Tuesday, December 31, 2019

Tahun Baru Masehi, Kenangan, dan Impian Manusia


Malam ini orang menyemut di jalan raya. Begitulah setidaknya yang saya jumpai sekitar satu jam lalu.

Bukan hanya itu, lampu-lampu yang menyala turut memeriahkan suasana kota. Maklumlah, malam ini adalah malam tahun baru "Masehi".

Sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat Indonesia sejak dulu turut merayakan pergantian tahun yang berlaku internasional tersebut. Ya, mulai dari meniup terompet, main petasan, bakar jagung, hingga jalan-jalan keliling kota.

Itu realitas empiris perayaan tahun baru "Masehi" di Indonesia.

Nah, soal kenangan lain lagi. Setiap  waktu tentu ada saja yang kita alami. Dan setiap kali kita berada pada waktu yang lain, tentu ada sesuatu yang bisa dikenang. Sebutlah yang paling sederhana semisal duduk sendirian menunggu seorang teman.

Kemudian, ada masa depan. Impian-impian sering hinggap di kepala kita. Selama impian tersebut baik untuk kita, maka berusaha dan berdoalah menggapainya.

Lalu, apa yang dapat kita temukan dari ketiganya?

Alur kehidupan. Benar, dari A sampai Z di dunia. Ya, khusus di alam ini. Ibarat tali, maka alur kehidupan manusia sudah ditetapkan Allah swt berapa ukuran masing-masingnya. Tidak bisa ditambah atau dikurangi. Manusia berjalan mengarunginya yang secara normal mulai lahir, anak-anak, remaja, dewasa, dan tua.

Sementara tahun baru, hanyalah satu perjalanan kehidupan manusia. Ada hari baru, minggu baru, bulan baru, dan selalu baru (yang belum manusia alami).

Lantas bagaimana dengan kenangan dan impian? Terkait kedua hal itu, idealnya dalam mengarungi alur waktu kehidupan ini, kita selalu dapat memperhatikan hal-hal yang telah kita perbuat atau alami (kenangan) agar dapat menggapai impian (yang lebih baik lagi).


Monday, December 30, 2019

Antara Komik dan Artikel Panjang, Kamu Pilih yang Mana?


Siapa yang belum tahu komik? Rasa-rasanya semua orang sudah mengetahuinya.

Oh iya, maaf, ada yang terlupakan! Bayi dan batita sepertinya belum tahu komik itu wujudnya seperti apa.

Nah, bagi anak-anak hingga orang tua agaknya sudah tidak perlu mendapatkan penjelasan tentang jenis bacaan yang satu ini. Sudah jelas. Cerita bergambar!

Meskipun, mungkin, ada saja yang memaknainya sebagai kumpulan gambar yang disertai "caption" pada masing-masingnya. Tapi, pada intinya ada gambar dan cerita yang dituliskan.

Sementara yang satunya lagi ialah artikel panjang. Bagi yang gemar membaca surat kabar, saya yakin sering menemukannya, yakni di kolom opini

Jika kita perhatikan, keduanya memiliki penggemar sendiri-sendiri. Komik mania rata-rata berasal dari kalangan anak-anak, remaja, dan dewasa awal. Selebihnya (dewasa akhir, misalnya) biasanya memang sejak muda yang bersangkutan menyukai komik. Alasannya, selain ceritanya menarik, juga ada gambar yang bagus-bagus. Dari sisi visual, komik memang sangat menarik.

Berbeda dengan komik, artikel panjang jelas minim gambar. Bahkan, ada yang tanpa gambar atau ilustrasi. Terpenting adalah isinya yang berbobot. Bagi yang kurang betah membaca lama, biasanya enggan membacanya. Inilah juga yang membuat sebagian esais mencoba menyajikan esai sesederhana dan sesingkat mungkin.

Di samping itu, ada upaya lainnya. Artikel dan jenis tulisan panjang lainnya semisal novel, ada yang disisipi gambar. Tujuannya agar lebih menarik dan dapat memudahkan pembaca masuk ke hal yang dituliskan.

Lalu, pilih yang mana? Komik atau artikel panjang?


Sunday, December 29, 2019

Mengapa Jarang Ada Artikel Kebahasaan di Surat Kabar?


Apa yang Anda ketahui tentang informasi kebahasaan di Indonesia dan luar negeri terkini? Jumlah bahasa daerah di kota Anda? Kekerabatan bahasa-bahasa di negara kita? Manfaat bahasa terhadap gangguan kejiwaan? Atau yang lainnya?

Bagi siapa saja yang bergelut di dunia bahasa, sangat mungkin hal-hal kebahasaan seperti itu sudah di "luar kepala" mereka. Tapi, bagaimana dengan masyarakat luas? Contohnya saya pribadi yang berada di luar jalur bahasa.

Idealnya, informasi kebahasaan, terutama yang berdasarkan hasil penelitian, disebarluaskan kepada khalayak ramai.

Melalui apa?

Agaknya pertanyaan terakhir di atas dapat mengantarkan kita pada media mana paling cocok untuk penyebarluasan informasi kebahasaan ini.

Jurnal? Hasil penelitian yang berkualitas memang dimuat dalam jurnal-jurnal ilmiah. Termasuk pula perihal bahasa. Tercatat ada banyak jurnal di Indonesia. Pertanyaannya, di mana saja area persebaran jurnal-jurnal tersebut? Di lapak-lapak media massa yang mudah dibeli masyarakat? Yang kemudian sampai di tangan pedagang, penarik becak, dan lainya di semua lapisan masyarakat? Atau sekadar di perpustakaan kantor kebahasaan yang pembacanya sebatas dalam lingkaran "orang bahasa" saja?

Makalah? Dalam seminar, misalnya, narasumber atau pembicara menyajikan makalah terkait tema yang ditentukan pihak panitia. Sebutlah tentang eksistensi bahasa-bahasa di daerah pesisir dan pedalaman. Ada banyak makalah dalam acara semacam itu. Bahkan, ada yang digabung menjadi sebuah prosiding yang tebal. Lantas, apakah dengan kegiatan ini masyarakat luas mengetahuinya? Bukankah hanya narasumber, pantia, dan peserta yang tahu?

Lalu, media mana yang paling cocok? Tampaknya bukan kedua contoh di atas. Dan, sudah menjadi pemahaman bersama bahwa untuk dekat dengan seseorang, misalnya, adalah dengan sesuatu yang paling sering bersentuhan dengannya.

Nah, bagaimana dengan masyarakat luas? Media apa yang paling dekat dan sering bersentuhan dengan masyarakat?

Surat kabar? Selain murah, juga mudah didapatkan karena persebarannya yang luas. Permasalahannya, apakah di surat kabar sering dimuat informasi kebahasaan, melalui artikel di kolom opini, misalnya?

Sepengetahuan saya masih jarang ada artikel semacam itu. Dalam setahun, kalau ada juga, paling hanya satu atau dua artikel kebahasaan di surat kabar nasional. Jika ditanya mengapa bisa seperti itu, saya pun belum bisa menjawabnya.

Harapan kita bersama, orang-orang bahasa, terutama yang bekerja di lembaga kebahasaan, sering-seringlah menuliskan artikel kebahasaan mereka di surat kabar selain jurnal dan lainnya.


Saturday, December 28, 2019

Bagaimana Kabar Antologi Karya Tulis Bersama Era Kekinian?


"Kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang lazim disebut antologi atau bunga rampai."

Nah, dari judul di atas sudah dapat dipahami yang saya pertanyakan adalah kumpulan karya tulis pilihan beberapa (bisa dua, puluhan, atau lebih) orang pengarang. Sebutlah antologi puisi para penyair perempuan Indonesia.

Antologi bersama biasanya dibuat sebagai bagian dari acara sastra. Misalnya Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) yang rutin diselenggarakan di kawasan negara-negara serumpun. Meski demikian, sering juga bermunculan antologi bersama tanpa adanya acara seperti itu.

Khusus yang terakhir tadi, ada lomba dan penerbitan karya tulis. Informasi lomba semacam ini umumnya disebarkan via media sosial. Saya pertama kali menemukan info-info lomba tersebut sekitar sepuluh tahunan lalu.

Jika diperhatikan, waktu itu banyak yang mengikuti lomba demi lomba jenis ini. Bahkan, yang semula pihak panitianya menggandeng penerbit-penerbit indie, lambat laun merambah ke penerbit mayor.

Ya, mungkin karena sisi ramainya peserta itulah ada saja penerbit mayor yang ikut serta di ranah antologi bersama. Mulai dari lomba hingga penjualan buku cetak di toko buku besar. Mereka juga memberikan imbalan yang lebih menggiurkan kepada para penulis daripada yang diterbitkan indie.

Tahun berganti tahun. Lalu bagaimana kabar antologi karya tulis bersama era kekinian?

Khusus penerbitan antologi bersama yang menjadi bagian dari acara sastra tetap semarak. Hal ini wajar karena kebanyakan ditopang oleh pemerintah terkait.

Sementara yang indie dan mayor, terihat tidak seramai dulu. Ada beberapa faktor penyebabnya, seperti adanya penipuan oleh sebagian pihak penyelenggara dan menurunnya penjualan buku cetak "baru" belakangan ini.

Di samping itu, ada hal-hal lainnya yang dinilai kurang mendukung penerbitan antologi bersama secara indie. Contohnya, baru-baru ini saya membaca informasi dari pihak panitia lomba sejenis itu bahwa peserta yang menang malah enggan memiliki buku antologi bersama yang memuat karyanya sendiri.


Friday, December 27, 2019

Sastrawan Itu Dekil, Liar, Aneh, dan Miskin. Saya Tidak Suka.


