Wednesday, March 31, 2021

Puisi-Puisi Mustofa W Hasyim dalam Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI


Negeri Pesisir 2
                         Padang

Dari halaman belakang hotel, laut kelihatan sama
menerbitkan gelombang dan dongeng
lelaki terkutuk kesombongannya sendiri
ketika membentur hati, perempuan ibu sendiri

Masih terdengar jeritan itu, suara rabab jiwa
mengiris langit zaman, melukai cakrawala
"Mengapa engkau lupa, anakku?"
"Mengapa engkau tertipu bayangmu, anakku?"

Tangis membatu, kapal dicengkeram waktu
lumut bergerak bersama sejarah
menjadi tempat ziarah
anak-anak kota yang resah

Keloneng talempong zaman ini
memoles kisah luka jadi hiburan
tak ada lagi carkwala
karena pasar telah masuk ke dalam kepala.

2012


Negeri Pesisir 5
                         Banten

Jangan takut pada golok
ketajamannya disembunyikan
saat mulut berbicara
dan hidangan lezat tersaji di meja

Sup gurami dan aneka ikan bakar
pedasnya sampai langit-langit rindu
tak pantas kalau minum kopi
Jeruk segar saja, mengantar mimpi

Ini wilayah besi, juga bunga
semua mesti hati-hati
agar tidak meletus prahara
dari titik amat sepele

Pada ujung hari, adzan berbunyi
mengajak langkah menuju sunyi
pelabuhan gemulai ombaknya
kapal ferry menderum, mengibarkan
                        lampu ke arah seberang pulau

2012


Tentang Penyair

Mustofa W. Hasyim lahir di Yogyakarta. Ia merupakan sastrawan Indonesia. Dirinya menghasilkan karya-karya, baik novel, cerita pendek, maupun puisi yang dimuat di media massa dan buku.
--------------------------------------------------
 
Sumber tulisan: Sauk Seloka (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI) dan Wikipedia

Sumber ilustrasi: Pixabay


Tuesday, March 30, 2021

Sepasang Angsa Putih, Sebuah Puisi Husnul Khuluqi



sepasang angsa putih
seseorang telah melepasnya
disertai doa-doa pengusir cemas
ikutilah, ke mana pun ia berenang

janganlah ragu
tak akan ia menyesatkanmu
pada jalan hitam
yang tak kau inginkan

berlayarlah dengan gembira
tanpa was-was atau pun prasangka
meski badai dan arus membuat perahu oleng
meski hujan dan kabut membuat cuaca buruk

sepasang angsa putih
lihatlah, ia menunjukkan sebidang tanah untukmu
tanah pilih yang harus kau rawat
dengan seluruh napas dan keringat

di tanah pilih
kau akan mendirikan rumah
membuat silsilah
dan mengekalkan sejarah

sepasang angsa putih
seseorang telah melepasnya
ia menunjukkan padamu
tanah pusaka, tanah penuh tuah

kelak dari tanah pusaka
anak-anakmu akan menyebar
seraya membangun kota
yang pernah dirindu para leluhur

2012

Tentang Penyair

Lahir dan dibesarkan di Kampung Krapyak, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa Indonesia dan Malaysia. Puisi-puisinya juga tergabung dalam antologi bersama seperti Trotoar, Antologi Puisi Indonesia 1997, Resonansi Indonesia, The Poetry of Nature, Tanah Pilih, Percakapan Lingua Franca dan Tuah Tara No Ate. Adapun
antologi puisinya Romansa Pemintal Benang (2006).
--------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Sauk Seloko
Sumber ilustrasi: Pixabay


Monday, March 29, 2021

Puisi Sitor Situmorang dalam Lautan Waktu



Dunia Leluhur

Hutan jadi bayang-bayang
roh leluhur
merasuki tubuh

kutanam bambu
biar hangat kampung halaman

daunnya hijau
lebih hijau kala rimbun

Ditenun angin
roh bertengger di ubunubun

mata tombak
tertancap di dataran

kurajut benang hidup
waktu yang kulalui

jejak pemburu
di pegunungan

burung
di malam berbulan

hidup dari sepi
minum dari daun ilalang

jadi jin
jadi ijuk
jadi tanah liat
jadi batu
jadi danau
jadi angin
tali dipintal
titianku ke dunia sana

Sumber: Angin Danau (Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, Cet. I, 1982)


Tentang Penyair

SITOR SITUMORANG lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatra Utara, 2 Oktober 1923 menulis sajak, cerita pendek, esai, naskah drama, naskah film, karya terjemahan, dan telaah sejarah lembaga pemerintahan Batak Toba.

Teeuw menyebutkan bahwa Sitor Situmorang menjadi penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar. Sitor menjadi semakin terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir tahun

1950-an dan awal 1960-an, sebagai pengagum Presiden Soekarno, benar-benar melepaskan kesetiaanya kepada Angkatan 45 khususnya
Chairil Anwar, pada masa ini. 

Ia pernah menetap di Singapura (1943),
Amsterdam (1950--1951), Paris (1951--1952), dan pernah mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden, Belanda (1982-1990) dan bermukim di Islamabad, Pakistan (1991) dan Paris.

Karyanya, antara lain "Surat Kertas Hijau" (1953), “Dalam Sajak” (1955), "Wajah Tak Bernama" (1955), "Drama Jalan Mutiara” (1954), cerpen "Pertempuran dan Salju di Paris" (1956), dan terjemahan karya
dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff.

Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi “Zaman Baru" (1962), cerpen "Pangeran” (1963), dan esai “Sastra Revolusioner" (1965).
--------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Lautan Waktu
Sumber ilustrasi: Pixabay


Sunday, March 28, 2021

Puisi Sosiawan Leak dalam Buku Dari Bumi yang Sama


RUMAH NURANI

akhirnya, aku sampai di ranah ini
ranah sunyi tanpa api,
tanah, kerikil dan batuan
penebar iri, dengki juga sumpah, janji
yang menuntut dilunaskan.
sebab segala telah menemu kekasihnya (makna)
sebelum terucapkan.
menjelma dian penerang mata hati,
tongkat penyangga tapak kaki,
dan mata angin tujuan.
segala yang menemani hari-hari sunyi
di jalan sendiri

akhirnya aku sampai di tlatah ini
tlatah yang tak terpeta
tanpa tumbuhan apalagi serangga, juga hewan melata
lumut dan rumput selalu gagal menyempurna
manusia dan binatang menjemput nafsunya yang ajal
juga dirimu, di tlatah ini
tlatah tempat nurani berjaya
menyentosa tanpa kawan.
tiada lawan mampu memulai atau mengakhiri pertikaian
sebab di tlatah hampa angin tak pernah ingin
sementara sanak saudaranya (udara)
tlah lama punah dari sejarah
bahkan dari buku kehidupan

akhirnya, aku sampai di sini
di rumah yang luas tak terbatas
dengan pintu di segala tempat
waktu pulang yang setiap saat
tanpa sesiapa pun yang bernyawa hasrat

semarang, 2 november 2012

Tentang Penyair

Sosiawan Leak, lahir di Solo. Penyair, penulis lakon dan deklamator ini kerap melakukan perjalanan sastra di berbagai kota di Indonesia.

