Sunday, May 30, 2021

MURAL MERATUS ADALAH KESEDIHAN KALIMANTAN, Sebuah Puisi M. Johansyah


Kepada Walhi Kalimantan Selatan

Akan tiba saatnya, anak anak hanya mengenal lukisan belaka
keindahan bumi Khatulistiwa tinggal carita
jika tidak sekarang, kapan lagi
mempertahankan yang ada
menyisakan sebuah peradaban
tentang lanskap alam
tentang lanskap kultur budaya
sebelum terlambat, karena belum terlambat pula
untuk menyuarakan yang hak
menjelaskan dengan fakta fakta
kalau sudah tak bisa, tamatlah Meratus kita
kesedihan akan membekas
kezaliman membangkitkan perlawanan
itukah yang kita tunggu
selama kita diam, maka kesewenangan
mengonak duri - memberangus tanah banyu kita

Akan tiba saatnya, dengan mata telanjang kita saksikan
jengkal demi jengkal tanah dikoyak
dikupasi dengan keji
tanah dibalik, terburai perut bumi
dicakar
dicabik
dipaksa
menjadi rupiah atau dollar
lalu apa yang kita dapatkan, kecuali kehancuran
hutan-hutan terkapar
gunung-gunung dibongkar
arwah datu-nini minggat ketakutan
tulang-belulang suci terhambur di hadapan kita
di mana wajah kusam kita
disembunyikan di mana, wahai tuan
di dalam dada yang menanggung penderitaan
hingga kurun waktu berlalu
dendam bumi
dendam hutan
dendam anak manusia
dendam dari segala dendam adalah bencana

Akan tiba saatnya, bumi berguncang
dengan segala rasa sakit
dilukiskan dengan tinta darah yang pekat
karena pikiran sehat telah dikalahkan nafsu
keserakahan dibiarkan
dan terkuburlah semua harapan
apa yang dapat diselamatkan
sebab sudah tiada apa juapun
sebab semua telah rata
retak-retak, bergeser
peta tak lagi peta
bumi berpuaka
menelan semua garis kehidupan
yang kita buat sejak awal
tetapi tetap dilanggar
, tidak diacuhkan
beginilah nasib kita, tuan-tuan kaya
maka semua akan menyaksikan mara bahaya
dalam kecemasan yang tiada tara

Anak-anak bertanya, di mana Meratus yang dahulu
apa jawaban kita
apa alasan kita
cukupkah dengan cerita sedih
tentang kehilangan demi kehilangan
tentang perjuangan demi perjuangan
semua alibi kita patahkan
tetap saja, anak-anak itu bertanya
di mana Meratus kita
di mana sejarah negeri Jambrud bagai untaian mutiara
di mana - ternyata kita telah menyembunyikan luka
yang terbentang di garis Khatulistiwa
kemudian ditangisi sendiri
tanpa henti, tanpa jeda
dan sekarang saatnya kita maju
agar tak ragu menceritakan pada mereka
pada anak-anak sebagai pewaris banua

Batulicin, 03/11/2018#00.55


Tentang Penyair

M. Johansyah lahir di Murung Pudak,
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Selain menulis puisi, juga menulis cerpen. Pernah bergabung di beberapa komunitas dan sanggar seni di kota Balikpapan dan Posko La-Bastari Kandangan, serta aktif di seni teater, seni rupa, dan seni pahat. 

Puisinya dimuat dalam sejumlah antologi bersama antara lain, Tragedi Buah Manggis (2011), Bentara Bagang (2013), Tadarus Rembulan (2013), Siluet Rumah Laut (2014), Kalimantan Rinduku yang Abadi (2015), Kalimantan Selatan Menolak untuk Menyerah (2015), lje Jela - Tifa Nusantara 3 Marabahan (2016), Maurang Makna di Huma Aksara (2017), The First Drop of Rain - Antologi Puisi Banjarbaru's Rainy Day Literary Festival (2017), dan A Skyful of Rain - Antologi Puisi banjarbaru's Rainy Day Literary Festival (2018). 

Penyair yang rajin memublikasikan karyanya di media sosial facebook ini juga menjadi penyiar
sekaligus manajer di Radio Nirwana 106 FM Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
-------------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Meratus (Nyanyian Rindu Anak Banua)

Sumber ilustrasi: Pixabay


Saturday, May 29, 2021

Buku-Buku GLN Diperjualbelikan Bebas, Apa Tanggapan Badan Bahasa?


Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digagas oleh Anies Baswedan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu terus bergulir sejak 2016 lalu. Salah satu wujud nyatanya berupa penerbitan buku-buku bahan bacaan anak melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB). Setiap tahun buku-buku berkualitas tersebut hadir dengan beragam tema. Bukan kaleng-kaleng, naskah buku-buku ini sudah melalui seleksi ketat dalam bentuk sayembara dan penyuntingan berlapis. Para penulis diundang ke Jakarta untuk melakukan revisi sebanyak dua kali di bawah pengawasan para pakar dan juga dari pusat perbukuan. 

