Sunday, February 28, 2021

Romansa Setangkai Bunga Karya Penyair Arsyad Indradi

 


Sempurnakan jerit setangkai bunga
Agar mimpi jangan gelisah
Waktu pagi dibasuh tangisan kecil
Tapi aku tak ingin siapa pun
Mengusik ujung kelopaknya
Sebab setiap tetes embun
Adalah suara rintihan riwayat
Kerinduan

Tak perlu jambangan
Sebab akulah jambangan setiap rintihan
Tuhan kutaruh keyakinan
Jangan kau sembunyi di balik anganangan

Banjarbaru, 2001


Berikut video pembacaan puisi di atas: 



Tentang Arsyad Indradi



Lahir di Barabai. Menyenangi sastra khususnya puisi sejak duduk di SMP dan SMA. Pada tahun 1970 ketika menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin mulai menulis puisi. Puisi-puisinya banyak diterbitkan di berbagai media cetak di Banjarmasin seperti Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Gawi Manuntung, Bandarmasih dan lain-lain. Sejak di SMA dan di Fakultas Hukum ikut bergabung di Lesbumi Banjarmasin dan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Tahun 1972 keluar dari Lesbumi dan mengaktifkan diri di Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Tahun 1972 bersama Bachtiar Sanderta,Ajamuddin Tifani, Abdullah SP dan lain–lain ( mantan anggota Lesbumi) mendirikan Teater Banjarmasin khusus menggeluti teater tradisional Mamanda.

Tanggal 5 Juli 1972 Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni RRI Banjarmasin mengadakan diskusi puisi dipimpin oleh Bachtiar Sanderta. Puisi yang didiskusikan adalah “ Dunia” karya Arsyad Indradi. Yang hadir dalam diskusi itu antara lain Yustan Azidin, Hijaz Yamani, Ajim Ariyadi, Samsul Suhud, Ajamuddin Tifani dan penyair muda Banjarmasin lainnya. Berita diskusi diexpos oleh Lembaran Kebudayaan Perspektif Banjarmasin Post tanggal 17 April 1972. Sejak tahun 1970—1990 tergabung di Perpekindo ( Perintis Peradaban dan Kebudayaan ) Kalimantan Selatan yang berkedudukam di Banjarmasin.Tanggal 8—9 Februari 1972, bersama 15 seniman Banjarmasin mengadakan Aksi Solidaritas turun ke jalan menyuarakan hatinurani karena ketidak pastian hukum di Indonesia, dikenakan pasal 510 KUHP, dijebloskan ke penjara dan dikenakan tahanan luar 3 bulan. Laksus Kopkamtibda Kalimantan Selatan melarang pemeberitaan ini di semua media cetak Banjarmasin. Namun Harian KAMI Jakarta mengexpos berita ini Selasa 15 Februari 1972.Tahun 1992 menggagas dan mendirikan Dewan Kesenian Banjarbaru bersama seniman – seniman Banjarbaru. Sejak 1980 an—1990 an tidak begitu produktif lagi menulis puisi.

Aktif menjadi juri lomba baca puisi, juri festival lagu dan menggeluti dunia tari di Balahindang Dance Group Banjarbaru. Pada tahun 2000 mendirikan Galuh Marikit Dance Group Banjarbaru. Tahun 2004 diundang Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada acara Pesta Rampak Gendang Nusantara 7 Malaysia, Pesta Gendang Nusantara XII,2009 . Mendapat Penghargaan Seni Tari dari Walikota Banjarbaru (2004), Penghargaan Seni Sastra dari Walikota Banjarbaru dan Gubernur prov.Kalsel (2010).Tahun 1996 – 2004 bergabung pada Komunitas Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru. Tahun 2004 mendirikan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (KSSB), sebagai ketua.Selalu aktif menghadiri acara diskusi sastra di Banjarbaru maupun di Banjarmasin, acara tadarus puisi yang rutin tiap tahun di adakan di Banjarbaru, Aruh sastra 1 di Kandangan (2004 ), aruh sastra III di Kotabaru (2006), aruh sastra V di Paringin Balangan (2008), dan aruh sastra VI di Marabahan Barito Kuala (2009), Dalam catatan Data-data Kesenian Daerah Kalimantan Selatan yang diterbitkan Proyek Pengembangan Kesenian Kalimantan Selatan 1975/1976 digolongkan Penyair/Sastrawan dalam periode menjelang/sesudah tahun 70-an.

Di dalam Sketsa sastrawan Kalimantan Selatan yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa Balai Bahasa Banjarmasin 2001, oleh Jarkasi dan Tajuddin Nooor Ganie (Tim Penyusun) digolongkan Sastrawan generasi penerus Zaman Orde Baru (1970-1979). Dan termuat dalam dalam Leksikon Susastra Indonesia (LSI) yang disusun oleh Korrie Layun Rampan Penerbit PT Balai Pustaka Jakarta. Antologi Puisi bersama antara lain: Jejak Berlari (Sanggar Budaya, 1970 ), Edisi Puisi Bandarmasih, 1972, Panorana ( Bandarmasih, 1972), Tamu Malam ( Dewan Kesenian Kalsel, 1992), Jendela Tanah Air (Taman Budaya /DK Kalsel, 1995), Rumah Hutan Pinus (Kilang Sastra, 1996), Gerbang Pemukiman (Kilang Sastra, 1997), Bentang Bianglala (Kilang Sastra, 1998), Cakrawala (Kilang Sastra, 2000), Bahana (Kilang Sastra, 2001), Tiga Kutub Senja (Kilang Sastra, 2001), Bumi Ditelan Kutu (Kilang Sastra, 2004), Baturai Sanja (Kilang Sastra, 2004), Anak Jaman (KSSB, 2004), Dimensi (KSSB, 2005).

Awal tahun 2006 mendirikan percetakan KALALATU Press Banjarbaru Kalimantan Selatan dan penerbitan.Semua puisi – puisi yang belum terdokumentasikan sejak tahun 1970 – 2006, dicetak dan diterbitkan berupa antologi tunggal secara swadana dan disebarluaskan ke seluruh Nusantara. Antologi Puisi sendiri itu , yaitu :Nyanyian Seribu Burung (KSSB, 2006), Kalalatu Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan dlm.Bhs.Indonesia (KSSB, 2006), Romansa Setangkai Bunga (KSSB, 2006), Narasi Musafir Gila (KSSB, 2006), Burinik Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan Bhs.Indonesia (KSSB.2009) dan Kumpulan Esai-Artikel " Risalah Penyair Gila " (KSSB,2009). Semua antologi Puisi yang diterbitkan itu telah ber-ISBN dari Perpustakaan Nasional RI Jakarta.Empat Antologi Puisi mendapat tanggapan berupa esai, dari :1. Dr. Sudaryono M.Pd (Staf Pengajar FKIP Universitas Jambi) “ Narasi Penyair Gila “Arsyad Indradi, terbit di Cakrawala Seni dan Budaya Radar Banjarmasin, minggu 28 Januari 2007.2. Dr. Sudaryono M.Pd (Staf Pengajar FKIP Universitas Jambi)“ Kalalatu “ Balada atau Mantra ? terbit di Cakrawala Seni dan Budaya RadarBanjarmasin, Minggu 25 Februari 2007.3. Diah Hadaning (Pengelola Warung Sastra DIHA, Depok Bogor) “ Setangkai Bunga dalam Seribu Aroma Ekspresi Cinta Lelaki Banjar “, terbit di Cakrawala Seni dan Budaya Radar Banjarmasin, Minggu18 Maret 2007.4. Yusri Fajar ( Penyair dan Staf Pengajar Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya Malang ) “ Nyanyian Seribu Burung : Dari Relasi Manusia Hingga Narasi Indonesia “, terbit di Cakrawala Seni dan Budaya Radar Banjarmasin, Minggu 29 April 2007.

