Wednesday, October 31, 2018

Sekali Merengkuh Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui


Mahmud Jauhari Ali


"Berpuisi, kita bahagia!"

Bagi sebagian orang moto itu mungkin sangat menyejukkan. Bagi sebagian lainnya bisa jadi hanyalah hal yang biasa. Sedang bagi yang lainnya lagi, barangkali menganggapnya sebagai jargon yang berlebihan. Lalu termasuk yang manakah, Anda? Atau malah di luar semuanya?

Jujur, moto di atas bagi saya pribadi terasa sangat menyejukkan. Agaknya memang demikianlah adanya bagi pencinta puisi seperti saya. Dan percayakah Anda, dengan berpuisi, kita sebenarnya berusaha menuju kebahagiaan hidup? Secara mudahnya begini, berpuisi adalah mengekspresikan segala yang ada dalam pikiran dan perasaan pada saat membuatnya. Ini sebuah inti dari kebebasan yang berseni. Yakni, sebuah keindahan yang tidak hanya dinikmati penyairnya, tetapi juga oleh para pembaca atau penikmatnya. Dengan kata lain, bahasa puisi merupakan bahasa kebahagiaan. Beban yang tadinya menumpuk akan berkurang. Bahkan, tak jarang penyair juga berpuisi kepada Tuhannya. Yang terakhir tadi bisa berisi doa dan lainnya sebagai komunikasi batinnya kepada Sang Pencipta. Sang Pemberi Kebahagiaan. Alhasil, jiwa  menjadi tenang dan bahagia.

Pertanyaan selanjutnya ialah, apakah semua orang mampu berpuisi? Sebelum menjawabnya, tentu ada baiknya kita pahami dulu bahwa apa pun sesuatu itu, akan dapat kita lakukan jika kita terbiasa melakukannya. Ini berarti bahwa kemampuan atau lebih tepatnya keterampilan menulis puisi tak lepas dari kebiasaan atau mengalami langsung. Lalu apa yang dialami secara langsung tersebut? Jawabannya adalah menulis puisi itu sendiri.

Ya, semakin seseorang sering menulis puisi, semakin terampillah dirinya menghasilkan puisi-puisi yang berkualitas. Dia akan tahu bahwa puisi tak sekadar permainan kata atau hanya mengekspresikan segalanya dengan seenak hati. Akan tetapi, sebuah puisi butuh kematangan dalam hal diksi, kohesi, dan juga koherensi sehingga dapat diapresiasikan, diinterpretasikan, hingga didapatlah kegembiraan dan manfaat darinya. Pertanyaan selanjutnya yang tak kalah penting yaitu, bagaimanakah caranya menumbuhkan minat menulis puisi? Menjawab pertanyaan itu berarti kita sedang membahas langkah awal seseorang berpuisi.

Pertanyaan tersebut juga akan bercabang, yakni merujuk kepada diri sendiri dan orang lain. Sebuah awal, terkadang menjadi hal tersulit bagi seseorang. Mengawali sesuatu perlu daya dorong dari dalam diri sendiri di samping adanya pengaruh faktor luar. Ada kerja sama yang kuat antarkeduanya. Sebagai contoh, saat bangun pagi ada kalanya kita merasa malas beranjak dari tempat tidur. Maunya rebahan terus dan terlelap dalam tidur kembali. Akan tetapi, ketika kita memiliki daya dorong untuk segera beranjak dari atas kasur, lalu mencuci muka, lalu beraktivitas lainnya seperti menikmati secangkir kopi, maka awal itu pun menjadi mudah. Begitu pula dengan menulis puisi. Kita perlu adanya dorongan dalam diri sendiri dalam menuliskannya. Dorongan inilah yang perlu kita tumbuhkembangkan terus-menerus.

Lantas apakah yang dapat kita lakukan sebagai faktor luar untuk menumbuhkembangkan minat menulis puisi kepada orang lain, terutama sekali kepada anak-anak?

Saya yakin semua sepakat bahwa generasi muda adalah penerus generasi sebelumnya. Itu berlaku sejak dulu. Saya dulunya juga anak-anak. Di sekolah diajarkan tentang puisi. Dan di luar itu, para orang tua, masyarakat, dan juga lembaga pemerintah yang terkait dengan sastra sebenarnya bisa bertindak sebagai motivator dalam penumbuhkembangan minat menulis puisi ini. Berkenaan dengan hal itu, ada beragam cara untuk memotivasi anak-anak menulis puisi. Tapi yang perlu diingat, semuanya itu dilakukan secara perlahan dan menarik. Kemenarikan ini dapat berwujud lomba membaca puisi dan lomba menulis puisi bagi anak-anak. Itulah sebabnya, saya secara pribadi sangat menyambut gembira saat ditunjuk sebagai salah seorang juri lomba mencipta puisi anak SD oleh Balai Bahasa Kalimantan Selatan pada hari Selasa, 23 Oktober 2018 lalu.  Lomba ini termasuk bagian dari Gebyar Literasi Tahun 2018.
Spanduk Gebyar Literasi Tahun 2018
Yang membuat saya tercengang dan senang, menurut informasi dari panitia, ada banyak anak SD di beberapa Kabupaten dan Kota di Kalimantan Selatan antusias mendaftarkan diri menjadi peserta lomba ini. Rencananya, lomba tersebut akan dibagi menjadi dua kategori. Pertama kategori siswa kelas 1—3 SD dan kedua dari kelas 4—6 SD. Adapun tentang tema, saya baru mengetahuinya belakangan, yakni tentang sekolahku, teman baru, dan binatang kesayangan. Sedang para peserta baru mengetahuinya saat akan dimulainya lomba. Hal ini memang sudah menjadi aturan main dalam setiap lomba mencipta puisi agar terhindar dari adanya kecurangan semisal plagiat oleh para peserta.

Mengenai tema, saya setuju dengan panitia. Selain tidak jauh dari kehidupan mereka, tema-tema tersebut juga mengajak anak lebih akrab dengan suasana belajar, guru-guru, dan juga hubungan baik antarsesama, baik sesama manusia, maupun dengan makhluk lain, seperti binatang kesayangan. Bagi saya pribadi ini sesuatu yang sangat seru. Mengapa? Karena selain menumbuhkan minat menulis puisi, anak-anak juga diajak peka terhadap dunia sekitarnya. Saya pribadi menyebutnya dengan ungkapan, "Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui." Artinya, satu kali melakukan pekerjaan, mendapatkan beberapa hasil sekaligus.

