Friday, April 30, 2021

Kuli Kontrak, Cerpen Mochtar Lubis dalam Odah dan Kuli Kontrak


LAMPU-lampu di beranda dan kamar depan telah dipadamkan. Ayah sedang menulis di kamar kerjanya. Dan kami anak-anak berkumpul di kamar tidur Ayah dan Ibu, mendengarkan cerita Ibu sebelum kami disuruh tidur. Ibu bercerita tentang seorang pelesit, pemakan orang, yang dapat menukar-nukar tubuhnya dari manusia menjadi macan dan kemudian jadi manusia kembali, berganti-ganti. 

Untuk mengenal pelesit itu orang harus melihat bandar bibirnya yang licin di bawah hidung, dan kalau ia berjalan maka tumitnya yang ke depan. Sungguh amat menakutkan dan mengasyikkan cerita Ibu itu, dan kami duduk sekelilingnya berlindung dalam selimut, agak ketakutan, amat menyenangkan benar.

Sedang kami begitulah tiba-tiba terdengar ribut di luar rumah dan kemudian terdengar opas penjaga rumah kami berteriak-teriak memanggil Ayah dari luar:

"Inyik! Inyik!"

Kami semua terkejut. Ibu berhenti bercerita. Ayah terdengar bergegas membuka pintu kamar kantornya dan terus ke beranda.

“Aduh, ada lagi kampung yang perang, barangkali," seru Ibu. Dan kami pun mengikutinya ke beranda.

Di masa itu Ayah bekerja sebagai demang di Kerinci dan dalam tahun dua puluhan dan tiga puluhan itu keadaan daerah itu seperti di masa abad pertengahan saja. Karena soal pembagian air sawah, soal kerbau dan sebagainya, satu kampung lalu menyatakan perang kepada kampung yang lain. Senjata yang populer dipakai dalam perang ini ialah batu sebesar telur ayam diayunkan ke arah musuh dengan tali-tali istimewa untuk pengayunkannya. Baru semingguan yang lalu Ayah pergi ke Sungai Deras menghentikan perang semacam ini dan dia kena peluru batu kesasar yang merenggutkan topi helmnya dari kepalanya. Untunglah tidak tepat, kenanya. Hanya pening juga kepala Ayah beberapa lama dibuatnya.

Baru setelah perkelahian dapat dihentikan oleh polisi dengan menembakkan senapan berkali-kali ke udara dan kedua kepala kampung dari desa yang berperang itu dipertemukan, dan mereka mendengar Ayah nyaris kena lemparan batu mereka berperang, maka kepala-kepala kampung itu meminta-minta maaf dan ampun, dan berkata bahwa mereka tidak bermaksud memerangi Ayah sama sekali. Akhirnya karena menyesalnya mereka dengan batu yang menyasar itu, maka dengan mudah mereka menerima usul perdamaian Ayah dan membagi air untuk sawah-sawah mereka dengan berdamai.

Ketika opas penjaga rumah berteriak-teriak memanggili Ayah, hari hampir jam sembilan malam. Di bawah, beberapa orang polisi dengan komandannya berdiri, dan tidak terdengar olehku mula-mula apa katanya pada Ayah. Kami segera juga disuruh masuk, oleh Ayah, kembali.

Ayah masuk sebentar dan dengan cepat berpakaian. Dia mengenakan sepatu kulitnya yang panjang, mengenakan pistolnya di pinggangnya, topi helmnya, dan kemudian segera ke luar.

Tiada lama kemudian Ibu masuk, dan berkata:

"Nah, kini anak-anak semua, tidurlah. Ayah mesti pergi. Ada kuli kontrak lari." Kelihatan ibu merasa cemas di hatinya.

Esok pagi kami dengar dari Abdullah, opas penjaga rumah bahwa ada lima kuli kontrak yang melarikan diri dari onderneming Kayu Aro, setelah menikam opzichter Belanda.

***

Ketika kami pulang sekolah jam 12 siang, Ayah belum kembali juga. Ketika dekat magrib, Ayah belumn juga pulang. Ibu mulai cemas dan sebentar-sebentar dia ke depan melihat ke jalan. Beberapa kali aku dengar Ibu bercakap-cakap dengan opas Abdullah, yang berkata supaya Ibu jangan khawatir.

Ayah tiba ketika hari telah malam dan kami semua telah disuruh tidur. Aku dengar Ayah bercakap-cakap dengan Ibu sampai jauh malam dan kemudian rumah pun sunyilah.

Esoknya kami dengar bahwa kuli-kuli kontrak itu telah tertangkap semuanya dan telah dibawa ke penjara. Penjara terletak di bawah bukit kecil di belakang rumah kami. Dari kebun buah-buahan dan sayur di belakang rumah, jika kami naik pohon jeruk yang besar, dapatlah dilihat lapangan belakang penjara, tempat orang hukuman dibariskan tiap hari atau diberi hukuman. 

Dari kebun itulah terdengar suara orang gila yang ditahan dalam penjara, menyanyi-nyanyi atau memaki-maki. Mengapa di masa itu orang gila dimasukkan penjara dan tidak ke rumah sakit tidak jadi pertanyaan bagiku, waktu itu. Kadang-kadang asyik juga aku mendengarkan nyanyiannya yang beriba-iba, kemudian lantang mengeras, dan lebih hebat lagi jika telah mulai memaki-maki, amat sangat kotornya kata-katanya. Sungguh sedap selagi kecil itu dapat mendengar perkataan-perkataan yang terlarang demikian.

Kemudian Ibu bercerita bahwa Ayah dan polisi dapat menangkap tiga orang kuli kontrak yang melawan opzichter Belanda itu. Hanya tiga orang, tidak lima orang seperti diceritakannya semula. Mereka tertangkap dalam hutan tidak jauh dari onderneming, separuh kelaparan dan kedinginan dan penuh ketakutan. Mereka tiada melawan sama sekali. Dan ketika melihat Ayah maka mereka segera datang menyerah dan berkata: Pada kanjeng kami menyerahkan nasib dan memohon keadilan.

Menurut Ibu, yang didengarnya dari Ayah, sebabnya terjadi penikaman terhadap opzichter Belanda itu karena opzichter itu selalu mengganggu istri mereka. Dan rupa-rupanya kuli-kuli kontrak itu sudah mata gelap dan tak dapat lagi menahan hati melihat opzichter itu mengganggu istri-istri mereka. Itulah maka mereka memutuskan ramai-ramai menyerang si oprichter.

"Tidak salah, mereka itu," kata Ibu yang rupanya merasa gusar sekali melihat kuli-kuli kontrak yang ditangkap itu. "Mestinya opzichter jahat itulah yang ditangkap," tambah Ibu.

"Mengapa tidak ditangkap, dia?" tanya
kami anak-anak.

Ibu memandangi kami dan berkata dengan suara yang lunak, "Karena yang berkuasa Belanda! Belanda tidak pernah salah."

"Tetapi dia yang jahat," kata kami mendesak ibu.

"Ibu tidak mengerti," sahut ibu, tapi jangan kamu tanya-tanya pada Ayah tentang ini. Dia sudah marah-marah saja, sejak pulang dari onderneming."

Ketika Ayah pulang kantor dan setelah dia makan, maka kami semua dipanggil ke kamar kerjanya. Kelihatan muka Ayah agak suram. Sesuatu yang berat menekan pikirannya. Setelah kami berkumpul, maka Ayah berkata:

"Tidak seorang yang boleh ke sana. Ayah larang anak-anak pergi ke kebun belakang. Ayah akan marah sekali pada siapa saja yang melanggar larangan ini."
 
“Mengapa, Ayah?" tanya kami.

"Turut saja perintah Ayah!" sahut Ayah dengan pendek. Kami pun mengerti. Jika Ayah telah bersikap demikian tak ada gunanya
membantah-bantah. Tapi hati kami penuh macam-macam pertanyaan: Mengapa dilarang? Ada apa?

Segera juga Ibu kami serbu, hingga akhimya untuk mendiamkan kami Ibu pun berkata bahwa esok hari ketiga kuli kontrak itu akan diberi hukuman. Sebelum perkaranya dibawa ke depan hakim maka mereka akan dilecuti, karena telah menyerang opzichter Belanda.

Kecut hatiku mendengar cerita Ibu. Rasanya badanku dingin menggigil. Dan setelah masuk kamar tidur, amat lama baru aku bisa tidur. Pikiranku terganggu mendengar kuli-kuli kontrak yang akan dilecuti esok pagi di penjara. Ketakutan berganti-ganti dengan nafsu hendak melihat betapa manusia melecut manusia dengan cemeti.