Sememangnya buku-buku ini telah diedarkan di daerah-daerah sesuai tujuan semula, yakni menyediakan bahan bacaan bagi anak-anak guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Terlebih, di daerah-daerah terpencil yang jauh dari toko buku dan perpustakaan yang lengkap. Sampai di sini masih berjalan lancar. Distribusi tidak mengalami kendala. Dengan kata lain belum ada problematika serius di lapangan.

Akan tetapi, lambat lain masalah mulai muncul. Ketersedian buku-buku GLN yang juga dapat diakses secara gratis di laman resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tidak menutup keran pembajakan. Ya, buku-buku itu dicetak, dijilid, dan diperjualbelikan secara bebas, khususnya secara daring. Alhasil, melalui platform jual beli seperti Bukalapak, pencetak dan penjual buku-buku bahan bacaan anak meraup untung besar secara finansial.

Salah satu grup para penulis buku bahan bacaan anak pun ramai. Salah satunya penulis sekaligus sastrawan Triman Laksana mengirimkan tangkapan layar bukunya yang dijual di Tokopedia. 



Tanggapan-tanggapan lain tak kalah hebohnya. Sebutlah Evan YS (penulis dan sastrawan) mengingatkan bahwa buku-buku bahan bacaan anak dalam program GLN tidak untuk dijual. 

Sebenarnya kasus yang merugikan pihak BPPB tidak terjadi sekali ini saja. Jauh sebelumnya pembajakan demi pembajakan sudah menimpa badan yang dulunya dikenal dengan nama Pusat Bahasa itu. Sebutlah kasus pembajakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kamus tersebut sudah mengalami revisi berkali-kali. Setiap edisinya selalu dalam lembaran-lembaran yang dijilid tebal.

Itulah sebabnya, harga per eksemplarnya secara resmi cukup mahal. Bisa tembus Rp200.000-an (pada tahun 2005). Dan, di tangan pembajak, KBBI hanya dijual Rp45 ribuan secara bebas. Dengan maraknya pembajakan seperti ini, pihak BPPB pun bertindak tegas kala itu. Salah satu tindakan yang diambil kantor berplat merah tersebut adalah dengan menghentikan kontrak kerjasama penerbitan. Semula KBBI dicetak dan diterbitkan secara sah melalui PT Balai Pustaka. Kemudian hari berpindah ke jasa penerbitan PT Gramedia. Alhamdulillah pembajakan pun dapat diselesaikan. Kini, KBBI  dapat pula diakses melalui aplikasi dengan sangat mudah oleh masyarakat Indonesia. 

Nah, kembali ke kasus pembajakan buku-buku bahan bacaan anak, apa tanggapan BPPB?

Sampai artikel ni ditulis, belum ada kabar terbaru mengenai reaksi atau tanggapan BPPB terhadap pembajakan di atas. Entah apakah pihak mereka sudah mengetahuinya dan sedang menyusun rencana mengatasi kasus ini atau bisa jadi belum mendapatkan laporan dari lapangan. 

Kalaupun seandainya belum, agaknya tulisan singkat ini dapat terbaca dan menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan sikap tegas yang ideal dilakukan mereka. 

Sekadar informasi, mengenai kasus pembajakan buku sudah ada regulasinya, yaitu diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Disebutkan dalam UU tersebut, para pelanggar hak cipta dapat dikenai hukuman pidana maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal 500 juta rupiah. 

Kita tentu berharap kasus-kasus pembajakan buku dapat diselesaikan dengan mengedepankan proses hukum secara adil. Pertanyaannya, akankah hukum ditegakkan? Semoga!

-----------------------------------------------------

Sumber ilustrasi: Pixabay


Rinai di Ujung Senja, Puisi Adrian Kelana


rangas mulai nakal merajam dahan
gabak tak lagi mengandung hujan
tempayan lesap disamun musim

berharap badai memecah awan
namun angin merubah arah haluan
rinai di ujung senja pindah kekelopak mata

malam pun tak lagi gigil
tersebab embun pecah sebelum doa
kini yang terurai hanya isak bergumam
malam semakin rangas
berharap pagi menyapih sunyi
walau siang tak pasti mengguncang langit

Jakarta, 24092011


Tentang Penyair

Lelaki yang lahir dari ranah pujangga bukittinggi, atau lebih dikenal dengan Minang Kabau ini juga sangat aktif menulis puisi dijejaring sosial face book, untuk menyalurkan bakatnya pada dunia sastra. Telah menerbitkan buku antologi puisi 10 penyair "Tarian Ilalang" yang pernah.dengan mudah ditemukan di Toko Buku Gramedia. Ia juga aktif dalam komonitas TARIAN JEMARI yang dibentuknya bersama teman sastrawan yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

