Hamdy Salad lahir di Ngawi, Jawa Timur, bertepatan pada 25 Juni 1963. Ia mengenyam pendidikan formal dari SD hingga lulus pesantren setaraf SMU di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1983 dirinya masuk IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) Yogyakarta dan sempat pula belajar di lembaga akting dan film.
Sejak 1983 aktif dalam dunia penulisan, yakni saat masuk di Teater Alam.
Dirinya juga bekerja sebagai pengajar Creative Writing pada Fakultas Bahasa dan Seni UNY, fasilitator utama Jogya Writing School (JWS), mengampu mata kuliah Agama dan Budaya Islam pada Fakultas Seni Perunjukan dan Seni Rupa ISI Yogyakarta, mengajar Dramatologi pada FPBS UAD, dan mengampu Performing Arts pada International Hight School Budi Mulya Yogyakarta.
Cerpen dihasilkannya cukup banyak dan tersebar di berbagai harian, seperti di Bernas: “Bumi Bersimbah Mawar” (18 Oktober 1998), “Kereta Para Pembesar” (31 Mei 1998), “Pertapaan Orang Senja” (31 Januari 1999); dan Kedaulatan Rakyat: “Jubah Putih dari Nenek” (14 Januari 1999).
Selain itu, cerpennya berjudul “Cermin Berdiri di Punggung Babi” masuk dalam antologi bersama Perempuan Bermulut Api (2009). Dan, kumpulan cerpennya "Bercinta di Luar Kebun" Binatang terbit tahun 2005.
Di samping menulis cerpen, ia juga menyutradarai pementasan teater, menulis novel, dan puisi. Buku Agama Seni (2002) dianggap sebagai masterpiece-nya.
Dirinya pernah menjadi pembicara dalam program “Siswa Bertanya Sastrawan Berbicara” di seluruh kota di Indonesia di bawah Yayasan Indonesia.
Sempat membaca puisi dalam wadah GAPENA di Kuala Lumpur, Malaysia dan mengikuti pertemuan sastrawan se-Nusantara.
Yayasan Sastra Yogya (Yasayo) bekerja sama dengan KMSI menganugerahkan Hadiah Sastra Yasayo Edisi IV, atas prestasinya sebagai penulis sastra Indonesia pada tanggal 30 Oktober 2013, bertempat di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri.
Berikut cerpen pilihan karyanya:
Burung Terbang dari Kuburmu
Hamdy Salad
BURUNG-BURUNG terbang meninggalkan musim dingin menuju tempat yang lain. Melintasi laut dan hutan. Menggaris
cakrawala di langit keabadian. Sebagian pergi menaikkan derajatnya menuju tingkat yang lebih tinggi. Sebagian dilepas dan diberi angka pada sayapnya, agar mudah dikenali kemana pun mereka pergi. Sebagian lagi hanya bisa menghabiskan waktu untuk bernyanyi dalam sangkar tirani.
Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah bosan untuk bersiul. Mengajari burung bernyanyi dengan irama yang tidak
pasti. Setiap sore dan pagi hari, ia berdiri di depan rumah. Memberikan makan dan minum melebihi anaknya sendiri. Ketan hitam, buah pisang dan gabah, juga air yang telah direbus dengan daun jambu, selalu ada di kepalanya. Tapi burung tak juga pandai bernyanyi, kecuali beriak dengan suara serak. Memaki-maki pita suara dalam tenggorokan lalu amarah merasuk di dada pemiliknya. Mengajak anggota badan untuk bertindak. Menggerakkan kedua lengannya yang kokoh untuk membanting sangkar sampai roboh ke tanah. Dan burung pun terbang, tergopoh-gopoh, mencari kebebasan yang telah lama dirindukan.
Pada saat yang kurang tepat, tetangga itu datang ke rumahnya. Mengumbar basa-basi dalam dunia burung. Di dekat mereka mengobrol, seekor beo masih bertengger dengan rantai di kaki kanan. Matanya melotot, menatap tetangganya tanpa ragu. Sepertinya beo itu hendak bicara, mengabarkan luka yang
diderita oleh majikannya.
“Aku tetanggamu. Tak mungkin bisa menutup telinga.”
“Ya. Pada minggu terakhir sebelum kepergiannya, buurug itu telah membuat sarang dalam sangkar. Dan ketika sangkar
telah rusak, sarang itu berpindah tempat ke dalam tubuh majikannya. Hingga tubuh sang majikan terasa sesak. Penuh jerami yang
berserak.”
“Lalu, pergi ke mana?”
“Mencari musim di tempat yang lain. Sebab burung yang tinggal dalam sarang tertentu, dengan mudah akan ditangkap
orang, setiap musim setiap waktu.”
Tetangga itu bangkit. Lalu pamit dan kembali ke dalam rumah sendiri. Sunyi tanpa kata-kata. Memahami bahasa burung dengan lidah manusia. Menerbangkan khayalan menuju kenyataan. Membawa mimpi ke dalam kehidupan. Burung pelatuk mencari makanan; mematuki pohon yang keras sebanyak 20 kali dalam 2 detik tanpa cedera; pendarahan otak atau sakit kepala. Burung ababil membawa kerikil dan batu api tanpa terbakar tubuhnya; juga sayap dan bulu-bulunya.