Pagi-pagi saudara-saudaraku yang harus ke sekolah telah berangkat. Dan kami yang belum bersekolah diberi tahu lagi oleh Ayah dan Ibu supaya jangan pergi ke kebun di belakang rumah kami.

Dari opas Abdullah kudengar mereka akan dilecut mulai jam sembilan pagi. Semakin dekat jam sembilan semakin resah dan gelisah rasa hatiku. Hasrat hatiku melihat mereka dilecut bertambah besar saja.

Ketika hari telah hampir lima menit menjelang jam sembilan hatiku tak dapat lagi kutahan, dan sambil berteriak pada Ibu bahwa aku pergi bermain ke rumah sebelah maka aku lari ke luar pekarangan di depan rumah, ke jalan besar, berlari terus memutar jalan ke jalan besar di belakang rumah, masuk pekarangan rumah sakit , terus berlari ke belakang rumah sakit yang berbatasan dengan kebun di belakang rumah kami, memanjat pagar kawat, meloncat ke dalam kebun, dan dengan napas terengah-engah memanjat pohon jeruk, hingga sampai ke dahan di atasnya tempat aku
biasa duduk dan melihat-lihat ke bawah, ke pekarangan belakang rumah penjara.

Pekarangan itu ditutupi batu kerikil. Di tengah-tengahnya telah terpasang tiga buah bangku kayu. Sepasukan kecil polisi bersenjata senapan berdiri berbaris di sisi sebelah kiri. Kemudian kulihat Ayah keluar dari gang menuju pekarangan di belakang penjara, di sebelahnya kontrolir orang Belanda, asisten wedana, polisi, dokter rumah sakit. Dan kemudian dari gang lain keluarlah tiga orang yang akan dilecuti itu. Mereka hanya memakai celana pendek dan tangan mereka diikat ke belakang, diiringi oleh kepala rumah penjara dan dua orang polisi.

Hatiku berdebar-debar, dan takut kembali meremasi perutku. Akan tetapi aku tak hendak meninggalkan tempat persembunyianku. Aku hendak melihat juga apa yang akan terjadi.

Ketika kuli kontrak itu dibariskan dekat bangku-bangku kayu yang telah tersedia, mereka disuruh jongkok. Kepala rumah penjara kemudian membacakan sehelai surat. Dan aku lihat kontrolir mengangguk-angguk. Ayah berdiri tegang tidak bergerak-gerak. Kemudian ketiga kuli kontrak itu dibuka ikatan tangan mereka di belakang, ditidurkan telungkup di atas perut mereka di bangku, dan kaki dan tangan mereka diikatkan ke bangku.

Tiga orang mandor penjara kemudian maju ke depan, kira-kira 2 meter dari setiap bangku, di tangan mereka sehelai cemeti panjang yang hitam warnanya. Kemudian kepala penjara berseru:

"Satu!"

Suaranya keras dan lantang. Tiga orang mandor penjara mulai mengayunkan tangan mereka ke belakang. Cemeti panjang berhelak ke udara seperti ular hitam yang hendak menyambar, mengerikan. Dan terdengarlah bunyi membelah udara, mendengung tajam; lalu bunyi cemeti melanggar daging manusia, yang segera disusuli jeritan kuli kontrak yang di tengah melonjakkan kepalanya ke belakang. Dari mulutnya yang ternganga itu keluarlah suara jeritan yang belum pernah aku dengar dijeritkan manusia: melengking tajam membelah udara, menusuk seluruh hatiku, dan membuat tubuhku seketika lemah lunglai.

Suatu ketakutan yang amat besar dan amat gelapnya, menerkam aku. Dan aku berpegang kuat-kuat ke dahan pohon jeruk, amat ketakutan.

"Dua!" teriak kepala penjara lagi.

Bunyi cemeti mendesing membelah udara beradu dengan punggung. Dan pada cambukan yang kedua mereka bertiga sama-sama menjerit, melengking-lengking kesakitan.

Aku tak berani melihat lagi. Kututup mataku kuat-kuat, tapi tak kuasa aku menahan bunyi desing cemeti di udara, bunyi cemeti menerkam daging dengan gigi-giginya yang tajam, ratusan ribu banyaknya, dan jerit mereka yang kesakitan membelah langit melolong minta ampun. Entah berapa lama aku hidup dan mati demikian, bersama dengan mereka di atas bangku, tidaklah kuingat lagi. Ketika kubuka kembali mataku, kulihat dokter memeriksa ketiga kuli kontrak itu. Dan kemudian dia mengangguk pada kontrolir, dan kontrolir mengangguk kepada kepala rumah penjara, dan kepala rumah penjara pun berteriaklah lagi:

"Dua puluh satu!"

Dan kembali cemeti berdesing membelah udara. Dan menerkam melingkari punggung yang telah hancur memerah darah. Hanya kini mereka tidak lagi menjerit. Ketiganya telah pingsan.

Sehabis cambukan yang kedua puluh lima, kontrolir memberi isyarat. Kepala rumah penjara mundur selangkah dan memerintah. Ketiga orang mandor penjara tukang cambuk itu pun mundur, menggulung cambuk mereka yang telah merah penuh darah dan keping-kepingan daging manusia; mundur dan masuk ke dalam rumah penjara.

Dokter kembali memeriksa kuli-kuli kontrak. Dan tali-tali pengikat mereka kemudian dilepaskan. Kontrolir kulihat  menoleh pada Ayah sambil mengatakan sesuatu. Pada saat itulah aku membuat kesalahan....

Karena amat sangat terpengaruh dengan apa yang kulihat, maka ketika hendak turun dan pohon aku salah meletakkan kakiku ke bawah dan menjerit terkejut, jatuh ke bawah amat sakitnya. Beberapa saat aku terhentak diam di tanah, dan kemudian aku menangis kesakitan. Opas Abdullah yang sedang berada di dapur datang ke belakang, melihat aku terbaring lalu cepat menggendongku ke rumah.

Sikuku amat sakitnya. Ibu memeriksanya dan berkata:

"Sikumu terkilir." Dan lalu ditambahnya:

"Ayah akan marah sekali, engkau melanggar perintahnya. Mengapa kau di kebun?"

Aku hanya menangis. Aku segera dibawa ke rumah sakit dan setelah manteri rumah sakit menarik tanganku, yang rasanya menambah sakit sikuku saja, dan kemudian tanganku diperban, aku disuruhnya tidur dan tidak boleh bermain-main. Petangnya Ayah pulang dari kantor. Aku ketakutan saja menunggunya. Setelah dia makan kudengar Ibu bercakap-cakap dengan Ayah. Tentu mengadukan aku, pikirku dengan takut.

Tak lama kemudian Ayah datang melihat aku. Dia duduk di pinggir tempat tidur. Ditatapnya mukaku diam-diam, hingga aku pun terpaksa menundukkan mata.

"Engkau melihat semuanya?" tanya Ayah.

"Ya. Aku salah. Ayah," kataku dengan suara gemetar ketakutan.

Ayah pegang tanganku dan kemudian berkata dengan suara yang halus sekali, akan tetapi yang amat sungguh-sungguhnya,

"Jika engkau besar, jangan sekali-kali kau jadi pegawai negeri. Jadi pamong praja! Mengerti?"

"Ya, Ayah!" jawabku.

“Kau masih terlalu kecil untuk mengerti," kata Ayahku. "Sebab sebagai pegawai negeri orang harus banyak menjalankan pekerjaan yang sama sekali tak disetujuinya. Bahkan yang bertentangan dengan jiwanya. Untuk kepentingan orang yang berkuasa, maka sering pula yang haram menjadi halal, dan sebaliknya."

Kelihatannya Ayah hendak meneruskan pembicaraannya. Tetapi dia lalu berhenti dan cuma berkata,

"Ah, tidurlah engkau!"

Sumber cerpen: Siasat Baru No. 650, Th. XIII, 25 November 1959


Tentang cerpenis

Mochtar Lubis lahir pada 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat. Selain terkenal sebagai sastrawan andal, dirinya ikut mendirikan Kantor Berita Antara. Dia terkenal keras memegang prinsip dan lantang menyuarakan sikap melekat pada dirinya. 

Pada masa pemerintahan Soekarno, dia diadili gara-gara mengkritik praktik korupsi salah seorang menteri kabinet. 