-----------------------------------------------------------

Sumber puisi: Tuas Media 
Sumber biodata: Kompasiana
Sumber ilustrasi: Pixabay

Thursday, May 27, 2021

Kamilah, Sebuah Puisi Karya Asrizal Nur


Kamilah kedamaian
Bila kau bakar
Maka kamilah api

Kamilah cinta
Bila kau pedang
Maka kamilah tikam

Kamilah sabar
Bila kau amarah
Maka kamilah murka

Kamilah pemaaf
Bila kau dendam
Maka kamilah kesumat

Kamilah persatuan
Bila kau pecahkan
Maka kamilah barisan

Kamilah penjaga Al-Qur’an
Bila kau lecehkan
Maka kamilah tiang gantungan

Jakarta, 14 Januari 2017


Tentang Penyair

ASRIZAL NUR. Tahun 2009 ia mementaskan puisi-puisinya dengan Spektakuler  di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Mazuki Jakarta, Kolaborasi pembacaan: Tari, Teater, Musik, audiovisual, diberi nama nama Konser puisi Multimedia Asrizal Nur.

Membaca puisi dalam dan luar negeri, antara lain: Pembacaan Sajak Melayu Asia Tenggara di Kepulauan Riau (2006), Baca Sajak Panggung Apresiasi Presiden Penyair di TIM ( 2007), Baca Sajak Panggung Apresiasi Temu Sastrawan se Indonesia di Jambi (2008), Baca Sajak Internasional di JILFEST, Jakarta (2008) Membaca Puisi Poritugal, Indonesia, Malaysia di Universitas Indonesia (2009). Baca puisi Radio Televisi Brunei Darussalam pada Pertemuan Penyair Nusantara IV (2010). Membacakan puisi dan pemutaran Video Konser Puisi Multimedia Asrizal Nur di Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei (2010), Sebagai pembimbing/pengajar Bengkel Pelestarian Budaya Melayu di Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei (2010). Konseptor, Sutradara Teaterrikal Puisi Islam Multimedia di Radio Televisi Brunei (2010). Baca Puisi pada Malam puncak Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang (2010). Baca Puisi di Panggung Puisi Multimedia Pertemuan Penyair Nusantara di Palembang 2011, Pembacaan Puisi Internasional di Jakarta Internasional Literary Festival – JILFEST (2011), Baca Puisi di Hankuk University dan Kota Hansan Korea Selatan ( 1-3 Juni 20012), ), Baca Puisi Malam Puncak Dialok Teluk Brunei di UBD (11 Juli 2012), Baca Puisi di Sekolah Menengah Yayasan Hasanal Bolkiah Brunei Darussalam (18 Juli 2012),   Baca Puisi Pada Kongres Bahasa(2013),Baca Puisi di Festival Wayang dan Topeng Internasional di Bandung (2014) Pertemuan Penyair Nusantara VII di Singapura (2014), Festival Pulara 2014 di Pangkor, Malaysia.

Bukunya yang telah terbit: Percakapan Pohon dan Penebang (YPM, 2009) dan antologi puisi bersama antara lain: Antologi Puisi Nusantara (2006), Rampai Melayu Asia Tenggara (2006), Kumpulan puisi Portugal, Malaysia dan Indonesia (2008), Musi, Pertemuan Penyair Nusantara V (2011),  Kumpulan Puisi dan Cerpen Internasional Jilfest: Ibu Kota Keberaksaraan(2011), Lambaian Nusantara Dari Kota Singa, Antologi puisi bersama Pertemuan Penyair Nusantara VII (2014)

Kini mengelola Rumah Seni Asnur, Ketua Yayasan Panggung Melayu, pendiri dan Sekretaris Jenderal Yayasan Hari Puisi Indonesia.

----------------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Tuas Media

Sumber ilustrasi: Pixabay


Wednesday, May 26, 2021

Rumah Sastra, Puisi Iberamsyah Barbary dalam Serumpun Ayat-Ayat Tuhan



buat, Korrie Layun Rampan

Rumah kita tidak pernah sepi,
kendati kita sendiri
Rumah kita selalu bernyanyi,
berturai pantun silaturrahmi
Rumah kita selalu berpenghuni
walau ditinggal pergi
Rumah kita banyak jendela,
menengok jauh hingga ujung kampung yang sepi

Rumah Sastra
Di beranda rumah, tampak muka, menyingkap dunia
Menjelajah pandang, memungut yang terserak dan terlupakan
Agar tidak terlunta-lunta mencari jati diri
Anak bangsa menata rupa, seanggun rumpun budaya bangsa

Rumah Sastra
Dapur rohani, menanak jiwa dengan bumbu Nusantara
Tersaji dalam kenduri yang harmoni, Bhineka Tunggal Ika
Di meja bundar yang berputar,
duduk melingkar senyum demokrasi
Sopan santun menikmati, para hati berbunga anak negeri
Saling melempar senyum, pandangan tajam mata garuda
Penjaga damai, Budaya Nusantara Swarna Dipa

Rumah Sastra
Tempat kita berdiri tegak sama tinggi
Menunduk rendah sama menghormati
Tempat singgah orang-orang melangkah
Ketika orang merasa dahaga, galau dalam sunyi