Pernah suatu waktu saya mendapatkan informasi yang memperihatinkan. Betapa tidak? Para pendamping rombongan sastrawan menyatakan hal tak terduga. Mereka menyebut bahwa sastrawan bertingkah aneh yang sulit dimengerti.

Ada lagi yang menanyakan apakah si A adalah sastrawan liar? Kata liar dalam pertanyaan itu jelas membuktikan bahwa di masyarakat ada anggapan bahwa sastrawan itu liar. Entah apa alasannya.

Selebihnya, dari sisi penampilan. Dekil dan berambut gondrong seakan dijadikan ciri khas sastrawan oleh sebagian orang. Dan, hal paling menyedihkan ialah predikat miskin yang disematkan kepada sastrawan.

Lantas apakah semuanya benar? Sastrawan dekil? Liar? Berambut gondrong? Aneh? Dan miskin?

Siapa pun bisa jadi dekil jika yang bersangkutan tidak rajin membersihkan diri. Ya, bisa saya, Anda, atau lainnya. Tidak harus yang bersangkutan adalah sastrawan. Jadi, terpulang kepada pribadi masing-masing.

Liar? Agaknya ini juga seperti halnya dekil di atas. Berbeda ceritanya jika yang dimaksudkan itu terkait dengan pemikiran, mungkin lebih tepatnya luas, kritis, dan tajam. Secara sadar atau tidak, sebenarnya sastrawan merupakan cendekiawan yang berpikir luas, kritis, dan tajam terhadap persoalan dalam berbagai bidang kehidupan. Sebutlah politik, ekonomi, dan sosial kebudayaan.

Kemudian berambut gondrong. Ini terkait kaum lelakinya. Kata sastrawan memang dipahami oleh sebagian orang sebagai makhluk sastra berjenis kelamin laki-laki. Akan tetapi, secara umum, kaum Hawa yang bergelut di dunia sastra juga disebut sastrawan selain sastrawati. Nah, khusus yang dari kalangan kaum Adam, memang tak bisa dipungkiri bahwa sebagian sastrawan berambut gondrong.

Pertanyaannya, apakah pria dengan rambut gondrong dikategorikan sebuah kejahatan? Tentu jawabnya tidak. Selama tidak menyerupai perempuan, hal ini bukanlah bagian sisi gelap manusia.

Selanjutnya aneh dan miskin. Dua hal terakhir ini sepertinya yang umum dilihat masyarakat luas. Secara jujur, sastrawan terkadang memang terkesan aneh. Misalnya duduk berjam-jam di depan cermin sambil merenung untuk dapat melahirkan karya berkualitas. Bagi yang bersangkutan itu wajar. Untuk mendapatkan hakikat sesuatu memang perlu pemikiran yang dalam dan menyeluruh. Maka, dalam berpikir itu susah kalau sambil berlari, berjoget, atau jingkrak-jingkrak.

Mengenai miskin, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Orang yang berwawasan luas pastilah ia bukan termasuk miskin dalam hal pengetahuan. Sastrawan selalu menambah wawasan sebagaimana prinsip belajar dari buaian sampai ujung kehidupan. Jadi, apakah sastrawan miskin? Jawabnya tentu saja tidak.

Lantas, bagaimana jika ada orang tidak menyukai sastrawan? Itu hak mereka. Siapa pun tidak boleh melarang orang dalam kepemilikan hak individu.


Thursday, December 26, 2019

Sayang, Kamu Suka Membaca Apa? Bacaan Self Reminder


Saya yakin orang Indonesia gemar membaca. Dan Anda termasuk di dalamnya.

Pertanyaannya, Anda suka membaca apa?

Jawaban dari pertanyaan di atas tentu bermacam-macam. Tidak sekadar suka membaca komik, misalnya. Sebab, membaca  bukan hanya dimaknai sebatas mengubah kode-kode dalam lembaran kertas atau layar elektronik seperti komputer menjadi konsep yang dipahami otak kiri manusia. Tetapi, lebih daripada itu.

Melafalkan yang dihafal, memperhitungkan permainan lawan, meramalkan suratan tangan, memahami kehidupan, dan mempelajari alam juga bisa dikatakan aktivitas membaca. Dengan kata lain, membaca itu beraneka ragamnya.

Lalu, Anda suka membaca apa? Bisa jadi suka membaca ayat-ayat Alquran. Mungkin malah hobi membaca suratan tangan orang lain. Atau yang lainnya dan lainnya lagi.

Nah, jika Anda suka membaca tulisan, ini pun bermacam-macam. Tema tulisan sangatlah beragam. Tentang hiburan, kriminal, ekonomi, politik, olahraga, sosial, budaya, sastra, dan sebagainya.

Dari satu tema itu pun akan terbagi-bagi lagi menjadi beragam hal. Sebutlah temanya sejarah. Isinya ada yang menggugah jiwa, pengingat diri, menambah wawasan untuk masa depan, dan lain-lain.

Terkait realitas di atas, para penulis pun tidak bisa memuaskan semua masyarakat baca yang ada. Bisa jadi pembaca yang suka dunia politik, tetapi tidak menyukai yang sekadar menyajikan informasi politisi dalam pemilu, misalnya. Maka, tulisan bertema politik semacam itu menjadi hambar baginya. Sebab, tidak sesuai dengan kesukaannya, nuraninya, atau suasana jiwanya.

Dan, Anda suka membaca apa?

Wednesday, December 25, 2019

Media Sosial Jadi Lahan Jualan Online? Ya Ampuuuun, Ga Banget Dech!


Media sosial atau medsos. Begitulah orang sekarang sering menyebutnya. Sebuah media dalam jaringan (online) yang para penggunanya bisa saling berpartisipasi menghasilkan konten, membagikannya, dan banyak lagi semisal sekadar menyukai konten pengguna lain.  Sebutlah laman, jejaring sosial, dan wiki merupakan contohnya.

Dengan kemudahan dalam hal menghasilkan konten, maka informasi apa pun dapat diunggah di media sosial. Tak jarang, media cetak kewalahan menghadapi teknologi canggih ini. Bahkan, jika tak mampu menyajikan konten yang lebih rinci, dalam, dan luas, perlahan media cetak yang bersangkutan undur diri secara teratur. Buktinya?

Sudah ada. Bukan hanya media cetak biasa, media cetak yang menyajikan konten dengan penggemar luas pun semisal dunia sepak bola akhirnya gulung tikar.

Pertanyaan awalnya, apakah para pendiri media sosial bersalah? Dengan kehadiran media mereka, media lain menjadi kesusahan dan sebagiannya mati. Begitukah?

Jika tidak bersalah, apakah masyarakat penggunanyalah yang turut andil menggulung media yang sudah ada sebelumnya itu?

Salah atau tidak, demikianlah realitasnya. Dunia mengikuti alur waktu. Dan setiap masa ada medianya, setiap media ada masanya. Begitulah kehidupan. Selalu dinamis. Dan, kita harus mampu mengikutinya jika tak ingin ketinggalan zaman.

Kemudian, karena konten apa pun dapat diunggah di medsos, termasuk informasi berisi iklan jualan online, bagaimana selayaknya kita menyikapinya?

Terkadang, informasi berisi agama, budaya, bahkan politik ramai diperbincangkan di kalangan pengguna medsos. Terlebih saat masa Pilpres 2019 lalu.

Nah, khusus jualan online atau daring (dalam jaringan), memang sebagian pengguna (medsos) lainnya menjadi tidak nyaman. Apalagi jika iklan tersebut diunggah di grup tertentu sehingga tidak jarang ada yang merasa terganggu hingga akhirnya marah dan berkomentar semisal, "Media sosial jadi lahan jualan online? Ya ampuuuun, ga banget dech!"

Lantas, apakah sikap yang demikian sudah ideal?

Agaknya, selama iklan itu tidak mempromosikan produk-produk berbahaya seperti berunsur SARA, terutama yang memang kita perlukan, silakan saja diunggah. Terlebih yang masih berkaitan dengan tema grup, misalnya.

Hal ini sebenarnya kembali kepada hakikat dari sosial itu sendiri. Bicara sosial tentunya selalu bersentuhan dengan hubungan manusia satu dan manusia lainnya. Dalam hubungan antaramanusia itulah ada komunikasi, kerja sama, dan lainnya termasuk juga jual beli, baik di luar jaringan, maupun dalam jaringan.

Itulah sebabnya, selama produknya positif, maka mempromosikan jualan online di medsos sebenarnya sesuai dengan hakikat sosial yang menjadi nama media tersebut.

Setujukah? Atau...?

Tuesday, December 24, 2019

Ternyata Sudah Banyak Berubah


Pernahkah suatu waktu Anda berada kembali di suatu tempat yang penuh dengan kenangan? 

Ya, sebuah tempat yang sudah lama tidak Anda kunjungi. Mungkin sekolah dasar tempat menimba ilmu dulu, kampung halaman, atau rumah mantan kekasih.

Di mana pun itu, seiring pergerakan zaman dalam menyusuri alur waktu, perubahan pasti terjadi. Bisa kemunduran, bisa pula malah kemajuan.

Sebutlah kian menjamurnya bangunan mewah dan semakin ramainya arus lalu lintas di tempat yang sudah lama tidak kita kunjungi. Tentunya siapa saja yang mengalaminya akan merasakan perubahan tersebut. Kadang-kadang malah seakan tidak percaya bisa seramai itu, misalnya.

Pertanyaannya, bagaimana dengan diri kita? Apakah mengalami perubahan ke arah yang positif atau sebaliknya?

Nah, agaknya, setiap kali sampai pada titik dalam alur waktu kehidupan ini, Idealnya kita memang perlu memperhatikan diri masing-masing. Maka, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas itu pun akan terjawab dengan sendirinya dan penuh kejujuran.

Bagaimana? Sudahkah memperhatikan yang demikian itu?