Dari bulan Oktober 2005 sampai akhir tahun 2005 menghimpun 142 Penyair se-Nusantara (hasil Seleksi dari 186 penyair) dan jumlah puisi 426 puisi, dihimpun dalam Antologi Puisi Penyair Nusantara : “142 Penyair Menuju Bulan“, 728 halaman, dicetak oleh Kalaltu Press Bjb Kalimantan Selatan dan diterbitkan oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (KSSB) dengan biaya swadana, untuk cetakan pertama.Pada cetakan kedua akhir tahun 2007, ada perbaikan dan suplemen berupa epilog – epilog, juga dengan swadana.Tanggal 7 Desember 2006 duet baca puisi dengan Martin Jankowski pada acara Baca dan Diskusi Puisi “Detik – Detik Indonesia di Mata Penyair Jerman“, yang diselemggarakan Unlam Banjarmasin Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Indonesian Arts and Cultural.Tanggal 8 – 9 Mei 2006 silaturrahmi, baca dan diskusi puisi di Komunitas ASAS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Komunitas Sastra Ganesa ITB, Komunitas Sastra Pojok Bandung dan Komunitas Rumah Sastra Bandung.Tanggal 17—19 Juli 2007 baca puisi dan mengikuti seminar sastra internasional di TIM Jakarta.

Pada tahun 2007 mengikuti Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin dan th. 2008 mengikuti Kongres Sastra Indonesia di Kudus (Jateng).Hari/Tanggal: Senin, 13 Agustus 2007 pembacaan puisi “ Riverside Poetry “ di Tepi Sungai Martapura depan Kantor Gubernur Kalsel menyambut harijadi yang ke-57 Provinsi Kalimantan Selatan dan HUT Proklamasi yang ke-62 yang diselenggarakan oleh Panitia harijadi/HUT Proklamasi dan Dewan Kesenian Kalsel.Th.2009 menerima penghargaan dan hadiah Umroh juara Terbaik Pengawas Pendidikan Mata Pelajaran Seni Budaya SMP/SMA/SMK, dari Bupati Kabupaten Banjar.

------------------------------------------------

Sumber tulisan: buku "Ibuku Mendaki Badai" dan "Romansa Setangkai Bunga"

Sumber ilustrasi: Pixabay

Sumber foto penyair: Facebook

Puisi-Puisi Korrie Layun Rampan di Buku Kalimantan dalam Puisi Indonesia


Èšangan Menulis dalam Rahasia Bunga

Tangan menulis dalam rahasia bunga
Dalam kuntum-kuntum
Dalam napas yang tidur

Dalam arus mengalir
: Mengalir
Ke akar ke pohon ke daun ke bunga

Kita tidur bersama
Kita bernapas
             : Bersama

Dalam bahasa bunga

Gambar kekasih
Pigura di wajah
Bulan: berdarah!

Ada yang bersinar dalam jiwa
Pupusnya tembus
Kata tak terkata

"Tanah! Tanah!"


Serulingmukah Menghanyutkan Tongkang

Serulingmukah menghanyutkan tongkang
Menggapai sungai
Menambur di arus deras
Menghamburkan lagu ke cakrawala bebas

Segala perih dini hari
Membersihkan beranda
Tanpa restu
Bayang wajahmu yang menunggu

Kelap-kelip mimpi yang diburu
Seperti penantian
Seperti perkawinan
Rahasia kado kehidupan

Waktu pun memuja
Sunyi yang tua
Segalanya padang rawa
Kematian tanpa kata-kata

Perpisahan tiada
Perih nadi, arus, dan air
Lidah yang dahaga
Duka anyir

Serulingmukah mengalun dalam tongkang
Mendarahkan luka
Segala fana menderai sungai
Menunjuk-nunjuk pelayaran muara


Berikut video pembacaan puisi Serulingmukah Menghanyutkan Tongkang



Tentang Tentang Penyair

Korrie Layun Rampan (lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953--meninggal 19 November 2015 pada umur 62 tahun) adalah seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia. Korrie merupakan pencetus penyusun buku Sastrawan Angkatan 2000 terbitan Gramedia Pustaka Utama yang memuat lebih dari seratus sastrawan, terdiri dari penyair, cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra.

Ayahnya bernama Paulus Rampan dan ibunya bernama Martha Renihay-Edau Rampan, beretnis Dayak Benuaq. Semasa muda, Korrie tinggal di Yogyakarta. Di kota itu pula ia berkuliah. Sambil kuliah, ia aktif dalam kegiatan sastra. Ia bergabung dengan Persada Studi Klub, sebuah klub sastra yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi. Di dalam grup ini lahir sejumlah sastrawan ternama, seperti Emha Ainun Najib, Linus Suryadu A.G., Achmad Munif, dan Ebiet G. Ade.

Pengalaman bekerja Korrie dimulai pada 1978 di Jakarta sebagai wartawan dan editor buku untuk sejumlah penerbit. Kemudian, ia menjadi penyiar RRI dan TVRI Studio Pusat, Jakarta, mengajar, dan menjabat Direktur Keuangan merangkap Redaktur Pelaksana Majalah Sarinah, Jakarta. Sejak Maret 2001 Korrie menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Sendawar Pos. Berbagai karya telah ditulisnya berupa novel, cerpen, puisinovel, cerita anak, dan esai.

Ia juga menerjemahkan sekitar seratus judul buku cerita anak dan puluhan judul cerita pendek dari para cerpenis dunia, seperti Leo Tolstoy, Knut Hamsun, Anton Chekov, O'Henry, dan Luigi Pirandello. Novelnya, Upacara dan Api Awan Asap, meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998. Beberapa cerpen, esai, resensi buku, cerita film, dan karya jurnalistiknya mendapat hadiah dari berbagai sayembara. Beberapa cerita anak yang ditulisnya ada yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Cuaca di Atas Gunung dan Lembah, dan Manusia Langit (1997).

--------------------------------------------

Sumber puisi: Kalimantan dalam Puisi Indonesia

Sumber biografi: wikipedia.