Nah, adapun susunan acara pelaksanaan yang telah berlangsung tanggal 31 Oktober 2018 adalah sebagai berikut.

Lebih kurang pukul 08.00—08.30 Wita Ketua Panitia Gebyar Literasi Tahun 2018—Musdalipah, M.Pd—membuka dan memberikan pengarahan tentang lomba kepada para peserta. Dalam pengarahan ini dipaparkan mengenai tema yang berupa sekolahku, teman baru, dan juga binatang kesayangan. Selagi pemaparan berlangsung, para anggota panitia membagikan kertas berisi tema tersebut di atas meja masing-masing peserta. Setelah para peserta mengisi nomor (peserta) di lembar penulisan puisi, para bapak dan ibu guru, juga pengantar (peserta) dipersilakan meninggalkan ruangan lomba. Hal ini agar mereka tidak merasa terganggu saat menciptakan puisi.

Para Peserta Lomba Sedang Menciptakan Puisi Mereka

Selanjutnya, naskah-naskah puisi yang sudah selesai dikumpulkan untuk dinilai para juri. Penilaian berlangsung sekitar pukul 09.30—13.00 Wita. Dewan juri terdiri atas Tajuddin Noor Ganie, Mahmud Jauhari Ali, dan Annasabiqatulhusna. 

Puisi-Puisi Peserta Lomba di Meja Dewan Juri
Kemudian barulah surat keputusan dewan juri dibacakan.

Para pemenang Lomba Mencipta Puisi bagi Siswa SD/MI Kelas 1—3 Se-Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut.

  1.         Pemenang ke-1 atas nama Qorira Raihana Rubi Laksono dari SDIT Insantama Banjarbaru dengan jumlah nilai 643;
  2.         Pemenang ke-2 atas nama Azkia Nor Magfirah dari SDN Pemurus Luar 1 Banjarmasin dengan jumlah nilai 642;
  3.      .  Pemenang ke-3 atas nama Kafaina Billahi Wakila dari SDIT Nurul Fikri Banjarbaru dengan jumlah nilai 640;
  4.         Harapan ke-1 atas nama Haifa Novita Sari dari MIN 4 Banjar dengan jumlah nilai  636;
  5.         Harapan ke-2 atas nama Feby Aulia Puteri dari SDN 2 Loktabat Selatan Banjarbaru dengan jumlah nilai 634;
  6.         Harapan ke-3 atas nama Alya Nabila Puteri dari SD Muhammadiyah Hj. Nuriyah Banjarbaru dengan jumlah nilai 633.
Para pemenang Lomba Mencipta Puisi bagi Siswa SD/MI Kelas 1—3 Se-Kalimantan Selatan 
Sementara itu, para pemenang Lomba Mencipta Puisi bagi Siswa SD/MI Kelas 4—6 Se-Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut.
  1.         Pemenang ke-1 atas nama Daffa Aulia Rahman dari SDN 4 Guntung Manggis Banjarbaru dengan jumlah nilai 704;
  2.         Pemenang ke-2 atas nama Amanda Nurazizah dari SDN 3 Cempaka Banjarbaru dengan jumlah nilai 703;
  3.         Pemenang ke-3 atas nama Hafizatul Adzkiya dari MIN 2 Hulu Sungai Tengah dengan jumlah nilai 700;
  4.         Harapan ke-1 atas nama Najwa Azzura Puteri Ar-Rahman dari SDN Loktabat Utara 1 Banjarbaru dengan jumlah nilai 698;
  5.         Harapan ke-2 atas nama M. Rohan Rifqi dari SDN 3 Loktabat Utara Banjarbaru dengan jumlah nilai 697;
  6.         Harapan ke-3 atas nama M. Zidny Ilman Fazada dari MDIM 1—2 Sei Kindaung Banjarmasin dengan jumlah nilai 695.
Para pemenang Lomba Mencipta Puisi bagi Siswa SD/MI Kelas 4—6 Se-Kalimantan Selatan
Demikianlah lomba yang merupakan upaya menumbuhkembangkan minat dan semangat dalam berpuisi bagi anak-anak.  Tentunya kita bersama berharap lomba ini tidak berhenti sampai di situ saja. Akan tetapi, akan tertanam kuat minat dan semangat para peserta lomba untuk terus mencipta puisi, baik hari ini, maupun hari esok.  






Sunday, October 28, 2018

Pesta Puisi Rakyat


"Puisi Sebagai Renjana dan Sikap Budaya"

Dimeriahkan oleh 200 peserta seluruh Indonesia dan negara tetangga yang InsyaAllah diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 17--18 November 2018.

Acara pada 17 November 2018
  1. Pembukaan oleh Gubernur DKI Jakarta
  2. Pembacaan puisi (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura)
  3. Bincang-bincang tentang Hari Puisi Indonesia bersama Rida K Liamsi, Maman S Mahayana, Ahmadun Yosi Herfanda, Asrizal Nur, dan dimoderatori Ewith Bahar
  4. Bincang-bincang puisi dunia bersama Danny Susanto dan Bastian Zulyeno yang dimoderatori Maman S Mahayana
  5. Pembacaan puisi oleh pejabat, tokoh masyarakat, artis, guru, dll.
  6. Musikalisasi puisi oleh Deavies Sanggar Matahari, dll.
  7. Dramatisasi puisi oleh Teater Tanah Air, dll
  8. Bazar buku sastra (cp. Indra Kusuma: 081807347418).
Acara pada 18 November 2018
  1. Pembacaan puisi (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura)
  2. Bincang-bincang tentang buku pemenang Sayembara Buku Puisi HPI bersama dewan juri (Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan Maman S Mahayana dengan dimoderatori Sofyan RH Zaid
  3. Peluncuran buku antologi puisi Hari Raya Puisi (Pemenang Sayambera Buku Antologi Puisi Anugerah HPI 2013--2017
  4. Pembacaan puisi para Pemenang Sayambera Buku Antologi Puisi Anugerah HPI 2013--2017
  5. Musikalisasi puisi oleh Deavies Sanggar Matahari, dll
  6. Dramatisasi puisi oleh sanggar/komunitas seni
  7. Pembacaan puisi oleh tokoh masyarakat, artis, guru, dll.
Bagi penyair, komunitas seni, guru, dan masyarakat yang berminat mengisi acara, silakan hubungi panitia, terbatas hanya untuk 200 peserta.