Monday, December 23, 2019

Bisa Jadi yang Kita Benci Merupakan Hal Terbaik, Buktinya Saya Berhasil Buat Bakpao


Sejak kecil saya gemar memasak, meski hasilnya tak perlu ditanyakan. Dan, waktu itu saya diam-diam melakukannya. Alasannya satu, ibu saya melarangnya karena khawatir kalau terjadi kebakaran. Ya, ibu saya memang sering mengkhawatirkan banyak hal.

Pernah semasa anak-anak pula, saya bermain gitar dan ibu saya juga melarangnya. Kalau yang terakhir ini saya kurang paham alasannya. Padahal ayah saya sangat gemar bermain gitar dan mengajarkannya di sekolah. Tentunya juga alat-alat musik lainnya kepada orang yang haus seni.

Lantas ada apa dengan judul di atas? Benci dan bakpao?

Begini ceritanya. Dulu, sewaktu saya masih remaja, sering mengatakan ke teman-teman bahwa sesuatu yang disenangi bisa jadi malah buruk bagi kita. Sebaliknya, yang dibenci atau tidak disukai malah berakibat baik bagi kita.

Teman-teman saya pun bertanya contohnya. Dan saya sebutkah semisal saat kita senang dengan gadis cantik dan "jadian" dengannya, mungkin kita akan melakukan banyak dosa. Tapi, kalau kita belajar dengan guru yang sudah tua, kita akan mendapatkan kebaikan, yakni ilmu pengetahuan.

Nah, ini pula yang pernah saya alami soal memasak. Jujur, saya suka bakpao. Berkali-kali saya mencoba membuatnya. Meski begitu, hasilnya tetaplah menyedihkan.

Suatu hari saya duduk dan berbincang santai dengan seorang nenek. Beliau mengaku sudah berusia 60 tahun ke atas. Dalam perbincangan kami, tanpa direncanakan, beliau membahas soal kue bakpao. Saat itu saya percaya saja tentang yang dikatakan sang nenek. Tanpa pikir panjang, langsung saja saya tanyakan resepnya. Beruntung, nenek ini begitu bermurah hati mengatakan alur pembuatannya. Setelah saya praktikkan, waw hasilnya sangat memuaskan.

Terkait persoalan yang kita benci dan senangi di atas, sebenarnya itu terjemahan ayat ke-216 dari Surah Al-Baqarah. Ayat itu menjadi begitu berkesan saat saya membacanya sewaktu remaja dalam sebuah buku pengantar tasawuf yang ditulis Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh. 

Intinya, yang kita lihat, dengar, dan Indra lainnya belum tentu seperti yang kita pikirkan.


Sunday, December 22, 2019

Dulce Et Utile, Idealnya Tak Sekadar Menghibur?


Konon, apa pun itu, memang begitulah idealnya. Makanan yang lezat, misalnya, tentu bukan hanya perkara kesenangan di dalam mulut. Sebab, apalah artinya lezat jika tidak bergizi?

Demikian pula dengan tulisan. Sebisa mungkin mengandung potensi besar untuk bermanfaat bagi pembaca. Dengan kata lain, berdampak positif. Bukan malah sebaliknya.

Dan, kadangkala penulis tidak menduga manfaat dari tulisannya bisa "begini" dan bisa "begitu".

Pernah suatu ketika seseorang berterima kasih karena mendapatkan manfaat dari salah satu novel saya  yang telah dibacanya. Ia merasa terbantu dalam hal cara menerbitkan hingga memasarkan buku.

Jujur saja saya tidak menyangka ada  yang mendapatkan manfaat dari bagian di dalamnya terkait hal tersebut. Lalu, apa yang perlu kita lakukan agar potensi kebermanfaatan itu ada?

Agaknya hal utama ialah buatlah sebaik yang kita bisa sebagai capaian masing-masing. Ya, bisa makanan, tulisan, minuman, dan sebagainya.

Dengan begitu, maka dulce et utile yang lebih kurang bermakna menghibur dan bermanfaat itu dapat tercapai.


Saturday, December 21, 2019

Orang Sakit Itu Ibarat Merpati yang Tak Bisa Terbang


Merpati memang kadang menjadi gambaran tentang sesuatu hal. Misalnya, seperti "jinak-jinak merpati" yang bermakna terlihat ramah dan mudah didapatkan, tetapi aslinya tidaklah demikian (mengenai gambaran tampilan luar wanita).

Merpati memang terlihat anggun. Begitu menawan dan enak dipandang. Sangat cocok untuk menggambar wanita. Meskipun terlihat jinak, namun merpati berbeda dengan "penampakannya" itu."  Mereka tentu akan terbang saat hendak ditangkap.

Bicara kata terbang seperti kalimat terakhir di atas tadi, bagaimana ceritanya jika yang terjadi malah sebaliknya?

Nah, baru saja saya menjenguk salah seorang keluarga yang sedang sakit. Seperti lazimnya orang sakit, ia pun tak sebebas orang sehat. Ya, tidak leluasa dalam gerak dengan selang dan jarum Infus melekat di tangan. Ibaratnya bak burung merpati yang tak bisa terbang.

Melihat kondisi yang demikian,  setidaknya ada simpati dan empati kepada yang sakit. Seminimalnya doa agar si sakit segera disehatkan kembali oleh-Nya. Dan, tak kalah pentingnya adalah, rasa syukur karena yang menjenguk masih diberikan kesehatan.

Itulah sebabnya, idealnya masa sehat dapat kita gunakan sebaik mungkin sebelum menjadi seperti merpati yang tak bisa terbang.

Pertanyaannya, sudahkah menggunakan kesempatan itu? 


Friday, December 20, 2019

Xinjiang, Tiananmen, dan Gwangju


Dari judul di atas hanya yang terakhir berada di luar Republik Rakyat China (RRC).

Ya, Gwangju adalah sebuah kota di selatan Seoul, Korea Selatan. Saat perpolitikan memanas di sana, massa yang mayoritas mahasiswa memadati jalan di kota itu. Mereka menyuarakan dua kata dalam satu kalimat seru, "Turunkan rezim! Dan, Tindakan represif militer menyebabkan ratusan massa gugur dalam perjuangan puncak pada tahun 1987 tersebut.

Lalu tragedi Tiananmen. Ini mirip dengan di Gwangju. Bahkan, penangananya sangat mirip. Berawal dari kian meningkatnya aksi protes massa pada musim semi 1989. Tuntutan mereka adalah kebebasan politik yang lebih besar.

Selanjutnya, massa aksi sekitar satu juta jiwa berkumpul di Lapangan Tiananmen, Beijing, RRC. Kemudian, tanggal 3--4 Juni pada tahun itu, militer RRC menuju Tiananmen dan juga bertindak represif terhadap massa aksi.

Nah, yang terakhir adalah Xinjiang. Sebuah kota di RRC ini secara harfiah bermakna daerah baru. Nama Xinjiang sendiri diberikan oleh Pemerintah Dinasti Manchu atau Qing.

Oleh penduduk setempat, nama ini dianggap sebagai sebutan sinis yang menyakiti perasaan mereka. Benar saja, kota yang dihuni mayoritas Suku Uighur itu semula merupakan bangsa yang merdeka. Negara mereka bernama Turkistan yang kemudian menjadi Turkistan Timur dan Barat. Xinjiang adalah bagian timurnya.

Itulah sebabnya, mereka lebih senang dan condong pada nama asli untuk menyebut kota tersebut, yakni Turkistan Timur atau Uighuristan.

Sebagai suku yang memeluk Islam, tentu ada perbedaan dalam hal jalan hidup. Maka, gesekan demi gesekan sering terjadi. Banyak sumber menyebutkan bahwa pihak militer RRC melakukan tindakan represif terhadap muslim Uighur hingga saat ini

Lalu apa yang dapat kita pelajari dari tiga wilayah di atas. Jika kita perhatikan, ketiganya terkait dengan tuntutan kebebasan rakyat dalam menentukan arah tujuan hidup mereka. Nah, yang jadi masalah, tuntutan tersebut berbenturan dengan kepentingan penguasa setempat.

Padahal, idealnya sebuah negara, entah kerajaan atau lainnya, adalah yang mampu memberikan kebebasan kepada rakyatnya dalam hidup dan kehidupan mereka. Salah satunya di Xinjiang. Mereka menginginkan kebebasan beribadah, bermuamalah, dan lainnya. Dengan kata lain, tanpa harus dicampurbaurkan dengan paham komunis yang dianut Pemerintah RRC.

Pertanyaannya, ke depan, akan adakah penyelesaian maksimal atas Xinjiang? Sebutlah melalui Persyarikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar muslim Uighur mendapatkan kesejahteraan hidup mereka di sana?

Thursday, December 19, 2019

Perlukah Para Penulis Menguasai Aplikasi Desain Grafis?


Menulis ya menulis saja.

Agaknya nasihat itu sangat masuk akal. Seperti para samurai yang fokus di dunia mereka. Alhasil, mahirlah para ksatria Jepang itu dalam menggunakan katana dan lainnya, baik dalam pertarungan satu lawan satu, maupun pertempuran di medan perang.

Fokus memang menjadi salah satu syarat dalam segala aktivitas. Meski demikian, terkadang menulis tidaklah semanis yang dibayangkan. Ini bukan hanya berhubungan dengan proses pramenulis semisal pengumpulan data, tetapi juga pascamenulis.

Hal terakhir di atas biasanya terasa saat terjadi penolakan demi penolakan oleh penerbit atau media massa terhadap naskah penulis yang bersangkutan. "Dibuang sayang" menjadi dua kata yang kadang bergema dalam jiwa penulis. Ya, naskah-naskah yang ditolak tersebut memang sayang untuk dibuang atau dihapus dari tempat penyimpanan naskah.