Rumah Sastra
Tempat kami bertarung dalam damai
Melangkah dan berlari dalam keindahan
Berpikir dan menulis karena cinta
Seribu pintu terbuka
Sejuta hati menerima
Kendati kalian sudah lupa
Cinta kami berkepanjangan, di Rumah Sastra


Tentang Penyair

Sastrawan yang satu ini lebih dikenal sebagai penyair gurindam. Benar saja, bersama gurindam karyanya, ia “meroket  ke langit” sastra nusantara kita.  Misalnya pada Juli 2014 bersama buku gurindamnya yang berjudul Banjar Negeri Harum 1001 Gurindam, dirinya tampil memukau di Teater Kecil, Taman Ismial Marzuki, Jakarta.   

Pria kelahiran Kadangan, Kalimantan Selatan  ini sebenarnya telah lama berkarya sastra. Ia aktif menulis sastra sejak tahun 1963. Pada masa 1970-an awal banyak puisinya dimuat dalam surat kabar harian semisal  Banjarmaisn Post, Dinamika Berita, dan Gawi Manuntung. Akan tetapi, sekitar tahun 1972 aktivitas menulisnya tersebut tak terlihat lagi. Seakan lenyap ditelan Buto Ijo. Dan kembali aktif menulis pada 2008 lalu sampai sekarang.  
---------------------------------------------------------
Sumber puisi: Serumpun Ayat-Ayat Tuhan
Sumber biodata: Wartamantra
Sumber ilustrasi: Pixabay

Tuesday, May 25, 2021

RUMAH SOKRATES, Puisi Yasimi


Sokrates, si filosof bijaksana
Membangun sebuah rumah yang sederhana
Segera orang-orang di sekitarnya mengecamnya
Setiap mereka melihat kesalahan
pada rumah yang sudah dibangun dengan saksama
Seseorang bilang: ini sama sekali tak cocok
Terlalu kecil, polos dan bengkok-bengkok
Yang lain bilang
ini pondok miskin, tak menyenangkan
Kalau kau mau dengar pendapatku
Rumah ini tak cocok untuk orang besar seperti kamu
Oh, aduh, yang lain bilang
Rumah rongsokan begini?
Profesor yang kami hormati ini
Pasti tak ingin tinggal di rumah seperti ini
Setiap orang yang mengaku temannya
dengan satu suara mengatakan
Apakah kau dapat menamakan rumah ini
cukup cocok untuk orang mulia seperti kau?
Rumah begini melarat dan sangat sempit
Seseorang hampir tak bisa bergerak di dalamnya
Yah, begitu sempit
Tak bisa belok ke kiri ataupun ke kanan
Dan ketika filosof itu mendengar mereka ribut
dia tertawa keras dan menjawab:
Kawan-kawan, kalian salah mengecamku
kecaman kalian kurang bijaksana
karena meskipun pondok itu begitu sederhana
Bagiku rumah ini sudah merupakan segalanya yang kuperlukan
Aku hanya berharap agar rumah ini
dapat diisi dengan sahabat
yang sejati

(Terjemahan Leon Agusta)
-------------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Kembang Para Syuhada
Sumber ilustrasi: Pixabay


Monday, May 24, 2021

Puisi Badr Shakir al-Sayyab, Penyair Palestina


 

SUNGAI DAN KEMATIAN

Buwayb, Buwayb!
Lonceng di sebuah menara lenyap di seberang laut
Air di kendi, matahari senja di pepohonan
Kendi kendi besar penuh lonceng
Kristal-kristalnya mencair dalam ratapan:
"Buwayb... Buwayb!"
Dan dalam darahku terdengar jeritan lantang
Memanggilmu, o Buwayb,
O sungaiku, sepilu hujan kau
Angin lari melewati kegelapan
Dengan tinju terkepal, sambil setiap jari
Membawa harapan semua tahun, seakan membawamu
Memikul gandum dan bunga-bunga
Aku ingin menjenguk ke bawah dari puncak bukit tinggi
Menatap bulan sekilas saja
Menenggelamkan diri antara tebing-tebing curam
Menanam bayang-bayang
Dan memenuhi keranjang-keranjangnya
Dengan air, ikan dan bunga-bunga
Aku ingin menceburkan diri ke dalamnya dan memburu bulan,
Mendengar gemerincing kerikil dalam kedalaman lubukmu
Seperti kicau burung-burung gelatik di dahan pohonan
Adakah kau ini sungai, atau belantara air mata?
Adakah ikan-ikan yang terjaga di waktu subuh?
Dan bintang-bintang ini, apa mereka
menunggu
Buat menyulam sutra dengan ribuan jarumnya?
Kau, o Buwayb,
Aku ingin membenamkan diri dalam airmu
Dan mengumpulkan kerang-kerang
Membangun rumah dari kerang kerang itu
Dan tetesan cahaya dari bulan dan bintang-bintang
Akan menyirami kehijauan air dan pohon,
Dan pada gelombang pasangmu aku akan mengalir menuju laut
Kematian adalah kerajaan asing yang menarik hati anak-anak muda
Dan kaugenggam pintunya yang tersembunyi, o Buwayb
Buwayb.... o Buwayb,
Dua puluh tahun telah lewat,
Tiap tahun adalah kekekalan
Lalu ke tempat tidur aku pergi, istirah
Namun tak bisa juga tidur
Indera-inderaku tegang seperti pohon menjulang
Cabang-cabangnya meregang, burung-burung dan buah berhamburan
Kurasakan benar derita dunia yang menusuk ini
Air mata dan darah menyembur seperti hujan
Kudengar gema lonceng orang-orang yang mati
Bergeletar dalam pembuluh darahku
Dan dalam darahku yang tiba-tiba membeku
Aku meronta terkoyak peluru
Kubur-kubur tergali dalam dadaku
Api neraka menjilat-jilat tulang-belulangku
Aku karam dalam darahku
Sambil memikul nasib orang lain
Membangkitkan lagi kehidupan
Matiku adalah kemenangan.