Harian Indonesia Raya yang dipimpinnya dilarang terbit di masa Orde Baru karena dituduh mengkritik kebijakan pemerintah mengenai investasi asing dan memprovokasi aksi mahasiswa yang memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka pada
Januari 1974 atau dikenal sebagai Peristiwa Malari. 

Kemudian bersama sejumlah teman, dia mendirikan majalah sastra Horison. Sejumlah novelnya yang terkenal antara lain "Jalan Tak Ada Ujung" (1952) dan "Harimau! Harimau!" (1975). Pada 1958, dia memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina untuk kategori jurnalisme dan sastra. Dirinya meninggal dunia pada 2 Juli 2004 di Jakarta.
-------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Odah dan Kuli Kontrak
Sumber ilustrasi: Pixabay


Wednesday, April 28, 2021

Puisi D. Zawawi Imron dalam Mengaji Bukit Mengeja Danau


Anai

Sia-sia, menyalahkan jalan berkelok
Sementara lembah tidak mengeluh
Menampung percik-percik purbakala
Cuma bagaimana menarik napas
Di tengah daunan yang memaknai sunyi dengan gemuruh

Di sini kurindukan kupu-kupu
Untuk terbang ke dalam angan-anganku
Sebelum selembar rumput
Menunjukkan bagian langit yang lembut

Kunyanyikan parauku
Dalam dahaga yang paling kemarau
Entah siapa yang menyahut di sana, seakan seorang munsyi
Menyebut sebuah nama

Seperti bertahan menjalankan tahun
Hari dan menit dilompati anjing pemburu
Aku terharu, ada yang tak terkejar
Seperti kata-kata yang kental jadi kelenjar


Menghitung Kelok
                          Untuk Abrar Yusra

Pada kelok pertama, detik-detik sudah lama dimulai
Sejarah tetap terekam, dan sebagian jadi buku
Kau dan aku yang membacanya
Bisa memetik buah yang beda

Pada kelok kedua aku bertemu Haji Miskin
Dari kembang senyumnya yang mengisyaratkan kasih
Terpaksa membuat daun pandan
Menjelma pedang, dan pagar masjid menjadi senapan
Untuk menghargai manusia

Pada kelok ketiga, kau dan aku bertengkar
Tentang kelebihan kabut dan awan
Padahal di atas Kabil dan Habil ada Jibril
Tapi kenapa aku lebih berbangga pada bedil
Tak sedikit pun tersentuh
Pada ubun langit yang hamil

Pada kelok keempat, seharusnya aku dan kau
Merasa bosan pada lagu lama yang tengik
Yang membuat kita lupa
Bahwa kita sama-sama putra ibunda

Pada kelok kelima kita berjabat tangan
Jauh dari suara bising dan dentum
Dalam hutan yang lebat ini
Kita dua lembar daun dari pohon yang sama
Di luar kita banyak senyum yang lebih ranum
Pada kelok yang kesekian
Kita nikmati senyum ibunda


Tentang Penyair

D. Zawawi Imron lahir di Desa Batang-batang, ujung timur Pulau Madura. Kumpulan sajaknya "Bulan Tertusuk Lalang" sempat mengilhami sutradara Garin Nugroho membuat film “Bulan Tertusuk Ilalang”. Kumpulan sajaknya, "Nenekmoyangku Airmata" terpilih sebagai Buku Puisi Terbaik dengan mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama pada tahun 1985. 

Kemudian kumpulan sajak "Celurit Emas" terpilih menjadi Buku Puisi Terbaik di Pusat Bahasa, 1990. Pada tahun 1995, Zawawi memenangkan juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-50 RI. Pada tahun 2010, kumpulan sajaknya "Kelenjar Laut" mendapat Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) dari Kerajaan Malaysia. Buku tersebut juga mendapat The South
East Asia Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand.
---------------------------------------------------------
Sumber puisi: Mengaji Bukit Mengeja Danau
Sumber biodata penyair: Wartamantra
Sumber ilustrasi: Pixabay

Sehelai Daun dalam Angin, Cerpen W.S. Rendra


SAYA MENULIS CERITA INI UNTUKMU, HERMAN.

Saya tak tahu lagi di mana sekarang engkau berada, berhubung dengan tempatmu yang berpindah-pindah itu. Tetapi bagaimana pun juga, semoga engkau sempat membaca cerita ini, dan setelah itu sudi merenungkannya secara bersungguh-sungguh.

Saya pernah menulis surat kepadamu dan menerangkan bahwa anak lelakimu, Fajar, telah bertunangan dengan anakku perempuan yang menengah, Retno. Kita berdua telah sejak kecil bersahabat, dan sekarang saya girang bahwa anak kita berdua telah melanjutkan ikatan batin kita. Tetapi baru-baru ini datang sebuah kesulitan. Sambil menangis anakku perempuan itu telah bercerita padaku, bahwa Fajar meminta untuk memutuskan pertunangan itu. Hal ini sungguh-sungguh merepotkan, karena justru kami sedang bersiap-siap untuk rancangan perkawinan mereka. Tambahan lagi rupa-rupanya cinta Retno sedemikian besarnya kepada Fajar, sehingga saya tak bisa melihat kemungkinan yang baik di hari depan Retno, apabila pertunangan itu dibatalkan. Jadi saya pun bertindak membereskannya. Barangkali ada baiknya kalau saya ceritakan dari permulaan.

Pada saat engkau meninggalkan istrimu, Fajar baru berumur sepuluh tahun. Istrimu telah mengasuhnya baik-baik dan mempergunakan harta yang kau tinggalkan yang banyak itu dengan baik-baik pula untuk membesarkannya. Anaknya mempunyai bakat yang besar dalam seni musik. Istrimu telah membelikannya sebuah piano dan mendatangkan seorang guru yang baik untuknya. Akhirnya Fajar telah menjadi pianis yang pantas dibanggakan. Telah tiga kali orang membuat artikelnya di koran, berikut dengan potretnya. Barangkali kau pernah menjumpainya.

Pemuda itu telah beruntung mempunyai seorang ibu yang bersifat pengasuh dan sangat mencintainya, kecuali itu ia juga mempunyai bakat yang besar, ditambah lagi bahwa ia mempunyai kehidupan yang mewah. Meskipun begitu ia selalu nampak tidak bahagia. Ia nampak hidup dalam kehidupan yang goyah, seluruh tingkah dan pernyataannya, temperamennya menunjukkan ketidakstabilan. Ia mulai berhubungan dengan Retno sejak ia berumur dua puluh tahun, tetapi aku baru menyetujui pertunangan mereka ketika ia berumur hampir dua puluh tiga tahun itu. Mula-mula pikiranku diliputi kekuatiran juga ketika mengetahui, bahwa anakku telah bergaul dengan dia: pemuda yang kelihatan liar, tidak stabil, dan menonjolkan begitu banyak teka-teki dalam sikap dan temperamennya. Saya menjadi penuh tanya di dalam hati setelah beberapa lama menyelidiki kelakuan dan tabiatnya. Ia sangat suka berkelahi, tetapi kadang-kadang juga ragu-ragu bertindak karena ketakutan yang mendatangkan kebimbangan. Ia ngomong dengan suara keras dan lagu memerintah yang kemanja-manjaan, tetapi juga sering terlihat menekurkan kepala, pendiam, malu dan bersuara rendah penuh suasana lesu serta iseng. Dengan perkataan lain barangkali ia bisa disebut sebagai ayam jantan yang bagus.

Dua unsur perwatakan yang saling bertentangan selalu berbenturan di dalam batinnya. Meskipun umurnya sudah hampir dua puluh lima tahun, tapi ia masih kelihatan seperti kanak-kanak. Waktu aku menyadari untuk pertama kalinya hubungan antara anakku dengan dia, aku berkata kepada anakku: Lihatlah, anak itu masih hijau betul. Seorang bocah yang nakal! Tetapi rupa-rupanya anakku sudah tergila-gila kepadanya. Sehingga akhirnya aku tidak sampai hati untuk melancarkan perlawanan.

Saya tidak menyukai cara anakmu menghabiskan waktunya. Dari pagi sampai petang waktunya habis untuk dolan. la mempunyai kebiasaan makan di restoran, gemar piknik dan lain-lain ke pelesiran. Sebetulnya ia mempunyai otak yang cerdas tetapi ia malas sekolah. Ibunya berkata kepada saya, bahwa ia suka sekali membeli buku-buku tetapi sampai di rumah tak pernah dibacanya.