Puisinya dipublikasikan di berbagai media massa. Sejumlah antologi puisi yang memuat sajaknya antara lain Umpatan (1994), Cermin Buram (1996), Dunia Bogambola (2007), Matajaman (2011), dan lain-lain. 

Pernah diundang pada Festival Puisi Internasional Indonesia di Makassar, Solo,
dan Bandung (2002); dan Poetry on The Road di Bremen (2003), Ubud Writers & Readers Festival di Ubud (2010), Jakarta Berlin Art Festival di Berlin (2011), Pertukaran Budaya Indonesia-Korea di Seoul (2012), dan lain-lain.
------------------------------------------------
Sumber tulisan: Dari Bumi yang sama (Kado Puisi bagi Thomas Budi Santoso)

Sumber ilustrasi: Pixabay


Saturday, March 27, 2021

Puisi Joko Pinurbo dalam Sauk Seloko



Kunang-kunang

Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit.
Ayahnya senang sekali menggendongnya
menyeberangi sungai, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
berdiang, menemani malam, menjaring sepi.
la sangat girang melihat kunang-kunang berpendaran.
"Kunang-kunang itu artinya apa, yah?"
"Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang."
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya
sedang mengajarinya bermain kata.
Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan.
Ayahnya menelentangkannya di atas amben tua,
lalu menaruh seekor kunang-kunang di atas keningnya.

Saat ia pamit pergi ngembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
"Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini
saat kau sedang gelap atau mati kata;
maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya."

Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
"Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang.
Bisakah kau mengantarku ke sana?"
Malam-malam ia menggendong ayahnya
menyusuri jalan setapak menuju bukit.
"Apakah pohon cemara itu masih ada, yah?"
tanyanya sambil terengah-engah.
"Masih. Kadang ia menanyakan kau
dan kukatakan saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata."

"Nah, kita sudah sampai, yah. Mari kita bikin unggun."
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
"Tunggu, yah, kunang-kunang sebentar lagi datang."
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.

Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
"Selamat jalan, yah. In paradisum deducant te angeli."


Tentang Penyair

Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, Jawa Barat; bermukim di Yogyakarta. Belajar mengarang puisi sejak akhir tahun 1970-an. Buku puisi pertamanya, Celana (1999), memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001; buku puisi ini kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Trouser Doll (2002). Berkat puisi "Celana 1", "Celana 2", "Celana 3" ia beroleh Sih Award 2001 dari Jurnal Puisi. 

Buku puisinya Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002. Sebelumnya ia dinyatakan sebagai Tokoh Sastra 2001 Pilihan Tempo. Tahun 2005 ia menerima Khatulistiwa Literary Award untuk buku puisi Kekasihku (2004). 

-----------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Sauk Seloko

Sumber ilustrasi: Pixabay

Friday, March 26, 2021

Bumi Perjalanan, Karya Thomas Budi Santoso


 

Di awal musim bunga mekar di seluruh pemandangan
Jerit tangis pertama menghapus luka menembus lembah tebing dan gunung
Menjaring wewangian menusuk lorong-lorong kota menebar aroma
Dataran menyinarkan cahaya padi yang damai
Di situlah tertanam harapan, kekinian dan masa depan:
keniscayaan
Sebelum perjalanan dimulai

Tak dapat kutuliskan perjalanan itu
Karena kisahnya tak ada dalam kata
Dan sebagian katanya belum lahir
Membantu dalam pikiran
Dan mendekat dengan tanah

Tak dapat kulukiskan perjalanan itu
Tak cukup panjang kanvasnya
Tak cukup laik lebarnya
Tak cukup ragam warnanya
Sapuannya pontang-panting
Berulang dan terulang
Hingga keruh wamanya
Tetapi tetap kucoba
Dengan cinta
Tak kusadari mataku menetes di sana
Terserak di enam penjuru
Menutup keruhnya tapi tak cukup jumlahnya
Karena kantung mataku mulai kering

Ditelan derita usia
Kulihat kanvasku dan kutemukan diriku
Di sebuah titik di alur jalan yang tak kutahu di mana
Tak kudapati bunga, tak kudapati paruh burung membuka
Sunyi, tak kudapati cahaya terang kota
Warnanya menafikan derita yang menggerus tapak langkahku

Di dua sisi atasnya masih kutemukan bulatan bola cahaya
Di belakang langkahku dan lebih di hadapan pandanganku
Seperti berpijar di balik linang mataku
Hanya tak kutahu yang mana matahari pagi
Yang mana rembulan atau matahari petang
Karena airmataku kembali membasahi
Bumi perjalananku yang mulai mengembang
Dan aku tahu: niscaya

Tentang Thomas Budi Santoso 

Lahir di Pati. Menulis puisi sejak tahun 60-an. Selain dimuat di sejumlah antologi, antara lain
Masih Ada Menara, 142 Penyair Menuju Bulan, Kreung Aceh, puisinya juga dimuat di berbagai media massa, seperti Republika, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Horison, Sinar Harapan, Suara Pembaruan. 

Direktur PT Djarum ini tinggal di Kudus dan aktif di KPK (Keluarga Penulis Kudus) dan Dewan Kesenian Kudus. Ia sempat hadir dalam Pertemuan Penyair Nusantara IV 2010 di Brunei. Kumpulan puisinya berjudul Nyanyian Sepasang Daun Waru (2007).
----------------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Dari Bumi yang Sama (Kado Puisi bagi Thomas Budi Santoso)

Sumber ilustrasi: Pixabay


Thursday, March 25, 2021

Puisi Yusri Fajar dalam Akulah Musi

 


PADA KERETA


Kursi-kursi bertapa dalam gerbong tempat orang-orang menerka masa
Sejak persinggahan hingga menjelang ladang-ladang
dari balik jendela tembus mata. Segenap hati
memanggil berjuta pertemuan pada hari ketika orang
bermimpi menggapai kekasih, harapan, situs-situs
sejarah, asa, berbagai undangan dan perjanjian.

Gerbong-gerbong bergandengan membawa serta
putus asa, jiwa tegar dan kata-kata hampa. Pada
gelas-gelas berisi bir beberapa menggantungkan
kesumat dan kebahagiaan. Sekuntum mawar dalam
genggaman menunggu stasiun pemberhentian saat
para penjemput merekahkan tangan melihat langit
menggapai penantian bergegas menumpahkan rindu
melepas pesan di batas-batas kota.