Narahubung
Ade Novi: 081381343937
Jimmy S Johansyah: 081290249896
Dyah Kencono Puspito Dewi: 085780408379

Paling lambat 10 November 2018. Durasi baca puisi 5 menit dan musikalisasi/dramatisasi puisi 10 menit. Setiap peserta mengirimkan foto dan profil singkat untuk dimuat di buku acara. Panitia menanggung penginapan peserta di luar Jabodetabek. (Sumber: panitia dan ditulis ulang admin). 

Sunday, October 21, 2018

Antara LGBTIQ, Ramses II, dan 67 Tahun Prabowo Subianto



Ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi mengenal dirinya sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran.--Sun Tzu


Setahu saya, tiga fenomena dalam judul di atas begitu sering dibahas sebagian orang akhir-akhir ini. Terutama yang ketiga. Dalam hal ini saya tak perlu menyebutkan pihak mana saja yang membahasnya. Tapi yang jelas, pembahasan mereka telah mengusik ketenangan saya secara pribadi.  
Lalu, apa yang terbayang dalam benak Anda setelah membaca ketiganya? 

Prabowo Subianto seorang pendukung LGBTIQ dan sombong bak Ramses II yang seorang fir'aun itu? Atau mungkin muncul sebuah bayangan aneh, yakni berupa sosok salah seorang capres dalam pilpres tahun depan tersebut adalah seorang gay? Agaknya, mungkin malah muncul pertanyaan lain, mengapa saya  menghubung-hubungkan ketiganya? Bukankah ketiga fenomena ini berdiri sendiri?  

Baiklah, daripada dicecar pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, sebaiknya saya mulai saja celoteh ini. Awalnya saya ragu menuliskannya. Akan tetapi, akhir-akhir ini ketiganya terus berseliweran bagai burung-burung elang yang meliuk dengan bebas di bawah awan. Akhirnya, saya pun berusaha  menuliskannya dengan sangat sederhana.

Pertama, LGBT. Atau dewasa ini bertambang dengan dua kata lainnya, yakni inseksual dan queer sehingga menjadi LGBTIQ. Semuanya bisa dikatakan di luar kebiasaan manusia normal. Ya, normal dalam arti  kebiasaan di luar yang mereka lakukan. Mereka yang saya maksud adalah pelaku atau yang mengalami langsung LGBTIQ itu sendiri. Alhasil, mereka melahirkan perbedaan dari lazimnya manusia normal atau cisgender berkenaan dengan orientasi seks, perubahan fisik, dan lain sebagainya yang saya yakin para pembaca sudah sangat memahaminya. 

Kemudian Ramesses II atau Ramses II. Orang-orang sering menyebutnya dengan nama Fir'aun saja. Sebab, ia memang seorang fir'aun atau penguasa tertinggi di Kerajaan Mesir Kuno. Dalam sejarah jelas tercatat ada banyak fir'aun selain dirinya. Meski demikian, saya menyebut satu nama, yakni Ramses II. Mengapa? Karena yang akan saya bahas ialah satu orang yang berkuasa penuh pada masa Nabi Musa as. Dan jika kita menyandarkan pada teologi dan sejarah berkenaan dengan  hal itu, maka fir'aun yang berkuasa sebelum kelahiran Nabi Musa as dan yang tenggelam di Laut Merah adalah orang yang sama, yakni Ramses II tersebut. Penjelasan singkatnya begini, dari rentang waktu lahirnya Nabi Musa as hingga tenggelamnya fir'aun, lebih daripada 60 tahun. Hanya Ramses II lah yang memenuhi kriteria itu karena ia adalah fir'aun  paling lama berkuasa, yakni selama 66 tahun (1279--1213 SM). 

Ramesses atau Ramsea II juga merupakan fir'aun yang berkuasa pada masa puncak kejayaan Kerajaan Mesir Kuno. Itulah sebabnya, tak ada siapa pun yang berani melawannya sehingga dia mengaku sebagai Tuhan. Sebuah pengakuan yang merupakan tingkat tertinggi kesombongan manusia.  

Selanjutnya Prabowo Subianto. Ada apa dengan sosok yang satu ini? Apa hebatnya orang itu? Pernah menjadi pejabat militer semisal Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus era kepimpinan Presiden Soeharto? Berhasil mencapai puncak Everest? Pengusaha sukses? Tokoh politik? Atau apa? Saya tidak berpikir yang muluk-muluk tentang Prabowo Subianto. Akhir-akhir ini saya menemukan perkataan orang itu yang sangat sederhana. Tapi, kalau kita mau memperhatikannya, itu luar biasa. Apa perkataannya yang saya maksud? Lebih kurang begini, "...Saya tidak merasa berbuat salah, tapi saya akui saya grusa-grusu (bahasa jawa: terburu-buru). Tim saya ini baru, baru belajar," ujar Prabowo Subianto.

Perkataan Prabowo Subianto itu menjadi terkesan sangat sederhana karena hanya berisi pengakuan. Saya menitikberatkan pada pengakuan bahwa dirinya grusa-grusu. Pengakuan seperti itu malah bisa juga diartikan negatif. Lalu mengapa saya katakan luar biasa? Di mana letak keluarbiasaannya?

Saya akan mencoba menjelaskannya secara ringkas. Yang perlu sekali Anda renungkan terlebih dahulu adalah pertanyaan singkat ini, "Pernahkah Anda berpikir bahwa perlu jiwa besar untuk sebuah pengakuan atas kelemahan diri sendiri?" Terlebih diutarakan di depan publik secara terang-terangan? Tentu pengutaraan seperti itu terjadi jika dilandasi dengan kemampuan pengenalan diri sendiri. Bagian terakhir itulah yang sebenarnya menjadi topik pembahasan saya dalam tulisan atau katakanlah celoteh sederhana ini. 

Pengenalan diri sejatinya merupakan kekuatan setiap orang. Ketika seseorang telah mengenal dirinya sendiri, berarti ia tahu apa yang idealnya akan dilakukannya. Yakni, memperbaiki kekurangan dan meningkatkannya menjadi kelebihan diri. 

Pada bagian atas tulisan ini, tepatnya di bawah judul, saya kutip perkataan Sun Tzu. Yakni seorang filsuf yang sekaligus jenderal besar dari Negara Wu pada Zaman Musim Semi dan Gugur. Sebuah masa di penghujung Dinasti Zhou. Dalam sebuah buku filsafat militer yang dia tuliskan dengan judul Sun Zi Bingfa, terdiri atas 13 bab, tertulis seperti itu adanya.

