Saturday, April 30, 2022

Serius Nih


 

Wednesday, April 27, 2022

Yuk, Masak!


 

Sunday, April 24, 2022

AJAMUDDIN TIFANI DALAM KENANGAN DAN JEJAK PENINGGALAN KARYANYA




Fahmi Wahid

Sepanjang perjalanan "bamudik" ke Balangan sehabis menghadiri acara Tadarus Seni di Kindai Seni Kreatif  Ali Arsy Kindai di Banjarbaru, saya tulis catatan ini dengan lelah yang bergayut di pundak dan pelupuk mata hingga sampai di Bumi Sanggam. 

Merespon acara Kampung Buku Banjarmasin yang menyelenggarakan Ngaji Puisi yang membicarakan Ajamuddin Tifani dan karyanya maka terbersit untuk sedikit juga memberikan pandangan pribadi saya terhadap beliau dan karya-karyanya lewat catatan singkat ini.

Ajamuddin Tifani yang lahir di Banjarmasin, 23 September 1951 dan wafat pada 06 Mei 2002. Semasa hidupnya yang saya tahu beliau merupakan seniman serba bisa dan merupakan sastrawan kawakan yang senior fenomenal di zamannya khususnya bagi Kalimantan Selatan. Beliau merupakan guru bagi seniman dan sastrawan yang bertumbuh pada saat itu, terlebih saya yang juga sempat menimba ilmu secara pergaulan seniman di Taman Budaya Kalimantan Selatan.

Dalam bukunya Tanah Perjanjian yang diberi pengantar oleh Abdul Hadi WM dan sebagai penyantun Tariganu memuat puisi-puisinya yang dihimpun oleh kawan-kawan Banjarmasin seperti Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat, Adjim Arijadi dan Maman S. Tawie dengan Pokja Riset dan Dokumentasi Sastra (RDS)Kalsel. Salah satu karya Ajamuddin Tifani yang saya senangi ialah puisi berjudul RINDU LAUT.

RINDU LAUT

sungguh, masih limpas jua rindu lautmu, setelah
kuciptakan surau di puncak karang, setelah kuhiasi langit
malammu dengan tujuh-puluh-ribu kubah-kubah al fatihah
dan merajuk pasir di seluruh pantaiku untuk mengaku: pasir dalam zikir pasir bagi lautmu

sudah kutimang tandas-tikammu sedarah, sedarah
sudah kubuai timpas-suburmu sepasir, sepasir
sudah kuludahkan khildimu setangis, setangis
tapi tak jua geramku memahami rahasia cinta
yang kau teteskan di sarang-sarang gelisahku
ia menjadi barah rindu senantiasa
senantiasa amarah pada jarak
dan waktu

mengapa masih jua ratap, derai lautmu, padahal
di lubuknya sudah kutanam pohon angsanaku
tempat camarku membangun rumah puisinya
tempat daun keringku menyelesaikan keberadaannya

Karya-karya Ajamuddin Tifani selalu penuh dengan kegetiran dan kritik terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan maupun lingkungannya. Latar belakang dan asupan buku-buku terutama tentang filsafat banyak memberi andil dalam karya-karya puisinya. Salah satunya puisi Rindu Laut tersebut, tafsir bebasnya barangkali pergolakan batin seorang hamba yang merindukan akan kehadiran Tuhan. Kesakitan demi kesakitan dilalui hanya untuk mencari kejatidiriannya.

Selain itu puisi-puisinya juga banyak memuat kritikan sosial terhadap rezim yang berkuasa pada masanya. Sebagaimana sajak WS. Rendra, Taufiq Ismail, dan lainnya. Kebangkitan bagi kaum-kaum tertindas selalu menjadi bahan dalam puisi-puisinya Ajamuddin Tifani, seakan almarhum ingin segala kemiskinan dunia maupun batin harus dibangkitkan dengan getaran puisi. Hak-hak kemanusiaan yang harus terpenuhi, kemewahan dunia yang menjadi penyesatan manusia hingga sifat manusia yang bernafsu akan keduniaan selalu juga disinggung dalam puisinya Ajamuddin Tifani. 

Karya yang bercorak religius Ajamuddin Tifani banyak digolongkan dalam puisi-puisi sufistik dengan banyak menyerap karya-karya dari penyair Barat maupun Timur. Sehingga karyanya boleh dibilang penerus dari karya sufistik penulis dunia seperti Omar Khayam, Jalaluddin Rumi, Faruddin Aththar dan lainnya. Dengan banyak menukil dan menjadi inspirasi karyanya dari surat-surat dalam Al Qur'an yang menjadikan puisinya bertambah puitis dan religius.