Burung-burung selalu dipuja karena suara indah yang keluar dari tenggorokannya. Perkutut jantan yang terkenal itu, mendapat sertifikat yang lebih mahal dari kemerdekaan. Kutilang berjengger biru ditukar orang dengan mobil terbaru. Cucakrawa berbulu putih dikeramatkan sebagai bangsa burung yang terpilih. Sementara elang, makhluk pemakan daging itu, tetap setia menggaris laut. Menunggu mangsa yang luput.
Elang bermata merah mengepakkan sayapnya menuju tempat fajar merekah. Kemudaian berdandan, menjelma makhluk paling serakah; meminum nanah; memakan daging-daging busuk sampai muntah. Sedang elang bermata hitam, terbang ke arah
matahari tenggelam. Lalu bernyanyi, mabuk dan gila sampai mati. Sayap-sayapnya yang patah jatuh ke bumi. Menjadi pena.
Menuliskan sejarah sendiri tanpa tinta.
“Bukankah bumi juga memiliki mata pena?”
“Ya. Tapi langit yang menyimpan tintanya.”
“Jadi?”
“Jadi bumi tak bisa menulis sejarah sendiri. Kecuali langit mengirimkan tinta yang lebih murni.”
“Ah!!”
“Lelaki juga punya burung. Tapi perempuan yang menyimpan sayapnya. Jadi lelaki tak bisa terbang sendirian, kecuali perempuan mengepakkan sayapnya.”
Dan ini juga burung. Walau hari sudah sore dan petang, walau angin ribut selalu datang, sekelompok merpati itu tak mau pergi dari tempat kebebasannya. Mereka habiskan waktu
untuk bersendau-gurau sembari mengais sisa-sisa makanan orang. Hingga sayap-sayapnya menjadi malas terbang dan kembali ke dalam sarang. Makhluk-makhluk bertelinga kecil itu
lebih suka tertidur dan menunggu pagi di taman-taman kota. Para pemburu yang kebetulan lewat dan melihatnya, tanpa perintah atau komando, langsung menembaki mereka tanpa aturan. Merpati-merpati kelimpungan. Lalu roboh ke tanah. Tak bisa lagi terbang, berkicau atau berdendang, kecuali menangis dan merintih dalam perut si-gendut. Perut pemakan daging yang
sedang ribut di balik dinding.
Kalau saja Daud dan Sulaiman masih hidup, tangisan itu dapat digubah sebagai nyanyian dalam telingamu. Dan engkau pun menjadi bebas merdeka untuk terbang menemui diri di atas langit yang tinggi. Sebab burung telah menjadi amsal ruhani untuk membawa pesan-pesan rahasia ke dalam bahasa manusia.
“Maka, pujilah nama Tuhanmu yang telah menerbangkan burung-burung semesta dari sangkar derita. Dan burung-burung pun menjadi bahagia dalam istana yang sesungguhnya.”
Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah peduli pada kenyataan di luar angkasa. Pada burung-burung cahaya yang menerbangkan manusia sempurna menuju surga. Serupa sayap-sayap jibril, mereka berkepak membawa bahtera, mengangkat ruh para nabi menuju singgasana yang abadi. Sementara wali dan orang-orang terpilih yang teraniaya atau disiksa para penguasa, memperoleh sayap dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat
dari burung-burung putih untuk terbang dan kembali ke dalam istana sejati.
Simurgh, burung merak dengan sayap-sayapnya yang indah, telah dinobatkan sebagai mahkota yang mesti dicinta. Sedang bul-bul menggantikan sayap-sayap manusia sebagai anugerah para pecinta. Lalu hud-hud, burung yang paling beruntung di dunia, menurunkan rahasia Tuhan kepada Sulaiman. Hingga Balqis, perempuan ratu yang terkenal itu, menjadi tunduk dan berserah diri di hadapan raja Yang Maha Suci. Lalu duduk dan berdiri; membaca syahadat sampai kembali ke dasar bumi.
“Telah kuingat semua nama yang indah. Dan kulepaskan semua burung yang mati dari sangkar resah.” Seekor gagak menggali tanah; mengajarkan cara pada anak adam dan hawa untuk mengubur dan menutup aib saudara.
“Oh. Celakalah aku. Mengapa aku tidak bisa berpikir seperti burung gagak itu, sehingga saudaraku Habil dapat dikubur di bumi ini.” Qabil menyesal. Lalu bergerak dan mengantar kepergian saudaranya dengan cara burung gagak. Menutup jasadnya dengan tanah, melepaskan jiwanya dengan penuh rahmah.
Tangan doa menengadah ke angkasa. Mendedah sebutir pasir di tengah mutiara. Seperti juga tetangganya, orang itu bersusah-payah untuk menjadi diri sendiri. Setiap hari, dari pagi sampai petang, dari petang sampai pagi lagi, tak pernah lupa untuk mengaji. Memahami bahasa burung dengan kalimat-kalimat suci yang lebih abadi. Kecuali tertidur dan mati.
Tapi hidup telah membawa jiwanya untuk menolak rasa kantuk, tertidur atau mati dengan sia-sia. Selain rindu yang luar
biasa untuk bertemu dan terbang bersama burung-burung bersayap sutra. Burung-burung kesaksian yang mengangkat ruh alam menuju langit keabadian. Sampai selaput yang tipis di cekung matanya menjadi terkikis. Dan cahaya berkilau, memancarkan sinar dunia ke wajah bumi yang hijau.
Sumber bacaan: SOSOK-SOSOK INSPIRATIF: ANTOLOGI BIOGRAFI DAN KARYA CERPENIS YOGYAKARTA