Peluit meninggalkan sakit para kekasih tertinggal
dalam kesepian
Kota-kota terlindas kenangan memahat frasa selamat jalan dan selamat tinggal

Frankfurt, 2008


Tentang Penyair

Yusri Fajar, lahir di Banyuwangi. Menjadi pengajar tetap di Jurusan Bahasa dan Sastra
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
Malang. Tahun 2007 ia mengikuti short course di Universitas Leeds Inggris dan pada tahun 2008 sastra dan budaya di Universitas Bayreuth Bayern hingga 2010 menyelesaikan studi di bidang kajian Jerman dengan sponsor Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD). 

Pada tahun 2011 menyelesaikan online course yang diadakan oleh Univesity of Uoregon USA. Akhir september 2009 menjelajah kota Salzburg Austria, tempat kelahiran komponis klasik Johan Wolfgang Mozart. Pada 5--9 Agustus 2009 mengunjungi Praha Republik Ceko untuk menapak tilasi jejak sastrawan Franz Kafka dan pada 25--29 Agustus 2009 mengikuti Reading Ulysses di James Joyce Foundation Zurich Swiss.

Selama studi di Jerman, Yusri juga menjelajahi
kota-kota di Eropa seperti Amsterdam, Leiden dan Rotterdam (Belanda), Lucern, Zug dan
Schafhausen (Swiss), Roma (Italia), Paris
(Prancis), Berlin, Frankfurt, Munich, Bonn,
Heidelberg, Leipzig, dsb (Jerman). 

Puisinya terhimpun dalam Antologi Puisi antara lain, “Pesta Penyair Jawa Timur" (penerbit Dewan Kesenian Jawa Timur 2010), "Tanah Pilih” (Temu Sastra Nasional Jambi 2008), “Kenduri Puisi” (2008, Penerbit Ombak Yogyakarta), “Pasar yang Terjadi pada Malam" Hari (Antologi Penyair Muda Jawa Timur 2008), dan "Kabut di Rumah Kita" (2004, Komunitas Kesenian Igra Jember).

------------------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Akulah Musi 
Sumber ilustrasi: Pixabay


Wednesday, March 24, 2021

Dialog Borneo-Kalimantan XI, Cerpen Flora Inglin Harry Moerdani


BEGITU UNDANGAN kuterima dari sahabat baikku Korrie Layun Rampan, aku segera memperlihatkan pada suamiku. Karena dialah yang akan menentukan apakah undangan itu harus kuterima atau tidak. Soalnya aku sudah lama tidak pulang kampung, sebelumnya aku bolak-balik saja ke Kaltim. Biasa, namanya juga rindu kampung, rindu sanak saudara, rindu tepian mandi, rindu ikan sungai, rindu terong asam, rindu sayur pakis, rindu buah sayur combrang dan sebagainya. Dan suamiku selalu membolehkan aku pergi, dia penuh pengertian lagi pula dia sendiri meskipun asli Jawa tapi merasa bahwa Kaltim adalah kampung kedua setelah Tanah Jawa.

“Kau harus pergi Ma, ini adalah duniamu, dunia sastra," katanya sambil tersenyum.

"Ya, Bah (aku dan anak-anak terbiasa memanggil suamiku dengan sebutan Abah), lagi pula ini Korrie yang ngundang, pasti ada suatu perkembangan di Kaltim terutama dunia seni sastra."

Demikianlah, aku pun siap-siap untuk berangkat meskipun sebelumnya sempat tertunda rencana acara karena Korrie begitu sibuk dan mengundurkan rencana. Adikku H. Sinarmas Djati bersedia gabung dan ikut hadiri seminar sastra ini. Sebenarnya dia salah seorang pengusaha perkebunan kelapa sawit, tetapi karena ajakanku dia tertarik juga untuk mengikuti acara seminar sastra dan Dialog Borneo Kalimantan ini. Lagi pula para undangan berdatangan dari beberapa daerah seperti Kaltim, Kalteng, Kalbar dan Kalsel. Terutama pesertanya juga berdatangan dari Delegasi Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Acara seminar akan berlangsung tanggal 13 s.d. 15 Juli 2011. Kami berangkat dari Jakarta menuju Balikpapan tanggal 12 Juli 2011 pukul 08.00, tiba di Balikpapan sekitar pukul 11.00 siang. Setelah makan siang di perjalanan menuju ke Samarinda, kami makan siang di warung; kalau tak salah Warung Ponorogo dengan hidangan lauk-pauk lengkap.

Kami menginap di Hotel Mesra, sebuah hotel modern yang pertama kali dilaksanakan, itulah alasan mengapa adikku memilih hotel lama ini. Kami dimiliki Kota Samarinda. Hotel itu tak jauh dari Lamin Etam tempat acara beristirahat malam itu setelah diajak makan malam dengan adikku ke restoran di mana banyak menyediakan ikan Sungai Mahakam yang kurindukan.

Besok paginya kami berencana akan ke Tenggarong mengunjungi beberapa famili, nanti malam barulah acara dimulai. Acara pembukaan dilaksanakan di Lamin Etam, kediaman Gubernur Kaltim yang dipimpin oleh Bapak Dr. H. Awang Faroek Ishak. Ramai sekali tamu yang datang, mungkin semuanya adalah penulis-penulis Kaltim, atau peminat sastra dan budaya daerah. Mungkin karena termasuk penulis atau tokoh tua, kami dapat tempat duduk di depan bersama rombongan tamu dari Malaysia, Sabah, Berunai, dan Serawak. Kami juga dapat bertemu dan duduk bersama Bapak Gubernur dan stafnya di mana beliau menerima kami dengan ramah dan penuh persaudaraan. Kami juga bertemu mantan Gubernur Dr. Yurnalis Ngayoh dan ibu, saya duduk di samping Ibu Ngayoh. Sambil menunggu acara dimulai saya dan Ibu Ngayoh bercerita banyak, maklum sudah lama tak bertemu. Saya terharu karena salah seorang adik sepupu saya yang juga penulis bernama H. Bachrin Masyhoer hadir meskipun keadaannya sudah payah karena sakit-sakitan. Tulisannya sering mengisi majalah-majalah ibu kota seperti Femina, Sarinah, dan lain-lain, begitu besar semangatnya ia datang diantar oleh anak menantunya Eka. "Aku iri melihat Kakak dengan usia begini masih lebih sehat dan kuat dari saya." ujarnya beberapa kali bertemu. "Alhamdulillah semuanya atas izin Allah," kataku sambil tertawa.