Maka, ilmu desain grafis menjadi diperlukan oleh penulis. Dengan aplikasi semisal Indesign, Adobe Photoshop, dan CorelDraw, dapat membantu penulis menyiapkan naskah dalam bentuk buku lengkap.

Ya, setelah naskah-naskah (cerpen, puisi, atau esai) yang ditolak tadi disunting kembali, bisa disatukan dalam satu naskah buku siap cetak. Tentu saja, halaman Prancis, halaman judul, dan isinya disatukan dengan aplikasi Indesign.

Khusus untuk kover bukunya bisa menggunakan CorelDraw. Agar desain kovernya lebih menarik, gambar pendukung bisa diedit kreatif menggunakan Adobe Photoshop.

Nah, hasil desain buku dicetak saja dengan mesin cetak (printer) sederhana. Setelah lembaran-lembaran halaman telah dicetak semuanya, jilidlah menggunakan lem yang bagus.

Buku terbitan sendiri bisa menjadi koleksi buku pribadi. Jika cetaknya lebih daripada satu eksemplar, dapat disumbangkan ke teman-teman dekat. Atau, bisa juga dijual dalam jumlah kecil.

Selain itu, naskah yang sudah didesain tersebut, bisa juga disajikan dalam versi buku elektronik.

Bagaimana? Lumayan, 'kan daripada dibuang?

Wednesday, December 18, 2019

Tak Perlu Tebang Batangnya, tapi Cukup Rusak Akarnya


Telah terjadi perdebatan antara suami istri di pinggiran sebuah kota. Sebutlah kota itu bernama A.

Inti masalah yang membelit keduanya adalah tentang mangifera odorata. Atau istilah kerennya adalah kuweni. Orang juga biasa menyebutnya dengan nama kuini.

Pohon berbuah manis itu tumbuh sangat subur di samping rumah mereka. Buahnya begitu lebat. Para tetangga yang melintasinya sering berkata, "Pohonnya subur sekali."

Terlebih lagi aroma buahnya yang sungguh menggoda lidah, membuat banyak orang ingin terus menikmatinya. Meski demikian, suatu hari yang dingin, sang suami mendapatkan ide baru. Sangat terbarukan saat itu dan tentunya ada di tempat tersebut.

Istrinya menolak keras ide ini. Alasannya sudah menjadi rahasia umum. Ya, sayang.

Benar, kata itu. Sayang.

Agaknya, bukan hanya ia yang berkata demikian saat mendengarkan ide yang sangat bertolak belakang dari kelaziman banyak orang di sana. Betapa tidak? Pohon kuweni yang sangat subur di halaman samping rumah mereka akan ditebang. Sungguh ide yang aneh, 'kan?

Dan, sang suami bersikeras untuk melakukannya. Melakukan penebangan itu. Sebabnya satu, ia hendak membuat jalan di area pohon tersebut. Di samping rumah mereka.

Maka, pria itu pun berpikir keras. Sehari, dua hari, hingga sebuah cara ia temukan. Bisa dibilang cara yang kejam. Dalam pikirannya, hanya ada satu cara agar istrinya setuju dengan idenya menebang pohon kuweni mereka.

Lalu, diam-diam ia menerapkan cara itu. Pertama-tama hanya akar-akar kecil dari pohon tersebut yang ia rusak. Kemudian, pada hari berikutnya, dengan cangkul yang sama, dirusaknya akar-akar yang lebih besar.

Perlahan tapi pasti, pohon kuweni yang semula sangat subur itu pun daun-daunnya menjadi layu dan akhirnya mati. Melihat kondisi yang demikian, akhirnya sang istri setuju untuk menebang pohon kesayangannya.

Kisah di atas sebenarnya tak berbeda dengan cara Datuk Maringgih mendapatkan Siti Nurbaya. Dalam novel itu, dengan tega, ia matikan bisnis ayah si gadis agar berutang kepadanya. Setelah sang ayah tak bisa membayar utang tersebut, maka jadilah Siti Nurbaya sebagai bayarannya. Tragis dan kejam.

Hal di atas bisa juga disamakan seperti teori menghancurkan sebuah apel tanpa harus diinjak. Yakni dengan cukup membuat buah itu busuk dari dalam.

Cara kejam Ini sungguh di luar nurani dan akal sehat. Orang normal tentulah lebih mengedepankan kepentingan bersama. Bukan hanya ego pribadi.

Tapi sayangnya, masih banyak yang lebih memilih cara yang merugikan pihak lain demi kepentingan diri sendiri.

Dan parahnya, hal kejam itu bukan hanya dilakukan seorang, dua orang, melainkan sebuah negara. Perhatikan saja berapa negara di dunia ini yang telah tega menjajah negara lain. Bahkan, sampai hari ini, penjajahan masih saja dilakukan.

Oh, sungguh sangat memilukan, 'kan?


Tuesday, December 17, 2019

Sastra dan Uighur


Judulnya mungkin terkesan seperti menuliskan dua hal yang tidak saling bersentuhan. Sastra dan Uighur.

Bicara sastra seakan tidak ada hubungannya dengan kesukuan, kebangsaan, atau sekat-sekat agama. Bagi sebagian orang, sastra malah dikenal akrab dengan induk ilmu, yakni filsafat. Bahkan, konon para mahasiswa sastra saat tidak ada mata kuliah, ikut masuk kelas filsafat sebagai tambahan wawasan dan membuka pikiran mereka agar lebih luas lagi.

Sampai di sini apa hubungan sastra dan Uighur yang merupakan sebuah suku beragama Islam yang hidup di kawasan Republik Rakyat China (RRC) itu?

Bicara Uighur, jujur, saya langsung teringat dengan mata pelajaran Sejarah Islam. Dan, bagian materinya yang paling saya sukai adalah sejarah Islam di daratan China. Mulai Dinasti Tang hingga Republik Rakyat China. Di sana, ada kalanya mengalami kemajuan, ada pula Islam mengalami masa sebaliknya.

Yang paling saya ingat dari sejarah tersebut ialah, Kaisar Hongwu atau Raja Zhu. Pendiri Dinasti Ming yang bernama lengkap Zhu Yuanzhang itu malah sempat menuliskan sebuah puisi berisi sanjungan kepada Nabi Muhammad saw. Sungguh luar biasa.

Lalu, di dunia sastra, saya menemukan sebuah novel bagus. Judulnya "Ma Yan" yang ditulis oleh Sanie B. Kuncoro. Novelis bernama asli Susan Ismiati ini begitu apik menyajikan Ma Yan. Novel ini diangkat berdasarkan kisah nyata. Nama tokoh sentral yang dituliskan sebagai judulnya tersebut merupakan seorang muslimah yang tinggal di RRC. Ia seorang gadis kecil dari Suku Hui (Suku Muslim selain Uighur). Dengan kehidupan yang sulit, Ma Yan terus berjuang menggapai cita-citanya.

Dalam hal ini sastra berhasil membidik sisi kemanusiaan yang dialami Ma Yan dan muslim lainnya dari Suku Hui. Ya, mereka berjuang untuk hidup di bawah kekuasaan pemerintah yang berpaham komunis.

Sebenarnya, bukan hanya sisi itu, melainkan sastra mencakup segala ragam aneka kehidupan. Tentunya termasuk Uighur. Bisa dari sisi perjuangan hidup mereka, sikap pemerintah RRC terhadap suku tersebut, atau hal lainnya untuk disajikan kepada dunia.

Lantas bagaimana menemukan data-datanya yang valid tentang Uighur? Yang terbaik pastilah datang langsung di sana untuk mendapatkan data primer secara apa adanya. Lalu ditulis dengan penuh kejujuran. Bisa pula menggunakan data sekunder dari video-video, foto-foto, atau beragam tulisan tentang suku itu.

Terakhir, seandainya data-data kedua di atas diragukan, setidaknya sajikan tulisan yang menggugah dunia membongkar peristiwa-peristiwa nyata yang dialami muslim Uighur di bawah kekuasaan Pemerintah Republik Rakyat China.

Berminatkah menuliskannya?


Monday, December 16, 2019

Lebih Baik Tidur daripada Belajar? Mana Pilihan Anda?


Belajar sudah menjadi hal yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Betapa tidak? Segala sesuatu akan dapat lakukan dengan baik dan benar jika kita tahu caranya. Bagaimana kita mengetahuinya? Ya dengan belajar.

Belajar bisa dilakukan dari hal yang paling sederhana. Sebutlah seorang anak yang menyimak bahasa di sekitarnya. Dari menyimak itulah, yang semula ia tidak tahu kata-kata, menjadi tahu. Seiiring kemampuan motoriknya, huruf demi huruf dan kata demi kata pun dapat dilafalkannya untuk berkomunikasi. Kepada ibunya, ayahnya, dan orang-orang lain di dekatnya.

Dalam perjalanan kehidupan manusia, tingkat pembelajaran juga kian banyak dan rumit. Tentunya banyak jalur bagi kita melakukan proses belajar. Bisa di rumah, sekolah, dan masyarakat.

Setelah melalui banyak tahapan belajar,  kecerdasan-kecerdasan manusia semakin meningkat. Ya, bukan hanya kecerdasan intelektual yang konon sangat mendapatkan perhatian, tetapi juga kecerdasan emosional, sosial, budaya, hingga kecerdasan spiritual manusia.

Lalu, pernahkah Anda mengalami rasa kantuk yang luar biasa saat belajar?

Saya punya sebuah cerita tentang hal ini. Pernah suatu hari, teman sekelas saya tertidur dengan sangat pulas di dalam kelas. Saking pulsanya, suara guru kami yang nyaring di depan kalas pun tak membuatnya terbangun.