Ketiga belas Bab itu adalah, Bab Kalkulasi, Bab Perencanaan, Bab Strategi, Bab Kekuatan Pertahanan, Bab Formasi, Bab Kekuatan dan Kelemahan, Bab Manuver, Bab Sembilan Variasi, Bab Mobilitas, Bab Tanah Lapang/Medan, Bab Sembilan Situasi Klasik, Bab Menyerang dengan Api, dan Bab Intelejen. Buku filsafat militer ini tidak sekadar diterapkan di timur tetapi juga di dunia barat. Sun Tzu atau juga dijuluki filsuf Sun (Sun Zi), dikenal begitu piawai dalam memenangkan peperangan dalam medan pertempuran. Khusus pada bab III dalam buku itu, dia menuliskan tentang pengenalan diri seperti yang saya kutipkan di atas tadi.

Ada tiga poin penting berkaitan pengenalan diri ini. Kalau kita rinci, sebagai berikut. 
1. Ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran.
2. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh), tetapi mengenal dirinya sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. 
3. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran.

Jika kita maknai secara apa adanya, bab iii dari buku filsafat  itu, maka hanya berlaku di dunia militer. Akan tetapi, sebenarnya maknanya dapat meluas karena berlaku juga di setiap aspek kehidupan. Kata "musuh" tidak hanya dimaknai pihak lawan dalam medan peperangan. Bisa saja berupa nafsu, penyakit, kemalasan, saingan bisnis, kesombongan, dan lain sebagainya. 

Sebagai contoh, orang yang mengenal dirinya sebagai penderita asam urat, tentu dia akan berusaha mengobatinya. Setelahnya, dia akan mengurangi makanan yang mengandung banyak purin semisal emping. 

Begitu pula dalam kaitannya dengan perkara-perkara di atas yang masih hangat dibahas dewasa ini. LGBTIQ? Ya. Siapa pun yang mengenal dirinya sebagai perempuan misalnya, tentu dia akan hidup normal layaknya perempuan ideal. Ia akan menghindari segala hal yang mengarahkan dirinya pada menyukai sesama perempuan. Dengan demikian tidak ada pula hasrat dan naluri menjadi seorang lesbian dalam dirinya. Pria yang mengenal dirinya sebagai pria pun seperti itu. Intinya, pengenalan diri yang sejati menghindarkan manusia dari aktivitas lesbian, gay, biseksual, trangender, dan ketidaknormalan lainnya. Dalam hal ini tentu termasuk pula pengenalan diri terhadap hal gaib, yakni gangguan jin. Memang, bagi yang percaya, LGBTIQ bisa dikarenakan gangguan jin. Orang-orang menyebutnya jin saka atau jin leluhur. Mereka yang mengenal dirinya mendapatkan gangguan semacam itu, akan segera melakukan ruqyah agar terbebas dari jerat jin tersebut. Semua itu akan berbeda jika yang bersangkutan tidak mengenal diri sendiri dan musuh atau lawan.

Lalu Ramesses II? Adalah kesombongan yang menjadi musuh utamanya. Pengakuan dirinya sebagai Tuhan merupakan wujud kesombongan tertinggi manusia. Itu berarti, semua ada di bawahnya. Dengan kata lain ia merasa dan mengaku di atas segala. Hanya dia yang berkuasa. Dialah yang terhebat di alam semesta ini. Padahal ia hanyalah manusia biasa. Manusia yang lemah. Jika terkena sabetan pedang pun akan merasakan kesakitan luar biasa. Kenyataan dirinya yang mengaku Tuhan itu menunjukkan ia sama sekali tidak mengenal siapa dirinya. Seumpama ia mengenal dirinya sebagai manusia biasa, tentu sifat sombong seperti itu akan jauh darinya. Akibat kesembongannya itulah, ia binasa di Laut Merah.

Hal itu sangat berbeda dari Prabowo Subianto. Saya pribadi bukanlah pengagum dirinya. Bahkan, pada pilpres 2014 lalu saya pendukung Jokowi- JK. Akan tetapi, saya juga boleh jujur, 'kan bahwa Prabowo yang mantan Komjen Kopassus tersebut sudah mengenal dirinya? Yaitu mengenal dirinya sebagai pria yang grusa-grusu.

Pengenalan seperti ini sangat ideal menurut saya. Mengapa? Sebab, pria yang baru saja berulang tahun ke-67 itu juga baru saja memulai perjuangannya sebagai capres untuk menjadi Presiden RI pada 2019 yang akan datang. Apa artinya? Mengenal diri sendiri di awal perjuangan sejatinya langkah yang sangat ideal. Siapa pun tak bisa memungkiri kenyataan bahwa masih banyak kesempatan baginya untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada masa-masa yang akan datang. Berbeda jika ia tidak atau belum mengenal siapa dirinya. 

Prabowo Subianto hanyalah satu contoh. Melalui celoteh ini sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa mengakui kelemahan sendiri sebagai wujud pengenalan diri ini, merupakan modal utama dan sekaligus bukti seseorang itu berjiwa besar dalam menuju kemenangan. Tentunya menang dalam kebaikan dan keberkahan. Akhirnya saya pun harus mengakiri celoteh ini dengan wassalam. (MJA)

Sumber gambar: https://pixabay.com (gratis)

Monday, October 15, 2018

Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XI Kudus 5--7 April 2019.




Membahas sastra seakan tidak ada matinya. Sejak zaman dahulu kala nenek moyang kita sudah mahir bersastra dalam bentuk mantra dan pantun misalnya. Kemudian seiring pergerakan kehidupan manusia menuju zaman ke zaman, bermunculanlah berbagai jenis sastra. Puisi, tak lagi sekadar mantra, pantun, syair,  haiku, dan puisi lama lainnya. Tetapi, lebih kepada puisi-puisi mutakhir. Puisi-puisi yang tidak terikat aturan-aturan ketat seperti puisi lama zaman dulu. Begitu pun dengan prosa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berbagai genre telah hadir di tengah-tengah masyarakat dengan peradaban  tinggi.


Hal yang demikian tersebut tidak terlepas pula dari adanya lomba-lomba, diskusi-diskusi, dan ajang pembacaan karya lainnya. Tentu kita menyambut gembira segala kemajuan sastra ini. Termasuk pula sebuah helat sastra besar bernama Pertemuan Penyair Nusantara (PPN).  Dan, sebagaimana informasi yang kami  dapatkan, tahun 2019 yang akan datang PPN XI diadakan di Provinsi Jawa Tengah. Tepatnya di Kota Kudus  pada 5--7 April 2019. Salah satu agenda dalam rangkaian kegiatannya adalah, panitia akan menerbitkan, meluncurkan, dan mendiskusikan buku antologi puisi bersama karya para penyair Nusantara.


