereka. Padahal mereka tinggal di kampung.
Cerita di atas hanyalah ilustrasi untuk menggambarkan situasi dan kondisi kebahasaan dalam kehidupan nyata. Sebutlah contohnya bahasa Dayak Berangas. Bahasa ini sebenarnya merupakan sub dari bahasa Dayak Ngaju. Bahasa Dayak Berangas tersebar di beberapa daerah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Persebaran itu bukan berarti meluasnya penggunaannya, melainkan para penggunanya bermigrasi untuk mencari penghidupan di daerah lain sebagai minoritas.
Video di bawah ini menggambarkan suasana kehidupan orang Dayak Berangaa di Desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Mereka bermukim dan bersosialisasi dengan suku lain. Kebanyakan adalah dengan Suku Banjar yang merupakan suku terbesar di Kalimantan. Hal ini ternyata membawa pengaruh hebat terhadap kebudayaan Dayak Berangas. Data terakhir menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Dayak Berangas semakin menyusut. Rata-rata hanya orang berusia empat puluh tahun ke atas yang menguasainya. Sementara anak-anak dan kaum mudanya lebih enggan menggunakan bahasa nenek moyang mereka sendiri.
Keengganan tersebut tentu ada alasannya. Yang terkuat adalah karena mereka malu menggunakan bahasa ini. Dalam pikiran mereka, bahasa Dayak Berangas terkesan kasar. Mereka pun lebih memilih menggunakan bahasa Banjar.
Fenomena itu tidak bisa dibiarkan jika kita menginginkan bahasa Berangas tetap eksis di bumi ini. Caranya bagaimana?
Agaknya perlu perhatian serius dan sungguh-sungguh untuk hal tersebut. Cara yang digunakan haruslah berkelanjutan dan menarik. Bahkan, modalnya besar. Itulah sebabnya, pemerintah, dalam hal ini Pemda Kalimantan Selatan harus turun tangan.
Indonesia dan gelap menjadi dua kata yang sangat viral belakang ini. Hal itu dikarenakan oleh kondisi negeri kita yang bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja. Sebutlah PHK besar-besaran karena adanya pabrik-pabrik yang tutup, lahan hutan yang kian menyempit, dan korupsi yang semakin merajalela. Ibaratnya kondisi sekarang bak sungai yang kotor. Dengan kata lain sedang terjadi antitesis dalam dialektika kehidupan.
Itulah sebabnya, banyak orang yang berdemonstrasi dan bersuara kritis terhadap pemerintah. Semua itu tujuannya satu, yakni menggapai sintesis ideal untuk Indonesia yang cerah.
Dan, yakinlah bahwa setelah kegelapan akan ada kecerahan. Seperti pepatah yang berbunyi, "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian." Di bawah ini ada video yang menggambarkan kondisi tersebut.
Ada berapa banyak pria atau wanita yang memilih untuk hidup sendiri atau melajang? Jumlahnya mungkin tidaklah sedikit. Atau sesering apa pasangan suami istri tidak bertemu karena kesibukan masing-masing?
Kesendirian terkadang menyenangkan. Mungkin Anda pernah menikmati secangkir kopi sambil melihat panorama yang indah dengan embusan udara sejuk pagi hari. Sebagian yang lain bertafakur dalam sunyi, merasakan kedamaian yang hakiki.
Itu semua tentang sendiri dan dari sana sering muncul ide-ide gemilang. Sebutlah seorang sastrawan melakukan kontemplasi batin seorang diri hingga terlahirlah karya sastra yang menghibur dan bermanfaat bagi banyak orang. Akan tetapi, hal itu tidak bisa menjadi dalil pembenaran seseorang untuk antisosial. Misalnya lebih memilih mengurung diri di kamar tanpa hidup bermasyarakat.
Kesendirian yang kreatif adalah upaya untuk menghadirkan diri sebagai pribadi berkualitas dalam bersosial. Di bawah ini adalah gambaran seseorang yang hidup sendiri dan menghasilkan kehidupan bahagia.
Sampah dibuang lalu ada yang memungut. Setelah terkumpul, barulah diangkut ke tempat pembuangan sampah yang lebih luas. Rangkaian itu terjadi setiap hari. Bayangkan, setiap tahun ada berapa kali peristiwa tersebut terjadi. Dan, polanya tidak berubah.
Jika pun mengalami perubahan, lebih kepada jumlah sampah yang dibuang. Bisa lebih sedikit atau sebaliknya. Alhasil, masalah sampah tidak pernah terselesaikan. Bahkan, kian menambah beban bumi. Betapa tudak? Tempat untuk menampung sampah sebagian sudah tidak layak sehingga mau tak mau harus ada tempat baru untuk menampung sampai-sampah tersebut. Lahan ideal pun kia menyempit.
Ini sebenarnya tak lepas dari pengelolaan yang difokuskan di pembuangan. Pihak pengelola yang dalam hal ini adalah pemerintah lebih menitikberatkan pada prilaku masyarakat menjaga kebersihan lingkungan. Sebutlah contohnya larangan membuang sampah sembarangan. Terkadang diikuti dengan penyediaan tempat sampah, terkadang pula sekadar larangan.