(Terjemahan Abdul Hadi W.M.)



Tentang Penyair

Badr Shakir al-Sayyab. Lahir pada tahun 1927 dan meninggal pada tahun 1964. Puisinya banyak mengenai peristiwa politik di dunia Arab. Penyair Palestina ini tinggal di Iraq. Di samping menulis karya yang bertemakan sosial, Badr juga banyak menulis karya yang transendental. Kumpulan puisinya tidak kurang
delapan buah.
----------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Kembang Para Syuhada
Sumber ilustrasi: Pixabay

Sunday, May 23, 2021

Puisi-Puisi Mohamad Iqbal, Penyair dan Bapak Spiritual Pakistan


RUBA'IYAT

Kau matahari, aku planet berputar
Mengitarimu, diterangi penglihatan-Mu
Tercerai dari-Mu aku menderita
Kau Kitab, aku cuma hurufnya

Bayang-bayang-Nya lebih karib di mata hati
Rindu melihat Dia lebih nikmat lagi
Pedih jiwaku. Lalu seorang Sufi berkata:
"Jalan berliku lebih baik daripada tujuan perjalanan.
Belajarlah menghargai dirimu, O Anak!
Adakah kau ini Muslim? Enyahkan kebanggaan
Keturunan. Jika orang Arab memandang kulit
Dan darahnya, katakan selamat tinggal kepadanya

Disebut Cina, Melayu, Turki, atau Afghan
Kita ini milik sebuah taman besar, pohon besar
Lahir di musim semi itulah keluhuran
Membedakan warna kulit adalah dosa bagi kita

Iskandar dan bendera dan pedangnya telah lenyap
Lenyap segala gelar, tambang emas dan kapal lautnya
Sejarah Ummat jauh lebih kekal raja-raja
Jamshid lenyap, namun Persia masih ada.

Kau masih terikat pada warna kulit dan ras
Maka kaumenyebutku Afghan atau Turkoman
Namun pertama kali aku manusia, tak lebih
Baru setelah itu seorang India atau Sudan.

(Terjemahan Abdul Hadi W.M.) 


SYRIA DAN PALESTINA

Rahmat bagi logam buatan Barat yang berkilauan!
Gelas Aleppo yang jarang kini telah penuh anggur merah.
Jika orang Yahudi mengaku Palestina sebagai tanahnya
Mengapa orang Arab tidak menuntut Andalusia?
Rencana busuk telah disusun oleh majikan Inggris
Ini bukan kisah jeruk, madu ataupun kurma.

(Terjemahan Abdul Hadi W.M.)


KARL MARX

Papan catur penelitian dan ilmu pengetahuanmu
Sandiwara debat kusir dan cekcok mulutmu --
Karl, ingat! Dunia sudah tak sabar menyaksikan
Lelucon mengerikan buah angan-angan pengikutmu!
Setelah budak benda-benda ekonomi
Makhluk apa yang terjumpa dalam pustakamu?
Sebuah lelucon yang mirip lingkaran setan semua ini
Tipu daya menuju kekacauan semua ini
Dalam kuil Barat yang penuh dengan berhala
Mimbar politik dan bangku-bangku kuliahnya
Ketamakan dan algojo-algojomu yang berlumur darah
Semua mengenakan topeng di bawah komedi akal bulusmu.

(Terjemahan Abdul Hadi W.M.)