Sebelum acara dimulai, para tamu diminta untuk makan malam dahulu. Kebetulan belum makan sore.

Setelah acara pembukaan dimulai, terlebih dahulu pembacaan doa dipimpin oleh seorang Ustaz, kemudian hadirin diminta berdiri semua untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebagai pimpinan dan Tuan Rumah dimulai oleh Pak Drs. Korrie Layun Rampan S.H., dengan laporan tentang kegiatan yang diselenggarakan; kemudian sambutan Perwakilan Delegasi Malaysia Dr. Encik H. Othman Mahali.

Kemudian kata sambutan dari Delegasi Brunei Darussalam, selanjutnya tampil Bapak Gubernur Dr. Awang Faroek Ishak.

Setelah mengadakan launching buku Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia, Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Kalimantan dalam Prosa Indonesia, dan Sumbangan Borneo-Kalimantan terhadap Sastra Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia, acara dilanjutkan dengan Pemberian cendera mata dari panitia Dialog Borneo-Kalimantan XI kepada Gubernur Provinsi Kalimantan Timur, Delegasi Malaysia, Brunei, Kaltim, Kalteng, Kalbar, dan Kalsel.

Kemudian pemberian penghargaan kepada Korrie Layun Rampan dari sastrawan Kalimantan Timur yang diwakili oleh Abdul Rahim Hasibuan.

Tak dapat diragukan lagi segala pujian dan penghargaan selayaknyalah diberikan kepada Korrie Layun Rampan, itu juga disinggung oleh Pak Gubernur dalam pidato beliau yang panjang lebar. Meskipun dalam kondisi kurang sehat, dan telah melalui operasi beberapa kali dengan tertatih-tatih penulis kawakan ini tetap maju dan sanggup menyelengarakan kerja besar ini. Dia pun mampu menyelesaikan buku-buku sastra tebal sebanyak 4 buah, berisi hasil sastra para seniman Kaltim sangat mengagumkan. Itu dibagi-bagikan kepada para tamu dan peserta yang sangat bangga dengan semangat besar penulis Kaltim ini.

Tidak itu saja Korrie adalah penulis Nasional yang telah menghasilkan karya yang tidak sedikit, dengan mengadakan acara besar ini dia membuat Kalimantan Timur menjadi tambah terkenal. Hasil buku yang akan dibagikan kepada para peserta yang berjumlah 4 buah, tebal dan penuh dengan hasil karya putra daerah. Dengan tulus Pak Gubernur mengatakan akan membeli buku-buku tersebut sebanyak 300 buah. Andil Pak Gubernur tidak itu saja sumbangan beliau untuk sastra Kaltim sangat besar, Pemda Kaltim membantu sepenuhnya acara besar ini. Bahkan tahun-tahun ke depan bantuan akan terus berlanjut, ini berita sangat membanggakan dunia sastra kita.

Beruntung kita mempunyai seorang pemimpin yang peduli dunia sastra kita yang selama ini hampir tenggelam. Kita bersyukur bahwa kita memiliki Korrie Layun Rampan anak buah kesayangan Bapak H. B. Jassin (alm) yang telah melahirkan ratusan buku sastra, puisi, dan buku-buku teks sastra untuk sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Dengan semangat yang menggebu-gebu Korrie Layun Rampan mempunyai hubungan yang luas dengan para penulis nasional dan luar negeri. Ia menguasai puluhan bahasa asing yang sangat membanggakan dan menambah kemampuannya sebagai penulis kawakan.

Saya teringat kawan-kawan sastrawan di Jakarta, ketika mengadakan pertemuan rutin di ruang bekas kantor H. B. Jassin di mana ketika itu Korrie Layun Rampan tidak hadir. Mereka tahu kalau saya dan Korrie sama-sama dari Kaltim, mereka mengajukan pertanyaan bertubi-tubi kepada saya.

“Mana Korrie, Bu, di mana dia sekarang?"

"Korrie sudah aktif sebagai anggota DPR Kubar di Kaltim, jawab saya singkat.

"Jadi tidak menulis lagi? Katakan padanya Bu, tempatnya bukan di Kaltim tapi di sini di Jakarta".

"Ya..., nanti saya sampaikan," jawab saya singkat.

Ketika saya sampaikan pesan teman-teman ini, Korrie hanya tersenyum tanpa komentar. Tapi saya sempat bicara. "Betul Korrie, Anda bukan orang politik tempatmu di dunia sastra."

Matanya melotot. "Secara moral saya tak sanggup duduk di DPR, meskipun saya merasa mampu jadi presiden kalau ada yang memilih."

Kami terus berbicara panjang lebar.

Sejak itu lama kami tak bertemu, sampai satu hari kami berjumpa. Dia berkata: "Aku jenuh dan tak cocok di dunia politik, aku tak sanggup." Tampak kesal, aku diam saja sedih hatiku melihat keadaannya yang dulu lincah kini sakit-sakitan. Tapi sekarang... Korrie mulai bersemangat, memang dia seniman asli. Mudah-mudahan dia sehat dan berhasil mengangkat dunia sastra kita meneruskan cita-cita H. B. Jassin almarhum.

Tambah malam namun acara terus berlangsung. Dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian.

Begitu gembira dan bahagianya Pak Gubernur sehingga beliau menyumbangkan beberapa pantun dan puisi, bahkan beliau juga menyumbangkan lagu dengan suara yang empuk.

Yang menarik adalah acara tarsul yang dibawakan oleh Kadisdik Provinsi Kaltim Drs. H. Musyahrim, MM, yang dilanjutkan dengan tari Jepen khas Kaltim. Suasana tambah meriah diisi dengan beragam seni bahkan ada sumbangan tarian khas Cina yang cukup memukau dibawakan gadis-gadis cantik. Setelah acara bernyanyi dari beberapa peserta, acara ditutup.

Besok pagi acara seminar akan mulai, bertempat di ruangan rapat kantor Pak Gubernur tak jauh dari Lamin Etam.

Kami cepat pulang karena besok pagi acara seminar akan berlangsung.

Tanggal 14 Juli seminar hari pertama berlangsung, beberapa pembicara mulai 3 pembicara dengan moderator Drs. Roedy Haryo Widjono, AMZ. Pukul 09.00--12.00 diisi oleh Drs. H. Musyahrim, MM (Kaltim), Jaya Ramba (Malaysia), dan Ibnu HS (Kalteng).

Ramai juga lebih-lebih ketika tanya jawab dimulai. Pembicara dan peserta sama bersemangat membawa pertanyaan yang berhubungan dengan dunia sastra. Pukul 13.00--15.00 Moderator Dr. Mugni Bahharuddin, pembicara Zefri Arif (Brunei Darusalam ), dan Surya Sili, Ph.D (Kaltim). Pukul 15.00-15.10 dengan moderator Dra. Atik Sulistyowati, M.Pd dengan pembicara Prof. Dr. Chairil Effendy (Kalbar) dan H. Encik Othman Mahali (Labuan, Malaysia).