Ibunya telah mencoba mendidiknya sebaik-baiknya. Ibunya itu pernah berkata kepada saya: Saya telah berusaha sekuat-kuat saya. Ia memang merupakan soal yang sulit bagi saya, tapi saya tak akan putus asa. Ia sebagai kuda jantan yang manis kepadaku, tetapi terlalu kuat tenaganya sehingga saya sukar mengendalikannya.

Fajar pun menyayangi ibunya dan banyak berbuat kebaikan untuknya, tetapi selalu dengan caranya sendiri yang aneh, penuh teka-teki dan mendebar-debarkan itu. Dengan cara mokal-mokal sekali kadang-kadang di rumah ia memperlihatkan sikap pemberontak yang ganas, murung, dan mata gelap. Tetapi bagaimana pun juga ia tidak suka ibunya kelihatan menderita. Segala tindakan dan maksudnya selalu merupakan pertentangan. Dengan kata singkat, ia tidak tahu apa yang ia ingini sebenarnya.

Menurut cerita Retno kepada saya, ia selalu bersikap manja kepadanya. Retno memang mempunyai sifat sabar dan sifat keibuan. Kemanjaan Fajar tidak memberatkan hatinya. Kecuali itu ia bisa bersikap keras, sehingga ia akan membimbing pemuda yang selalu gelisah itu. Ia tidak segan-segan bertindak keras tegas, sehingga hal itu kerap menjadikan pangkal ketegangan antara kedua kekasih itu. Tetapi bagaimanapun juga Retno pandai memperlihatkan bahwa di balik sikapnya yang keras itu tertanam cinta yang sungguh-sungguh dalam dan gila.

Dengan penuh kesabaran Retno menghadapi teka-teki mengenai wataknya. Kadang-kadang tiba-tiba Fajar berkata kepadanya, bahwa ia akan berhenti main piano sama sekali. Untuk apa sebenarnya aku main piano dan ternama? katanya. Dan Retno akan selalu berkata: Untuk orang yang kau cintai, untuk ibumu dan untukku.

Sebagai seniman yang banyak mempunyai pemuja-pemuja, tentu saja, di antaranya, gadis-gadis. Dengan gadis-gadis pemujanya ia selalu bersikap sembrono. Ia menyukai pemujaan mereka, tetapi tidak memberikan balasannya yang jujur la membalasnya dengan harapan-harapan yang palsu, la kurang bersikap sederhana terhadap gadis-gadis pemujanya. Hal ini juga sering merupakan pangkal pertengkaran antara Retno. Retno menyebut bahwa sikap semacam itu sama saja dengan sikap seorang bajul. Tapi bagaimanapun juga Retno sendiri pun insyaf pula bahwa pada dasarnya Fajar bukan seorang, bajul, tetapi semata-mata seorang pemuda yang gelisah dan linglung. Dengan sebenarnyalah saya umpamakan, bahwa Retno merupakan pelabuhan yang aman baginya, setelah mengarungi badai yang dahsyat dalam jiwanya itu.

Menurut cerita Retno, tiada lama berselang ke belakang ini, sudah terang dalam keadaan kekacauan jiwanya, yaitu setelah bertengkar dengan Retno mengenai sesuatu hal, Fajar telah berbuat serong. Ia pergi ke Kaliurang bermalam dengan salah seorang gadis pemujanya. Semua orang di Jogja telah tahu apa yang terjadi dan hal itu telah menimbulkan heboh yang besar di kalangan pemuda-pemuda di Jogja. Dan bagi Retno hal itu merupakan tamparan yang hebat bagi cintanya yang gila itu. Ia telah mengirimkan surat kepada Fajar yang berisi kutukan dan permintaan putusnya pertunangan, di luar pengetahuanku.

Akhirnya, Fajar sadar akan keedanan perbuatannya. Ia selama itu tidak sadar akan perbuatannya. Ia sebagai orang yang mabuk atau kena bius, ia melambung dan membubung dengan lalai dalam dosanya, kemudian tiba-tiba tersadar dan terbangun, ia terhenyak dengan kerasnya. Sangat parah dan kasihan sekali. Ia menyembah-nyembah Retno agar mengampuni kesalahannya. Tetapi Retno sudah terlanjur sangat marah dan terluka. Ia tetap menolaknya.

Sebagai orang yang kebingungan Fajar lalu menempuh jalan yang biasa ditempuh oleh kerbau jantan yang terluka. Mengganas kesana kemari, memusuhi dunia dan orang-orang di kanan-kirinya. Ibunya menderita sekali akibat sikapnya itu. Ia datang kepadaku dan mengeluh, bahwa anaknya sekarang suka mabuk dan mengendarai sepeda motor dengan kecepatan yang berbahaya. Pendeknya semua orang disusahkannya. Sehingga pada akhirnya Retno pun menjadi luluh hatinya. Dengan menangis ia menjumpai Fajar dan berkata kepadanya: Kemari, manisku, kemari! Aku tetap mencintaimu!

Kejadian itu telah membereskan semuanya. Topan kehebohan sudah reda. Kedua kekasih itu banyak pelesir dan mempunyai rencana-rencana bersama. Retno lulus ujian kandidatnya di fakultas sastra. Fajar sukses dalam konser amalnya untuk Dana Perebutan Irian Barat. Waktu berangkat ke konser, Fajar dan ibunya berangkat bersama-sama satu mobil dengan keluarga kami. Malam itu Fajar banyak tersenyum dan ia telah menyuguhkan sebuah malam yang gemilang. Ia mainkan sebuah lagu kesayangan ibunya. Ibunya melekehkan airmata karena terharu dan memegang tangan Retno, calon menantunya.

Setelah malam itu, dengan lebih banyak memikirkan kepentingan Fajar, istrimu dan saya berikut istri saya, merundingkan untuk mempercepat perkawinan kedua kekasih itu. Berhari-harikami asyik merancangkan dan mempersiapkan segala sesuatunya sampai ke detail, sehingga akhirnya semuanya telah beres, tinggal menunggu hari jadinya saja.

Betapa terkejutnya saya waktu tiba-tiba Retno, sambil menangis, berkata kepada saya, bahwa Fajar minta supaya pertunangan itu diputuskan. Ketika saya tanyakan sejak perkelahian itu Fajar jadi selalu gusar dan murung. Ketika saya tanyakan apa sebab-sebab perkelahian itu, teman itu hanya menunduk saja. Ketika sekali lagi saya tanyakan sebabnya, ia menjawab bahwa sebabnya ialah saya. Sesudah itu teman tadi tak mau memberi keterangan lebih lanjut.

Akhirnya datanglah Fajar dengan mengatakan bahwa ia menuntut supaya pertunangan diputuskan. Saya bertanya apakah hal ini ada sangkut pautnya dengan perkelahiannya. Ia menjawab kurang lebih memang begitu. Banyak lagi igauannya yang mokal-mokal. Dikatakannya bahwa ia merasa kasihan kepada saya karena ia telah merusak hidup saya. Saya tak bisa mengerti lagi maksudnya. Ia mengeluarkan perkataan-perkataan yang menjengkelkan saya, membosankan saya, membingungkan saya, dan memarahkan saya.

Ayah, tolonglah saya. -- Begitu antara lain kata anak saya, dan saya merasa tak bisa berbuat lain kecuali segera juga bertindak dan membereskan hal itu. Apalagi setelah ibu Fajar sendiri datang pula untuk meminta tolong saya membereskan hal itu.

Segera saya pergi menemui Fajar di rumah ibunya. Ibunya menganjurkan supaya saya langsung menemuinya ke kamarnya. Ketika saya mengetuk dan mulai masuk kamarnya, ia menyambut saya dengan sikap pemberontak yang dingin dan keras kepala. Tetapi keadaan kamarnya yang keras berbau asap rokok dan lantainya kotor oleh abu, puntung, serta bekas-bekas bungkus rokok, menandakan bahwa hatinya sedang rusuh, menderita, dan gelisah. Keadaan kamarnya tak teratur, pianonya terbuka dan berdebu, beberapa butir abu terserak di atas tuts-tuts piano.

Saya menerangkan bahwa maksud kedatangan saya ialah untuk membereskan keruwetan yang tak perlu mengenai pertunangan itu. Saya terangkan, bahwa ia harus berpikir lebih tenang dan sehat. Janganlah bertingkah yang menggegerkan orang. Ia mengatakan bahwa ia telah cukup bijaksana, dan ia mengambil keputusan untuk membubarkan pertunangan itu justru demi kebijaksanaan. Selanjutnya kami ramai berdebat tentang itu. Segera saja dari omongannya saya tahu bahwa pemuda itu sedang dihinggapi rasa rendah diri dan seakan-akan tiba-tiba merasa terkalahkan. Akhirnya saya pun membentak: Semuanya omong kosong! Janganlah kau menuruti perasaanmu yang tidak beralasan. Kau cukup berharga: sebagai seniman dan sebagai manusia. Janganlah perasaan rendah dirimu mendorongkan kauuntuk merusakkan percintaanmu!