Tentang Penyair

Mohamad Iqbal. Penyair Pakistan yang lahir pada tahun 1876 dan meninggal pada tahun 1938. Dia dipandang sebagai Bapak Spiritual Pakistan. Buku-bukunya sudah banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kumpulan puisinya Asrar-i Khudi diterjemahkan oleh Bahrum Rangkuti, sedangkan Payam-i
Masyrig diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.
-----------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Kembang Para Syuhada
Sumber ilustrasi: Pixabay




Puisi-Puisi M. Nahdiansyah Abdi dalam Pewaris Tunggal Istana Pasir


KIM IL SUNG DI SUNGAI AMNOK

Tidak ada angin yang tidur
kecuali heroisme yang sumpek di antara
rumput-rumput yang terjepit oleh salju

Lalu kita berpikir sementara pilar-pilar batu
menghimpit kepala
Lalu gadis itu memamerkan cintanya dengan
kegagahan seorang tentara
Lalu ia terbunuh, kita tak sempat memakamkannya

Tapi, maaf, lagu itu hanya bisa kuungkapkan sepatah
Sebab patriotisme tak bakal lepas dari kecengengan

230300


DI PELIPISMU AKU MENGASAH
RINDU


Di pelipismu aku mengasah rindu
Kau harus kubunuh malam ini juga

Malam terang bulan
Maling-maling pada keluar menjemput buruannya
Aku keluar memaling kekasihku dari ajalnya

Aku membunuhmu hidup-hidup di hidupku
Luka yang rembes seperti mata air baru nemu
Sakit yang luruh pada lebar tawa
Mati yang lebur pada hidup luas menganga

Menggigil: "Kasihku, aku ingin terbakar api cemburu
selamanya!"

191208

Tentang Penyair

M. Nahdiansyah Abdi. Lahir di Barabai, Kalimantan Selatan. Tahun 1998 berkesempatan ke Jogjakarta, hingga tahun 2003. Menamatkan pendidikan di fakultas Psikologi UGM.

Karya puisinya dimuat di media massa dan beberapa antologi puisi bersama. Antologi-antologi puisi bersama yang memuat karyanya antara lain, 
1. Bumi Menggerutu (Kilang Sastra Batu Karaha
Banjarbaru, 2005)
2. Melayat Langit (Kilang Sastra Batu Karaha
Banjarbaru, 2006)
3. Kau Tidak akan Pernah Tahu Rahasia Sedih tak Bersebab (antologi pemenang lomba pada Aruh Sastra Kalsel III, Kotabaru, 2006)
4. Jejak-Jejak Angin (Olongia, Yogyakarta, 2007) bersama Hajriansyah.
5. Kugadaikan Luka (Kilang Sastra Batu Karaha
Banjarbaru, 2007)
6. Darah Penanda (Antologi pemenang lomba menulis puisi bertema lokalitas, Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008)
7. Malaikat Hutan Bakau (Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru, 2008)
8. Bertahan di Bukit Akhir (KSI Hulu Sungai Tengah, 2008)
9. Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (Aruh Sastra Kalsel V, Balangan, 2008)
10. Wajah Deportan (Teras Puitika, 2009), dan
11. Menggoda Kehidupan (KSBK, Banjarbaru, 2009).

Antologi puisi tunggalnya, semisal "Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air" (Tahura Media, Banjarmasin, 2008).
----------------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Pewaris Tunggal Istana Pasir
Sumber foto: arsip pribadi


Saturday, May 22, 2021

Subuh Sampai Maghrib Suatu Hari pada Awal Abad Lima Belas, Puisi Taufiq Ismail


Matahari bagai berenang, nyaris tenggelam
         menjelang malam
         di suatu tumpak di lautan, di barat sana
bagai terompah kuda yang pijar
dicelup di ember apar
kurasakan percikan panas dan denyar
ketika bola api itu sepenuhnya tenggelam

Abad lima belas!

Langit menawarkan garis-garis cahaya
Engkau mungkin, seperti jamaknya, cuma menduga-duga

Mungkin ada pelangi seperempat lingkaran
         dan sekawanan unggas beterbangan di bawahnya
Mungkin ada langit biru bersih
         dan bertabur gugus awan
         bentuknya seperti tabel statistika

Mungkin ada pergeseran angin menyimpan rencana
         dan deretan badai berlatih
         kini terdengar siulnya

Mungkin tak ada kemungkinan lain
         kecuali fajar yang pecah
         bertebaran bagai merjan
         merjan bagai permata
         permata bagai cahaya
         cahaya di atas cahaya
         cahaya yang mengelupaskan kita dari kelam
         cahaya yang menggasak kelam habis-habisan

Abad lima belas!

Subuh itu beratus juta orang berwudhu
         dengan air dan cuaca belahan dunia utara
         dengan air dan cuaca bumi tropika
         dengan air dan cuaca belahan selatan

Inilah subuh pertama abad lima belas

Dengarlah ratusan juta tangan
         berdesir mengisyaratkan takbir

Dengarlah ratusan juta pernafasan
         melafazkan ikrar

Dengarlah ratusan juta kening
         menggesek bumi

Dengarlah ratusan juta manusia
         membaca doa

Dan doa itu seluruhnya akan dikabulkan-Nya
         akan dikabulkan-Nya

Seperti akan terkabulnya
         terbit fajar sesudah subuh pertama
         subuh pertama abad lima belas

Maka kini tersingkaplah jam awal di hari awal
Alhamdulillah
Beratus juta kita bertebaran di muka bumi
Ada yang melata, ada yang beringsut
         ada yang merangkak, ada yang berlari
         ada yang berkendaraan