Sumber ilustrasi: Pixabay

Saturday, February 27, 2021

Puisi-Puisi Ahmad Fahrawi di Buku Kalimantan dalam Puisi Indonesia


Pelabuhan Malam

Larut, kapal sungai singgah
menguak senyap sawang malam. Rumah-rumah
yang ditidurkan embun terjaga. Kabar apa
dari jauh, kerinduan atau kematian
Di seberang, lampu-lampu mengerdip
Ada yang menyungai, perahu parahu harapan
Gelepar pasang mendesau tepian
ada yang hanyut, ombak-ombak bulan
dan sepotong kayu yang kehilangan hutan

Larut, kapal sunyi singgah
mengeluarkan kabar pedalaman. Sosok-sosok
yang mengendap endap menyapa, muatan apa
bakal dibawa menuju muara

Sungai dibenam pasang
pelabuhan malam menghela kapal sunyi
ke liuk waktu ke kalbu misteri


Suatu Pagi ketika Terjaga


Apa yang kutemukan ketika membuka jendela? Kehidupan.
Seberkas sinar menyergap ruang-ruang remang. Bengkalai sajak-sajak
Kerisik sapu tangan menggusur daun-daun
gugur
Desau beras ditampi
Celoteh ayam-ayam berebut makanan. Nyanyi burung-burung
Teriak anak-anak pergi mandi. Kring lonceng sepeda.
Kucari embun di daun pisang di daun jambu. Telah tiada.
Kucari kabut di ujung pandang. Telah tiada.

II
Aku telah terbangun kesiangan dari sebuah perjalanan. Mimpi yang panjang. Bergerak dalam dimensi waktu yang teramat nisbi. Seakan telah kulampaui sekian tahun kemenangan.
Matahari dan bulan. Ilalang dan jagung. Rerumput dan perdu.
Burung dan bunga. Ati dan Ita. Laut dan savana.
Embun dan hujan. Pelangi dan kabut.
Bertemperasan pacu memacu.

III
Telah kubuka jendela. Ada suara. Ada denyut. Ada gerak kehidupan.
Adakah sepiring nasi? Adakah secangkir kopi susu di meja?
Adakah sajak-sajak bakal lahir? Tak ada persimpangan.
Langkah menuju pintu adalah kemestian. Memasuki kehidupan.


Tentang Penyair

AHMAD FAHRAWI lahir di Kandangan. Ia meninggal di Banjarmasin, 5 Juni 1990. Dalam menulis karya sastra sering menggunakan nama Era Novie. Pernah bekerja sebaga PNS di Balai Infomasi Pertanian (BIP) Banjarbaru, namun mengunduran diri karena sakit. Tulisannya dipublikasi sejak tahun 1975 di berbagai media massa, di antaranya Horison, Kartini, Amanah, Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Pelita, Terbit, Sarinah (Jakarta), dan Bahana (Brunei Darussalam).

Di antara karya puisinya diterbitkan dalam buku "Jala yang Ditebarkan" (1981) dan "Aku Mencari Kata dalam Sajak (1982). Selain itu, puisi-puisinya disertakan dalam antologi bersama, antara lain dalam "Antologi Puisi ASEAN" (1983), "Elit Penyair Kalsel 1979--1985" (1986), "Puisi Indonesia 1987" (1987), "Selagi Ombak Mengejar Pantai" (Selangor, Malaysia, 1989), "Festival Puisi XII" (1990), dan "Festival Puisi Kalimantan" (1992).

-----------------------------------------------
Sumber tulisan: Kalimantan dalam Puisi Indonesia
Sumber ilustrasi: Pixabay

Friday, February 26, 2021

Penerbitan Buku Indie, Diperlukan dan Begini Cara Menjilidnya

 


Era boleh berubah dan siapa yang bisa menyangkal saat ini begitu banyak media tanpa kertas yang digunakan dalam dunia tulis-baca. Itulah fenomena zaman. 

Meskipun demikian, penjualan buku cetak masih berjalan. Jika toko buku luring sepi, maka orang-orang membeli buku cetak secara daring. Ada banyak alasan mengapa sebagian orang masih bertahan dengan kebiasaan membaca buku cetak. 

Salah satu alasan paling umum adalah berhubungan dengan kesehatan. Siapa yang ingin matanya mengalami gangguan karena berlama-lama membaca buku elektronik? 

Nah, terkait hal di atas di bawah ini ada video penjilidan buku indie. Ini diperlukan setidaknya bagi yang ingin mendokumentasikan naskah karyanya sendiri dalam bentuk buku cetak.

Bagian pertama:



Bagian kedua:



Semoga bermanfaat. 


Wednesday, February 24, 2021

Sekilas tentang Fikar W. Eda


Ia lahir di Takengon, Nangroe Aceh Darussalam. Merupakan sastrawan dan penulis Indonesia. Antologi puisinya "Rencong" (2003, 2005, 2008), dan "Sepiring Mie Aceh, Secangkir Kopi Gayo Bertalam Giok Nagan" (Batavia Publishing, 2015) berhasil terjual 500 eksemplar lebih selama tiga bulan sejak diluncurkan 1 April 2016.

Dirinya pernah menjabat Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (DKA) 1995--2000, dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2013--2015, dan Ketua Umum Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi). Karya puisinya juga terhimpun dalam banyak antoligi puisi bersama.

Berikut puisi pilihan karyanya.

SELENDANG KOPI

selendang kopi,
ujung senja,
ibu menyulam
iringan awan di tepinya,
turun menjadi embun
membasahi pagi
helai demi helai
kelopak bunga
menjelma buah
dalam rimbun daun doa

selendang kopi
ditiup angin
jatuh di kaki bukit
ibu tak menyulam lagi
tapi iringan awan
terus turun
menjadi butiran embun
Tiap pagi
Tiap cangkir kopi

Jakarta, Oktober 2016

-----------------------------------

Sumber tulisan: PUISI-PUISI MUNSI I dan Wikipedia
Sumber foto penyair: Wikipedia


Puisi-Puisi Fakhrunnas MA Jabbar dalam Puisi-Puisi MUNSI I


SELAT MELAKA

saat terguncang aku
di riak gelombang selat melaka
teringat aku
pada gagah hang tuah
laut berkejaran
di lipatan alun ngalir sejarah darah
tanah melayu berabad sudah

amuk laut
amuk hang tuah
anak negeri dari melaka
tanah melayu merah
bersimpah darah

saat terbius mimpi aku
di atas riak gelombang selat melaka
hang tuah datang
temberang
aku pun rindu pulang
mengulang sejarah
mendulang sejarah

melaka. 02.16


KAMPONG AYER

rumah mengapung
buih membubung
riak menari
ke tepi-tepi

di tasik mahaluas
air merebak
bernyanyi

kampong ayer
tumpuan seribu kaki
berleha-leha
kala sunyi

bandar seri begawan, 07.10.16


Tentang Penyair

FAKHRUNNAS MA JABBAR lahir di Airtiris, Riau-Indonesia. Puisinya terhimpun di dalam antologi "De Poetica" (antologi puisi Indonesia-Malaysia-Portugis) dan cerpennya "Rumah Besar Tanpa Jendela" terhimpun dalam buku "Horison Sastra Indonesia- Buku Cerpen" dan diangkat menjadi film TV (La Tivi 2003). 

