Mahmud Jauhari Ali
Apa semboyan yang melambangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia? Anda pasti sudah tahu jawabannya. Ya, bhinneka tunggal ika. Artinya, berbeda-beda,
tetapi satu juga. Nah, Anda pasti juga tahu bahwa kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari jasa para pahlawannya. Atas perjuangan
mereka dan atas izin Tuhan YME jualah, Indonesia dapat menjadi bangsa merdeka
yang bersatu padu seperti sekarang ini.
Tentunya kita harus bersyukur memiliki
para pahlawan dari Sabang sampai Mareuke, ‘kan? Dan, tahukah Anda sebagian para
pahlawan tersebut berasal dari Pulau Kalimantan? Ya, ada enam Pahlawan Nasional
Indonesia dari pulau ini.
Secara umum, Kalimantan
merupakan pulau yang dihuni tiga warga negara. Ada warga negara Indonesia,
Malaysia, dan Brunei Darussalam. Ketiga warga negara tersebut hidup dengan
rukun dengan tetap memiliki jati diri dan mencintai negara masing-masing. Nah,
warga negara Indonesia di Kalimantan tersebar di lima provinsi. Para Pahlawan
Nasional Indonesia dari pulau ini pun berasal dari provinsi-provinsi yang
berbeda. Pangeran Antasari, Brigjen Hasan Basry, Dr. K.H. Idham Chalid, dan Ir.
H. Pangeran Muhammad Noor berasal dari Kalimantan Selatan. Sementara Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia
Pahlawan berasal dari Kalimantan Barat. Sedangkan Marsekal Pertama TNI
(Anumerta) Tjilik Riwut berasal dari Kalimantan Tengah. Meskipun tidak berasal
dari satu provinsi yang sama, mereka berjuang demi kemerdekaan bangsa Indoneia.
1.
Abdul Kadir (Raden Tumenggung Setia Pahlawan)
Siapa yang tak mengetahui tugu khatulistwa atau equator monument? Benar, tugu khatulistiwa adalah penanda daerah yang dilintasi garis khatulistiwa. Meski ada beberapa jumlahnya, tapi hanya ada satu yang benar-benar dilintasi garis kahtulistiwa. Di manakah itu? Tepatnya di Provinsi Kalimantan Barat. Di provinsi ini pulalah lahir seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia bernama Abdul Kadir dengan gelar Raden Tumenggung Setia Pahlawan.
Masa
kecil dan Pendidikan
Abdul kadir lahir di Sintang,
Kalimantan Barat pada tahun 1771 Masehi. Ayahnya bernama Oerip dan ibunya
bernama Siti Safriyah. Ia adalah putra seorang bangsawan Kerajaan Sintang.
Ayahnya menjabat sebagai kepala pemerintahan di kawasan Melawi.
Ia didik di lingkungan kaum
bangsawan. Tentunya ia mendapatkan pendidikan tentang disiplin, kejujuran,
keberanian, dan terutama pertahanan keamanan. Itulah sebabnya, saat usianya
masih sangat muda, Abdul Kadir sudah mengabdi sebagai pegawai Kerajaan Sintang.
Ia mampu melaksanakan tugas dengan baik selama mengabdi di sana. Raja Sintang
pernah mengugasinya untuk mengamankan kerajaan dari ganguan pengacau dan
perampok. Tugas itu pun dapat ia laksanakan dengan baik.
Kemudian Abdul Kadir diangkat
menjadi pembantu ayahnya sendiri di pemerintahan kawasan Melawi. Sebagai putera
kepala pemerintahan di kawasan itu tidak membuatnya sombong dan
bermalas-malasan. Abdul Kadir tetaplah pemuda yang rajin dalam bertugas.
Setelah ayahnya wafat pada tahun 1845, ia pun diangkat menggantikan kedudukan
ayahnya pada tahun yang sama. Raja Sintang memberinya gelar Raden Tumenggung
karena jabatannya tersebut.
Perjuangan
Abdul Kadir berjuang dengan
sangat keras. Ia berhasil mempersatukan Suku-Suku Dayak dan Melayu di Melawi.