Contoh di atas adalah cerita nyata. Lantas, bagaimana jika rasa kantuk mulai menyerang Anda saat sedang belajar seperti itu? Benar, teman saya tersebut pastilah diserang kantuk yang luar biasa sebelum akhirnya ia tertidur dengan sangat pulas.

Nah, apakah pertanyaan dalam judul di atas menjadi pilihan utamanya, yakni lebih baik tidur daripada belajar?

Sebenarnya, perkara tidur dan belajar ini hanya merupakan bagian kecil yang saya jadikan contoh berkenaan dengan pilihan hidup kita. Lantas apa pertanyaan intinya?

Pertanyaan inti yang ingin saya sampaikan adalah, sudahkah kita mampu memilih yang lebih utama atau terpenting dalam hidup ini?

Banyak isu yang terjadi saat sekarang. Mulai dari pendidikan, impor, hingga perkara agama. Terkadang saya melihat hal-hal yang lebih penting malah dinomorsekiankan.

Perhatikan jalur transportasi antara rumah siswa dan sekolah, misalnya. Masih banyak yang rusak, bahkan sangat memperihatinkan. Tetapi, apa? Hal tersebut seakan-akan lepas dari perhatian. Ada saja anak-anak sekolah yang harus menyeberangi sungai melalui jembatan yang sangat tidak layak digunakan. Benar, hanya dua tali, satu untuk melangkah dan satunya lagi digunakan sebagai pegangannya agar tidak jatuh.

Begitu pula tentang ketersediaan pangan hingga perkara agama yang terus dikaitkan dengan isu radikal dan intoleran.

Baiklah, akhirnya, mengenai pilihan hidup ini terpulang kembali kepada masing-masing individunya. Sudah mampukah?

Sunday, December 15, 2019

Ma, Dia Itu Siapa? Sepupumu



Terlepas dari sebutan "Ma" di atas, pernahkah Anda ditanya semacam itu?

Saya punya cerita singkat tentang hal tersebut. Ya, mengenali keluarga sendiri.

Pagi hari, entah kapan saya lupa, seorang anak remaja putri bertandang ke rumah pria paruh baya yang merupakan sepupu ayahnya. Niatnya untuk mengatarkan sesuatu. Sesampainya di sana, ia ditanya pria itu, "Kamu siapa, Nak?"

Ia pun menjawab apa adanya. Setelah pulang, remaja putri ini menceritakan pertanyaan sepupu ayahnya tadi. Selang beberapa waktu, diadakanlah arisan keluarga dengan tujuan agar adanya saling mengenal dalam keluarga besar mereka.

Ada lagi cara lain dengan tujuan yang sama, seperti membuat silsilah keluarga, lalu ditempelkan di dinding rumah masing-masing. Tentu saja silsilah tersebut disertai dengan foto sesuai nama orang yang bersangkutan.

Cara-cara di atas dan yang lainnya di luar sana, sangatlah ideal dilakukan. Hal ini mengingat hubungan keluarga sangatlah penting.

Kadang, kehidupan kita memang lebih banyak berhubungan dengan orang-orang di luar keluarga. Bahkan, ikatan emosional sering lebih terasa kuat dengan tetangga dan teman akrab daripada keluarga sendiri. Meskipun demikian, keluarga tetaplah keluarga, janganlah dilupakan.

Ada nenek, kakek, paman, tante, dan lainnya. Maka, saling kenal-mengenallah.

Saturday, December 14, 2019

Selembar Daun yang Membelai Helai-Helai Halus Alisnya


Hampir setiap malam rembulan menjatuhkan cahaya peraknya di wajah sang bumi. Begitu pula dengan hujan, jatuh di tanah-tanah, rerumputan, batu-batu, dan air yang berkumpul dalam lautan, danau, sungai, sumur, atau sekadar kubangan.

Ketika angin kencang datang, tak sedikit dedaunan yang jatuh, lalu mengering di bawah mentari. Agaknya, dari sinilah muncul kalimat-kalimat indah tentang daun. Sebutlah contohnya judul di atas.

Ya, diksi-diksi yang membentuknya tak lepas dari benda yang berfungsi sebagai alat bernapas dan mengolah zat makanan bagi tanaman tersebut.

Daun. Benar, daun. Lantas, apakah sebatas itu saja? Menghasilkan kalimat-kalimat indah dalam kehidupan manusia?

Tentu saja tidak. Manusia dapat memperoleh makna yang dalam dari selembar daun meski sudah kering sekalipun. Bahkan, yang sudah terinjak-injak oleh ribuan alas kaki.

Bagaimana bisa?

Untuk sampai pada pemahaman tentangnya, maka pertanyaan awalnya begini, "Apakah manusia bisa menciptakan daun?"

Manusia kekinian dengan teknologi canggih sudah membuktikan bisa berada di ketinggian (penerbangan) atau kedalaman (misalnya teknologi kapal selam). Malah, konon ada manusia yang sampai di bulan.

Nah, sebagian manusia sering meremehkan hal-hal sebaliknya. Misalnya saja selembar daun kering di permukaan tanah. Sebagian orang dengan mudah mengatakan, "Apa hebatnya selembar daun itu? Sudah jatuh, kering pula."

Tapi, pernahkah kita berpikir dengan pertanyaan awal di atas? Setahu saya, meskipun hanya daun kering, manusia secerdas apa pun belum sanggup menciptakannya. Itu baru daun, apalagi rantingnya, cabangnya, dan batangnya. Ini adalah bukti keterbatasan manusia. Hanya di situ makna dalamnya?

Belum. Kemudian apa?

Kalau manusia belum mampu, lalu siapa yang menciptakan daun? Jawabnya hanya Allah swt yang mampu. Dengan kata lain, selembar daun merupakan satu tanda dari kebesaran-Nya. Dan, itulah makna yang dalam tersebut.

Oh sampai lupa. Ini malam Minggu. Dalam sebuah lagu, ada lirik-liriknya berbunyi, "Malam Minggu malam yang panjang. Malam yang asyik buat pacaran."

Entah, apa pun aktivitas Anda, semoga malam Minggu ini sungguh mengasyikkan.

Friday, December 13, 2019

Hujan, Senja, dan Secangkir Kopi


Entah mengapa banyak orang mengatakan bahwasanya hujan, senja, dan secangkir kopi erat hubungannya dengan sastra.

Padahal, saat hujan, enaknya ya menikmati menu yang hangat-hangat. Sebutlah tempe mendoan didampingi secangkir kopi atau teh yang uapnya masih menari-nari di udara. Dan, lebih berasa spesial lagi jika hal itu berlangsung saat senja selepas bekerja.

Lalu, di mana letak sastranya?

Agaknya tidak ada. Menulis sastra saat hujan? Yang ada malah kedinginan. Membaca sastra saat senja? Cahaya matahari pada saat itu kurang cocok untuk membaca. Mendengarkan pembacaan sastra sambil minum kopi? Sepertinya akan lebih seru kalau menikmati kopi ditemani suara biduan dangdut yang sangat aduhai.

Meski begitu, ketiganya jika dikaitkan dengan peristiwa tertentu biasanya akan menjadi luar biasa. Kok? Bagaimana bisa?

Misalnya, duduk berdua dengan pujaan hati saat hujan pada senja hari. Ya, berdua saja. Apalagi, ada secangkir kopi yang disruput bersama hingga terlahir suasana hangat nan romantis.

Peristiwa luar biasa yang terkait dengan ketiga hal itulah yang sulit dilupakan. Ada rindu di secangkir kopi. Ada harapan saat senja. Bahkan, ada kehangatan yang setia dalam dekapan hujan.

Nah, jika sudah demikian, konon, akan terlahirlah puisi-puisi indah, cerpen-cerpen mendebarkan, dan novel-novel yang menggugah jiwa.

Waw! Tidak atau belum percaya? Lekaslah membuktikannya.

Thursday, December 12, 2019

Penyair Rela Nulis Puisi meski Tak Dibayar


Percayakah dengan judul di atas?

Di dunia modern saat ini mana ada orang yang mau bekerja tanpa dibayar? Setiap tetes keringat haruslah dihargai dengan nilai yang sepadan.

Menulis memang terkesan tidak melelahkan. Orang menulis tidak perlu mengangkat batu, kayu, atau pekerjaan fisik lainnya. Akan tetapi, jangan lupa bahwa kita sedang hidup di dunia materi. Syarat utama hidup di dunia seperti ini adalah adanya fisik atau jasad yang sehat.

Meskipun berpikir merupakan aktivitas psikis, namun tetap saja kita memerlukan bagian jasad (materi), yakni otak. Tanpa otak, apakah kita bisa menghasilkan kata-kata? Jangankan kata-kata, satu huruf saja tidaklah mungkin.

Artinya, menulis merupakan aktivitas yang juga melibatkan kerja fisik. Itulah sebabnya, menulis bukan perkara ringan dan sederhana. Kerja dalam kepenulisan tidaklah mudah, terutama jika sudah menyangkut penghasilan.

Terlebih saat ini. Penjualan buku, misalnya, begitu sulit. Bahkan, kebanyakan novel susah "ludes" di toko buku. Belum lagi perkara perpajakan yang "menyesakkan" pihak penulis dan penerbit.

Jika pun ada karya seperti puisi dan cerpen dimuat di koran nasional, itu tidak terjadi setiap hari. Alhasil, pendapatan penulis bersangkutan dari pemuatan tersebut belum dapat dikatakan memadai untuk keberlangsungan hidupnya.

Nah, di tengah susahnya penghasilan di atas, ternyata masih banyak penyair yang rela menulis meskipun tanpa dibayar. Lihatlah buku-buku antologi puisi, baik tunggal, maupun bersama.

Tidak sedikit, lho, penyair yang puisi mereka dimuat dalam buku antologi puisi ternyata tidak mendapatkan honorarium sepeser pun. Bahkan, para penyair rela membeli buku-buku yang memuat karya mereka tersebut.