Acara berjalan dengan lancar sehingga peserta tampak puas. Begitu berlangsung sampai sore sekitar jam 17.00, acara bubar. Malamnya akan ada lagi acara hiburan, sehingga kami siap-siap untuk pulang mandi dan sebagainya.

Acara berlangsung dengan meriah, bermacam seni tari daerah disuguhkan ada yang menghidangkan pantomin yang cukup menghibur dan menggelikan. Silih berganti acara pembacaan puisi/cerppen/monolog dari masing-masing delegasi, yang terakhir disediakan waktu untuk tamu dan undangan. Entah bagaimana melihat tak ada pembawa puisi dan sajak dari wakil perempuan, aku yang sudah tua renta ini tiba-tiba saja memberanikan diri untuk membaca puisi meskipun kondisi terasa lelah. Korrie tersenyum memberikan dukungan.

"Sudah ada sajaknya Bu?” tanyanya.

"Aku ambil dari buku yang sudah tersedia saja," jawabku sambil membuka lembaran buku tebal itu.

Aku tak sadar ketika namaku dipanggil, agak terhuyung meniti tangga menuju podium. Tapi aku harus bisa, aku harus tampil. Kubaca sajak seorang penulis yang aku lupa namanya, dengan judul “BULAN”.

Ketika selesai menuruni tangga podium Korrie menyambut aku dengan senyum." Intonasinya bagus Bu," seakan terdengar ditelingaku, hiruk pikuk pengunjung menghilangkan suara Korrie. Endang Nurdiani yang mendampingi aku, menarik kursi dan mempersilakan aku duduk.

Selesai acara kami pulang ke hotel, masih ada acara seminar sehari besok pagi. Acara dimulai dengan moderator Drs. Nanang Rijono, Mizar Bazarvio (Kalbar), Terakhir Abang Patdeli bin Abang Muhi (Sarawak/Malaysia). Peserta mengambil kesempatan untuk bertanya kepada pakar-pakar seniman sastra yang dilayani dengan sabar.

Bagian kedua moderator Yudianti Herawati, MA dengan para pembicara: Dr. Marko Mahin, MA (Kalteng ), dan Drs. Jamal T. Suryanata M.Pd (Kalsel). Jam 15.10--17.00 dengan moderator Drs. Zulfaisal Putera, M.Pd. Pembicara-pembicara: Drs. Ahmadun Yosi Herfanda, M.Si (Jakarta) dan Drs. Korrie Layun Rampan, S.H (Kaltim).

Wah... ramai sekali apalagi karena Korrie Layun Rampan yang menghadapi para peserta secara langsung

Malam terakhir yaitu malam ketiga, tanggal. 15 Juli 2011 di Lamin Etam. Acara ini juga merupakan acara perpisahan, mungkin sepenuhnya diisi dengan acara hiburan. Mula-mula diisi dengan acara makan malam, kemudian pembacaan doa lalu diteruskan dengan Lagu Indonesia Raya. Karena ini adalah acara terakhir dan acara perpisahan, maka beberapa perwakilan memberikan kata sambutan di mana semua menyatakan puas dan bersyukur dengan suksesnya semua acara Kemudian ditutup dengan drama "TUHA" oleh Yayasan Darma Nusa.

Waktu penutupan tampak Korrie Layun Rampan terhuyung-huyung saking lelahnya, tetapi di wajahnya tampak cerah. Semoga Bung Korrie sehat dan tetap bersemangat untuk membawa Kalimantan dengan dunia sastra yang mendunia. Hidup Korrie Layun Rampan, hidup Kalimantan.

Sarua Indah Ciputat, Ramadhan, 10 Agustus 2011, Flora Inglin H.Moerdani, Kesan dan kenangan manis di Seminar Dialog Borneo Kalimantan XI Samarinda Kalimantan Timur


Tentang Cerpenis

FLORA INGLIN HARRY MOERDANI. Lahir  di Long Iram, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur. 

Pada tahun 1990, bersama teman-temannya di Jakarta ia menerbitkan Buletin Sambung Rasa. Flora didukung sang suami tak pernah melupakan nasib suku pedalaman Kaltim yang juga suku ibundanya: Dayak. Kemudian atas dukungan sepenuhnya dari suaminya ia membawa sebuah tim survey dengan 7 orang antara lain, Gunanto Bimo dan istrinya Nia Titiek Haryati dari Jakarta, M. Jamaluddin dari Balikpapan, Ding Juan dari Samarinda dan Amir dari Long Iram. Hasil survey ini membuahkan sebuah buku dengan judul Ulu Mahakam dari Long Iram Sampai Long Apari. 

Kemudian ia menulis kisah perjalanan yang penuh petualangan, diterbitkan atas bantuan Pemda Kutai Barat dengan judul Perjalanan ke Ulu Mahakam. 

Memikirkan masa depan daerah asalnya atas dukungan sang suami yang tak segan-segan mengeluarkan dana, Flora membawa tim survey untuk memeriksa beberapa kemungkinan membuat “Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro" di Kutai Barat bekerja sama dengan Cihanjuang Inti Teknik yang berkantor di Bandung dengan 3 orang tenaga ahli. Ada 4 tempat yang telah disurvey untuk Long Iram Sungai Menihing di Long Dali, Air Terjun Mapan di Desa Linggang Mapan, Air Terjun Gemuruh di Sekolaq Darat dan Air Terjun Manarung di Ombau Asa. 

Flora telah mempunyai 4 buah lokasi masing-masing dengan proposal kelaikan proyek, yang tentu saja mengeluarkan dana yang tak sedikit. Untuk mewujudkan semua itu, demi masyarakat daerah pedalaman tentu saja memerlukan biaya yang lebih besar. Untuk ini Flora mengharapkan uluran tangan Pemda setempat untuk menanganinya. Riwayat hidup lengkapnya terdapat dalam buku Profil Perempuan Pengarang, Peneliti, Penerbit di Indonesias (ed. Korrie Layun Rampan dkk., Kelompok Cinta Baca, Jakarta, 2000). 