Tetapi ia lalu berkata: Seorang teman telah berterus terang mengatakan bahwa ia cinta Retno! Saya jadi jengkel. Benci pada orang itu, apalagi setelah lama tahu bahwa sudah lama ia sendiri mencintai Retno. Saya pukul orang itu. Saya pukul, saya hajar.

Tetapi sesudah itu, di kamar ini, saya merenung dan mendapati hal, bahwa segala kata-kata orang itu memang betul. "Apakah sebetulnya saya ini? Seorang berandal. Tak lebih dari itu. Kerja saja Cuma pelesir, bikin heboh, bikin kacau, lalu bermalas-malas. "Pianis! Bah pianis! Untuk apa sebetulnya saya main piano?"

"Untuk apa? Tentu saja segala sesuatunya ada tujuannya. Nah, sekarang tinggal kau saja yang tak sadar akan tujuan yang sebenarnya."

"Bukannya tak sadar! Tapi memang tak ada!"

"Jadi kau hidup tanpa tujuan?"

"Ya."

"Nah, kalau begitu kau memang orang yang tidak berguna. Kau memang pantas marah pada dirimu sendiri, karena dirimu penuh keruwetan dan kegelapan. Seperti teka-teki yang menjemukan. Seperti kuda liar yang selalu gelisah. Orang yang hidup tanpa tujuan. Orang yang hidupnya kosong. Tak tahu apa yang dikehendakinya sendiri sebenarnya. Apa yang dilakukan selalu lain dengan yang dimaksudkan. Pendeknya kau memang ruwet! Tapi apa pula faedahnya tinggal marah-marah pada diri sendiri? Kenapa tak kau coba mencari sebabnya? Apa sebabnya keruwetan itu? Apa sebabnya? Sebabnya?"

Fajar terdiam. Ia berlari ke piano, menelungkupkan mukanya ke tuts-tuts piano itu dan menangis tersedu-sedu. Saya tak bisa berbuat apa-apa untuk sementara, kecuali duduk di dipannya, menunggu ia tenang kembali dan merokok. Sementara itu terasa kemudian oleh saya, bahwa saya sendiri mulai merasa pusing terhadap hal itu. Setelah lama baru ia bisa menenangkan dirinya. Sambil menghapuskan air matanya, ia berkata: Kenapa Bapak tidak pulang saja?

Saya menggelengkan kepala. Lama kami tak saling berbicara. Ia melamun, lalu akhirnya menatapi tuts-tuts piano, dan kemudian mulai memainkan sebuah lagu yang murung dan menghiba. Saya memberi komentar: Lagu yang sedih!

"Ya! Chopin," jawabnya sambil masih terus bermain.

"Saya tak tahu apa-apa tentang lagu. Bagi musikus barangkali lagu itu berbicara seperti sebuah cerita pendek, sajak, atau lukisan."

la tersenyum masam, lalu bersuara lagi:

"Padaku ia bercerita tentang seorang anak kecil berdiri sendirian di sebuah padang yang sangat sunyi dan luas. la adalah anak yang dibuang. Ia menangis ketakutan. Ia menggigil kedinginan. Ia putus asa dan tanpa harapan. Menanti tak tentu apa yang dinanti. Menjerit minta tolong tanpa keyakinan akan ditolong. Ia adalah anak yang terbuang. Terbuang."

Ia berhenti ngomong dan lalu memejamkan matanya. Sementara itu tiada berhenti juga ia bermain tiba-tiba ia berkata lagi: "Kadang-kadang saya bertanya kepada diri saya sendiri sudah sejak saya kanak-kanak dulu. Kenapa saya dilahirkan ke dunia! Saya merasa sedih, bahwa saya telah lahir ke dunia. Sekarang saya takut. Apabila saya kawin dan beranak, dan kemudian anak saya bertanya kepada saya: Papa, kenapa saya lahir ke dunia? Saya pun akan sangat bingung."

Tiba-tiba saya bangkit dan berkata: "Anakku, apa yang kau butuhkan ialah seorang bapa!"

"Ya. Itulah jawaban yang tepat! Saya membutuhkan seorang bapa! Sejak kecil saya merasa sebagai anak yang terbuang. Sejak kecil saya merasa hidup dalam kehidupan yang panjang. Waktu kecil saya biasa menangis karena cemburu pada seorang anak yang diajak nonton sepak bola oleh bapanya. Saya sudah dinasibkan merasai cacat kehidupan. Apa yang saya pegang akan ikut cacat pula. Saya anak yang terbuang. Seharusnyalah selalu tetap terbuang!"

Nenek moyang kita di zaman dahulu akan berkata:

"Seorang lelaki harus segera bangkit apabila ia jatuh tersungkur, memahami cacat dan kejatuhan diri sendiri memang sangat baik, tetapi lebih mulia lagi kalau ia segera bangkit kembali dan melangkah lagi!"

"Anakku Fajar, akulah bapamu. Marilah saya bimbing kau supaya bangkit dari segala keruwetan ini. Fajar, saya sekarang bapamu. Menurutlah sekarang padaku."

Demikianlah, setelah pertemuan itu, hari demi hari kami bersama berusaha keras untuk melenyapkan keruwetannya. Sekarang hasilnya sudah sangat lumayan.

Herman, saya harap kau mengerti ceritaku ini.

Anakmu, Fajar, membutuhkan ayahnya. Kerjaku tak akan sempurna sebelum kau sendiri ikut serta. Kasihanilah pemuda yang berbakat itu akhirnya ia toh juga darah dagingmu sendiri. Betapa saja hasil yang akan kita capai, apabila engkau sudi pergi kepadanya dan berkata:

"Anakku, aku datang untuk minta maaf. Kesalahanku padamu sangat besar, tetapi berilah saya kesempatan untuk bangkit kembali dari kesalahanku. Berilah saya kesempatan untuk membimbingmu dan bersama-sama membangun segala yang retak. Anakku marilah kita bersikap sebagai anak dan bapak."

Herman, saya tak mencoba mencampuri urusan pribadimu mengenai perkawinanmu. Tetapi apapun juga sebab-musababnya, saya tak bisa melihat baiknya perceraian dalam perkawinan. Perkawinan berarti saling pemasrahan badan dan jiwa yang mutlak antara dua kekasih. Pemasrahan mutlak berarti terjadi hanya sekali dan untuk selama-lamanya. Segala yang retak dapat dibangunkan, yang bengkok dapat diluruskan-kenapa mesti ada perceraian? Perceraian selamanya mendatangkan kesengsaraan.

Anakmu Fajar dalam suasana ruwet dan gelisah. Sebagai daun kering di dalam angin, merasa sepi dan terbuang. Siapakah yang bertanggung jawab?

Sumber: Kumpulan cerita pendek la Sudah Bertualang, NV Nusantara-Bukittinggi, Jakarta, 1963


Tentang Cerpenis

Willibrordus Surendra Broto Rendra atau W.S. Rendra atau Rendra lahir pada 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah, dan meninggal dunia pada 6 Agustus 2009 di Depok, Jawa Barat. 

Adapun karya pertamanya berupa puisi dimuat di majalah sastra Siasat pada 1952. Setelah itu dia  rutin mengirimkan puisinya ke majalah Basis, Kisah, dan Konfrontasi di masa itu. Kemudian pada 1967 dia mendirikan Bengkel Teater, kelompok teater yang sangat berpengaruh di Indonesia. 

Banyak anak muda berguru kepadanya. Dalam berkarya, dia memiliki gaya tersendiri. Dalam bersikap, dia kritis terhadap kekuasaan dan membuat karya-karyanya terlarang dipentaskan di masa Orde Baru. Dia bahkan tak bisa dikategorikan dalam salah satu angkatan sastra, menurut kritikus sastra A. Teeuw, karena memiliki gaya bernarasi tersendiri. Pada 1996, dia meraih S.E.A. Write Award, penghargaan sastra Asia Tenggara dari Kerajaan Thailand. 

Kumpulan puisinya yang terkenal, antara lain Empat Kumpulan Sajak, Blues untuk Bonnie, dan Balada Orang-orang Tercinta.