Cerpennya, "Sebatang Ceri di Serambi" diterjemahkan ke bahasa Prancis (Un cerisier devant une veranda) dimuat di majalah Le Banian (2013). Tahun 2008 terpilih sebagai Budayawan/ Seniman Pilihan Anugerah Sagang dan tahun yang sama dianugerahi Seniman Pemangku Negeri (SPN) oleh Dewan Kesenian Riau. Berkhidmat sebagai dosen pada Universitas Islam Riau sejak 1986 dan dunia kewartawan (30 tahun lebih) serta dunia public relations (15 tahun). 

----------------------------------------------------

Sumber tulisan: Puisi-Puisi MUNSI I


Tuesday, February 23, 2021

Mengenal Asrul Sani, Salah Seorang Pelopor Angkatan '45


ASRUL SANI lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926. Di dunia sastra Asrul dikenal sebagai pelopor Angkatan '45. Kariernya sebagai sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai manifestasi sikap budaya mereka.

Karyanya antara lain, Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950), "Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat" (kumpulan cerpen, 1972), Mahkamah (drama, 1988), "Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988), dan "Surat-Surat Kepercayaan" (kumpulan esai, 1997). 

Buku mengenai Asrul: “M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani" (1967) dan Ajip Rosidi dkk. (ed.), “Asrul Sani 70 Tahun, Penghargaan dan Penghormatan” (1997).

Di samping menulis sajak, cerpen, dan esai, Asrul juga dikenal sebagai penerjemah dan sutradara film. Terjemahannya: "Laut Membisu” (karya Vercors, 1949), “Pangeran Muda” (terjemahan bersama Siti Nuraini; karya Antoine de St-Exupery, 1952), “Enam Pelajaran bagi Calon Aktor" (karya Ricard Boleslavsky, 1960), “Rumah Perawan" (novel Yasunari Kawabata, 1977), "Villa des Roses" (novel Willem Elschot, 1977), "Puteri Pulau" (novel Maria Dermount, 1977), “Kuil Kencana" (novel Yukio Mishima, 1978), “Pintu Tertutup" (drama Jean Paul Sartre, 1979), "Julius Caesar" (drama William Shakespeare, 1979), “Sang Anak” (karya R. Tagore, 1979), "Catatan dari Bawah Tanah” (novel Fyodor Dostoyeski, 1979), "Keindahan dan Kepiluan” (novel Yasunari Kawabata, 1980), dan "Inspektur Jenderal" (drama Nicolai Gogol, 1986),

Film yang disutradarainya: "Pagar Kawat Berduri” (1963), "Apa yang Kau Cari, Palupi” (1970), “Salah Asuhan” (1974), “Bulan di Atas Kuburan" (1976), “Kemelut Hidup (1978), “Di Bawah Lindungan Kaabah" (1978), dll.

la meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004 pada umur 77 tahun.

Berikut adalah salah satu puisi karyanya. 

On Test

Engkau akan kubawa pergi
Dari candi ini
Ke tempat di mana manusia ada.

Coba, coba
Di sana kata
Tidak hanya punya kita
Dan cinta mungkin kabur
Dalam kabut debu
Dan hidup menderu
Menglingkungi engkau dan aku.

Jalan panjang
Sampai di mana dunia terkembang?
Mara terlalu
Singkat untuk itu.

Panjang jangan reka.
Tujuan jangan terka.
Pandang, di sana ada mereka,
Di sini ada mereka.

Engkau akan kubawa pergi
Dari candi ini,
Ke dunia hidup air-dan-api.

Coba, coba,
Kalau cintamu
Bukan besi
Makanan karat suasana.


-----------------------------------------------

Sumber tulisan: Lautan Waktu
Sumber foto: Wikipedia


Monday, February 22, 2021

Puisi-Puisi Armijn Pane


Bertemu

Di tepi pantai laut kami bersua,
Dan kami memandang ke dalam mata masing-masing,

Yang penuh sengsara, penuh duka,
Karena negeri digenggam bangsa asing.

Dengan diam kami berjabat tangan,
Sambil menantang muka saudara yang muram caya,

Kami bersama pergi berjalan,
Melalui dataran di senjakala.

Angin meniup jubah kami,
Bagai mengembus kain mati.

Sumber: Timbul via PB 113. September 1933


Tenangan Tiada

Entah apa yang mendorong aku kehidupan baru,
Meninggalkan menistakan kehidupan lama.

Setiap kali aku terbujuk gemerlap restu,
Sekejap lagi aku tersuram gelap derita.

Aku tiada jera-jera mencari keliling cahaya,
Entah apa mendesak aku menghimbau harapan.

Setiap kali aku lupa cahaya bulan hanya sementara,
Gelap gulita yang akan kudapat ditinggalkan

Bukankah begitu bangsa semua-muanya,
Harapan bersinar menarik kehidupan baru.

Bukankah masyarakat diobah-obah dicoba,
Sekejap saya, rupanya derita yang ditunggu.

Tiadakah hidup dalam hati pikiran nyata,
Adakah gunanya berjuang merobah yang
ada.

Baikkah berusaha menggerakkan massa,
Merobah susunan tiada tentu mana yang baka.

Tiadakah baik berdiamkan tangan,
Menutupkan pikiran, arahkan tiada.

Tiadakah baik meniadakan angan,
Meniadakan diri dalam tenangan Tiada.

Sumber: Pujanggan Baru 111/2, Agustus 1935


Video Pembacaan Puisi Bertemu:



Tentang Penyair



ARMIJN PANE lahir di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatra Utara, 18 Agustus 1908. Pada 1933 bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru yang mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.

Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah novel “Belenggu” (1940). Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane. Pada 1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI karena karya dan jasanya dalam bidang sastra.

Pada Februari 1970, beberapa bulan setelah menerima penghargaan tersebut, ia meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun.

-----------------------------------------------

Sumber tulisan: Lautan Waktu
Sumber foto penyair: Wikipedia
Sumber ilustrasi: Pixabay


Saturday, February 20, 2021

Fenomena Video Pembacaan Karya Sastra


Tak bisa dipungkiri aktivitas bersastra mengalami kemajuan sejurus perkembangan zaman. Dalam era kekinian, sastra tak sekadar berkutat pada dunia penerbitan buku cetak, pemuatan karya sastra di media kertas, penayangan sastra tulis di jejaring sosial, atau pembacaan sastra di televisi dan radio. 

Sastra sudah dapat ditemukan dalam aplikasi dan versi web video. Masyarakat dapat menikmati pembacaan cerpen dalam kanal YouTube seperti video di bawah ini.



Begitu pula puisi yang dibacakan dengan diiringi alunan musik dapat Anda saksikan, salah satunya dalam video berikut.



Fenomena semacam ini sebenarnya menjadi lahan hijau bagi kaum sastrawan dan penikmat sastra. Artinya, ruang untuk bersastra semakin luas. Sastrawan tidak lagi hanya mengandalkan media-media sebelumnya semisal koran dan majalah.  