-----------------------------------------------------

Sumber tulisan: Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia

Sumber foto: Laman Persatuan Penulis WP Labuan

Tuesday, March 23, 2021

Burung Kemerdekaan, Puisi M. S. Saillillah


Dua ekor burung kertas
sepasang warna merah dan putih
dari persegi empat dilipat susah payah oleh seorang bocah
ketika ditolakkannya ke udara terbang rendah memburu mimpi
sia-sia kepak sayapnya
kalau akhirnya membentur matahari
patah sayap dan kakinya
Sepasang burung kertas merah dan putih
dilipat dalam mimpi seorang bocah
ketika hinggap di pucuk cemara
tiba-tiba air matanya beruraian
meratapi warna yang hilang entah ke mana
tidak juga berkibaran di pucuk tiang bendera
sementara wajah si bocah pucat pasi
sebab ia merasa bersalah telah menyimpan zat pewarna
di saku celananya
Lalu cepat-cepat dilipatnya kertas yang berwarna merah
membentuk dua kemungkinan, entah burung atau kapal api
lalu dilarutkan ke sungai darah mencari jiwa yang tertinggal
dilipatnya pula kertas yang berwarna putih
membentuk istana putih di suatu negeri bawah sadar
Sesaat sepi lalu merenung
akankah merah berwarna merah lagi dan putih berwarna putih pula
bila semua enggan berbagi diri
Tiba-tiba kebekuan menyeretnya ke ruang waktu yang begitu asing
karena gelap ia terjerembab, lututnya berdarah terbentur batu cadas
darah menggenang dan seketika menjelma menjadi telaga
yang menenggelamkan seisinya
Orang-orang tidak bisa bersuara, hanya dia seorang, bocah tadi
"inilah firdausi yang terlahir ke dunia," katanya
orang-orang kembali membisu, tapi semua mafhum
kalau itu fantasi duniawi
sebab memetik kata dari daun sama dengan dzikir khusyuk kepada-Nya

Banjarmasin, 1995

Tentang Penyair

M.S. Saillillah, lahir di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Menulis puisi, penyiar radio, aktor dan sutradara, berperan dalam sejumlah pertunjukan teater Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. 

Sering menjadi juri lomba baca puisi, lomba baca puitisasi Al Quran, lomba bakisah bahasa Banjar dan festival teater. Puisinya dipublikasikan di sejumlah media, antara lain di acara puisi UMSIS RRI Banjarmasin. Mutiara, '88 (UMSIS, 1989) dan Jendela Tanah Air (1995) adalah antologi yang memuat puisinya. Pernah menjadi sekretaris Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan, pengurus PARFI Cabang Kalimantan Selatan. Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (1998).
-------------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Seloka Bisu Batu Benawa


Monday, March 22, 2021

Peci Ayah, Cerpen Satmoko Budi Santoso


KAKEK selalu mengenakan peci. Kapan pun, di mana pun. Peci kesayangannya tak pernah lepas dari kepala. Bahkan hingga ia jatuh tertidur, peci itu bisa saja nangkring menutupi wajahnya, hingga dapat menyaring suara ngorok yang keluar dari mulutnya. Sebagai cucunya, sesekali saya iseng membuat kakek kelimpungan. Satu-satunya peci miliknya, dan hanya seminggu sekali dicuci itu, beberapa kali sengaja saya sembunyikan. Kalau sudah begitu, keributan akan terjadi. Karena ada banyak cucu, merekalah yang kemudian menjadi sasaran tuduhan.

“Saya ini kan sudah tua, mbok jangan suka main-main begitu. Kalau kalian mau uang yang terselip di lipatan peci itu, ambillah secukupnya,” begitu omelan kakek, dengan sasaran entah saya, entah cucu-cucu yang lain. Di antara para cucu yang mendengar tentu hanya tertawa cekikikan. Jika kemudian tiba-tiba peci itu saya munculkan tanpa sepengetahuan kakek, misalnya tiba-tiba sudah ada di belakang tempat duduknya, maka kakek akan terlihat sangat riang. Serta-merta ia akan memeriksa sejumlah uang yang terselip di lipatan peci itu. Selalu utuh. Begitulah, jika pun saya sembunyikan, sama sekali saya tidak berniat untuk mencuri uang di lipatan peci kakek.

Baik saya, orangtua saya, dan saudara-saudara penghuni rumah lainnya tahu bahwa uang di lipatan peci kakek itu adalah uang saku yang biasanya akan ia gunakan sebagai bekal untuk membeli rokok atau keperluan lain sesuka hatinya. Itulah sebagian uang yang ia peroleh dari hasil sawah dan ladang miliknya. Kalau pas hati kakek lapang, tentu saja ia tidak akan melupakan cucu-cucunya, mereka akan diberi kakek uang jajan, yang diambil dari lipatan pecinya.

Sepeninggal nenek, peci itu seakan-akan telah menjadi pengganti istri kakek. Nilai perhatian kakek terhadap peci itu cukup berlebih.

***

Kini ayah saya yang menggantikan kebiasaan kakek. Ayah sering menyimpan uang di dalam lipatan peci. Ibu saya sudah kerap menegurnya.

“Ayah ini kan ketua RT, kok naruh uang di lipatan peci. Mbok bawa dompetlah, kalau mengeluarkan uang di depan banyak orang dari lipatan peci, tidak malu apa? Zaman sudah modern, setiap warga RT kita sudah punya laptop semua, kok ya masih seperti itu.”

Sebagai anak tertua yang pernah mengenyam bangku kuliah, jika mendengar ibu ngomel-ngomel seperti itu, saya tidak dapat menahan tawa.

“Mewarisi kebiasaan kakek dulu kan bagus-bagus saja, Bu,” kata saya.

“Wah, kamu ini malah membela ayahmu yang norak.”

“Sudahlah, sudah. Kalian semua tahu, meskipun urusanku hanya ulang-alik kantor saat bekerja sebagai PNS rendahan dan urusan menjadi Ketua RT di kampung, itu sudah cukup membuatku menjadi pelupa. Kalian tahu, berapa kali aku lupa, sering ketinggalan dompet. Pengalaman itulah yang membuatku memutuskan untuk menyimpan uang di lipatan peci saja.”

“Ah, sudahlah, terserah. Saya kalau pas arisan RT itu jadi sering malu kalau dikerjain ibu-ibu. Setelah mengeluarkan uang dari dalam dompetku, kata ibu-ibu itu, wah uangnya bau peci apek….” Kami sekeluarga lantas tertawa mendengar cerita ibu.

***

Waktu itu, kemeriahan bendera partai dan foto-foto calon legislatif baru saja usai di kampung kami. Kampung kami pun sudah steril. Sebagian caleg yang fotonya pernah nampang di kampung kami, ada yang benar-benar jadi, sebagian lainnya berguguran, bahkan ada yang sampai stres segala. Banyak pula yang ditenangkan mentalnya dengan cara masuk rumah sakit jiwa. Yang paling unik, ada seorang caleg yang pernah memberikan voucer pulsa seratus ribu di musim kampanye, meminta pemberian itu dikembalikan. Oleh karena ada warga kampung kami yang menerima gratifikasi berupa voucer pulsa itu, maka posisi ayah sebagai ketua RT juga terkena imbasnya.