--------------------------------------------------

Sumber tulisan: Odah dan Kuli Kontrak

Sumber ilustrasi: Pixabay


Tuesday, April 27, 2021

Selimut Ibu, Sebuah Cerpen Yudhi Ms


Selimut ibu yang saya simpan di dalam almari sebenarnya adalah selimut yang saya belikan hasil gaji yang saya terima pertama kali dari kantor tempat saya bekerja. Setamat SMA saya langsung bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ibu, seorang janda yang pekerjaannya sebagai penjual nasi pecel, oleh tetangga dan masyarakat sekitar, sudah dibilang luar biasa. Saya masih ingat, Ibu mencium selimut warna abu-abu pemberian saya itu dengan berlinang air mata.

"Seharusnya kau pergunakan untuk keperluanmu dulu, Pram. Tapi baiklah, tidak ada kata-kata yang bisa aku sampaikan kepadamu selain terima kasih atas bakti dari anakku. Semoga Gusti Allah meridhoimu," kata Ibu terbata-bata sambil memeluk saya.

"Mulai hari ini selimut yang indah ini akan kupakai dan tidak akan ganti dengan selimut yang lain." Saya tidak bermaksud ingin diperlakukan demikian. Tapi saya jadi terharu dan merasa bahagia sekali.

"Semoga abangmu, Pras, juga menjadi anak yang baik seperti kamu. Meski usahamu untuk mencari tahu keberadaannya belum menunjukkan titik terang, Ibu selalu berdoa, semoga ia berbakti kepada ayahnya dan ingat kepada kita, ibu dan adiknya," lanjut Ibu tak dapat menahan isaknya.

Hati saya tersentuh. Tiba-tiba muncul kerinduan saya akan Mas Pras. Sejak perpisahan Ibu dengan Ayah, saya tidak pernah lagi berjumpa dengannya kecuali hanya sekali. Itu terjadi sekitar dua tahun setelah perpisahan Ibu. Mas Pras diantar ke rumah dan beberapa jam kemudian dijemput kembali oleh Ayah. Waktu itu Mas Pras memakai baju baru, tapi kelihatan agak kurus. Sorot matanya agak redup, tapi cukup tabah ketika Ibu memeluknya sambil menangis. Menurut pengakuan Mas Pras, ia telah memiliki ibu baru. Ketika itu saya merasa benci kepada Ayah yang telah meninggalkan dan memisahkan kami dan tidak mau masuk ke rumah. Kebencian terhadap ayah saya itu memang sudah tertanam di dalam hati sebelumnya. Kelakuan Ayah yang kasar terhadap Ibu tak pernah bisa saya lupakan hingga kapan pun.

"Apa? Tidak ada uang?! Mana uang yang kuberikan kemarin?! Mana?!" hardik Ayah pada suatu hari.

"Sini, berikan uang itu!"

"Uang itu untuk belanja, Mas. Untuk makan."

Plak! Plak! Ibu menjerit dan kedua telapak tangannya melindungi mukanya.

Adegan mengerikan seperti itu menjadi tontonan gratis yang sering kami saksikan. Saya yang baru duduk di bangku TK selalu ketakutan dan menjerit-jerit kalau melihat Ayah menyiksa Ibu. Sedangkan Mas Pras yang sudah SD hanya terduduk di sudut kamar sambil menutup telinga, mendekap kepala.

"Ibu, kenapa ayah kejam sekali? Kenapa Ayah suka memukul Ibu?" saya sering merengek dalam dekapan Ibu bila Ibu habis bertengkar.

"Engkau terlalu kecil untuk memahami persoalan orang tua, Pram," begitu jawaban Ibu yang tak bisa memuaskan hati saya.

Dan, suatu peristiwa yang masih membekas dalam ingatan terjadi ketika pada suatu hari Ayah marah besar dan memukul Ibu. Tidak hanya itu, segelas kopi panas yang disediakan Ibu untuk Ayah, tidak diminum, tetapi disiramkan ke badan Ibu, mengenai leher dan dadanya. Ibu menjerit. Saya pun ikut menjerit dan memeluk Ibu.

Hari itu juga Ayah meninggalkan rumah dan memaksa Mas Pras ikut dengannya. Sejak itu saya tak pernah berjumpa kembali dengan mereka kecuali hanya yang sekali itu. Entah pindah ke mana mereka, kami tidak tahu.

Dalam usia enam tahun saya mulai hidup dalam asuhan seorang janda. Ibu memang luar biasa. Ia justru lebih santai hidup menjanda meski kemudian harus bekerja sendiri dengan menjual nasi pecel, rujak, kolak, di depan rumah. Tuhan memang Mahaadil. Dengan usahanya itu – ditambah sedikit bantuan dari beberapa kerabat Ibu – Ibu bisa menghidupi dan menyekolahkan saya.

Hidup dalam kesederhanaan tidak membuat kami menderita, bahkan senyatanya hidup kami lebih tenang. Bila malam tiba Ibu masih sempat mendongeng atau bercerita tentang banyak hal sebelum saya tertidur dalam pelukannya.

"Dingin, Bu," saya merapatkan ke tubuh Ibu menjelang tidur waktu turun hujan.

"Air hujannya tempias dari celah-celah genting. Nanti kalau Gusti Allah memberi rezeki, kita pasang eternit, setidaknya di kamar tidur."

"Kapan, Bu?" Saya memandangi temaramnya genting-genting yang basah di atas tempat tidur.

"Ya, kalau kita sudah mampu. Nanti kalau kamu sudah besar dan bekerja, tentu kamu akan mampu memperbaiki rumah ini. Sudahlah kamu tidur saja. Selimut untuk kita berdua ini cukup mengurangi dingin," hibur Ibu.

"Tapi selimutnya tipis, Bu. Masih dingin."

"Nanti kalau kamu sudah bekerja juga mampu membeli selimut yang tebal dan indah."

"Aku juga ingin membelikan untuk Ibu," kata saya meluncur begitu saja.

"O ya? Kamu anak baik, Pram. Sekarang, kamu tidur ya. Agar tak terlambat bangun," kata Ibu sambil mendekap saya. Kehangatan dekapan Ibu membuat saya terlena dalam mimpi tentang selimut yang indah.

Yang lebih mengagumkan, Ibu selalu menolak lamaran dari laki-laki yang menginginkan untuk menjadi ayah bagi saya. Hidup menjanda di usia yang masih muda tidak membuat hidup Ibu jadi kacau. Satu-satunya yang merisaukan hati Ibu adalah manakala teringat akan anak sulungnya, Mas Pras.

"Ibu selalu berdoa agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Biarpun terhadap ibu tiri, semoga ia tetap menghormati."

"Saya juga rindu kepada Mas Pras, Bu. Tapi terhadap Ayah, saya benci."

"Kamu tidak boleh berkata demikian, Pram. Sejelek apa pun, kamu harus menghormati orang tuamu, termasuk kepada ayahmu," kata-kata seperti itu sering dinasihatkan ibu.

Setelah saya bekerja, kehidupan kami sedikit banyak ada kemajuan. Sedikit-sedikit saya bisa membantu kebutuhan rumah tangga. Sedang Ibu tidak hendak meninggalkan pekerjaannya. Makanya, rumah kami beserta perabotnya berangsur-angsur berubah menjadi semakin baik. Sambil bekerja saya pun dapat melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta. Hal yang cukup mendorong karier saya di tempat kerja.

Melihat itu, sebagaimana semua ibu di dunia ini, Ibu menyarankan agar saya mulai memikirkan pasangan hidup. Katanya, ia merasa sudah ingin menimang cucu. Dengan ragu saya memang mulai melirik gadis-gadis yang pantas menjadi istri saya. Pantas dalam arti mau hidup sederhana.

"Kalau memilih istri jangan asal cantik, Pram. Yang penting bisa saling memahami keadaan masing-masing. Tidak boleh ada yang mau menang sendiri. Sabar menghadapi cobaan adalah kunci keutuhan rumah tangga."

Tapi keinginan itu belum kesampaian hingga suatu ketika Ibu terserang penyakit tipus. Berobat ke dokter berlanjut dirawat di rumah sakit belum cukup untuk menolak panggilan Ilahi. Saya merasa dipaksa memagut kehampaan. Kebahagiaan Ibu yang ingin saya bangun dengan mempersembahkan kebahagiaan hidup setelah saya berkeluarga belum berhasil saya wujudkan. Demikian juga usaha saya untuk mempertemukan Ibu dengan Mas Pras masih sebatas impian.