Berkenaan dengan dunia kritik bagaimana? Sebab, sebagian kalangan menganggap karya sastra yang berada di luar jalur "mainstream" dikategorikan sebagai karya yang belum matang (khusus karya pribadi yang dibacakan dalam rekaman video). 

Terkait hal itu, masukan dan kritik masih tetap bisa disampaikan. Caranya? 

Nah, selain secara tertulis, kritikus sastra dapat pula menggunakan video berisi kritik dan mengunggahnya di media sosial. Dengan itu, orang-orang pun kian mudah menyaksikan dan meresapi isi pikiran para kritikus tersebut. 


Friday, February 19, 2021

Legenda, Adakah yang Modern?



Kata legenda selalu dikaitkan dengan masa lampau. Ya, tergambar sebuah kehidupan pada masa yang sangat jauh ke belakang dari masa kini. Legenda hidup dari waktu ke waktu. Kehidupannya lebih banyak dituturkan dan saat manusia mengenal alat tulis, barulah dituliskan agar mudah dibaca banyak orang.

Legenda bisa dikatakan sebagai cerita rakyat pada zaman dahulu kala. Itulah sebabnya, pada masa kini ceritanya telah menjadi realitas sejarah masa yang telah lama. Meskipun demikian, kebenaran cerita yang diyakini oleh segolongan orang tertentu terjadi dalam setiap legenda tidak dapat dikatakan benar-benar nyata ada secara umum. Ada Kemungkinan bahwa tokoh, peristiwa, waktu kejadian, tempat, dan unsur lainnya, sebagian hanya ada dalam realitas alur ceritanya dan bukan realitas kehidupan sebenarnya di masyarakat. Dengan kata lain legenda merupakan sejarah koleksi tertentu saja atau bersifat folklor. 

Lalu, apakah legenda dapat diciptakan pada masa kini? 

Yah, mungkin bagi yang berminat membuatnya bisa jadi akan tercipta legenda-legenda baru. Akan tetapi, hingga saat ini yang muncul adalah karya-karya sastra mutakhir berupa cerita pendek, novel, dan naskah lakon. Kalaupun ada, hanyalah pengekor atau varian dari legenda yang sudah ada. Contohnya dalam video di bawah ini. 


Putri duyung bagi sebagian orang hanyalah fiksi. Sementara sebagian lagi meyakini kebenarannya dengan mendasarkan pada berita-berita yang dilaporkan para pelaut zaman dulu. Dalam video di atas, sebenarnya bentuk legenda Putri duyung dalam varian baru yang jauh dari cerita aslinya. 



Mengenal Usmar Ismail, Seorang Sastrawan, Sutradara, dan Tentara Masa Penjajahan Belanda


Ia dikenal sebagai seorang sastrawan dan sutradara film Indonesia yang berdarah Minangkabau. 

Usmar Ismail lahir pada tanggal 20 Maret 1921. Dirinya dianggap sebagai warga pribumi pelopor perfilman di Indonesia. Sebelum berkecimpung di dunia sinema, Usmar berprofesi sebagai seorang tentara pada masa penjajahan Belanda.

Setelah itu, ia menjadi sutradara film dan mendirikan Perfini, studio film pertama di Indonesia, pada awal 50-an. Usmar kemudian melanjutkan studinya di Universitas Los Angeles jurusan film dan mendapatkan gelar Bachelor of Arts pada tahun 1952--1953. Usmar meninggal dunia pada 2 Januari 1971. 

Karya-karyanya yang berupa drama, seperti Mutiara dari Nusa Laut (1943), Mekar Melati (1945), dan Sedih dan Gembira (1950). Kumpulan Puisi adalah Puntung Berasap (1950). Sementara karya lainnya Pengantar ke Dunia Film dan Usmar Ismail Membawa Film (editor J.E. Siahaan) (1983).

Berikut puisi pilihan karyanya.

Jembatan

Bulan terang, jalan tak sunyi
Kelana sepasang hati bersemi
Malam benderang, angin meneduh
Pandangan tenang, kalbu meriuh.

Jembatan terbentang 'kan tempat lalu
Lampu terpasang menyala restu
Damai dan aman jalan menyayu
Hanya di bawah air menderu!

Bernyanyi jiwa sunyi bertanya,
Jembatan ini ke arah mana,
Adakah ini penghubung rasa
Di atas lembah gemuruh masa?

Sumber puisi di atas: Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (Balai Pustaka, 1975)

-----------------------

Sumber tulisan: Buku Lautan Waktu dan Wikipedia

Sumber foto: Wikipedia


Wednesday, February 17, 2021

Inspirasi, ke Manakah Harus Dicari?

Tidak jarang ketika hendak menulis, entah itu puisi, cerpen, novel, atau lainnya, seseorang terpikir apa yang akan dituliskannya. Jika dia pemula, sering kali terjebak pada pencarian tema yang bisa menjadi ruh dari tulisannya nanti. Apa pun yang penting ada temanya. 

Bagi orang yang sudah sering menulis pun kadangkala masih terpikir juga tema apa yang sedang hangat atau paling disukai masyarakat. Selain itu, ada juga yang begitu mudah menemukan tema dan lebih menitikberatkan pada bagaimana menyajikan tulisan yang disukai banyak orang. 

Sebenarnya tema ada di mana-mana. Bahkan kekosongan pun merupakan tema yang dapat dijadikan cerita. Misalnya tentang anak yang hidup dengan ketiadaan orang tua. Asalkan kita peka terhadap dunia sekitar, maka aktivitas menulis pun InsyaAllah lancar. Sebutlah di sebuah taman ada rumput yang tumbuh dengan subur. Rerumputan itu adalah inspirasi untuk menulis dengan tema semangat. Perhatikanlah rumput yang meski dipotong ribuan kali, tetap semangat tumbuh kembali. Begitulah idealnya hidup meskipun diterpa banyak masalah, haruslah terus semangat menjalaninya untuk memperoleh kebahagiaan sejati. 

Terkait dengan inspirasi ini, ke mana harus dicari? 

Kembali kepada hakikat kehidupan, kita tak dapat hidup sendirian. Makanan, minuman, termasuk inspirasi tentu adalah pemberian dari Allah swt. Dialah Sang Maha Pemberi. Maka, idealnya hal pertama ketika hendak menulis adalah dengan berdoa kepada-Nya. Yakinlah bahwa inspirasi akan didatangkan-Nya melalui banyak tempat, benda, dan sebagainya. Sebagai contoh, video di bawah ini menggambarkan inspirasi menulis dari dua gelas, yakni gelas kaca yang berisi air bening dan gelas logam berisi air kopi dengan masing-masingnya bertemakan cinta. 


Masih begitu banyak inspirasi lain dalam hidup ini untuk dijadikan penggerak jiwa ketika hendak menulis. Memperhatikan dan mengasah kepekaan diri terhadap dunia sekitar, adalah usaha ideal agar kita dekat dengan inspirasi-inspirasi tersebut. 