Ada yang searah, ada yang menyilang
         ada yang melayang
         ada yang tertindih, ada yang pipih

Beratus juta kita bertebaran di muka bumi pagi ini
Mesin mendesing, debu berkepulan
         dan waktu melesat kencang
Udara berpindah cepat dan bertukar nama jadi angin
Angin melaju kencang dan berganti nama jadi badai
Cuaca mendaki dan menurun mengubah suasana

Sementara kita mencoba merumuskan
         dan merumuskan kembali
Makna dan cara jadi khalifah di atas bumi

Sementara ketaqwaan beratus juta
         senantiasa diuji dan dicoba
Sementara tauhid beratus juta
         selalu diintai dan disergap
         di setiap tikungan jalan
Tak henti-hentinya
tak habis-habisnya

Dengarlah kini panggilan yang diserukan itu
         semerdu-merdu panggilan
Dan garis lintang barat sampai garis lintang timur
Saling jawab menjawab, tak habis bersahutan
         sepanjang hari
Dan alhamdulillah, ratusan juta
         menggesekkan kening mereka ke bumi
Menaruh seperangkat persendian tulang
         di atas hamparan sajadah
Sajadah alangkah panjangnya terbentang
Dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan
         beratus juta buaian
         beratus juta kuburan

Abad lima belas!

Abad yang makin dekat ke hari akhirat
Abad yang menagih tugas khilafah yang semakin berat
Abad yang minta warna ketaqwaan yang semakin pekat
Abad yang rindu tak terkata, pada nama Muhammad

Pada suatu sore di hari itu
Ketika matahari tampak dan hilang
        di antara pelepah dan gugus daunan
Kersik beterbangan, debu menyapu jalanan
        menembus sederet pepohonan
Aku tengadah menyidik cuaca dan langit di atas sana
Beberapa gugus awan, bagai kapak cabik-cabik
        tergantung beraturan
Ada sekumpulan unggas, putih badan dan sayapnya
Terbang ke arah kiblat dalam formasi segi tiga

Kau dengar bukan, empat kelepakan sayap mereka bersuara
         Subhan Allah
Dan lima ayunan sayap berikutnya menggumamkan
         Alhamdu-Lillah
Dan tujuh gelombang sayap sesudah itu
Menggetarkan
         La Ilaha Ill-Allah
Kemudian lima gerakan melayang membisikkan
         Allahu Akbar

Simaklah gerakan kawanan unggas di atas
Yang tak putus-putusnya berzikir
Yang tak habis-habisnya mengingat Allah
Dan mereka terbang dalam formasi alangkah cantik
Teratur, berdisiplin serta jelas arahnya
Melayang dengan tenang ke arah kiblat
Dan tepat pada bilangan ke sembilan puluh sembilan
Mereka menghilang ke dalam awan

Kemudian masuklah maghrib
          dan ada kumandang semerdu-merdu kumandang
Dari garis lintang barat sampai garis lintang timur
Saling jawab-menjawab, tak habis bersahutan
Dan alhamdulillah, ratusan juta
          menggesekkan kening mereka ke bumi

Menaruh seperangkat persendian tulang
         di atas hamparan sajadah
Sajadah alangkah panjang terbentang
Dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan
         beratus juta buaian
         beratus juta kuburan

Abad lima belas!

Abad yang makin dekat ke hari akhirat
Abad yang rindu tak terkata, pada nama Muhammad

Abad yang minta warna ketaqwaan yang semakin pekat
Abad yang menagih tugas khilafah yang semakin berat.

Jakarta, 1404


Tentang Penyair

Taufiq Ismail. Lahir di Bukittinggi. Banyak menulis sajak-sajak politik dan keagamaan. Penyair Angkatan 66 ini banyak menulis artikel-artikel kebudayaan. Taufiq Ismail adalah penggerak utama acara Malam Palestina.
------------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Kembang Para Syuhada
Sumber ilustrasi: Pixabay

Friday, May 21, 2021

Puisi-Puisi Abdul Hadi W.M. dalam Kembang Para Syuhada


IA MUNCUL

Ia muncul di muka pintu
seperti kembang sepatu membasuh warna merahnya
di bawah matahari

"Tak ada korban hari ini
Kecuali anarki yang tertembak mati!

Dilekapnya percik-percik darah
di bajunya
Ditatapnya koran pagi

”Kebohongan adalah satu-satunya
tempat
berdiri hari ini”

Dibacanya: "Hanya ketakutan
yang tak bisa dihukum mati”.

1978


ELEGI I

Di sorga: ada juga derita
Ketika keranda-keranda putih
Dalam gelap gulita
Ditarik kereta berkuda
Ke sungai perak
Ruh-ruh pun terbang
Pulang ke sarang senja

Dan matahari pucat

Tuhan berdiri
Di tepi telaga darah

Dan pada nisan seorang Gembala
Tertulis berita:
         Di padang Kerbela
         Telah terbunuh Hasan dan Husein
         Dengan lidah terulur ke tanah
         Dan tubuh yang remuk

Tuhan berduka
Memandang bumi yang jelaga
Di mana Adam telah buas seketika
Dan Hawa melahirkan anak-anak cacat muka:
        
        Muhammad, Muhammad!