Ini karena para penyair sadar bahwa untuk menerbitkan buku puisi tidaklah gratis. Perlu modal besar, baik tenaga, pikiran, waktu, maupun uang.

Angin segar akan sedikit berembus ke arah penyair jika ada pihak yang berkenan membiayai penerbitan buku antologi puisi mereka. Biasanya, jika sudah begitu, para penyair akan mendapatkan buku secara gratis.

Sekarang sudah tahu, 'kan bagaimana besarnya pengorbanan para penyair Indonesia dalam bersastra?


Wednesday, December 11, 2019

Daging Ikan Laut Pasti Rasanya sangat Asin


Telur bebek jika dilumuri adonan batu bata halus dan garam, lalu didiamkan selama empat belas hari, rasanya menjadi asin. Ya, tidak amis lagi.

Atau, jika seseorang terlalu lama terpapar asap saat membakar sate, misalnya, tubuhnya pun berbau asap.

Terkadang dalam hidup ini, sesuatu akan mudah mendapatkan efek dari hal di sekitarnya. Terlebih jika hal itu mengenai sesuatu tersebut seperti dua contoh di atas. Garam mengenai isi telur dan tubuh dikenai asap.

Saya sengaja menggunakan kata "terkadang" dalam kalimat pertama pada paragraf di atas. Mengapa? Sebab, tidak semuanya demikian.

Adakalanya apa yang menjadi kelaziman tidak berlaku pada hal-hal tertentu. Bahkan, yang kita lihat sekalipun belum tentu begitu adanya.

Sebutlah ikan di lautan. Setiap hari mereka hidupnya di air yang asin. Namanya saja laut  tentu ada kandungan garam di dalam airnya, 'kan? Jika tidak, maka namanya air tawar.

Tapi, apa? Apakah daging ikan rasanya asin? Kalau kita melihat kenyataannya, bukan hanya asin, daging dan seluruh tubuh ikan pastilah rasanya sangat asin.

Meskipun demikian, namun daging ikan laut rasanya amis, bukan asin.

Lalu, apa pelajaran dari realitas ikan laut ini?

Agaknya, hal pertama yang paling menonjol adalah jangan langsung menyimpulkan segala sesuatu dengan terburu-buru. Sebagai contoh, orang yang berpenampilan sederhana jangan langsung disimpulkan orang rendahan. Konon, Sunan Kalijaga pernah menyamar sebagai tukang rumput. Padahal beliau orang terpandang dalam masyarakat Jawa waktu itu.

Sebaliknya pun begitu. Orang yang berpakaian rapi, wangi, dan elit pun belum tentu seperti penampilannya. Perhatikan saja koruptor di Indonesia yang berpenampilan super keren dan sangat waw.

Selanjutnya, tidak mudah terpengaruh oleh situasi dan kondisi di sekitar kita. Tak selamanya kita berada di tempat baik dengan orang-orang yang baik pula. Kadang-kadang kita bisa berada di tempat yang buruk. Sebutlah banyak pemakai narkoba di sekitar rumah kita. Maka, jadilah seperti ikan, yakni tidak terpengaruh dunia sekitar "yang buruk bagi kita" itu.

Kasus bunuh diri pun banyak disebabkan oleh permasalahan hidup. Idealnya, sebagai manusia tidak mudah terpengaruh situasi dan kondisi seburuk apa pun. Masih ada Allah swt yang Maha Penolong sebagai tempat memohon bagi manusia atas segala permasalahan hidup ini.

Tampaknya masih banyak pelajaran lainnya dari hal di atas sebagai bagian pembacaan alam semesta oleh kita. Dan, terlalu panjang jika dituliskan dalam artikel yang singkat ini. Akhirnya, selamat memaknai hidup dan kehidupan dengan penuh kebijaksanaan.


Tuesday, December 10, 2019

Meminjam Tidak Sama dengan Memetik Sekuntum Bunga


Ada seorang pemilik tangga kayu yang begitu kesal. Betapa tidak? Awalnya tangga miliknya itu dipinjam oleh seseorang. Sehari, dua hari, hingga satu bulan tangga tersebut tak kunjung dikembalikan kepadanya.

Nah, suatu hari yang lain, dirinya sedang memerlukan tangga untuk sebuah keperluan yang sangat penting. Parahnya, saat ia mendatangi rumah si peminjam tadi, ternyata tangga miliknya sudah tidak ada di sana. Waw!

Ya, si peminjam telah meminjamkannya ke orang lain. Lalu, ia ditemani si peminjam pertama mendatangi peminjam kedua. Dan, orang yang didatangi ini pun telah meminjamkannya kepada orang yang lainnya lagi. Luar biasa!

Mengetahui hal tersebut, darahnya seketika langsung naik ke ubun-ubun. Ia sangat kesal saat itu. Suaranya meninggi. Wajahnya pun merah padam.

Cerita di atas benar-benar pernah terjadi. Di dunia ini, memang banyak orang kesusahan mendapatkan kembali sesuatu yang ia pinjamkan, baik uang, maupun barang kepada orang lain, entah saudaranya, atau sekadar kenalannya di dunia maya.

Tak jarang, orang yang meminjamkan malah seolah-olah menjadi pengemis agar haknya bisa kembali. Bahkan, ada yang berujung kematian karena dibunuh oleh si peminjam yang begitu kejam dan sadis.

Padahal, meminjam tidaklah sama dengan memetik sekuntum bunga. Memetik, berarti melepaskan bunga dari tangkai tanamannya.

Si pemetik tidak mengembalikan atau menyambung kembali antara bunga dan tangkainya. Kalau sudah dipetik, ya cukup dinikmati keindahan atau keharumannya. Jika sudah layu, bisa dijadikan bahan pembuatan pupuk organik.

Sementara peminjam wajib mengembalikan yang ia pinjam kepada pemiliknya. Sebutlah uang, ya harus dikembalikan sesuai jumlah yang dipinjam.

Begitu pula dengan barang seperti tangga kayu pada cerita di atas, harus dikembalikan dan  peminjam tidak mempunyai hak meminjamkannya kepada orang lain.

Agaknya, perbedaan keduanya sudah jelas sekarang. Malam pun kian meninggi. Kini, saatnya menikmati hidup dalam lelapnya tidur yang nyenyak. Selamat beristirahat!


Monday, December 9, 2019

Aduklah Gula dalam Air Tehmu hingga Larut Merata


Terkadang, ada segelas air teh yang gulanya sengaja tidak diaduk. Dibiarkan  menjadi timbunan di dasar gelas begitu saja. Konon, makna filosofisnya sama dengan peribahasa, "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian."

Ya, air teh yang pertama diminum terasa pahit dan akhirnya manis. Seperti hidup bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian.

Tapi, jika tidak diaduk, bagian akhirnya akan sangat manis. Sedang bagian atasnya pahit. Ini malah bermakna ketidakadilan. Ada bagian air teh dalam gelas itu yang mendapatkan banyak gula dan ada yang mendapatkan jatah manis yang sangat sedikit.

Membayangkannya saja, membuat saya teringat salah satu sila dalam Pancasila. Dan, entah apa sila itu sudah diwujudkan atau belum. Nyatanya, masih banyak orang berkata, "Masih sering terjadi ketidakadilan di negeri ini."

Maka, biasakanlah untuk bersikap adil. Dan, agaknya mengaduk gula dalam air teh hingga larut merata bisa menjadi sarana pembelajaran bagi kita semua.

Membahas teh, eh saya malah ingin menikmati seduhan secangkir air teh yang mengandung keadilan.

Anda?

Sunday, December 8, 2019

Bu, Pisang Ayah kok Tak Bisa Berbuah Dua Kali?


Pisang. Buahnya berdaging dan dapat kita makan.

Begitulah kira-kira deskripsi singkat tentang tanaman jenis musa ini. Ada aneka ragamnya. Talas, raja, ambon, kepok, dan lainnya. Semuanya enak. Terlebih, sangat lezat jika dihidangkan sesuai selera masing-masing.

Nah, tahukah Anda, kadangkala seorang anak, bisa laki-laki atau perempuan bertanya-tanya tentang pisang. Terkhusus soal buahnya. Wajar seperti itu, namanya juga anak-anak. Haus akan pengetahuan akan segala hal yang dilihatnya. Termasuk pisang.

Ya, faktanya ketika mangga berbuah setiap tahunnya atau kelapa hijau yang terus berbuah subur, pisang sekali berbuah dan siap panen, batangnya malah langsung ditebang.

Maka, pertanyaan anak-anak tentang tanaman ini lebih kurang ya seperti tertera pada judul di atas.

Lazimnya, pisah memang berbuah hanya satu kali. Jika ada pisang yang berbuah di batang, biasanya karena sebelum berbuah, batangnya dilukai dengan ukuran lumayan besar. Bisa juga oleh sebab yang lain. Itu pun tetap berbuah satu kali.

Dan, agaknya seandainya ada pisang yang berbuah dua kali, itu di luar kelaziman itu.

Lalu, adakah makna yang terpendam sebagai pelajaran dari realitas pisang ini?

Perjalanan hidup kita adalah jawabannya. Kok? Ya. Perhatikan saja alur kehidupan manusia di dunia. Kebanyakan, setelah lahir, manusia tumbuh menjadi anak-anak, lalu remaja, kemudian dewasa, dan tua.

Setiap manusia memiliki waktu hidup dan dijalani masing-masing. Bisa panjang, sedang, bahkan pendek. Jika waktu itu habis, manusia tak bisa kembali ke waktu yang telah dilalui. Misalnya ketika manusia sudah ada di usia 50 tahun, maka tak bisa kembali ke usia 20 tahun atau 3 tahun.