Tuesday, February 16, 2021

Puisi-Puisi Muhammad Radi


Harapan

:Bagi saudaraku (Muhammad Rusmadi & Marhamah) dan para keponakanku (Nadya Hanifa Humanisa & Ganang Muhammad Ferlez Oasis)

(I)
Dan begitulah. Usia bertambah. Tiba-tiba
kita telah menjadi) dewasa dan tua.
Gerangan apa bekal yang 'kan kita bawa
'tuk kembali pada-Nya?

Kandangan, Apr. 10

(II)
Rencana. Sering gak menggapai sebatas dunia.
Hari-hari berlalu. Harapan memilu!

Kandangan-Banjarmasin, Apr '10

(III)
"Berapa banyak (telah) dihabiskan biaya dan tenaga 'tuk perhelatan ini, dan betulkah persaudaraan kita (jadi) s'makin erat lantaran itu, hingga apa yang kita lakukan sampai detik ini gak bernilai sia-sia?" katamu

Ah!

Zaman. Perhelatan bertengger
di (deras) arus zaman. Dan waktu sebegitu ganjen membedaki
-- sekaligus -- menggerusnya!

Kandangan, Mei '10

(IV)
Dan, "perhelatan'. Ya, hari ini dan esok. Sajak-sajak tetap ditulis atau dibacakan, dan dibicarakan.
Pembahasan-pembahasan usai...
Perhelatan selesai. "Sampai ketemu lagi pada tahun
yang akan datang, my beloved comrades! Akankah kita masih bisa jumpa?" selorohmu
Uh!

Kandangan-Marabahan, Mei '10


Apa yang Kau Perlukan

Dan, ...
(ya)

Apa yang kau perlukan, Sobat? Kasih sayang?
"Tidak!" jawabmu. "I need something more than..."
Oh, I think that you've just misunderstood about...

Ya, kasih sayang. Kadang ia muncul di dangau
di antara kesibukan ladang. Lantas kau memekik
di pantai. Ia datang dengan wajah pucat
di antara cemas hujan...

Kandangan-Banjarmasin, April 2011


Tentang Penyair


Muhammad Radi, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 17 April. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Majalah Hai, idola, Nona, Nova, Aneka Ria, Keluarga, Kiblat, Panji Masyarakat dan The Favour Magazine (Kanada). 

Bukunya yang telah terbit: Pengajaran Fisika dan Peradaban Muslim (1995), kumpulan cerpen Di Antara Warna-Warni Pelangi (1998), Proses Pembelajaran, Mengacu Poda Fitrah (1999), Menghindari Jebakan Kultural: Kehidupan (2001) dan Shalat dan (Permasalahan Real) Kehidupan (2002). 

Puisinya juga terdapat dalam sejumlah antologi bersama, antara lain La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937--2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan 1, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), Seribu Sungai Paris Barantai (Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola, 2009), Konser Kecemasan (2010) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010)

--------------------------------

Sumber tulisan: 
-Seloka Bisu Batu Benawa (Bunga rampai Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII Kabupaten Hulu Sungai Tengah 2011) 

-Menyampir Bumi Leluhur (Bunga rampai puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VISI Kabupaten Tabalong 2010)

Sumber ilustrasi: Pixabay

Sumber foto penyair: Facebook

Monday, February 15, 2021

Perlukah Kawan Sastra?



Kawan sastra. Ya, begitulah saya namakan sesuatu seperti benda khusus, seseorang, atau hal lain misalnya camilan. Terkadang, baik dalam berkarya sastra, maupun saat membaca atau menikmati sastra, rasa jenuh datang tanpa diundang. Rasa itu jelas membuat kita tidak nyaman dan bosan. Tak jarang proses bersastra pun terhenti. 

Itu hal yang wajar. Untuk menghadirkan suasana baru yang menyenangkan, idealnya perlu juga pendamping semisal hiburan atau sekadar camilan. Ini tentu sesuai dengan kesenangan dan selera masing-masing. 

Nah, saya pribadi termasuk orang yang menyukai menu-menu Nusantara. Sebutlah singkong goreng. Ya, singkong goreng kawan sastra (Kawra) seperti dalam video di bawah ini.



Kemudian? Apa langkah selanjutnya?

Setelah rasa jenuh hilang, kita bisa melanjutkan aktivitas menulis atau membaca tadi. O iya, menikmati camilan apa pun jangan kebanyakan. Selain menyebabkan kekenyangan, juga dapat membuat mata kita mengantuk  


Mudik Lebaran, Cerpen Karya Sunaryo Broto


SUNGGUH UNIK orang Melayu. Mereka mempunyai kekerabatan keluarga yang kental hingga mempunyai tradisi mudik setiap lebaran bagi perantau. Bagi mereka, keluarga bukan sekadar keluarga kecil, ayah, ibu dan anak. Keluarga bagi mereka itu ayah, ibu, anak beserta kakek, nenek, keponakan, paman, bibi dan lain-lain. Bagi orang Melayu, mobil yang paling laku adalah mobil yang bisa menampung keluarga besarnya. Lihatlah, kalau orang Melayu bepergian, tentunya dia akan membeli oleh-oleh yang banyak untuk sanak saudaranya. Jamaah Haji dari Indonesia terkenal barang bawaan yang banyak dan isinya banyak oleh-oleh untuk sanak saudara.

Mudik sudah menjadi agenda tahunan para perantau di seluruh penjuru tanah air pada setiap lebaran. Tak peduli berapa banyak biaya dan tenaga dikeluarkan untuk mudik. Yang penting pada hari lebaran bisa berkunjung ke orang tua di kampung halaman. Tradisi mudik hanya dapat dimengerti para perantau yang sudah merasakan bagaimana rasanya jauh dari kampung halaman. Coba dengar lagu Melayu, "Aku Pulang" yang mendayu-ndayu suaranya. Begitulah perasaan perantau bila mau mudik.

Begitu juga yang saya jalani sekeluarga. Sejak lulus SMA, saya sudah merantau ke lain kota untuk melanjutkan kuliah. Setelah lulus perguruan tinggi, saya merantau bekerja ke luar pulau sampai Bontang, Kalimantan Timur. Sudah puluhan kali saya mudik membayangi usiaku yang menapak kepala 4 sampai anak menginjak angka 3.

Kesibukan mudik dimulai waktu minta izin cuti karena pekerjaan harus diatur supaya kantor tidak kosong semua. Lalu pesan tiket pesawat Bontang--Balikpapan. Tidak mudah mendapatkan 5 tiket pesawat untuk sekeluarga. Terlebih waktu cuti sekitar lebaran. Kami harus berebut tiket bersama karyawan lain yang pesan tiket. Biasanya pada hari tertentu dijadwalkan pesan tiket dan pada dini hari sudah banyak karyawan yang antre tiket. Bila tak dapat tiket kita bisa naik mobil sekitar 5 jam perjalanan. Setelah tiket Bontang Balikpapan didapat, perjuangan tersendiri mencari 5 tiket untuk Balikpapan--Yogya. Tiketnya ada tetapi harganya sudah 2--3 kali lipat. Pernah harga tiket mencapai Rp2,1 juta, padahal harga normal tiket sekitar Rp600--800 ribu. Atau ada alternatif lain, terbang lewat Surabaya yang tiketnya relatif lebih murah yaitu sekitar Rp1,3 juta, padahal tiket normal sekitar Rp400--500 ribu.