Itulah sebabnya,  Panitia PPN XI mengundang para penyair di kawasan Nusantara yang meliputi Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Timur Leste untuk mengirimkan masing-masing satu puisi terbaiknya. Adapun ketentuan puisi dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. Tema, “Puisi untuk Persaudaraan dan Kemanusiaan”.
  2. Panjang puisi bebas.
  3. Harus merupakan puisi baru ciptaan tahun 2015--2018.
  4. Melampirkan biografi ringkas maksimal separuh halaman A4 ketikan satu spasi, dan foto diri terbaru close-up .
  5. Naskah puisi beserta biografi dan foto diri harus sudah diterima Panitia paling lambat 10 Desember 2018.
  6. Naskah puisi beserta lampirannya harap dikirimkan via email ke puisippnxi@gmail.com. Bagi penyair Indonesia yang tinggal di wilayah Jawa Tengah harap di-CC ke sosiawan.leak@yahoo.com. Bagi penyair Indonesia yang tinggal di luar Jawa Tengah harap di-CC ke kreativa78@gmail.com. Bagi penyair manca negara harap di-CC ke kurator masing-masing negara.
Sebagai informasi tambahan, puisi-puisi yang diterima panitia akan diseleksi oleh Tim Kurator dari wilayah dan negara masing-masing yang terdiri atas:
  1. Kurator Jawa Tengah: Sosiawan Leak, Jumari HS, dan Mukti Sutarman Sp.
  2. Kurator Indonesia (minus Jawa Tengah): Ahmadun Yosi Herfanda, Chavchay Syaifullah, dan Kurnia Effendi.
  3. Kurator Malaysia: Mohamad Saleeh Rahamad (saleeh334@gmail.com).
  4. Kurator Filipina: Shirley O. Lua (dalam konfirmasi).
  5. Kurator Brunei Darussalam: Jefri Ariff (zefriariff@hotmail.com).
  6. Kurator Thailand: Mahroso Doloh (mahroso_doloh@yahoo.com).
  7. Kurator Singapura: Jamal Tukimin (djamal.tukimin@gmail.com).
  8. Kurator Timur Leste: Abe Barreto Soares (dalam konfirmasi).
Bagi penyair yang karyanya lolos kurasi (terpilih), akan diundang secara khusus oleh Panitia sebagai peserta PPN XI Kudus. Sementara yang belum mendapatkan kesempatan lolos, tentu harus tetap semangat. Sebab, sastra itu tidak sekadar pertemuan dan berhasil lolos dalam seleksi antologi puisi bersama. Seperti yang kami sampaikan di awal, sejarah mencatat bahwa sastra terus berkembang seiring pergerakan kehidupan manusia itu sendiri. Bergerak dan terus bergerak. Akhir kata, teruslah berkarya, selalu semangat, dan wassalam. (Admin)

Sumber informasi PPN XI: https://www.kawaca.com/2018/10/undangan-terbuka-ppn-xi-kudus-2019.html


Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)


Thursday, October 11, 2018

Sang Katak Pemecah Sunyi



Furuike ya
kawazu tobikomu
mizu no oto -Matsuo Basho


Sunyi. Adakah yang lebih sunyi daripada hati? Atau pernahkah hati itu sunyi? Kesunyian terkadang melampaui perkara-perkara biasa. Dalam sunyi, lahirlah kata-kata, lalu menjadi karya, puisi misalnya. Sebab, saat sunyi itulah bermunculan "kegaduhan" ide-ide yang seakan berlarian, berjumpalitan dengan liar, bahkan beterbangan sesuka mereka. Begitu memukau, mencuri hasrat untuk mengambilnya, meramunya, hingga menjadi karya-karya. Ya, sunyi itu gaduh. Setidaknya demikian kira-kira yang terselip dalam pemikiran sebagian orang tentangnya. Dengan sunyi, tercipta pintu-pintu pencerahan baru. Sebagaimana sebab melahirkan akibat.

Kadang, demikianlah pula bayangan yang muncul di benak saya setelah membaca haiku karya Matsuo Basho di atas. Dan saat membacanya, secara sadar seakan saya sedang berada di dekat kolam tua. Melihat seekor katak menceburkan dirinya sehingga air yang semula tenang menjadi pecah dan beriak.

Haiku memang indah meski singkat dan terikat aturan yang ketat. Sangat terkesan ada keteraturan yang nyaris mutlak keberadaannya. Mungkin hal itu dikarenakan Basho lahir di keluarga samurai. Dirinya pun pernah menjadi ksatria gagah berani yang super tertib dalam segala laku hidup itu. Tapi, saya tidak sedang membahas tata aturan dalam haiku semisal pola suku kata dalam larik-lariknya yang dikenal dengan pola 7-5-7. Sebab, pikiran saya masih terlena oleh sang katak yang memecah keheningan dalam haiku Basho tersebut. Saya pikir, ada baiknya kita baca juga terjemahan lengkapnya sebagai berikut.

Di kolam tua
Seekor katak melompat
Air pun pecah

Ada beberapa hal yang saya tangkap dari tiga baris itu. Pertama, adalah citraan atau imagery. Yakni gambaran angan yang tercipta saat membaca puisi. Apa sajakah citraan yang muncul di otak saya saat membaca haiku karya Matsuo Basho itu? Citraan penglihatan. Ya, memang benar adanya bahwa seakan-akan saya melihat sebuah kolam tua yang airnya tenang dan jernih. Di sekitarnya ada bebatuan dan rerumputan hijau yang segar. Begitu indah. Begitu memukau mata dan hati. Masih dalam citraan yang sama, tebayang seeokor katak yang sehat. Pada saat makhluk kecil tersebut melompat, lahirlah citraan gerak. Terbayang sebuah gerak lompatan melengkung ke udara hingga tubuhnya masuk ke dalam air. Kemudian airnya yang tenang itu pun pecah akibat ditimpa tubuh sang katak. Maka, muncullah pula citraan pendengaran. Suara air.