Barulah empat tahun sepeninggal Ibu, setelah saya menyelesaikan studi saya, saya menikah pada usia dua puluh delapan. Istri saya seorang gadis yang cukup cantik, berasal dari keluarga yang cukup berada. Ia seorang pegawai di sebuah kantor perusahaan swasta dengan kedudukan yang lumayan tinggi, setidaknya bila dibanding saya sendiri. Kini kami sudah dikaruniai seorang laki-laki dan baru saja masuk SD.

***

"Papa, kenapa Mama tidak pulang?" tanya Doni, anak saya, ketika kami berada di tempat tidur.

Sengaja ia saya ajak tidur di kamar saya.

"Mama sedang di luar kota, di Bandung. Mama sedang ditugaskan oleh perusahaan ikut seminar," kata saya sambil menerangkan selintas tentang apa itu seminar.

"Pa, Mama sayang apa nggak sama Doni?"

"Ya, tentu saja sayang, Don. Seperti Papa juga sayang sama Doni."

"Tapi Mama jarang mencium Doni, Pa."

"Ha ha ha, Doni kan sudah SD. Masa masih ingin dicium?"

"Tapi Papa kok sering cium Doni? Papa sering ngajak main sama Doni. Papa juga sering membuatkan susu. Kalau Mama, tidak pernah."

"Ah, Mamamu, 'kan sibuk, Don."

"Mama kejam ya, Pa?"

Tenggorokan saya serasa tercekat.

"Papa sering ditampar dan dipukul. Papa kok diam saja sih? Papa tidak berani melawan ya?"

Bayangan Ibu yang tidak melakukan perlawanan ketika ditampar dan dipukul Ayah tiba-tiba membayang di depan mata saya.

"Kenapa sih Mama kok kejam sekali, Pa?"

"Tidak, tidak kejam. Kamu masih terlalu kecil untuk memahami persoalan orang tua, Don," sebenarnyalah hati saya teriris. "Sudahlah, Don. Tidurlah agar besok tidak terlambat bangun."

Akhirnya Doni pulas di samping saya. Saat itu saya hanya mampu memandangi keremangan eternit putih di atas tempat tidur. Kerinduan saya kepada Ibu dan Mas Pras tiba-tiba bangkit perlahan-lahan. Kepada mereka, ingin rasanya saya menumpahkan perasaan saya. Tapi Ibu sudah tiada. Dan, Mas Pras belum ketahuan rimbanya. Apakah ia bernasib baik atau lebih buruk, saya tidak tahu.

Saya bangkit dari tempat tidur dan membuka almari. Seperti biasa, setiap kali dihinggapi rasa sepi, diam-diam saya selalu mengambil selimut Ibu. Selimut yang juga dipakai Ibu selama sakit menjelang wafatnya itu memang sengaja tidak saya cuci. Ketika selimut itu saya cium dalam-dalam, bau keringat Ibu yang harum seakan memberi kekuatan pada batin dan jiwa saya.

Kudus, 2002

(Pernah dimuat di SUARA PEMBARUAN)


Tentang cerpenis

Yudhi Ms. lahir, besar, dan hidup sampai tua di Kudus, Jawa Tengah. Karyanya berupa puisi, cerpen, geguritan, esai, naskah drama, juga novel. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di sejumlah media massa pusat dan daerah. Aktif di dua komunitas yang ia ikut mendirikannya, Keluarga Penulis Kudus (KPK) dan Forum Apresiasi Sastra dan Budaya Kudus (FASBuK).

------------------------------------------------------------------

Sumber cerpen: Tuas Media 

Sumber biodata cerpenis: Wartamantra 

Sumber ilustrasi: Pixabay

Monday, April 26, 2021

Catatan Jelajah Maya Himalaya dalam Antologi Puisi Nobel


Karya WISLAWA SZYMBORSKA
(Nobel Award of Literature 1996)


Inilah Himalaya raya
Pegunungan yang berebut rembulan
Saat keberangkatan mereka tercatat
Kala kejutan merobek kanvas langit
Lubang memenuhi padang awan
Bertolak menuju ketiadaan
Gema bisu putih
Sunyi.

Yeti, turunlah di hari Rabu,
roti dan alfabet
Dua kali dua, empat
Di sana mawar berona merah
dan violet jadi biru.

Yeti, kejahatan tak sepenuhnya 
dari atas ke bawah
Yeti, tidak semua kalimat di sana
berarti maut.

Kami warisi harapan
Bakat untuk lupa
Kalian tahu takdir kami
lahir di tengah puing-puing.

Yeti, kami jumpa Shakespeare di sana
Yeti, kita bermain sendiri
dan biola. Saat rembang petang
Kita nyalakan cahaya, Yeti.

Naiklah di sini, tak bulan tak bumi
Air mata membeku
Oh Yeti, setengah manusia bulan
Berbaliklah, pikir lagi!

Kukatakan ini pada Yeti
Dalam ruang empat dinding es
Kuhentakkan kaki demi kehangatan
di atas salju
abadi.

(Terj. Sides Sudyarto D.S.)


Tentang Penyair

WISLAWA SZYMBORSKA. Ia lahir tahun 1923 di Bnin, Polandia. Adapun latar belakang akademiknya adalah Fakultas Sastra dan Sosiologi di Universitas Jagellonian, Polandia. Karena inilah yang banyak dikatakan telah membuatnya akrab dengan tradisi syair liris Polandia. 

Alhasil, puisi-puisinya menampakkan gabungan yang unik antara aforisme, ejekan serta ironi dari puisi Polandia di masa lampau, di samping semangat, daya ciptaan dan empati yang langsung mengingatkan pada atmosfer Renaissance dan Baroque. Puisi pertamanya muncul tahun 1945. 

Sejak itu ratusan puisi telah ditulisnya, dan hingga sekarang ia telah menerbitkan 16 kumpulan puisi. Tetapi ia menganggap Wolanie do Yeti (1957) sebagai kumpulan puisinya yang pertama. Dua kumpulan puisi sebelumnya, Dlatego Zyjemy (1952) dan Pytania Zadawane sobie (1954), sengaja ditariknya dari peredaran, karena keduanya menampakkan ciri realisme sosial yang sangat kental. Ia menerima Hadiah Nobel untuk Kesusastraan tahun 1996.
-------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Antologi Puisi Nobel
Sumber ilustrasi: Pixabay


Saturday, April 24, 2021

Puisi-Puisi Ade Novi dalam Puisi-Puisi Munsi


PULANG
(Untuk mengenang Alm. Ane Matahari)

Merpati rindu melayang
menerbangi waktu
menembus zaman, menyibak kehidupan
dari waktu ke waktu
lalu pulang ke kandang yang sunyi abadi

kidung rindu ini
bernyanyi, pada jiwa terpatri
aku ingin seperti merpati
bebas tanpa memilih awan
di manapun dia hendak terbang

mampukah aku pulang?
tanpa beban-beban?
sedang diri berselimut noda hitam!
sampai waktu tak lagi berpihak padaku
dan aku, jadi takut pulang

menemui tempat segalanya kembali,
kepada Tuhan

Jakarta, November 2016


MIMPIMU MIMPIKU

Ini penghujung musim kering
Dedaunan garing berhamburan, semuanya cokelat
Yang bisa remuk hanya dengan sekali remas

Ini penghujung musim kering
Pepohonan rindang menyemburkan gumpalan debu,
Mereka listeria seperti serumpun hujan
Kelihatannya akan ada rencana besar yang
belum
jelas, sibuk sekali

Ini penghujung musim kering. Angin ringkih
Tipis dan ringan melayang tanpa menghasilkan
kelembapan butir-butir udara
Tidak ada yang memuai, bukanlah seharusnya
mereka sudah bebenah?
Ketika matahari menjenguk pagi!

Ini penghujung musim kering
Hmmmmm.... Artinya apa?
Sedang kita masih saja saling lamun
Padahal cokelat benar-benar sudah cokelat
Seperti tanah yang berpetak-petak...

November 2016


SURAT KEPADA TUANKU

Biarkan rindu menjadi lara
Agar kau dapat menghargai setiap waktu yang ada,
Tuan!

Dan entah mengapa angin malam menjadi lebih
hangat...
Mungkin ia menyadari betapa dingin ragaku malam
ini!

Karena kau adalah kepingan dosa yang kurangkai
menjadi doa,
Meski harus ku telusuri jalan ini sendiri!