Nah, sayangnya tidak serta-merta dilanjutkan pada pengolahan sampah. Misalnya sampah sayuran diolah menjadi pupuk organik, limbah plastik menjadi bahan bakar murah meriah, dan botol-botol kaca dipakai ulang setelah dilakukan sterilisasi.
Pengolahan ini perlu dalam pengendalian sampah yang jumlahnya tidak sedikit. Kalau sampah-sampah tersebut diolah hingga bermanfaat untuk kehidupan, tentu tidak akan terjadi peristiwa ledakan sampah, sebutlah yang saat ini terjadi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ya, singkat kata, kebersihan terjaga dan hidup menjadi lebih bermakna.
Agaknya kita belum menjadi pikun terkait julukan Jamrud Khatulistiwa untuk Indonesia Raya. Hamparan tanah subur di negara ini ditumbuhi aneka flora. Mulai dari rerumputan hingga pepohonan raksasa yang menjulang kukuh.
Aneka satwa pun betah menjadi penghuninya. Ada keseimbangan alam yang harmonis berlangsung dengan sangat indah. Meski begitu, tak bisa juga kita pungkiri betapa dahsyatnya badai pengerusakan alam yang terjadi secara berkelanjutan. Dengan dalih kemajuan dunia, pepohonan besar dan kecil dibabat, tanah-tanah dikeruk untuk mengambil sumber daya alam yang dikandungnya, sungai-sungai pun dibuat mati dengan penimbunan dan lainnya. Lantas, apakah julukan Jamrud Khatulistiwa masih pantas disematkan untuk negeri ini?
Pantas atau tidak, yang perlu kita lakukan adalah upaya menghijaukan alam sebisanya, semampu kita. Ketika tangan-tangan kita tidak bisa mencegah pengerusakan alam secara besar-besaran, kita tanam satu atau dua pohon di sekitar kita. Sebutlah pohon jambu, mangga, atau pohon lainnya. Selain mengurangi resiko bencana besar, pohon-pohon itu bermanfaat langung bagi manusia. Buah jambu, misalnya, sangat baik bagi kesehatan tubuh kita.
Video di bawah ini menggambarkan indahnya keharmonisan alam dan manusia.
Suatu hari saya membaca sebuah berita yang menyebutkan bahwa warga Palestina menolak tawaran Arab Saudi untuk hijrah. Tentu saja hijrah di sini maksudnya dari tanah suci Palestina menuju Arab Saudi. Pihak kerajaan bahkan sempat menyinggung hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Jika situasi dan kondisi aman, maka warga Palestina bisa kembali mendiami Palestina.
Kini, Tanah Palestina khususnya Gaza menjadi sasaran Amerika Serikat melalui tangan Israel. Dengan alasan penawanan warga Israel oleh Hamas, mereka membombardir Gaza. Lalu Tepi Barat pun tak luput dari serangan mereka.
Konon dalam hal ini Amerika Serikat mengincar sumber daya alam Palestina. Itulah sebabnya, Negeri Paman Sam sangat bernafsu mengusir warga Palestina dari sana.
Berbagai cara dilakukan hingga muncul istilah evakuasi. Ya, evakuasi warga Palestina dari Gaza ke negara lain. Salah satunya Indonesia. Dan, Presiden Prabowo Subianto berencana memuluskan rencana Amerika Serikat tersebut dengan menerima seribu warga Gaza di Negeri Jamrud Khatulistiwa ini.
Lantas, apakah hal itu menjadi kebahagiaan warga Gaza? Saya ingat sebuah kalimat pendek yang berbunyi, "Senyaman-nyamannya tempat tinggal adalah kampung sendiri." Benar sekali, evakuasi bukanlah cara yang tepat. Idealnya, rakyat Gaza tetap tinggal di Gaza. Jika memang Amerika Serikat melalui tangan Israel hendak membahagiakan warga Gaza, maka berhentilah menyerang mereka. Kemudian bantu warga Gaza membangun kembali rumah mereka di sana.
Video berikut merupakan gambaran betapa bahagianya hidup di kampung sendiri.
Hidup bersih bisa dimaknai secara fisik dan batin. Kehidupan akan lebih indah jika semuanya bersih. Khusus dalam hal kebersihan fisik, saat ini di kota kelahiranku sedang mengalami krisis tempat pembuangan sampah rumah tangga. Ya, Banjarmasin belum bebas dari masalah tersebut.
Setiap pagi berton-ton sampah membanjiri kota yang pernah menjadi Ibukota Kalimantan Selatan ini. Sebagian diangkug menuju kota lain. Truk-truk berisi sampah pun turut memadati jalan raya. Tentu saja, selain menimbulkan aroma tak sedap, hal itu menjadi pemandangan yang kurang nyaman untuk dilihat.
Agaknya perlu pendisiplinan jam angkut sampah. Misalnya sampah diangkut sebelum pukul enam pagi. Dengan demikian, baik masyarakat pengguna jalan, maupun masyarakat yang berada di sekitar jalan raya tidak terganggu dengan sampah-sampah tersebut .
Video berikut sebagai gambaran masyarakat menikmati menu lezat tanpa gangguan sampah.