Dengan perjuangannya, ia juga berhasil mengembangkan potensi ekonomi daerah
tersebut. Di samping kedua kerberhasilannya itu, ia juga berjuang menghadapi
Belanda.
Ketika itu Kerajaan Sintang
sudah berada di bawah kekuasaan Belanda. Kondisi yang sulit membuatnya memakai
strategi peran ganda. Artinya, pada satu sisi dia tetap setia kepada Raja
Sintang yang berarti pula ia setia pada Pemerintah Belanda. Pada sisi lain, ia secara diam-diam
menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Strategi tersebut merupakan
pilihan paling tepat untuk dilakukan seorang pejabat serpertinya kala itu.
Selanjutnya ia membentuk kesatuan-kesatuan rakyat bersenjata di Melawi dan
sekitarnya. Kecurigaan Belanda pun muncul terhadapnya. Belanda berusaha
melunakkan sikapnya agar mau bekerja sama dengan pihak mereka. Contohnya, 1866 Belanda
memberikan uang dan gelar Setia Pahlawan
kepada Abdul Kadir Raden Tumeggung. Namun, tidak mengubah sikapnya yang
ingin melepaskan Melawi dan Kerajaan Sintang dari cengkeraman Belanda.
Dari hari ke hari ia terus
mempersiapkan diri bersama pasukannya untuk melawan Belanda. Baginya persiapan
sangat diperlukan mengingat Belanda sangatlah tangguh pada masa itu. Perlawanan
demi perlawawan pun mulai dilakukan terhadap Belanda. Hal ini tentu membuat
negara penjajah tersebut bersikap tegas terhadap Abdul Kadir dan pasukannya.
Akibatnya, pada tahun 1868
Belanda melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Dengan gagah berani, para
pengikut setia Abdul Kadir menghadapi serangan Belanda tersebut. Tentunya ia
menggunakan strategi yang jitu. Dengan bermodalkan segala informasi tentang
berbagai rencana operasi militer pemerintah Belanda, ia dan pasukannya
mendapatkan hasil yang bagus. Mereka berhasil mengacaukan serangan Belanda.
Penghargaan
dari Pemerintah Indonesia.
Dengan segala upaya dan siasat,
Belanda berhasil menangkap Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan pada
tahun 1875. Ia dipenjarakan di Benteng
Saka Dua milik milik belanda di Nanga Pinoh. Setelah tiga minggu dipenjara, ia
meninggal dunia dalam usia 104 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Natali Mangguk
Liang, Melawi. Pada tahun 1999 ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui
Surat Keuptusan Presiden Nomor 114/ TK/ 1999 tanggal 13-10-1999.
2. Pangeran
Antasari
Tahukah Anda pasar terapung
atau floating market tertua di dunia?
Berdasarkan sejarah, hanya ada dua tempat pasar terapung yang asli. Kedua
tempat tersebut, yaitu di Indonesia dan Thailand. Dari keduanya yang tertua
adalah di Indonesia. Tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan. Di provinsi ini
pulalah lahir seorang Pahlawan Nasional Indonesia, yakni Pangeran Antasari. Ia
dikenal sebagai sosok yang jujur, rendah hati, ramah, dan tentunya tak mengenal
menyerah. Keberaniannya membebaskan tanah airnya dari Belanda begitu gigih.
Masa
kecil dan Pendidikan
Pangeran Antasari lahir di Kayu
Tangi, Kesultanan Banjar, sekitar tahun 1809. Ia adalah putra dari pasangan
Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran
Amir. Semasa muda, namanya adalah Gusti
Inu Kartapati. Meskipun ia berdarah biru Kesultanan Banjar, sejak kecil ia
sudah tidak suka hidup di lingkungan istana. Hal ini karena di lingkungan
istana penuh dengan dominasi Belanda. Itulah sebabnya, ia besar di
tengah-tengah lingkungan rakyat biasa, yakni di Antasan Senor, Martapura.