Semoga esok ku temukan jawaban nya

Jakarta, November 2016

Tentang Penyair

ADE NOVI menulis puisi, cerita bersambung dan pantun. Menulis pantun bersama 105 penyair dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand. Sekarang mengabdi sebagai guru.
---------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Puisi-Puisi Munsi

Sumber ilustrasi: Pixabay

Friday, April 23, 2021

Puisi-Puisi Rabindranath Tagore, Sang Penerima Hadiah Nobel untuk Kesusastraan



Panggilan Hidup

     Jika gong berdengung sepuluh kali di pagi hari dan aku berjalan menuju sekolah, bertemulah aku setiap hari dengan penjual kelontong yang berteriak, “Manik! Manik batu!"
     Tak ada yang memburu dia, tak ada jalan yang harus ditempuh, tak ada tempat ke mana ia harus pergi.
     Aku ingin jadi penjual kelontong yang menghabiskan hari-harinya di jalanan sambil berteriak, "Manik! Manik batu!"
     Jika sore hari pukul empat aku pulang dari sekolah, kulihat dari gerbang masuk tukang kebun sedang menyabit rumput di halaman.
     Ia bekerja sesuka hatinya, mengotori bajunya dengan debu, berjemur di bawah panas matahari, kehujanan tanpa seorang pun melarangnya.
     Aku ingin jadi tukang kebun yang bekerja sesuka hati, dan tak seorang pun melarangku.
     Jika malam tiba dan ibu menyuruhku tidur, kulihat lewat jendela, peronda malam bolak-balik di gang.
     Jalanan gelap, dan sepi, dan lampu pasar tegak bagai raksasa bermata merah di tengah kepalanya.
     Peronda itu berjalan membawa lampunya bersama bayang-bayangnya, dan ia tak pernah tidur selama hidupnya.
     Aku ingin jadi peronda dan berjalan di jalanan sepanjang malam sambil menghalau bayang-bayang dengan lampuku.

(Terjemahan Abdul Hadi W.M.)


Tukang Batu

     Engkau kira aku anak kecil, Ibu, tetapi engkau keliru, karena aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.
     Tiap pagi aku naik kereta dan pergi ke kota dan aku susun batu demi batu dengan kapur dan semen dan mendirikan tembok seperti gambar menangkap aku.
     Engkau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi aku katakan kepadamu aku mendirikan rumah sungguh-sungguh.
     Ini bukan rumah-rumah kecil karena aku dirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.
     Tetapi bila engkau tanyakan kepadaku mengapa aku berhenti di sana dan mengapa aku tiada melanjutkan membangun
tingkat demi tingkat sehingga atapnya mencapai bintang-bintang,
aku yakin aku tiada dapat mengatakan kepadamu dan aku mengherani diriku sendiri mengapa aku akan berhenti di mana saja pada segala
     Aku naiki perancah bila saja aku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar daripada hanya bermain-main. Aku mendengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan memalu dan meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang pedagang dan penjual-penjual barang logam dan buah-buahan, pada petang hari kanak-kanak lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarangnya.
     Engkau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga.
     Tetapi bila engkau tanyakan kepadaku mengapa aku tinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami sedangkan aku bisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya, aku yakin aku tiada dapat
mengatakan kepadamu.

(Terjemahan Majang 'n Dresjwari)


Tentang Penyair

RABINDRANATH TAGORE dilahirkan tahun 1861 di Calcutta, India dan Ia meninggal tahun 1941. Ia berasal dari keluarga kaya yang sangat mencintai seni. Dirinya telah terbiasa dengan sajak-sajak penyair India dan Persia sejak kecil, misalnya Hafiz yang merupakan penyair sufi abad ke-14 dan pengaruhnya begitu membekas padanya. 

Ia pernah menuntut ilmu hukum di Inggris,
tetapi tidak selesai dan kembali ke India untuk mengurus tanah orang tuanya. 

Meskipun bertahun-tahun kemudian ia mengalami berbagai kesulitan keuangan, tetapi ia malah mendirikan sekolah khusus untuk anak laki-laki, Shanti-Niketan. Ia membagi waktunya antara mengajar, menulis dan menterjemahkan. Karya Tagore meliputi 50 drama, 100 kumpulan puisi, 40 kumpulan cerpen dan roman, serta sejumlah buku esei dan filsafat.

Adapun sekitar 12 karyanya telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, termasuk kumpulan puisi religius Gitanyali (Pustaka Dian Rakyat, Edisi Revisi 1995). Karya ini sering dianggap sebagai karya puncak Tagore.

Tagore menerima Hadiah Nobel untuk Kesusastraan tahun 1913 dan tahun 1915 menerima gelar kebangsawanan Sir dari Kerajaan Inggris. 
--------------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Antologi Puisi Nobel
Sumber ilustrasi: Pixabay


Puisi D. Zawawi Imron dalam Mata Badik Mata Puisi



Berkayuh di Kaki Sulawesi

inilah puisi yang mengaji kelenjar
mengaji simpul tali yang merentang layar

tadi malam kasur sekarang ombak
matahari tak pernah ingkar janji
memandang teduh bandar kepagian
dan darah selalu mengalir
meniru riak laut yang tak berakhir

mengaji haluan mengaji kemudi
dayung berkayuh di kaki Sulawesi
inilah senyum yang tidak bibir
awan membungkuk bagai diukir

bersungguhlah dalam mengaji
menyanyi menggetarkan hati
menempuh gelombang menyibak karang
menata langkah ke negeri seberang

di sana ada pagi di sini ada pagi
pada pertemuan sana dan sini
ada hati yang bergigi ada langkah yang bergizi
walau antara kalau dan tapi
tak boleh ada hutang pada napas matahari


Berguru

Pada sebiji kacang hijau aku berguru
bagaimana hanya dengan sebasah air
ia bisa tumbuh dengan akar yang kekar.
Aku ingin melukisnya pada sebidang kanvas
yang telah bergambar arakan awan.
Pada kacang-kacang yang tumbuh di ladangku
kuperhatikan bunga-bunga yang mekar seperti
kupu-kupu yang berhinggapan
Pagi jadi berarti dalam sisa embun yang
membuat lahan ngungun
Ladang itu seperti ladangku sendiri.
Rasa syukur berseri-seri
seperti aroma melati menghapus tajamnya rasa nyeri.
Pada kupu-kupu yang baru keluar
dari kepompong itu aku belajar membaca
pedih, dan begitu matahari menghapus
basah pada sayapnya, kupu-kupu itu terbang
menyatakan hidupnya dengan warna
Seakan ia tak henti bernyanyi bahwa sayapnya
yang indah itu dilukis Tuhan dengan sangat hati-hati
Subhanallah, alangkah indah
kenyataan ini memanduku ke napas hakiki
Tapi sayang,
kadang aku tak punya mata untuk membaca
tanda-tanda kebenaran itu.
Hai, siapa yang kadang nakal
menyembunyikan mataku?


Badik

Badik! Bacalah La Pasello,
di daun-daun ketela, di tiang layar,
dair terjun dan di perut kecapi tua
Bahwa setetes keringat di sawah
berarti juga setetes darah di medan laga

Badik, minumlah embun
di ubun gunung
Sejuk yang kau teguk
akan memberi emas matamu tajam
Lembah-lembah akan menghijau
Baju bodo kuning nangka
kan menyerbu
mengusir tikus dan hama

Badik!
Karena dendam bukan hatimu
Maukah engkau jadi mataku
Maukah engkau jadi lidahku
Jadi kukuku, jadi kakiku?

Kutulis sumpah dengan ujungmu
dan nyawa jadi tinta


Tentang Penyair

D. Zawawi Imron lahir di Desa Batang-batang, ujung timur Pulau Madura. Kumpulan sajaknya "Bulan Tertusuk Lalang" sempat mengilhami sutradara Garin Nugroho membuat film “Bulan Tertusuk Ilalang”. Kumpulan sajaknya, "Nenekmoyangku Airmata" terpilih sebagai Buku Puisi Terbaik dengan mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama pada tahun 1985. 

Kemudian kumpulan sajak "Celurit Emas" terpilih menjadi Buku Puisi Terbaik di Pusat Bahasa, 1990. Pada tahun 1995, Zawawi memenangkan juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-50. Pada tahun 2010, kumpulan sajaknya "Kelenjar Laut" mendapat Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) dari Kerajaan Malaysia. Buku tersebut juga mendapat The South
East Asia Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand.
-------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Mata Badik Mata Puisi

Sumber ilustrasi: Pixabay