Kedua, menjaga alam dan isinya. Segala yang digambarkan Basho dalam haikunya berkenaan dengan kolam, katak, dan air sangatlah indah. Sebuah kehidupan yang ideal. Tidak rusak. Tidak kacau. Sangat alami dan bersahabat. Meski air pecah, hal itu tidak serta-merta menyebabkan kehancuran alam dan kerugian bagi umat manusia dan lainnya. Berbeda sekali jika hal tersebut dipertentangkan dengan pembabatan hutan secara liar atau penambangan sumber daya alam yang berlebihan. Dengan sadar tak bisa dipungkiri, sebagai manusia, kita membutuhkan alam dan makhluk-makhluk di dalamnya. Itulah sebabnya, hal paling ideal yang kita lakukan adalah, menjaga kelestarian alam beserta isinya agar hidup dan kehidupan ini menjadi seimbang dan terhindar dari bencana alam. Contoh nyatanya berupa berbuat baik kepada dunia sekitar. Yakni dengan tidak berbuat dosa seperti tidak membakar lahan tanpa aturan. Alhasil alam pun bersahabat dengan kita. Dalam perkara ini ada satu hal  yang perlu kita ingat bersama bahwa jika alam rusak, kita juga yang susah. Berusaha menyelamatkan alam beserta flora dan faunanya, berarti kita sedang menyelamatkan hidup manusia di jagat ini.

Ketiga, ialah hukum sebab-akibat. Dengan kata lain, saya menangkap adanya kausalitas. Disebabkan oleh  katak melompat hingga menceburkan dirinya masuk ke dalam kolam, sehingga air yang tenang pun pecah dan beriak. Dalam hidup memang demikian, 'kan? Ada hukum-hukum alam yang berlaku. Ditusuk jarum, maka terasa sakit. Ada gravitasi, maka jatuhlah daun-daun. Alam rusak, maka bencana alam pun terjadi. Termasuk dalam menulis puisi haiku itu sendiri. Lancar kaji karena diulang. Semakin kita sering menulis atau mengalami aktivitas menulis puisi misalnya, maka semakin berkualitaslah hasil tulisan kita. Begitu pula dalam keterampilan berbahasa lainnya. Katakanlah keterampilan berbicara. Hal terakhir tadi sangat erat dalam hidup kita sehari-hari. Contoh, ketika ada seseorang menguasai bahasa Indonesia, Korea, Inggris, Jerman, dan Thailand, tetapi yang bersangkutan hanya sering menggunakan bahasa Indonesia, tentulah dia akan lebih fasih berbahasa Indonesia daripada saat menggunakan bahasa-bahasa lainnya. Termasuk fasih dalam melafalkan setiap bunyi bahasa (fonem) yang secara ortografi disebut huruf. Yakni huruf demi hurufnya. Seperti fonem /h/ dalam kata "harus" dilafalkan /h/ dan bukan bunyi lainnya.

Keempat, tentang doa dan usaha. Semua hukum pada poin ketiga itu tentu berlaku atas kehendak-Nya yang kuasa. Sebagai makhluk, kita meyakini dan menjalaninya dengan keihklasan, termasuk dalam hal berdoa dan berusaha. Semisal, karena jatuh, timbullah rasa sakit. Maka, berusahalah untuk berhati-hati agar tidak jatuh. Setidaknya ada usaha menghindarinya.

Dan yang terakhir, meski tidak digambarkan Basho, tapi saya menangkap sebuah harapan yakni air yang pecah bisa tenang kembali. Harapan yang indah sebenarnya merupakan penyemangat dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan adanya harapan, orang-orang termasuk kita akan giat menggapainya.

Sebagai penutup saya pun berharap yang terbaik, termasuk untuk bangsa Indonesia ke depan. Tetap semangat dan jangan lupa bahagia. (MJA)

Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

Wednesday, October 10, 2018

Tawa yang Tersembunyi



"Ombak bergulung. Buih-buihnya membelai pantai. Sedang di atas awan, puncak gunung tertawa riang dalam euforia senja."

Suara Selia bagai kecupan lembut yang mendarat di hatiku malam ini. Dan napasnya mengajakku melukis laut sambil menyanyikan lagu-lagu angin yang mendesir.
Tentang cinta, kerinduan, dan amarah panjang di lintasan asmara dalam asrama bukit batu yang melahirkan kenangan.

Lalu aku diam. Dia mengikuti katup bibirku sepanjang deru mesin perahu kecil yang melintas pelan di dekat kami. Sementara waktu berdenting seiring desir angin di buritan sini.

"Pernahkah kaudengar bisik-bisik antara kedelai, garam dapur, dan nasi putih dalam menu di atas meja sewarna pelangi?" tanyanya memecah kebisuan dalam bahasa cinta.

Aku tatap udara yang menerbangkan selembar daun di bawah lampu-lampu perahu. Dan pada malam, pada gemerlap bintang-bintang, aku mengangguk lugu.

"Adakah pula, kaulihat seikat bayam, sepasang wortel, tujuh butir telur, dan sembilan siung bawang numpang eksis di akun media sosial emak-emak kekinian?" tanyanya lagi.

Ya, dan adakah kaubaca di media-media besar dan megah bahwa rupiah terjatuh di depan kaki dolar paman Sam pada senja yang rawan?

Selia mengangguk.
"Lalu masih ingat jugakah kau pada barisan mahasiswa yang bersuara lantang dalam demokrasi selama tahun-tahun bergaram?"

Oooh demokrasi!

Adakah yang lebih demokratis daripada suara-suara cinta antara pantai dan laut?

Mendebur-debur
Membasahi pantai
menyapu bibir mungilnya yang berpasir, 
lalu membawanya pulang bersama canda dan tawa.

Tak lama setelah itu kami menyanyikan sebuah lagu laut, "Ooooo, demokrasi! Dari rakyat, kembali ke rakyat! Seperti air laut kembali ke laut. Maka, dengarlah suara kami yang berpeluh di bawah rembulan dan tiang-tiang harapan. Jangan pukul kami! Jangan dorong kami! Jangan seret kami! Sebab, pada mula melaut, di situlah tekad dilayarkan, bersama-sama menuju dermaga harapan."

O, harapan
Bilakah digapai seperti seorang ibu memeluk  anak-anaknya yang merantau jauh di pulau seberang?
Sedang demokrasi sering diingkari
Kau lihatlah! Saat langit terusik, mereka melukis fitnah di jidat pengkritik. Oposisi dicap antinegara, intoleransi, radikal, bahkan dilabeli antiideologi yang sah.

"Oh, fitnah-fitnah bagai nanah di atas terompah. Dan, kita akan dianggap ada saat membahas kekuasaan mereka saja."

Kemudian, bumi bergetar. Air laut meluap. Teriakan seakan melahap udara. Lalu bibir mungil pantai disapu arus deras yang memburu. Sedang di kepalaku terbayang laut sedang menenggelamkan kekejian di timur, di barat, dan di Jazirah Arab dalam gemuruh cinta yang purnama.