Artinya, hidup manusia di dunia hanya satu kali seperti pisang yang tak bisa berbuah dua kali, apalagi lebih.

Itulah sebabnya, idealnya, gunakanlah masa muda sebelum datang masa tua, fungsikan kesehatan sebelum esok menderita sakit, pakailah kekayaan atau rezeki yang ada sebelum habis terkikis tak bersisa, manfaatkan waktu luang sebelum nanti datang masa sibuk, dan yang terpenting jangan sia-siakan hidup kita ini sebelum ajal menjemput.

Saturday, December 7, 2019

Yuk, Mengenal Presiden Penyair Indonesia!

Sutardji Calzoum Bachri - Youtube

Bukan hanya di dunia politik kita mengenal istilah presiden. Di dunia sastra pun demikian adanya. Ialah presiden penyair Indonesia.

Bagi kaum sastrawan, istilah itu sudah tidak asing lagi. Tetapi, bagi masyarakat umum, agaknya masih belum familier dengan penyebutan presiden penyair tersebut.

Tidak mengherankan memang jika benar seperti itu. Adalah hal yang wajar mengingat pengenalan dunia sastra secara utuh belum terjadi di dunia pendidikan kita. Hanya beberapa nama sastrawan yang sering disebut dalam buku teks pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, misalnya Taufiq Ismail dan Chairil Anwar. Selebihnya, entah kapan?

Kembali ke istilah di atas, satu orang yang menduduki "jabatan" Presiden Penyair Indonesia bernama Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Sebenarnya ini hanyalah julukan kepadanya. Artinya, jauh berbeda daripada presiden politik.

Nah, SCB sendiri merupakan salah seorang pelopor penyair angkatan 1970-an, lho.

Pria ini dilahirkan pada 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Nah, pada tahun 1974 dan bertepatan dengan musim panas ia diundang mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda.

Tepat bulan Oktober 1974--April 1975 dirinya mengikuti International Writing Program di Universitas Lowa, Lowa City, USA.

Presiden penyair Indonesia ini juga pernah diundang ke Pertemuan Internasional Para Penyair di Baghdad, Irak. Diundang pula oleh Dato Anwar Ibrahim--saat menjabat Menteri Keuangan Malaysia--untuk membacakan puisi di Departemen Keuangan Malaysia.

Selain itu, pada tahun 1997 Tardji (panggilan akrab SCB) memenuhi undangan untuk membacakan puisi di Festival Puisi Internasional Medellin, Columbia.

Adapun puisi-puisinya dimuat dalam berbagai media, baik media cetak semisal Majalah Horison (majalah sastra paling top di kalangan sastrawan saat itu), maupun buku.

Dalam media buku, puisi-puisinya dimuat dalam berbagai antologi, yakni tunggal dan bersama. Khusus yang bersama, sebut saja Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from the World (USA), Westerly Review (Australia), Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975), Ik Wil nog dulzendjaar leven, negen moderne Indonesische dichter (1979), dan Journal of Southeast Asian Literature 36 dan 37 (1997).

Sementara antologi puisi tunggalnya ialah O, Amuk (1972) yang mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976/1977, Kapak (1979), Atau Ngit Cari Agar (2008), Kucing (1973), Aku Datang Padamu, Perjalanan Kubur David Copperfield, dan Realities Tanah Air.

Nah, pada tahun 1981, antologi puisinya O, Amuk, dan Kapak digabung dan diterbitkan dengan judul buku O, Amuk, Kapak.

Jika ditanya penghargaan yang pernah ia terima, antara lain adalah, Anugerah Seni Dewan Kesenian Jakarta (1977), Sea Write Award dari Kerajaan Thailand (1979), Anugerah Seni Pemerintah RI (1993), Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), Sastrawan Perdana oleh Pemda Riau (2008), dan Bakrie Award (2008).

Di usianya yang sudah lebih daripada 78 tahun ini, ia masih aktif dalam bersastra. Orang-orang pun masih setia menyebutnya Presiden Penyair Indonesia.


Dari berbagai sumber.

Friday, December 6, 2019

Jasmerah Kebudayaan Islam


Jasmerah atau jangan sekali-kali meninggalkan sejarah lekat sekali dengan Sang Proklamator kemerdekaan republik ini.

Semboyan itu seakan penyemangat dalam menyongsong masa depan yang makmur sentosa. Begitulah setidaknya yang menjadi cita-cita para pejuang waktu dulu.

Bicara dulu, tentu terbentang rentetan sejarah panjang yang kait-mengait. Dan, membahas perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia tak lepas dari jasa umat Islam. Sebab, suka tidak suka, mau tidak mau, umat Islam berkontribusi sangat besar dalam mengusir penjajah masa lalu.

Nah, terkait umat Islam, pastinya terhubung langsung dengan sejarah kebudayaan Islam itu sendiri.

Kalau memperbincangkan kebudayaan Islam sebenarnya kita sedang bergumul dengan segala yang dihasilkan oleh kekuatan akal manusia yang beragama Islam. Ya, dengan kata lain, pergerakannya berada di lingkup muamalah.

Itulah sebabnya, di dalam kebudayaan Islam tercakup bidang sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, politik, hukum dan lainnya yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Sifatnya pun selalu mengalami perkembangan, ada perubahan-perubahan menuju kemajuan.

Dalam hal ini, para ahli sejarah telah membagi sejarah kebudayaan Islam dalam beberapa periode. Berikut adalah periodisasi tersebut.

1. Zaman ideal. Zaman ini meletakkan dasar-dasar pertama kebudayaan Islam. Masanya sepanjang 40 tahun. Termasuk di dalamnya adalah masa Nabi Muhammad saw, yakni sejak hijrah ke Madinah hingga beliau wafat (selama 10 tahun). Kemudian diteruskan ke masa Khulafaur Rasyidin selama 30 tahun.

2. Zaman perkembangan. Masa berkembangnya kebudayaan Islam mencakup tiga benua, yakni Asia, Afrika, dan Eropa. Adapun masa ini terjadi pada masa Amawiyah yang pusatnya di Damaskus selama 90 tahun.

3. Zaman keemasan Islam. Masa ini kebudayaan Islam mencapai puncaknya. Ada dua masa di dalamnya, yakni masa Abbasiyah I yang pusatnya di Baghdad selama seratus tahun dengan para khalifahnya yang berkuasa penuh, berpikir maju, dan pencinta Ilmu. Masa kedua adalah Abbasiyah II.  Masa kedua ini setiap ibukota provinsi berlomba memajukan lapangan kebudayaan, khususnya ilmu pengetahuan dalam rangka menyaingi Baghdad.

4. Zaman perluasan wilayah.

5. Zaman kemunduran. Masa ini dimulai dengan kegemilangan Otsmaniyah, Syafawi, dan Mughal. Lalu diakhiri dengan penjajahan hampir seluruh dunia Islam oleh Eropa Barat.

Lantas, apa yang dapat kita pelajari dari kebudayaan Islam ini?

Kalau kita perhatikan, Islam dengan segala kebudayaannya terus melesat dan berhasil mencapai masa keemasannya. Saat jaya itulah lahir persatuan yang kuat dari berbagai bangsa di bawah naungan Islam. Ilmu pengetahuan pun berkembang dengan pesatnya. Sebutlah ada nama besar Al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe atau alat untuk mengukur tinggi bintang.

Kemudian berangsur mengalami kemunduran yang diawali dengan persaingan antarprovinsi. Dan,  lama-kelamaan kalah dan terjajah.

Hal menarik di sini ialah bahwa kemajuan didapat melalui persatuan umat Islam yang kukuh. Sebaliknya, dengan tercerai-berai, maka hancurlah bangunan yang semula kukuh tersebut.

Pertanyaannya, apakah umat Islam mampu bersatu kembali untuk kejayaan Islam dengan budayanya yang tinggi (peradaban Islam)  seperti dulu, bahkan lebih maju lagi? Jawabnya adalah akan. Sementara tahun pastinya kita belumlah tahu.


Thursday, December 5, 2019

Vagabond, Pemerintah yang Membunuh Rakyat


Judulnya tidak menyeramkan, 'kan? Pemerintah membunuh rakyat. Begitulah yang dikisahkan dalam drama Korea Selatan (drakorsel/drakor) berjudul Vagabond.

Drama ini telah selesai tayang pada 23 November 2019 lalu. Dengan didukung akting yang keren dari para pemerannya, seperti Lee Seung Gi dan Bae Suzy, 16 episodenya yang mulai tayang 20 September itu sukses besar.

Ya, skenarionya yang ditulis Jang Young Cheol dan Jung Kyung Soon benar-benar hidup dalam drakor ini.

Mulai dari pembuka yang menarik, penonton dibawa menanjak dengan tragedi kecelakaan sebuah pesawat hingga menewaskan lebih daripada 200 warga sipil.

Pesawat komersial yang nahas itu berangkat dari Korea Selatan menuju Maroko. Keluarga korban pun begitu meluapkan emosi mereka. Dan, seorang di antaranya, yakni paman salah satu korban melihat pria yang terekam dalam kamera keponakannya di pesawat (sebelum berangkat) ternyata masih hidup di Maroko.

Sejak itulah sang paman yang bernama Cha Dal Gun (Lee Seung Gi) yakin bahwa pesawat itu jatuh karena ulah teroris. Ia pun bertekad membongkar kejahatan tersebut.

Dalam usahanya ini, dirinya dibantu seorang anggota National Intellegence Servicenya Korea (Badan Intelejen Nasional Korea Selatan) bernama Go Hae Ri (Bae Suzy).

Perjuangan mereka sangat berat. Nyawa adalah taruhannya. Sebab, yang mereka hadapi bukan orang-orang sembarangan. Ada konspirasi gelap yang melibatkan pihak-pihak berpengaruh, termasuk Presiden Korea Selatan sendiri.