1971


BAITIL MAKDIS PADA MALAM ISRAK

Kita tunggu gemintang, mengerdipkan matanya lembut
Kita tunggu angin mencegah arusnya kencang
suara laut di bawah benua dan cuaca
yang membersihkan tanah-tanah di dataran Palestina
dan sejuta suara bagai lonceng berdentang ramai
di masjid itu, suara para nabi. Terasa waktu
menanti cuaca tiba

          Apakah yang bakal terjadi
          di benua kita?
          di jazirah hitam ini
          di mana para rasul dan nabi
          diburu dan dibunuh
          oleh orang-orang kerdil
          dari benua tengah?

Muhammad! Lempangkanlah jalan kami
yang dahulu

          (Gaib arwah rasul dan nabi mengucap  
          salam
          waktu shalat selesai) dan di relung jagat
          yang risau
          kerdip gemintang memutih
          sampai juga ke negeri masyrik

1970


ELEGI

Musuh-musuhku, namun sahabat-sahabat setiaku juga
saban kali datang
melukaiku dan kemudian menyembuhkan:
"Mari kita bangun jembatan!", dan kami pun
Segera membangun jembatan dan runtuh juga

Mereka tak tahu dan aku sudah lupa
Saban kali mereka datang
menanamkan cakar dan mencampakkan barang-barangku:
piring, kursi, meja makan, sajak-sajak
kesempatan dan keleluasaanku

Aku mengira
mereka dapat mengenyahkan jejak dan kebebasanku
seperti aku mengira mereka pun dapat
mengenyahkan kecemasan mereka sendiri
kengerian mereka sendiri

Ke manakah kemudian mereka
pergi, bersembunyi
atau menyelamatkan diri?
Begitu banyak semak-semak dan gua
dalam lubuk hatiku, seperti dalam lubuk hati mereka
hingga sering
aku sendiri tak mengetahuinya
dan tak sempat mengetahuinya

Dan bagaimana kalau mereka temukan
parang yang kuasah diam-diam lebih berkilauan
dan geraham-geraham tak henti-hentinya
geram dan lebih leluasa bergerak?
Aku katakan: Aku bebas sekalipun kalian ingin membunuhku
Aku bebas sekalipun kalian mengepung dan memburuku
Aku bebas karena pedih dan kepedihan membebaskan aku
Tapi mereka seperti aku adalah pencinta busuk
yang tak pernah memberi tempat kepada cinta dan pencinta
Dan seperti aku pula mereka adalah pemburu kekosongan 
         dan kesia-siaan
Mereka ingin membunuhku karena mereka rasa aku ingin
         membunuh mereka
Aku ingin membunuh mereka karena aku rasa mereka ingin
         membunuhku
Mari kita tolong mereka, mari kita tolong diri kita.

1980

Tentang Penyair

Abdul Hadi W.M. Lahir di Sumenep, Madura. Banyak menerjemahkan karya penyair sufi, seperti karya Rumi dan Iqbal. Pada tahun 1979 memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun 1985 memperoleh Hadiah Sastra ASEAN dari Ratu Sirikit di Bangkok. Anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan banyak menulis esai dan cerita anak-anak.
--------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Kembang Para Syuhada
Sumber ilustrasi: Pixabay


Thursday, May 20, 2021

Kepada Bung Besar, Sebuah Puisi Cucuk Espe


Selamat malam, Bung!
Jakarta kini mendung bukan berkabung
Pesta baru mulai lekaslah bergabung
Tuang vodka sekedarnya tanda sapa
--; Ini bukan pesta jelata

Biarkan di luar demonstran mengiba
Biarkan koran-koran naik oplahnya
Biarkan televisi sibuk galang opini
--; Kita berada di tempat aman, Bung

Negeri ini seperti pasar malam
Semua permainan tersedia di sini
Jangan lupa harus saling mengerti
Itu kebijaksanaan kelas tinggi
Jika tidak dihabisi kawan sendiri
Buat cerita jual esok pagi

Jika rakyat sengit beri saja sandal jepit
Terlibat korupsi tak ada hukuman mati
Presiden siap tandatangani remisi
--; Jadi takut apalagi?

Selamat malam, Bung!


.............................................; 14/1/2012


Tentang Penyair

Cucuk Espe lahir di Jombang. Penyair, eseis, cerpenis penulis naskah drama, dan aktor berkebangsaan Indonesia. Ia menggeluti hidup sebagai seniman dan mendirikan Teater Kopi Hitam Indonesia.
--------------------------------------------------------
Sumber puisi: Tuas Media
Sumber biodata: Wikipedia
Sumber ilustrasi: Pixabay