Di luar istana, ia didik oleh
ayahnya sendiri. Sang Ayah mendidiknya agar ia selalu mengutamakan persatuan
dan kesatuan, seperti dalam hubungan keluarga. Dari ayahnyalah ia tahu tentang
cara-cara Belanda memecah-belah persatuan di Kesultanan Banjar. Dalam hal ini
tentu ayahnya berharap kelak ia mempersatukan rakyat Banjar membebaskan diri
dari tangan Belanda.
Selain itu, ia juga belajar
dari para ulama. Pemahamannya terhadap agama Islam hari demi hari kian dalam
dan luas. Perlahan ajaran-ajaran agama yang dianutnya pun ia amalkan. Wujud
pengalaman ajaran agama Islam olehnya terlihat dalam sikap hidupnya
sehari-hari. Ia sangat jujur, ikhlas, pemurah, dan berakhlak mulia lainnya.
Itulah sebabnya, sejak kecil ia sangat disukai rakyat di sekitarnya.
Perjuangan
Setelah beranjak dewasa,
Pangeran Antasari tetap hidup di luar istana. Ia hidup dengan cara berdagang
dan bertani. Keadaan inilah yang menyebabkan ia selalu dekat dengan rakyat
biasa. Selain itu menyebabkan dirinya mengerti keadaan sebenarnya di luar
istana. Ia mengerti betul perasaan dan penderitaan rakyat di sekitarnya.
Terutama yang disebabkan oleh Belanda.
Belanda waktu itu melakukan
penindasan terhadap rakyat Banjar dengan sewenang-wenang. Di samping hal
tersebut, Belanda juga sudah terlalu ikut campur dalam Kesultanan Banjar.
Contoh dari terlalu ikut campur itu adalah, Belanda menunjuk langsung Pangeran
Tamjidillah sebagai Sultan Banjar. Sementara Pangeran Hidayutullah yang lebih
layak menjadi Sultan Banjar, saat itu hanya menjadi Mangkubumi Kesultanan
Banjar. Padahal Sultan Adam
Alwasyiqubillah yang merupakan kakek dari Pangeran Hidatullah telah bewasiat.
Salah satu wasiatnya itu berbunyi bahwa ”Apabila Sultan Adam wafat, maka
pengggantinya ialah Pangeran Hidayat (Hidayatullah), dan hendaknya memerintah
rakyat dengan penuh keadilan dan mengikuti perintah agama.” Hal ini membuat
rakyat Banjar dan beberapa Kerabat Kesultanan Banjar melakukan perlawanan
terhadap Belanda.
Keadaan seperti itu menyebabkan
Pangeran Antasari prihatin. Semula ia mau utus untuk menyelidiki
gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergolak oleh Pangeran Hidayatullah yang
saat itu berkedudukan sebagai Mangkubumi. Kesempatan ini digunakan Pangeran
Antasari untuk menghubungi para pemimpin gerakan rakyat tersebut. Alhasil, ia
mendapatkan kepercayaan rakyat dan dipilih menjadi pemimpin perlawanan terhadap
Belanda. Selanjutnya ia bersama keluarganya diam-diam meninggalkan kediamannya
di Antasan Senor, Martapura. Mereka menuju pedalaman bergabung dengan kaum
perlawanan.
Pada permulaannya ia berhasil
menghimpn 6.000 laskar atau pasukan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan yang
terhimpun itu berasal dari berbagai daerah. Ada pasukan yang dipimpin Tumengung
Jalil dari Banua Lima. Wilayah ini mencakup daerah Negara, Alabio, Sungai
Banar, Amuntai, dan Kalua. Ada lagi pasukan yang dipimpin Panembahan Muda Aling
dari daerah Muning. Begitu juga daerah-daerah lainya seperti Tanah Dusun Atas,
Tabanio. Bahkan, Kuala Kapuas dan Tanah Bumbu.
Gerakan rakyat menentang
Belanda di semua daerah itu menjadi satu di bawah pimpinan Pangeran Antasari.
Keberhasilan pertama dari perjuangan mereka itu ada dua. Keduanya adalah,
merebut kembali tambang batu bara Oranje Nassau dan menguasai Benteng Belanda
di daerah Pengaron tahun 1859.