Itulah sebabnya, semua perangkat negara dikerahkan untuk membunuh siapa saja yang berusaha mengungkap kejahatan di balik jatuhnya pesawat tersebut.

Bahkan, sebagian anggota intelejen negara yang melindungi saksi dan keluarga korban pun menjadi target pembunuhan mereka atas nama negara. Dan siapa saja yang tidak mau menaati perintah presiden dianggap pengkhianat negara.

Lalu, pelajaran apa yang dapat kita petik dari drakor menegangkan ini? Hal yang paling mencolok ialah pemerintah dan rakyat. Bagaimana pemerintah bersikap terhadap rakyatnya jelas menjadi sorotan utamanya.

Sebagai pemerintah yang memegang amanah dan digaji dari pajak rakyat, tentu sudah berkewajiban mensejahterakan rakyatnya. Bukan seperti yang dikisahkan dalam drama Vagabond ini.

Mungkin, Anda pun dapat memetik hal lain jika sudah menontonnya hingga selesai.


Wednesday, December 4, 2019

Rugilah Manusia jika Tidak seperti Nasi Goreng


Ada cerita lama yang masih saya ingat. Suatu waktu, seorang teman berkisah tentang lezatnya nasi goreng. Bukan hanya kepada saya kisah itu ia tuturkan. Kami saat itu ada sekitar lima orang.

Kisahnya langsung ditanggapi teman kami yang lain dengan sebuah pertanyaan, "Mengapa ya, kalau aku buat nasi goreng, hasilnya keras?"

Saya dan yang lainnya pun balik bertanya tentang cara memasaknya. Dan, jawaban darinya membuat kami tertawa terbahak-bahak. Betapa tidak? Ternyata yang ia goreng bukan nasi, melainkan beras.

Itu adalah kisah masa lalu. Masa remaja kami. Meskipun sudah lama, nasi goreng tetaplah "hangat" hingga sekarang.

Benar, yang biasanya terbuat dari nasi sisa yang masih ada pada pagi hari, menjadi hangat dan lezat setelah digoreng. Tentunya digoreng bersama racikan bumbu yang pas takarannya.

Nah, dari lezatnya nasi goreng, pernahkah terpikir bahwa unsur-unsur di dalamnya bersatu dalam keserasian dan kepaduan yang kukuh?

Ada nasi, bawang putih, garam, minyak, dan lainnya. Bahkan, dalam kandungan nasi terdapat unsur air. Bayangkan, air dan minyak saja bisa bersatu atau bergabung dalam hangatnya nasi goreng. Ini luar biasa, 'kan?

Bagitu pula manusia. Pastinya saya, Anda, dan manusia lainnya tidak bisa hidup sendiri terus-menerus. Ada kalanya kita bersosial untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Dengan kata lain, ada ketergantungan antara manusia satu dan lainnya. Dalam hal ini berlaku rasa ingin bertemu, terutama yang sudah lama terpisah jarak bermil-mil jauhnya.

Itulah sebabnya, menjadi seperti nasi goreng sebenarnya adalah perwujudan manusia sebagai makhluk sosial yang ideal, baik dalam beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ada rasa simpati dan empati yang kuat dan besar di dalamnya.

Lalu, bagaimana jika sebaliknya?


Tuesday, December 3, 2019

Teroris dan Radikal dalam "Pelem Aktion"


Begitulah yang saya ingat sewaktu kecil. Kata "film" dan "action" dilafalkan /pelem aktion/ dengan sangat lugunya.

Benar, sewaktu saya kecil sering nonton film laga, terutama produk luar negeri. Bukan hanya betapa indahnya adegan beladiri yang ditampilkan, tetapi juga kelicikan tokoh-tokoh antagonisnya.

Dalam kisah penyanderaan, misalnya, betapa tidak kesatrianya para teroris itu. Padahal mereka berbadan dan berotot besar. Bahkan, semuanya bertato tanda kejantanan dengan dilengkapi senjata api canggih.

Begitu pula dengan kelicikan para penganut radikalisme dalam upaya merebut pemerintahan yang sah. Mereka menggunakan segala cara termasuk pembunuhan besar-besaran untuk mencapai tujuan semu.

Dan, dari semua film laga yang saya tonton itu para teroris dan penganut radikalisme tidak ada yang berjanggut. Perempuannya juga tidak bercadar. Di jidat mereka juga tidak ada tanda hitam sebagai tanda bekas sujud. Selain itu, mereka tidak ada yang bercelana cingkrang.

Nah yang paling penting, mereka juga sama sekali tidak menggunakan atribut keagamaan mana pun. Yang tampak pada mereka adalah kejahatan dan kelicikan luar biasa.

Mungkin banyak orang mengatakan, "Itu, 'kan dalam film?"

Ya, itu ada dalam film. Akan tetapi, jangan lupa bahwa film atau naskah-naskah cerita sebenarnya merupakan pengejawantahan kembali kehidupan nyata.

Kebiasaan manusia seperti cara berpakaian, jenis makanan, dan lainnya dalam kehidupan sehari-hari tidak diganti dengan yang lain saat ada dalam film. Artinya, ada latar sosial, budaya, selain latar tempat dan waktu yang dipertontonkan kepada publik lewat film.

Lalu, bagaimana dengan sekarang?


Monday, December 2, 2019

Reuni 212, Apa yang Bisa Dituliskan? Lalu Maknanya?


Apa yang bisa dituliskan dari acara itu? Agaknya, pertanyaan tersebut selalu mengintai saya jika dihadapkan pada acara yang begitu viral di media sosial tersebut.

Ya, Reuni 212. Lebih tepatnya yang ketiga kalinya. Acaranya sendiri diadakan berturut-turut setiap tahun dan berangkat dari Aksi Damai 212 pada 2016 lalu.

Meskipun tidak heboh di televisi, reuni ini memang sangat ramai di jagat media sosial hingga kini. Di medsos, misalnya, saya melihat foto-foto peserta reuni ini memutihkan jalan-jalan sekitar Monas.

Sebelum itu, ada juga foto-foto yang memperlihatkan mereka sholat Tahajud dan Shubuh berjamaah. Ada jug zikir kebangsaan dan doa bersama yang dilangitkan.

Beberapa waktu saya berpikir. Apa makna reuni aksi damai mereka itu? Jika diambil kata "memutihkan" bisa jadi berarti buih di lautan. Konon, di akhir zaman umat Islam dikabarkan memang banyak jumlahnya, tapi seperti buih di lautan yang jika diterpa badai akan berberaian tak keruan.

Tapi, apa benar seperti itu realitasnya?

Saya pun berpikir ulang. Lalu teringatlah di otak kiri saya tentang kisah Kiai Haji Ahmad Dahlan terkait pendirian Muhammadiyah. Ada satu ayat dalam Alquran yang sebenarnya menjadi faktor pendorong beliau mendirikan organisasi besar tersebut. Benar, Surah Ali ‘Imran Ayat 104.

Terjemahan ayat itu adalah, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."

Tampaknya, bagian terakhir di atas tadi lah yang paling ideal menjadi makna aksi damai 212 dan reuni-reuninya tersebut.

Itulah sebabnya mengapa aksi ini berada di luar lingkaran politik, yakni ditandai dengan tetap diadakan walaupun saat ini tidak sedang dalam masa kampanye politik apa pun.

Bahkan, sejak pertama, aksi diadakan untuk menegakkan keadilan atas kasus penistaan agama Islam oleh Ahok. Ini jelas bukan unsur politik, melainkan murni menyuruh kepada yang Ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.

Dan, dari makna itu pulalah saya paham mengapa tidak semua orang turun ke jalan sebagai peserta aksi damai 212. Seandainya semuanya, maka tentu tidak ada yang diserukan, 'kan? Dengan kata lain, ada segolongan penyeru dan ada lagi pihak yang diseru ke arah kebenaran dan terhindar dari keburukan.

Wah, tak terasa sudah lumayan panjang juga saya menulis artikel ini rupanya. Hmm, rasa-rasanya sudah ingin sekali menikmati seduhan kopi yang nikmat, tapi saya baru nelan obat. Daripada berefek buruk, ya sudah, met istirahat saja.

Sunday, December 1, 2019

Mas, Toilet di Mana?


Pagi tadi, saya duduk di dekat sebuah musala. Seorang pria terlihat celingak-celinguk di sekitarnya. Tak lama kemudian ia bertanya kepada saya, "Mas, toilet di mana?"

Tanpa pikir panjang, saya menunjuk ke arah sebuah pintu yang tertutup rapat. Benar, kamar berukuran kecil di baliknya memang sebuah toilet atau jamban.

Pria muda itu pun bergegas menuju ke sana, membuka pintunya, masuk dengan perlahan, lalu menutupnya kembali dari dalam.

Mungkin peristiwa tersebut adalah hal yang biasa saja. Wajar terjadi. Tapi, terpikirkah oleh Anda mengapa pemuda itu sempat bertanya tentang keberadaan toilet kepada saya? Padahal sebenarnya ia telah melewatinya.

Di sinilah pentingnya bahasa. Ya, meski hanya sebuah kata sekalipun.

Bayangkan jika di permukaan pintu kamar kecil tadi ditulis satu kata saja, misalnya "Toilet" tentu siapa pun, kecuali yang buta huruf latin, tidak perlu bertanya, "Toilet di mana?"

Lalu, mengapa tidak ada sama sekali tulisan petunjuk terkait dengan fungsi kamar kecil itu?

Nah, khusus pertanyaan terakhir tadi, belum diketahui secara pasti. Apakah karena pengurusnya lupa? Mereka masih bingung ditulis menggunakan cat atau yang lainnya? Entahlah? Agaknya, apa pun alasannya semoga segera mereka atasi dengan baik.