“Pak RT pasti tidak hanya dapat sekadar voucer pulsa seratus ribu. Tuh pecinya baru, berarti isi lipatan pecinya juga baru dan segar-segar,” demikian sindiran salah seorang warga.

“Wah, kok teras rumahnya makin bagus ya, berapa rupiah tuh yang masuk ke Pak RT?” sindir warga yang lain.

Cobaan berupa sindiran tertuju pada ayah, terutama ketika sejumlah warga berkumpul bersama ayah di gardu ronda. Tentu saja ayah sulit menghindar dari sindiran yang sudah menjurus pada tuduhan itu. Sebab, kenyataannya, ada warga dari satu RT yang memang menerima gratifikasi voucer pulsa seratus ribu. Saya sendiri tahu perasaan ayah, meskipun saya yakin, ayah sama sekali tak menerima gratifi kasi voucer pulsa seratus ribu atau uang tertentu, sebagaimana yang disindirkan atau bahkan dituduhkan itu.

“Mbok sudahlah, diakui saja kalau memang menerima. Sayangnya, kok ya hanya sendiri lho. Kita semua sebenarnya juga mau,” demikian cibir nyinyir seorang warga.

Suasana setelah masa pencoblosan menjadi sedemikian keruh di kampung kami. Sejumlah warga yang diam-diam menerima voucer pulsa seratus ribu telah diserahkan dalam bentuk uang kepada caleg yang menagihnya kembali lantaran gagal mendapatkan kursi. Sementara ayah masih terus diserang tuduhan. Ia tidak tahu harus mengembalikan apa, karena memang tidak merasa pernah menerima apa-apa.

***

Karena desakan warga begitu kuat, ayah pun terguling dari jabatan ketua RT, tanpa bukti yang pasti bahwa ia telah melakukan kesalahan sebagaimana yang jamak dituduhkan. Tapi, ayah saya terguling karena memang mengundurkan diri, karena ia merasa sudah tidak nyaman lagi.

“Terus terang, saya bingung mau mengembalikan apa karena saya tidak menerima apa-apa. Tapi, meski begitu, dengan lapang hati, saya memutuskan untuk mundur saja sebagai ketua RT,” ujar ayah dalam sebuah rapat RT.

Permohonan pengunduran diri ayah ternyata diterima dengan senang hati oleh semua pengurus RT, yang tentu saja merupakan cerminan seluruh warga satu RT. Ayah saya pucat. Ia tak dapat menyembunyikan suasana hatinya yang terpukul. Berhari-hari saya menenangkan ayah. Saya khawatir, karena masalah itu ia bisa jatuh sakit. Tapi syukurlah, ayah tetap tegar. Begitu pula ibu, yang selalu menguatkan ayah.

***

Ayah tiba-tiba mendapatkan kesempatan untuk pergi umrah. Dibiayai oleh sahabat lamanya, yang setelah 20 tahun bertemu kembali karena jasa Facebook. Ayah diminta menemani sahabat itu dalam perjalanan ibadah umroh. Ia mendapatkan uang saku selama perjalanan, dan tentu saja semuanya ditanggung oleh temannya itu. Saya menduga nanti ayah akan semakin dicurigai warga RT yang pernah dipimpinnya.

“Alah… sudahlah, kalau tetap curiga, silakan! Ini murni keberuntungan Ayah karena jumpa kawan di masa muda,” ujar ayah kepada saya ketika mau berangkat umrah. Pagi harinya, saya yang mengantar ayah ke biro jasa perjalanan umrah dengan mengendarai motor. Ayah menolak dijemput mobil biro jasa perjalanan umrah itu.

Sesampai di Arab Saudi, ayah mengirim pesan pendek bahwa peci kesayangannya ketinggalan dalam sebuah rapat warga, sebelum ia berangkat umroh. Ketika peci tersebut saya urus, saya tanyakan ke pengurus RT baru. Pengurus RT lama pimpinan ayah telah diganti semua. Ternyata memang ada yang menemukan peci ayah. Kabarnya peci itu sudah diterima oleh ketua RT yang baru. Cara menyerahkannya hanya ditaruh di depan pintu rumah ketua RT baru. Jadi, ia tidak tahu siapa yang menemukannya. Saya periksa isinya di depan ketua RT, uang yang biasanya ada di selipan peci ayah ternyata masih ada.

Saya kemudian membalas pesan ayah, mengabarkan bahwa uang yang terselip dalam lipatan pecinya masih utuh. Ayah menanyakan perihal selembar kertas putih sobekan buku tulis yang juga ada dalam lipatan peci itu. Saya jawab, tidak ada. Ayah menjelaskan sobekan kertas itu berisi catatan alamat e-mail milik ayah lengkap dengan kata kuncinya, yang memang pernah saya buatkan. Termasuk kata kunci akun Facebook milik ayah.

“Wah, yang menemukan ternyata pintar, pengen tahu isi e-mail-ku,” kata ayah.

“Waduh, gimana kalau begitu?” balas saya.

“Ayah justru berharap si penemu membuka e-mail Ayah dan mengetahui isi curahan hati Ayah kepada kawan-kawan, terutama mengenai tuduhan bahwa Ayah telah menerima sesuatu dari seorang caleg. Dan, ternyata Ayah tidak menerimanya. Semoga orang yang menemukan kertas itu kemudian mengabarkannya kepada semua warga.”

Saya diam saja. Sesaat kemudian saya berkata dalam hati, “Ini baru intrik di tingkat RT. Banyak cara Tuhan dalam menyingkapkan kebenaran.”

Media Indonesia, 31 Agustus 2014


Tentang Satmoko Budi Santoso

Lahir di Kedungdowo, Wates, Kulon Progo. Cerpennya dipublikasikan, baik lewat media massa maupun antologi cerpen. Satmoko menulis cerpen sejak duduk di bangku SMP dengan menghasilkan cerpen “Khitan” yang dimuat majalah Suara Muhammadiyah

Karya-karyanya terkumpul dalam antologi cerpen Candramawa (1995), Tamansari (1998), Filantropi (2001), Perempuan Bersampan Cadik (2005), dan Bersampan ke Seberang Hikayat (2007).

Di samping itu, menulis esai dan novel. Novel Kasongan (Diva Press, 2012) dengan latar tradisi desa kerajinan gerabah Kasongan, Bantul, menjadi salah satu nominasi dalam Malam Penghargaan Bahasa dan Sastra (Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013). 

Sebagai penulis yang diakui kualitasnya, ia sempat diundang ke Forum Internasional Ubud Writers (2011), cerpennya “Om Zus” (dalam antologi Perempuan Bersampan Cadik, Grasindo, 2005) diterjemahkan oleh Lontar Foundition Jakarta dan dimuat dalam antologi Menagerie 7.