Perjuangan demi perjuangan Pangeran Antasari dan para pasukannya terus
berlanjut. Ia terus mengobarkan semangat juang untuk membebaskan tanah Banjar
dari penjajah Belanda. Hal itu tentu membuat Belanda kesulitan menghadapi
perjuangan mereka.
Pada bulan Maret 1862 para
pemimpin gerakan rakyat dari Barito, Murung, Sihong, Teweh, Kepala-kepala Dayak
Kapuas-Kahayan, serta tokoh agama berkumpul di Dusun Hulu. Tujuan mereka
berkumpul adalah menobatkan Pangeran Antasari menjadi Panembahan amiruddin
Khalifatul Mukminin. Artinya, ia sah menjadi kepala pemerintahan, panglima
perang, dan sekaligus pemimpin tertinggi agama Islam.
Perlawanan rakyat Banjar di
bawah kepemimpinannya kian meluas. Alhasil, Belanda mengalami kesulitan
menghadapi perlawawan tersebut. Lalu,
pihak Belanda berusaha untuk berdamai dan meberikan pengampunan kepada Pangeran
Antasari. Akan tetapi, ia menolak ajakan Belanda itu. Ia tidak percaya dengan
janji-janji yang diberikan Belanda. Pangeran Antasari terus melanjukan
perjuangan rakyat banjar. Ia selalu menyerukan semangat Haram manyarah, waja sampai ka puting. Artinya dari kata-kata
semangat itu adalah keharaman, berjuanglah sampai titik darah penghabisan
kepada seluruh rakyat Banjar.
Penghargaan
dari Pemerintah Indonesia.
Pangeran Antasari telah
melewati perjuangan demi perjuangan bersama rakyat. Ia tak pernah sekalipun
menyerah, tertangkap atau tertipu bujuk rayu Belanda. Pertempuran terakhirnya bersama rakyat adalah
di bawah kaki Bukit Bagantung. Setelah itu ia terkena penyakit paru-paru dan
cacar. Tepat pada 11 Oktober 1862 beliau
wafat di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang
dalam usia lebih kurang 53 tahun.
Pangeran antasari telah
dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh Pemerintah
Republik Indonesia berdasarkan SK No.
06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.
3. Marasekal
Pertama TNI (Anumerta) Cilik Riwut
Saya yakin Anda sudah tahu Bandar Udara Tjilik Riwut ada di Kota Palangkaraya. Kota ini adalah
Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Tapi tahukah Anda nama bandara tersebut
diambil dari salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia? Ia adalah seorang putra asli Dayak Ngaju
bernama Tjilik Riwut. O iya, Anda mungkin bingung soal huruf awal nama depannya.
Nama depan pahlawan nasional yang satu ini, yakni “Tjilik” menggunakan ejaan
lama. Jika dilafalkan, menjadi “Cilik”. Hal itu karena, huruf “tj” sama dengan
“c” dalam ejaan yang berlaku saat ini.
Masa
kecil dan Pendidikan
Tjilik Riwut lahir di Kasongan,
Kalimantan Tengah pada 2 Februari 1918. Ia lahir dan dibesarkan di belantara
Kalimantan Tengah. Karena itulah, ia selalu bangga menyatakan diri sebagai
“Orang Hutan”. Kecintaannya pada alam sungguh luar biasa. Ia juga begitu
menjunjung kebudayaan leluhurnya, yakni Dayak Ngaju. Saat usia belia, ia telah
tiga kali mengelilingi Pulau Kalimantan dengan berjalan kaki, naik perahu, dan
rakit.
Ia mendapatkan pendidikan
keluarga yang disiplin. Di luar lingkungan keluarga, ia mendapatkan pendidikan
dasar di kota kelahirannya. Setelah lulus, ia mendapatkan pendidikan sekolah
perawat di Purwakarta dan Bandung.