By MJA

Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

Tuesday, October 9, 2018

Berada di TKP Ataukah Merekayasa Alibi



Heboh. Mungkin itulah kata paling heboh di jagat media sejak kemarin. Bukan perkara gempa. Apalagi tsunami. Tapi, bisa jadi merupakan keduanya bagi pihak terkait, terutama yang bersangkutan sendiri. Adalah Ratna Sarumpaet. Seorang seniman, sudah lama berkecimpung di dunia penulisan dan panggung, bahkan aktivis senior telah membuat heboh negeri ini dengan sebuah kebohongan. Namun bisa dikatakan, kebohongan yang mengundang tanda tanya. Setidaknya terbesit sebuah pertanyaan sederhana, apa benar seperti itu kenyataannya? Seorang pengarang cerita seperti dia tentu paham betul betapa pentingnya latar tempat. Sebab, setiap peristiwa pastilah terjadi di suatu tempat, bukan? Katakanlah di gunung, desa, kota, dan lainnya, termasuk di got yang becek. Karena itulah, penentuan lokasinya tidak boleh sembarangan. Termasuk juga mempertimbangkan nalar sesuai isi ceritanya. Sebut saja dia mengarang dirinya dipukuli di Kota Bandung. Maka, untuk membangun alur cerita yang masuk akal, dia sendiri harus diperjalankan dan sampai di kota itu. Bukannya malah menempatkan dirinya sendiri di kota lain, yakni Jakarta. Berbeda jika tokoh Ratna ini yang memukuli dan hendak merekayasa alibi, barulah tempat lain diperlukan sebagai bukti bahwa dia pada waktu peristiwa terjadi tidak berada di tempat kejadian perkara.

Melihat dari sisi ini, ceritanya terkesan main-main. Tidak serius. Malahan alurnya seperti sengaja dibuat sesingkat-singkatnya terbongkar bahwa dia berbohong. Lalu muncul pertanyaan, mungkinkah seorang Ratna membuat naskah sejelek itu? Ataukah kebohongan itu adalah suspense yang sengaja diciptakan Ratna agar menimbulkan pertanyaan dengan harapan masyarakat kian penasaran akan kelanjutannya? Kemudian foreshadowing-nya akan dimunculkan pada babak berikutnya? Agaknya hanya dia dan Tuhan saja yang tahu jawaban tersebut. Dan, InsyaAllah kita akan mengetahuinya seiring rentang waktu penceritaan hingga usai. Lama atau tidak yaaaa?

Meski demikian, satu hal yang saya tangkap. Secara sadar atau tidak, dia sudah membuka sebuah pintu dalam dunia politik saat ini. Coba perhatikan, ada saja makhluk politik yang gigih mengaitkan antara kebohongan Ratna dan statusnya yang juga sebagai pelaku seni sastra. Sebut saja ada yang mengatakan bahwa Ratna tidak sendirian dalam membuat kebohongan lemahnya itu, melainkan ada sutradara, dan lainnya. Ini terkesan sudah ada kait-mengait antara dunia politik dan dunia seni sastra. Kalau sudah begitu, mengapa para elit politik tidak sekalian saja memedulikan sastra secara serius? Maksud saya sastra dalam arti sesungguhnya, yaitu seni yang positif dan bukan bermakna kebohongan. Misalnya ke depan, ada paslon capres dan cawapres yang menyuarakan niat baik akan lebih memajukan dunia sastra di tanah air ini jika mereka menang dalam pilpres. Oh akan adakah? Sekali lagi kita tunggu saja seiring rentang waktu yang tersedia.

Ah, tapi sudahlah! Lupakan bagian terakhir soal kepedulian elit politik terhadap dunia sastra ini. Karena poin utamanya bukanlah itu. Melainkan, sebagai rakyat, kita idealnya memilih berada di TKP dan bukan merekayasa alibi. Maksudnya, menjadilah mandiri sebagai pelaku dalam pembangunan bangsa ini. Berimajinasilah, lalu berdoalah, dan berusahalah mewujudkan setiap imajinasi menjadi kenyataan. Dengan begitu, tidak sekadar impian yang tersimpan dalam jiwa, apalagi harus merekayasa alibi agar aman dalam kebohongan. Wassalam. (MJA)


Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

Pemimpin Ideal dan Bukan Pemimpin Milineal


"A leader is best when people barely know he exists, when his work is done, his aim fulfilled, they will say: we did it ourselves." - Lao Tzu


Jujur saja, saya terlalu menjadi orang awam untuk mengerti makna sejati dari kata "pemimpin". Banyak makna yang dikandungnya sesuai keberagaman sudut pandang setiap manusia. Berangkat dari situ ada yang mengatakan bahwa "sosok tertentu" adalah pemimpin baginya. Sementara yang lain berpendapat sosok lainlah yang cocok menjadi pemimpin. Mungkin dalam bahasa formalnya, "Entah siapa yang layak disebut pemimpin, terutama pada masa kini." Saya sendiri sering menemukan seseorang yang saya lihat sebagai pemimpin dari banyak orang di bawahnya, tapi tidak serta merta membuat saya kagum padanya. Kagum sebagai manusia, apalagi sebagai pemimpin. Mungkin benar bahwa kita tak dianjurkan mengagumi segala yang dicipta, melainkan kagumlah kepada Sang Pencipta.

Meski demikian, tentu ada harapan, setidaknya imajinasi memiliki pemimpin yang ideal. Misalnya mengutip pendapat seorang filsuf pada zaman Dinasti Zhou bernama Lao Tzu di atas. Menurutnya,
seorang pemimpin yang terbaik (paling ideal) adalah ketika orang hampir tidak tahu dia ada, ketika pekerjaannya selesai, tujuannya terpenuhi, mereka akan berkata: kita melakukannya sendiri. Kira-kira begitulah inti pemikiran dari filsuf yang hingga kini masih dimuliakan banyak orang tersebut. Kata-katanya jika cermati, mengandung makna yang dalam. Betapa tidak? Jarang orang yang bekerja secara diam-diam. Atau katakanlah tidak pamer. Kalau pun ada, sedikit sekali pemimpin yang seperti itu. Dia bekerja hingga visi tercapai, tapi tidak menginginkan dilihat, apalagi diliput banyak media untuk sekadar mendapatkan pujian. Jarang, 'kan? Sudah menjadi rahasia umum, secara empiris, hal yang paling susah ditiadakan adalah media. Suka tidak suka, mau tidak mau, realitas yang tersaji ialah pencitraan demi pencitraan sang pemimpin selalu ditampilkan di media-media massa. Terlebih jika sang pemimpin yang bersangkutan mencalonkan kembali sebagai pemimpin pada priode berikutnya. Ini satu contoh susahnya menjadi pemimpin yang ideal jika dikaitkan dengan pendapat Lao Tzu.