Ajamuddin Tifani juga merupakan deklamator terbaik di zamannya, banyak menuai prestasi dan langganan menjadi juri lomba deklamator ataupun baca puisi. Sehingga dalam kekaryaannya juga banyak dipengaruhi oleh diksi-diksi yang menggetarkan untuk dibacakan meski dalam metafor halus yang dapat menyentak pendengar yang menyibak pembacaan puisi-puisinya. 

Saya salah seorang dari ribuan orang yang mencintai Ajamuddin Tifani dan karya-karyanya dari puisi, essai, lukisan hingga gaya deklamatornya yang sangat berkesan, terlebih sosoknya yang menjadi panutan bagi kita semua. Sampai sekarang sangat sulit mencari penggantinya dan barangkali sudah sepatutkan Ajamuddin Tifani tidak tergantikan di jagat kesenian dan kesastraan Kalimantan Selatan juga di Indonesia. 

Dengan tuntasnya catatan ini, menjadikan saya bisa melepas lelah dan pengenang perjalanan "balabuh" dari Balangan ke Banjarbaru dan "bamudik" dari Banjarbaru ke Balangan, yang kiranya bila kelak senja ini redup dalam diri akan menjadi jejak rekam bagi generasi mendatang.

Balangan, Ramadan, 2022

Penulis adalah sastrawan tinggal di Kalimantan Selatan. 
-------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: akun Facebook penulis
Sumber ilustrasi: Pixabay

Thursday, April 21, 2022

Mudik Lebaran


 

Tuesday, April 19, 2022

Demonstrasi Sastra


 

Friday, April 15, 2022

Berusaha Bahagia


 

Thursday, April 14, 2022

Pesan Rahasia


 

Monday, April 11, 2022

Tentang Gambar dan Angka-Angka


 

Saturday, April 9, 2022

Kelunglaian


 

Thursday, April 7, 2022

Menyamar


 

Wednesday, April 6, 2022

Sang Pamandungan Itu Telah Menuju ke Panggung-Mu

Abdus Syukur MH Alm. (kiri) dan Fahmi Wahid (kanan) 

In memoriam Abdus Syukur MH
(Maestro Seni Tradisi Bapandung Kalsel)

Fahmi Wahid

Seketika aku tersentak 
tiba-tiba hawa panas matahari
bagai merasuk ke seluruh sukma
mendengar kabar kepulanganmu hari ini
tepat ketika tengah hari menyengat dunia
semua mengantarmu dalam ucapan kedukaan

Bagaimana bisa kami melupakanmu, Julak Syukur
canda tawa selalu tidak lepas dari perangaimu
rangkaian cerita dan gelak tokoh yang kau mainkan
menghibur kami sepanjang masa dari panggung ke panggung
tidak ada kesedihan pernah terlukis di dirimu
selama kita bersahabat menjalani kesenian

Kaulah Sang Maestro Tradisi Bapandung
yang tidak lelahnya menghidupkan roh seni
kau berkesenian hingga sampai akhir hayat
Kaulah seniman sejati pelestari tradisi yang abadi
kaulah teladan bagi kami dan generasi muda banua
agar terus memainkan lakon-lakon Bapandung

Hari ini kau telah mendahului menaiki panggung-Nya
tanpa ada lagi sandiwara dunia yang harus diperankan
semua sudah tuntas kau jalani peranmu di dunia fana
tapi candaan gelak tawamu yang tulus akan jadi amal
karena selama di dunia kau menghibur kami
dan di sana doa-doa kami senantiasa menemanimu

Selamat jalan sahabat Abdus Syukur MH

Balangan, 6 April 2022

Catatan
Bapandung: salah satu seni teater tradisi Kalimantan Selatan yang hampir punah.
Pamandungan: sebutan untuk pelaku seni/seniman Bapandung.

Fahmi Wahid adalah sastrawan yang berdomisili di Kalimantan Selatan

------------------------------------------
Sumber: Akun Facebook Fahmi Wahid

Tuesday, April 5, 2022

Harapan Tak Selamanya Terwujud


 

Sunday, April 3, 2022

Aktivitas Keduniawian


 

Saturday, April 2, 2022

Selamat Berbuka Puasa


 

Friday, April 1, 2022

Jangan Begadang