Perjuangan
Tjilik Riwut memiliki
ketertarikan yang besar terhadap dunia jurnalistik. Ketertarikannya itu
membuatnya menjadi wartawan. Pada tahun 1940 ia sudah menjadi Pemimpin Redaksi
Majalah Suara Pakat. Ia juga menjadi jurnalis di Harian Pembangunan bersama
Sanusi Pane yang merupakan sastrawan nasional Indonesia itu. Melalui dunia
jurnalistik inilah, ia menyumbangkan tenaga dan pikirannya menyebarkan berita,
yakni seputar pergerakan nasional di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Pada masa penjajahan Jepang, ia
menjalin komunikasi dengan beragam suku di Kalimantan. Ia meyakinkan mereka
semua agar tetap setia dan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia
kemudian terjun ke dunia militer dengan menjadi tentara di Angkatan Udara
Republik Indonesia. Dengan kegigihannya, ia berhasil menjadi Komandan Pasukan
MN 101 Mobiele Brigade MBT/TNI Kalimantan. Dalam dunia militer ini ia mencatat
prestasi, yakni kesuksesannya sebagai Komando Penerjun Payung Pertama AURI pada
tanggal 17 Oktober 1947. Sejak saat itu, 17 Okotber diperingati sebagai Hari
Pasukan Khas TNI AU.
Ia pun dipercaya menjadi
Perwakilan Dewan Pimpinan Penyelenggara Ekspedisi ke Borneo di Yogyakarta. Satu
tahun kemudian ia mewakili 185 ribu rakyat Dayak di pedalaman Kalimantan untuk
menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Mereka yang diwakilkannya
itu terdiri atas 142 suku, 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 4 kepala suku, 3
panglima, 10 patih, 2 tumenggung, disertai dua kepala burung. Dengan sumpah
itu, berarti Kalimantan telah menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Para anggota suku ini juga
bersumpah akan mempertahankan daerahnya masing-masing. Yaitu dari serangan
tentara NICA yang berusaha merebut kembali Indonesia.
Salah satu jasanya yang masih
dikenang di bidang pembangunan adalah membuka hutan serta membangun daerah di
sekitar desa pahandut (yang ini menjadi kota Palangkaraya), ibukota Kalimantan
Tengah. Ia memiliki komitmen yang tinggi untuk kemajuan daerahnya. Tentunya
tanpa meninggalkan kebudayaan dan kekayaan leluhurnya sebagai orang
Kalimantan.
Penghargaan
dari Pemerintah Indonesia.
Tjilik Riwut dipanggil Sang
Pencipta pada tanggal 17 Agustus 1987 di Banjarmsin. Ia kemudian dimakamkan di
Taman Makam Sanaman Lampang, Palangka Raya. Tjilik Riwut ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 108/TK/Tahun 1998 pada tanggal
6 November 1998.
4. Dr. K.H. Idham Chalid
Pernahkah Anda melihat sosok
pahlawan di bagian depan uang pecahan Rp5.000,00 rupiah kertas terbaru? Pasti
pernah ‘kan? Nah, itulah sosok Dr. K.H. Idham Chalid yang merupakan pahlawan
nasional Indonesia asal Kalimantan Selatan. Sekarang, yuk kita cari tahu siapa
sebenarnya Pahlawan Nasional Indonesia yang satu ini.
Masa
kecil dan Pendidikan
Idham Chalid lahir pada 27
Agustus 1921 di Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Daerah kelahirannya
terletak di bagian tenggara provinsi ini. Ia anak sulung dari lima bersaudara.
Ayahnya adalah seorang penghulu bernama Muhammad Cholid yang berasal dari Kota
Amuntai. Kota itu terletak di Kabupaten
Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Saat ia berusia enam tahun,
keluarganya pindah ke kota asal ayahnya itu. Ada dua hal yang tampak darinya
sejak ia kecil. Pertama ia sangat cerdas. Contohnya, saat masuk SR, ia langsung
duduk di kelas dua. Artinya, karena kecerdasannya, ia tidak perlu mengenyam
satu tahun pelajaran di kelas satu SR. Kedua, ia terkenal pemberani. Contoh
keberaniannya sejak kecil ini ialah dalam hal berpidato. Ia berani tampil di
hadapan orang banyak saat membawakan pidatonya. Lama-kelamaan kemampuan
berpidatonya ini pun kian terasah. Kemampuan berorasinya inilah yang menjadi
salah satu modal perjuangannya kelak.