Siang itu kami sekeluarga sudah mendarat di Airport Juanda Surabaya untuk keperluan mudik pada H-5. Penumpang terlihat berjubel di bandara. Kami sudah menyiapkan mobil dengan mencarter mobil Surabaya--Solo, tempat kampung halaman--dengan harga sekitar Rp550 ribu. Kami langsung tancap gas menyususuri jalan Surabaya menuju Solo. Sepanjang perjalanan padat dengan kendaraan lain para pemudik. Jalan-jalan dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang. Truk-truk besar memenuhi jalan sekitar Surabaya.

Kami melewati Mojokerto. Di sekitar jalan tanaman pada layu. Kami melewati Jombang yang sungai di pinggir jalannya juga kering. Jalanan panas dan berdebu. Biasanya pada bulan September puncaknya musim kemarau di Jawa dan hampir tak ada hujan. Jalan mendekati Ngawi kami tempuh melewati hutan jati yang meranggas diterpa kemarau. Di sekitar jalan Sragen-Solo biasanya dipenuhi pedagang yang jualan semangka dan jeruk bali yang besar-besar. Kami membeli beberapa untuk menambah kesegaran waktu berbuka nanti. Ada sekitar 5 jam kami melalui perjalanan darat Surabaya--Solo.

Menjelang sore waktu berbuka, kami sudah sampai di rumah orang tua. Tentunya suka cita mengiringi kedatangan kami. Orang tua dengan tergopoh-gopoh dan berwajah gembira menyambut cucunya. "Piye kabare? Ayo-ayo istirahat dulu... Wajahnya berbinar. Tiada hal yang paling membahagiakan orang tua selain dikunjungi anak cucunya pada hari Lebaran.

Kami mengisi waktu dengan mengobrol dengan orang tua. Si cucu tentunya mendapat perhatian lebih karena jarang bertemu. Lalu kami bertemu saudara yang lain dengan rombongan anak-anaknya. Pada hari-hari menjelang Lebaran mereka pada berdatangan dengan membawa mobil sendiri. Meski wajahnya kuyu kecapekan karena menjadi sopir melintasi perjalanan darat lebih dari 24 jam. Padahal jalan normal bisa ditempuh sekitar 11 jam.

"Jalanan macet di Nagreg. Saya sahur di sekitar Purwokerto...," kata si Budi yang berangkat dari Bandung sehabis buka puasa.

"Jalanan merayap. Asyik juga konvoi mudik. Kami istrirahat di Cirebon," kata si Kakak dari Jakarta.

"Ini perjalanan paling lama Jakarta--Solo. Lebih daripada 24 jam. Saya sempat tidur di dekat pompa bensin di sekitar Tegal," kata Joko, saudara lain yang berangkat dari Jakarta pada H-2.

Itulah romantika para pemudik dengan kendaraan darat dari Jakarta atau Bandung ke arah Jawa Tengah. Meskipun tiap tahun mengalami hal yang sama, mereka tak kapok juga. Sepertinya memang harus menempuh ritual kemacetan di jalan berjam-jam untuk menikmati Lebaran. Seperti orang mendaki gunung, harus merasakan capeknya berjalan mendaki berjam-jam untuk mendapatkan kenikmatan pemandangan di atas gunung. Semua kecapekan akan sirna bila bertemu saudara dan sanak keluarga. Terlebih setelah merasakan hidangan istimewa Lebaran masakan Ibu.

Pagi itu cuaca cerah. Setelah sholat Id, kami bersama-sama menikmati masakan Ibu, opor ayam kampung dengan lontong, gudeg, sambal goreng santan kulit sapi dan diberi bubuk kedelai. Kami nikmati sambil bercanda dengan saudara dalam suasana lebaran. Nyam, nyam. Nikmatnya tidak ada habisnya. Ibu dengan gembira meladeni kami seperti sekian puluh tahun lalu. Sepertinya kenangan masa kecil hadir tiba-tiba. Membuat kami menjadi seolah-olah anak kecil lagi tanpa memikirkan problem pekerjaan dan rumah tangga. Inilah momentum Lebaran yang ditunggu-tunggu.

Belum sampai lama, beberapa tetangga sudah berkunjung. Dan kami saling mengunjungi tetangga dekat untuk bersilaturahim dengan hidangan melekat yang tak habis-habis disantap. Perut rasanya tak muat juga. Kami juga mengunjungi saudara jauh. Biasanya ada pertemuan trah atau keluarga besar. Kami biasanya menyediakan uang untuk dibagi dengan para keponakan yang masih kecil. Mereka tertawa riang. Seperti kami dulu.

Kami bertemu juga dengan kawan lama. Semacam reuni sekolah. Kami bercanda tak ada habisnya. Kalau bertemu kawan SMA, umur serasa sama dengan murid SMA karena perbincangan masih seputar masa lalu. Kalau bertemu kawan kuliah, umur serasa mahasiswa. Inilah jawabnya, kenapa acara reuni begitu diminati karena membuat mimpi seolah masih muda. Lebaran bisa menjadi beragam makna. Makanya arti mudik bisa berarti beragam kepentingan dan sampai sekarang peminatnya tak juga berkurang. Termasuk saya.

***

Pada hari menjelang Lebaran, saya masih juga melihat acara di TV tentang liputan mudik lebaran di ruang tengah. Hampir semua stasiun TV memutarnya. Seperti biasa diselingi perdebatan penentuan hari Idul Fitri, Selasa atau Rabu. Saya hanya dapat mengenangkan kenangan tahun lalu waktu mudik.

Tahun ini kami sekeluarga menikmati Lebaran di Bontang. Belum lama, dalam suatu acara pengajian Ramadhan, Ustad Dr. Daud Rasyid Sitorus dari Jakarta berkata bahwa sekarang ini banyak sekali kaum muslim tidak menggunakan waktunya dengan baik. Pada saat malam lailatul qodar malah mereka banyak disibukkan oleh belanja keperluan lebaran dan ritual mudik yang kebanyakan untuk kepentingan dunia. Mendekati lebaran masjid tampak lengang karena jamaahnya berkurang dan di kota besar jamaah pindah ke mall dan pasar. "Seharusnya kalau cuti untuk I'tikaf di masjid. Menyongsong malam lailatul qodar...," begitu pesannya.

Saya masih mengingat pesan ustad dan mengenangkan orang tua di kampung halaman yang merindukan cucunya. Tuhan Maha Bijaksana..

Bontang, 29 Agustus 2011,
Kaltim Post, 4 September 2011


Tentang Sunaryo Broto

SUNARYO BROTO, adalah peserta Dialog Borneo-Kalimantan asal Bontang, Karyawan Pupuk Kaltim. Menulis cerpen, artikel, puisi, catatan perjalanan dan lain-lain ke beberapa media masa. Beberapa bukunya telah terbit. Di antaranya, "Biarkan Kami" Bermain (Antologi Puisi), "Hijrah" (Antologi Puisi), "Catatan Haji Sebuah Hati", "Tentang Waktu" (kumpulan puisi) dan "Pertemuan di Kebun Raya" (kumpulan cerpen). 