Lebih dalam lagi, saya masih ingat ada satu kalimat paling berat yang dipikul seorang pemimpin. Apa itu? "Setiap pemimpin bertanggung jawab atas orang-orang yang dipimpinnya." Bagi saya pribadi, ini berat sekali. Ya, ini berat, kamu tidak akan kuat, biar aku saja, ha ha ha. Beratnya begini, pemimpin, baik itu ketua karang taruna, kepala desa, kepala negara seperti raja, sultan, presiden, maupun lainnya wajib bertanggung jawab atas segala yang berkaitan dengan orang-orang (yang) dipimpinnyanya. Atau dengan kata lain, sebut saja presiden, jangan hanya karena ambisi pribadi yang besar, dia melupakan rakyatnya sendiri. Bagian terakhir ini dapat kita lihat contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Infrastruktur misalnya, dibangun di sana sini, tapi fakta di lapangan, outcome-nya tidak begitu mendukung terhadap usaha penyejahteraan rakyat, terutama kalangan ekonomi kelas bawah. Saking banyaknya data di lapangan (di banyak negara) seperti itu, sudah banyak pula pengejawantahannya dalam berbagai bentuk. Sebut saja novel Ma Yan karya Sanie B Kuncoro. Dalam novel itu dikisahkan perjuangan berat seorang anak perempuan bernama Ma Yan yang berasal dari keluarga miskin di daratan Republik Rakyat Cina. Sebagai bagian dari Suku Hui yang beragama Islam, Ma Yan dan keluarganya termasuk muslim yang taat di tengah himpitan kemiskinan materi. Kisah ini diangkat dari cerita nyata dan menjadi satu bukti kegagalan pemimpin di sana dalam menyejahterakan rakyatnya. Di bawah catatan singkat ini ada saya tampilkan bagian awal novel tersebut.

Lalu apa yang dapat kita lakukan dalam kaitannya dengan memilih pemimpin yang ideal? Orang awam seperti saya pasti akan berkata bahwa sebagai orang yang ber-Tuhan, memohon petunjuk dari-Nya sebelum memilih adalah hal yang mutlak dilakukan. Kedua, mencermati rekam jejak para kandidat yang ada.  Analisis penokohan ini diperlukan untuk mengetahui karakter seseorang atau tokoh. Nah, seandainya karakter seorang tokoh baik, boleh jadi dia akan menjadi pemimpin yang ideal pada masa depan. Lalu bagaimana langkah selanjutnya? Saya pikir yang ketiga dan seterusnya, terserah Anda. Ha ha ha. Ah, tak terduga, ternyata hari sudah pagi. Maka, sudah waktunya menikmati secangkir kopi. O iya, ini hanya celotehan lho ya dan jangan dianggap kampanye politik karena saya bukan orang partai mana pun. Akhirnya saya tutup dengan senyuman. Wassalam. (MJA)



Sumber foto: koleksi pribadi

Saturday, October 6, 2018

Selia, Aku Bertanya Kembali Padamu



Udara mengering
Debu dan kabut melayang-layang
Langit bosan
Matahari pun terpejam dibuai malam

Dan waktu, pernahkah waktu menjadi tempat bertanya seperti kau yang selalu menjawab pertanyaan-pertanyaanku

Pada bulan yang kesekian, adalah waktu misi badai di atas angin besar digelar. Demikianlah aku dan kau menamai tarian perang mereka yang bersemayam di pucuk cemara itu. Aku tak tahu siapa mereka. Entah Pasukan Merah Mao? Atau mungkin Tentara Neohitler? Atau entah?

Yang jelas, pucuk cemara telah mereka cita-citakan sejak penjajahan angsa-angsa putih masa silam. Pucuk yang wanginya dapat tercium orang-orang utara sejauh ribuan kilometer jaraknya. Dan, misi mereka ialah jejak-jejak yang merongrong langkah antara sejarah dan muruah.

Maka, kau tak perlu heran betapa lembutnya mereka menarikan seorang ibu pedagang nasi siang hari pada sepotong bulan yang sakral. Mereka bagai tentara bayaran yang mendukung ibu itu. Sepuluh juta rupiah pun langsung mendarat di tangan sang ibu.

Tak perlu lama, mereka lahirkan plagiator remaja, yang kata pak Maman, seorang temanku, "Plagiator kok dibela?"

Oh, dibela!

Aku tertegun di balik tirai. Waktu seakan berderu. Mereka lantas membela penista-penista agama tertentu. Agama yang para pemeluknya begitu toleran di mana saja berada. Bahkan, ada kata-kata menyedihkan, "Tuhan tak perlu dibela." Jika demikian, di bawah Tuhan, maka presiden, raja, kaisar, atau sultan pun tak perlu dibela karena ia adalah penguasa tunggal yang perkasa. Tak perlu suara rakyat, tak perlu pajak, tak perlu apa-apa.

Dan beberapa hari lalu, terpampang di koran-koran, berita-berita televisi, dan media-media sosial sebuah kata, "persekusi". Kali ini aku harus bertanya padamu, Selia, "Adakah yang lebih luka daripada memersekusi seorang wanita?"

Terlebih ia seorang ibu yang hak bersuaranya dijamin undang-undang dasar di negaranya. Negara yang dipenuhi hamparan tanah subur dan air yang berpendaran kala cahaya bulan perak menyapanya.

Aku tak bisa membayangkan betapa luar biasa rusuh dan keruhnya jiwa mereka. Apakah pucuk cemara membuat manusia berubah? Ke mana harkat, ke mana martabat mereka? Kerusuhan dan kekeruhan mereka di luar nalar, di luar nurani, di luar segalanya. Mereka telah melampaui batas-batas dunia.

Oh, dunia.

Malam pun kian larut. Kuhirup udara kering. Angin kencang bermain-main di atas atap. Suara ribut, rusuh, dan amuk seng terkesan panik seperti manik-manik yang beterbangan mencari ranting. Dan kulihat lampu neon berkedipan di ujung gang sempit yang bersemak. Sedang ingatan-ingatan menggumpal menanti peristiwa yang akan datang.

By MJA

Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)