Pada tahun 1922, ia melanjutkan
pendidikanya di Madrasah Ar-Rasyidiyyah. Di madrasah ini ia memperoleh banyak
kesempatan mendalami bahasa Arab, bahasa Inggeris, dan tentunya pengetahuan
umum. Setelah lulus, ia menimba ilmu di Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Di sinilah ia mendalami bahasa Jepang, bahasa
Jerman, dan bahasa Prancis. Tahun 1943, ia menamatkan pendidikannya di
Pesantren Gontor. Pada tahun yang sama ia melanjutkan pendidikanya di Jakarta.
Perjuangan
Kefasihannya dalam berbahasa
Jepang membuat penjajah Jepang (Dai
Nipon) sangat kagum. Karena itulah, pihak Jepang sering memintanya menjadi
penerjemah dalam pertemuan dengan alim ulama. Alhasil, ia mulai akrab dengan para tokoh utama Nahdatul
Ulama. Lalu ia bergabung ke dalam badan-badan perjuangan setelah Jepang kalah
di tangan sekutu. Saat itu sekutu sudah masuk di Indonesia. Ia pun aktif dalam
Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di Kota Amuntai, yakni menjelang
kemerdekaan 1945. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, ia bergabung partai
lokal bernama Persatuan Rakyat Indonesia.
Kemudian ia pindah ke Serikat
Muslim Indonesia. Bersama dengan Komandan divisi IV ALRI, yakni Hasan Basry, ia
mendierikan Fonds Basiona Indonesia Kalimantan. Ia pun ikut bergerilya bersama
anggota devisi itu. Pada bulan Maret tahun 1949 ia ditangkap Belanda. Ia baru
dibebaskan pada bulan November pada tahun yang sama. Setelah itu ia diangkat
menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Pada tahun 1950 ia
terpilih lagi menjadi DPRS mewakili Masyumi. Barulah setelah Nahdatul Ulama
memisahkan diri dari Masyumi, ia memilih bergabung Partai Nahdatul Ulama.
Sejak tahun 1956 ia menjadi
ketua PBNU hingga tahun 1984. Saat
pertama memangku jabatan itu, usianya baru 34 tahun. Kepemimpinannya selama 28
tahun itu merupakan yang terlama sepanjang sejarah di Nahdatul Ulama. Pada
tahun yang sama, yakni 1956, ia diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri Kabinet
Ali Sastroamidjojo II. Kabinet ini hanya bertahan satu tahun dan berganti
Kabinet Djuanda. Akan tetapi, ia tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri
sampai dekrit presiden 1959.
Tak lama setelah itu, ia
ditarik menjadi anggota Dewan
pertimbangn agung. Setahun kemudian ia mejadi wakil ketua MPRS. Ia juga
dipercaya menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Ampera I, Ampera
II, dan Pembangunan I pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pada
akhir tahun 1970 ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial. Jabatan
terakhir yang diembannya adalah sebagai ketua dewan pertimbangan agung sampai
tahun 1983. Dalam dunia pendidikan, ia mendirikan Universitas Nahdahtul Ulama
(sekarang Universitas Islam Nusantara) pada 30 November 1950. Ia mendirikan
universitas itu bersma K.H. Subhan Z.E., K.H. Achien, K.H. Habib Utsman
Al-Aydarus, dan lain-lain.
Penghargaan
dari Pemerintah Indonesia.
Dr. K.H. Idham Chalid meninggal
dunia di Jakarta pada 11 Juli 2010 dalam usia lebih kurang 88 tahun. Ia
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keppres Nomor
113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011.
5. Brigjend. H. Hasan Basry
Mungkin Anda mendengar atau
membaca tentang olahraga mengarungi sungai berjeram dengan menggunakan perahu
atau sejenisnya? Ya, namanya olahraga arung jeram. Asalkan mau menuruti
petunjuk pemandunya, olahraga ini aman, baik bagi orang dewasa, maupun
anak-anak. Tapi, percayakah Anda kalau olahraga ini bisa dilakukan dengan
menggunakan bambu? Ya, Anda harus percaya karena kita dapat mengarungi Sungai
Amandit di Kecamaan Loksado dengan menggunakan rakit bambu. Artinya, rakit
tersebut terbuat dari susunan bambo yang diikat dengan rapi.