-----------------------------------------------

Sumber tulisan: buku "Sosok-Sosok Inspiratif: Antologi Biografi dan Karya Cerpenis Yogyakarta"

Sumber ilustrasi: Pixabay


Saturday, March 20, 2021

Puisi-Puisi Diah Hadaning dalam Buku "Dari Bumi yang Sama"


SUARA - SUARA ITU

derap-derap kereta kuda
menguak pagi dini
terus meretas siang
menutup senja mengambang

saat denting suara gambang
menyapu awang-awang
kau masih berdiri menatap langit

saat nafiri bernada wingit
kau melepas merpati Putih
kabarkan damai pada dunia perih

naga di ufuk timur menggeliat
semburkan aroma wangi api
sinar gaibnya meresap tulang dan nadi
membuat bayangmu berdiri : sejati

Jln. Raya Bogor KM.30, November 2010


DAUN - DAUN YANG BICARA

daun-daun hijau
yang tumbuh sepanjang musim
daun - daun ajaib
yang simpan rahasia kehidupan
daun-daun semesta
yang ujungnya meruncing gaib
yang bergetar setiap fajar
yang berkilau setiap senja

daun-daun
yang diasuh angin pantura
daun-daun
yang tunas dari November ke November
menjadi saksi zaman
pada windu ke delapan
batu pun jadi pualam
biji randu jadi merjan

Jln. Raya Bogor KM.30, November 2010


Tentang Penyair



Diah Hadaning (DIHA ) kelahiran Jepara kota
Kartini ya Bumi Kalinyamat. Menulis
sastra secara otodidak. Serius bersastra khususnya puisi sejak 1970. Selain menulis dalam bahasa Indonesia DIHA juga merilis dalam bahasa daerah (Jawa). 

Dalam proses kreatifnya, beberapa penghargaan diterima antara lain, tahun 1980 dari GAPENA Malaysia, tahun 1994 dari Yayasan EBONI Jakarta untuk puisi pelestarian lingkunagan hidup dan hutan, tahun 2003 dari Lembaga Pusat Pengkajian Kebudayaan JAWI - Surakarta karena masih menulis dalam bahasa daerah, tahun 2010 dari MURI - Indonesia, menulis antologi puisi paling tebal pada usia paling tua
------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: buku "Dari Bumi yang Sama dan buku "Akulah Musi"

Sumber foto: Facebook

Sumber ilustrasi: Pixabay


Puisi-Puisi Tarman Effendi Tarsyad dalam "Segalanya Tetap Memberi Makna"


KAU ENTAH DI MANA

kau entah di mana waktu kutatap langit
seseorang datang menyeru sehabis mengarungi laut
kemudian bercerita tentang pelayarannya mencarimu
tapi selalu saja terasa buntu

kau entah di mana waktu kutatap awan
seseorang datang mengadu sehabis menembus hutan
kemudian bercerita tentang pengembaraannya mengejarmu
tapi selalu saja terasa semu

kau entah di mana waktu kutatap kabut
seseorang datang menggerutu sehabis menuruni bukit
kemudian bercerita tentang pendakiannya menjangkaumu
tapi selalu saja terasa silau

kau entah di mana waktu kutatap rumput
seseorang datang membisu sehabis tafakur tanpa tempat
kemudian tak ingin bercerita tentang taharahnya mencapaimu
sebab hal itu baginya wahyu


MALAM GERHANA

meskipun pohon tak bergerak
sepotong awan perak terus berarak
bulan tak tampak
kami bertiga memandang tegak

anakku bertanya: mana bulan
istriku mejawab: bulan ada yang menelan
anakku diam (mungkin sedang berpikir)
tapi matanya terus menatap langit berukir

istriku berkata: goyang pohon, nanti buahnya akan lebat
(aku terbayang sesuatu sedang berkelebat)
di langit terlihat putih sebesar telur angsa
kami terus memandang hingga malam semakin sempurna


Tentang Penyair



Tarman Effendi Tarsyad, lahir di Banjarmasin. Tulisannya berupa puisi, cerpen, dan esai sastra dimuat di beberapa media seperti Horison, Berita Buana, Suara Karya, Pelita, Merdeka, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Post, Dinamika Berita, dan Radar Banjarmasin. 

Selain itu, puisinya juga dimuat dalam beberapa antologi bersama seperti, Siklus 5 Penyair Muda (1983), Puisi Indonesia 87 (1987), Jendela Tanah Air (1995), Perkawinan Batu (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (Banjarmasin dalam Puisi) (2010), Kalimantan dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011).

Adapun bukunya yang sudah terbit antara lain: Bahasa dan Gaya Puisi Sapardi Djoko Damono (Analisis Stilistika) (Tahura Media Banjarmasin, 2009), Pengkajian Puisi: Teori dan Aplikasi (Tahura Media Banjarmasin, Cetakan Pertama September 2009, Cetakan Kedua Oktober 2010, bersama Endang Sulistyowati), Bahasa Indonesia (Buku Ajar untuk Mahasiswa) (Tahura Media Banjarmasin, Cetakan Pertama Oktober 2010, Cetakan Kedua Juli 2011, bersama M. Syarkawi), Aneka Kajian Prosa Fiksi (Tahura Media Banjarmasin, 2011, bersama Endang Sulistyowati), Kajian Stilistika Puisi Sapardi Djoko Damono (Tahura Media Banjarmasin, 2011), Teori dan Sejarah Puisi Indonesia (Scripta Cendekia Banjarbaru, 2011, bersama Endang Sulistyowati), dan Warna Lokal Banjar dalam Puisi (Tahura Media Banjarmasin, 2011).

Forum sastra yang pernah ia ikuti (beberapa contoh nyatanya) adalah, Forum Penyair Muda Delapan Kota Kalsel (Banjarmasin, 1982), Puisi Indonesia 87 (Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1987), Festival Puisi XIII Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika (Surabaya, 1992), Simposium Antarbangsa Hari Raja Ali Haji (Pulau Penyengat, Riau, 1996), Baca Puisi 4 Kota: Ujung Pandang, Banjarmasin, Lampung, dan Pekanbaru (Pekanbaru, 1996), Cakrawala Sastra Indonesia (Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2005), dan Dialog Borneo-Kalimantan XI (Samarinda, 2011).

Dan, tahun 1999 ia menerima penghargaan dan hadiah seni dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan.
--------------------------------------------------------------------

Sumber tulisan dan foto: buku "Segalanya Tetap Memberi Makna" (Kumpulan Puisi karya Tarman Effendi Tarsyad)

Sumber ilustrasi: Pixabay