Karya puisi dan cerpennya dimuat dalam Buku "Ensiklopedia Sastra Kaltim", "Kalimantan dalam Prosa Indonesia", "Kalimantan dalam Puisi Indonesia", "Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia". Ketiga buku terakhir, editornya Karrie Layun Rampan. Namanya masuk dalam Buku "Biografi Pengarang Kaltim" terbitan Kantor Bahasa Kaltim.

-----------------------------------------

Sumber tulisan: buku Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia

Sumber ilustrasi: Pixabay


Sunday, February 14, 2021

Membaca Karya Sastra, Mengapa Tidak?


Banyak laporan penelitian menyebutkan bahwa minat baca orang Indonesia itu masih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat di beberapa negara lainnya. Benarkah demikian? Terlepas dari benar tidaknya, satu hal yanh perlu kita pahamkan dalam diri sendiri bahwa membaca itu penting dan memang kita perlukan. 

Beragam informasi terkandung dalam bacaan-bacaan di sekitar kita. Bayangkan jika kita enggan membaca, maka tertinggallah diri kita selangkah atau banyak langkah daripada orang-orang yang gemar membaca. 

Begitu pula dengan membaca karya sastra. Meskipun masih banyak orang yang enggan berdekatan, bahkan menganggap puisi, cerpen, dan karya sastra lainnya sebagai bacaan tak berguna, tetaplah yakin bahwa karya sastra itu penting bagi manusia.

Di bawah ini contoh pembacaan cerpen karya Soeman H. S. berjudul "Salah Sangka".



Semoga video di atas dapat bermanfaat.

Saturday, February 13, 2021

Salah Sangka, Cerpen Soeman H. S. dalam Odah dan Kuli Kontrak


DUSUN Limbayung letaknya agak ke udik-udik, jadi terasinglah dari dunia megah. Dusun itu tidak berapa besar; jumlah rumahnya tak lebih dari tiga puluh buah, tetapi penduduknya rukun dan damai, menyebabkan penghidupan mereka itu makmur jua.

Tersebutlah seorang guru mengaji, bernama Malim Bungsu. Konon ilmunya tak berapa dalam, akan tetapi kajinya baik. Dia kuat beribadah, selalu merendahkan diri dan pada waktu yang terluang ia selalu tafakur dan zikir. Oleh karena itu ia amat disegani oleh isi kampung itu. Maka ia pun dapat panggilan "tuan guru".

Adalah tuan guru itu beranak empat orang, keempat-empatnya perempuan. Sebagai kebiasaan manusia, bila anaknya perempuan saja, maka inginlah hatinya hendak beranak laki-laki. Tiap-tiap ia lepas sembahyang tiadalah ia khali daripada berdoa ke hadirat Habiburrahman, mudah-mudahan Yang Maha Pengasih itu mengurniakan dia anak laki-laki. Dengan kodrat Ilahi, isterinyapun hamillah. Mulai dari saat itu, makin kuatlah tuan guru tadi beribadah. Kadang-kadang berjam-jam lamanya ia khalwat, seorang diri berdoa dengan khusuknya, senantiasa dipohonkannya supaya ia beroleh anak laki-laki.

Sebulan lepas, sebulan datang, maka saat isterinya itupun sampailah. Petang harinya isterinya itu pun mulai merasa sakit-sakit. Sebagai orang yang disegani, tak usahlah tuan guru itu berpayah-payah menjemput bidan. Demikianlah pada malam itu, orang tua-tua dan bidan-bidan, sudah banyak di rumah itu. Sakit perempuan itu makin terasa, jangkanya tak menjelang besok, lahirlah anaknya.

Sesudah sembahyang Isya, Malim Bungsu, asyik mendoa memuji Tuhan, memohonkan rahmatnya. Ia khusuk benar, sedikit pun tidak beranjak dari tikar sembahyangnya.

Hari sudah jauh larut malam, setengah perempuan-perempuan tua itu sudah tidur, tetapi Malim Bungsu masih mengaji mendoa jua.

Tersebut pula seorang orang hukuman lari dari tutupan. Sudah beberapa hari ia mengembara di dalam hutan hendak menyembunyikan dirinya. Akan tetapi perutnya memaksa ia keluar, mencuri ke rumah orang. Pada malam itu, iapun sampai ke dusun itu. Entah karena rumah tuan guru itu disangkanya rumah orang berada, entah karena berketepatan saja-wallahu alam, tetapi pada malam itu mulailah ia mencungkil jendela rumah itu, berkebetulan benar bilik perempuan yang hendak bersalin itu.

Jendela itu terbuka. Pencuri itu meninjau ke dalam, sedang guru masih mendoa jua di ruang luar. Perempuan-permpuan yang ada dalam kamar itu tersentak bangun, lalu memekik minta tolong kepada tuan guru itu:

"Laki-laki, tuan! Laki-laki, tuan!” teriak mereka itu.

"Alhamdulilah -- alhamdulilah!" jawab tuan guru itu mengeraskan doanya.

"Laki-laki, tuan! Laki-laki, tuan!" teriak perempuan-perempuan itu sekali lagi. "Alhamdulilah, syukur", ujar tuan guru itu. "Ya Allah. Engkau perkenankan kiranya pintaku!” Pencuri itu meluncur lari.

Di ruang tengah kedengaran bunyi langkah tuan guru, mulutnya komat-kamit menyerukan, "Alhamdulilah, syukur -- syukur -- syukur!"

la masuk ke bilik itu, hendak melihat anaknya yang laki-laki itu. Betapa takjubnya memandang isterinya masih macam biasa jua, dan anaknya yang disangkanya laki-laki itu tak tampak, sedang isterinya menyumpah-nyumpah.

"Mana anak kita?" tanyanya.

"Sudah lari," jawab isterinya bersungut-sungut.


Sumber Kumpulan cerita pendek Kawan Bergelut, penerbit N.V. NUSANTARA, 1961


Tentang Soeman H.S. 

Soeman H.S. lahir pada 1904 di Bengkalis, Riau, dan meninggal dunia di usia 95 tahun. Dia sempat berprofesi sebagai guru Bahasa Melayu dan belajar menulis di bawah bimbingan gurunya yang juga seorang sastrawan, Mohammad Kasim. Kumpulan cerita pendek Kawan Bergelut (1941) adalah karyanya yang paling banyak dibahas. Dia juga menulis novel pertamanya, "Kasih Tak Terlarai" (1929), yang berkisah tentang sepasang kekasih yang kawin lari. Novel lainnya, "Percobaan Setia" (1932), mengenai seorang anak muda yang harus menghadapi tipu daya orang lain sebelum dapat menikahi kekasih hatinya.

--------------------------------------------

Sumber tulisan: Odah dan Kuli Kontrak (Sepilihan cerpen klasik Indonesia).

Sumber foto buku: Arsip pribadi.