Loksado sendiri merupakan nama
kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Di kabupaten
inilah lahir seorang Pahlawan Nasional Indoneia beranama Hasan Basry. Ia adalah
putera asli Kalimantan Selatan yang berjuang demi Negara Kesatuan republik
Indonesia.
Masa
kecil dan Pendidikan
Brigjend H. Hasan Basry lahir
pada 17 Juni 1923 di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Ia
menempuh pendidikan sekolah dasarnya di
Hollands Inlandsche School (HIS) dan lulus pada 1939. Lalu melanjutkan
di Tsanawiyah Al-Wathaniah di Kandangan (setingkat SMP) dan lulus pada tahun
1942. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan di Kweekschool Islam Pondok Modern
Gontor di Ponorogo, Jawa Timur sampai lulus pada tahun 1945.
Perjuangan
Setelah lulus dari Pondok
Pesantren Gontor, ia diangkat menjadi guru agama di sekolah menengah pertama
Islam di kota Malang. Selain mengajar, ia bersama para pemuda dari Kaliamntan
yang bermukim di Pulau Jawa ikut menyumbangkan tenaga bagi tegaknya Republik
Indonesia. Mereka tergabung dalam organisasi Pemuda Kalimantan yang berpusat di
Surabaya. Sejak itulah ia mengawali karirnya sebagai pejuang.
Lalu pada tangal 30 oktober
1945, ia bersama rekan lainnya berhasil menyusup pulang ke Kalimantan Selatan.
Mereka menumpang Kapal Bintang Tuleng. Kepulangan mereka karena di ada kabar
tentang kegagalan perjuangan di Kalimantan melawan Belanda dan sekutu. Para
pejuang pun membentuk Laskar Syaifullah pada 5 Mei 1946 di Haruyan, Hulu Sungai
Utara, Kalimantan Selatan. Sebagai pemimpinnya ditunjukkah Hasan Basry. Akan
tetapi, kemudian banyak tokoh Laskar Syaifullah ditangkap dan dipenjarakan
Belanda. Penangkapan mereka terjadi saat Acara Pasar Malam Amal pada 24
September 1946.
Tak lama setelah kejadian itu,
Hasan Basry mereorganiasi anggota Laskar Syaifullah yang tersisa dengan
membentuk Benteng Indonesia. Selanjutna ia berhasil membentuk Batlyon ALRI
(Angkatan Laut Republik Indonesia) Devisi IV Kalimantan Selatan. Ia menempatkan
markasnya di Haruyan. Keberhasilannya itu dicapai dengan cara mengerahkan
Benteng Indonesia. Pembentukan batalyon tersebut berdasarkan tugas yang disampaikan
Letnan Ali Zuchri dan Letnan Muda M. Mursid kepadanya pada tanggal 15 November
1946.
Pada 17 Mei 1949, ia
memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Proklamasi itu dikenal dengan Proklamasi Kalimantan. Tak lama setelah itu,
yakni pada 1 November 1949, ALRI Devisi IV (Devisi A) dilebur ke dalam TNI
Angkatan Darat Devisi Lambung Mangkurat. Hasan Basry dipercaya sebagai panglima
ALRI Divisi IV (A).
Perang kemerdekaan Indonesia
pun selesai. Kalimantan menjadi bagian dari Indonesia yang bebas dari
penjajahan. Pada tahun 1951—1953, ia melanjutkan pendidikan agamanya di
Univerisitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Kemudian ia teruskan di American Universty
Cairo tahun 1953—1955. Sepulang dari
Mesir ke Indonesia, pada tahun 1956 ia diangkat menjadi Komandan Resimen
Infanteri 21 di Kalimantan Selatan. Pada tanggal 3—10 Maret 1957 Ia bersama
rekan-rekan Kesatuan Tentara Nasional Indonesia Divisi Lambung Mangkurat, para
pejuang, dan tokoh masyarakat membentuk Dewan Lambung Mangkurat. Salah satu
rencana kerja mereka adalah mendirikan perguruan tinggi di Kalimantan. Maka
dibentuklah Panitia Persiapan Pendirian Universitas Lambung Mangkurat
yang diketuai Hasan Basry. Setelah berjuang, akhirnya pada 21
September 1958. Mereka berhasil mendirikan Universitas Lambung Mangkurat. Sejak
tanggal 1 November 1960 Universitas Lambung Mangkurat resmi menjadi perguruan
tinggi negeri.
Pada tahun 1959 ia ditunjuk
sebagai Panglima Daerah Milter X Lambung mangkurat. Sejak tahun 1961 sampai
dengan 1963, ia menjabat Deputi Wilayah Kamando Antardaerah Kalimantan dengan
pangkat brigadir jenderal. Saat ia menjabat sebagai deputi itu, ia sebenarnya merangkap juga sebagai anggota MPRS (sejak 1960—1966). Kemudian pada
tahun 1978 sampai dengan 1982 ia menjadi anggota DPRRI.
Penghargaan
dari Pemerintah Indonesia.
Setelah sakit dan dirawat di
RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Hasan Basry meninggal pada tanggal 15 Juli 1984.
Ia dimakamkan di Liang Anggang, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Ia dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden No.
110/TK/2001 tanggal 3 November 2001.
6. Ir.
H. Pangeran Muhammad Noor
Tokoh yang satu ini
dilahirkan di Martapura pada tanggal 24 Juni 1901
dan wafat di Jakarta
pada 15 Januari 1979. Sebagai
seorang yang lahir dari keluarga bangsawan Banjar, Pangeran Muhammad Noor
mendapatkan pendidikan dengan sangat baik.
Masa
kecil dan Pendidikan
Ia lulus HIS (setingkat dengan pendidikan dasar sekarang) tahun 1917. Kemudian pada tahun 1921 ia
berhasil menamatkan pendidikannya di MULO dan juga lulus dari HBS (pendidikan menengah umum )
tahun 1923. Pada tahun yang sama ia masuk Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) atau sekolah
teknik tinggi di Bandung. Dalam waktu empat tahun sesuai masa studi, ia
berhasil meraih gelar Insinyur, yakni pada tahun 1927.
Perjuangan
Selama empat tahun
pula (1935—1939) ia menggantikan ayahnya sebagai wakil Kalimantan dalam Volksraad pada
masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
Setelah itu ia berjuang dalam merebut kemerdekaan di Kalimantan atau Borneo
(masa itu), termasuk juga menugaskan Hasan Basry
dan Tjilik Riwut dalam misi yang sama.
Presiden Soekarno menunjuknya
sebagai Menteri Pekerjaan Umum pada
periode 24 Maret 1956—10 Juli 1959.
Pada saat duduk sebagai menteri inilah ia mencanangkan sejumlah proyek. Proyek-proyek
itu seperti, Proyek Waduk Riam Kanan di Kalimantan Selatan dan Proyek
Waduk Karangkates di Jawa Timur.
Di samping itu, ia juga menggagas Proyek Pasang Surut di Kalimantan
dan Sumatera,
serta Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Barito yang
terbagi menjadi dua bagian, yaitu PLTA Riam Kanan dan Pengerukan Muara/Ambang
Sungai Barito yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970.
Penghargaan
dari Pemerintah Indonesia.
Atas jasa dan
pengabdiannya, ia menerima Anugerah Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama pada
tahun 1973.
Begitu pula dengan namanya diabadikan pada PLTA Waduk Riam Kanan, Kabupaten Banjar yang
dinamakan Waduk Ir. H.
Pangeran Muhammad Noor. Melalui Keputusan Presiden RI
Nomor 123/TK/2018 tanggal 6 November 2018, ia dianugerahi Gelar Pahlawan
Nasional.
Sumber: Buku “Pelajaran Penting dari Para Pahlawan Nasional
Indonesia Asal Kalimantan” karya Mahmud Jauhari Ali