Thursday, January 31, 2019

Satu Contoh Puisi Bertema Religi dalam Sauk Seloko



Sauk Seloko merupakan bunga rampai puisi dalam Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI yang diselenggarakan di Jambi tahun 2012. PPN itu sendiri adalah wadah mempertemukan dalil dan argumentasi tentang perpuisian Melayu Nusantara. Selain itu, agenda tahunan ini bisa dikatakan sebagai usaha menghimpun para penyair dari rantau Asia Tenggara khususnya, dan beberapa wilayah yang memiliki ciri peradaban Melayu Nusantara. Termasuk misalnya dalam hal ini keikutsertaan peneliti sastra dari Korea Selatan sebagai peninjau.

Tema dalam Sauk Seloko beragam, mulai dari religi sampai ke cinta asmara. di bawah ini satu contoh yang bertema religi.

Di Hadapan Multazam 
Karya Naapie Mat (Malaysia)

di depan pintu MultazamMu   
kumenadah kedua tanganku
ketika mentari suram dibumbung Kaabah
kumenadah kedua tanganku
ketika deruuan suara dari para hujjah
bergema dalam satu sendu dan tangisan
aku bertafakur menyelinap indah Kaabah
mengangkat tangan, mengangkat tangan
memohon segala keberatan
memohon segala keampuhan
memohon segala keinsafan
memohon segala Inayah
             ditutup pintu kejahatan
             ditutup pintu kecelakaan

di depan rumahMu
aku bertimpuh
memohon segala kekuatan
memohon segala kesihatan
memohon segala kesenangan
memohon segala kewarasan
memohon segala kerahmatan
memohon segala kebaikan
memohon segala keselesaan
apabila menutup mata kali terakhir
aku menangis di depan pintu rumahMu
bersama sekelumit doa yang kususun
betapa kerdilnya jasad dan jiwaku,
semoga malaikat menghimpun jalinan doaku
bersamanya ke hadapanMu, ya Allah!

Mekah-Jun 2011

Naapie Mat ( Naffi bin Mat) lahir pada bulan Desember 1957 di Pasir Putih, Kelantan. Pada 2010 memperoleh Ph.D dari Universiti Malaya. Kumpulan puisinya di antaranya Dongeng Purba (1993), Lorong Atar (2003), Mujahidah (2011). Novel ada dua, yakni Menggapai Warna Pelangi (1998) dan Ambalaga (1999). Buku akademik Pemikiran Penyair Melayu (2003), Glosari Pengajian Melayu (2006), Teknik Mengajar KOMSAS (2006), dan Pemerkasaan Pendidikan Bahasa Melayu (2009). Kini bertugas sebagai seorang pensyarah sastra di Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung Malim, Perak, Malaysia.

Lima Puisi Nida Anisatus Sholihah dalam Buku Fragmen Cinta



Hempas Kenang

Hapuslah air mata
mata air luka
yang dimiliki masa lalu
sebab waktu tak pernah berjalan mundur

Biarlah angin menghempas kenang
degup duka ikhlaskan menghilang
sebab waktu tak pernah berada di masa lalu

Tegaklah berdiri
tatap hari yang akan lahir di depanmu
lalu berjalanlah seleganya

Malang, 3 April 2016

Pernah Dimuat di Koran “Harian Ekspres” Malaysia 17 April 2016


Menyatu di Penghujung Musim

bertaruh sepenuh kalbu
tualang ke laut sanubarimu
yang genggam ribuan gelombang
lalu aku taklukkan
segala yang menghantam dan temukan binar
pada seutas kornea mata
antar bahasa kalbuku
ini hari tiba di pulau bahagia
tabur aster mekar di cakrawala hatimu
di sana kuurai tabir
antara kau-aku
menyatu di penghujung musim

Malang, 2016


Berjalan di Negeri Awan

aku berjalan di negeri awan
membaca segala aksara
tentang cita
yang telah rapi tertulis
di lembar benak
lalu perlahan menaikkannya
pada lapisan tertinggi
di langit ke tujuh 
menggantungkannya lekat-lekat
dalam pekat hati mesti terikat
hingga saatnya tiba
kecup manisnya buah cita-cita

Malang, 24 Maret 2016


Mengakrabi Yogyakarta

mengakrabi Yogyakarta
tetabuhan gendang menyalamiku
didekap mesra alunan musik angklung

mengakrabi Yogyakarta
memburu eksotis batik bercorak
nikmati lenggak-lenggok becak bergerak

mengakrabi Yogyakarta
arungi santun pribumi
jelajahi pesona Malioboro
sembari mengulum
segala rasa bakpia

MalangYogyakarta 2016


Daun Kenang

melempar selembar daun kenang
yang dulu bertunas di sebuah pot hati
meniduri air mata yang beranak pinak
pedih dan sedih berpeluk

ini hari saatnya mengubur hikayat cintamu
menyematkan optimisku
yang sempat mengering
dan terjatuh
menerima nyata
melepasmu dan seluruh kenangan
tentangmu

Malang, 25 Februari 2016

Profil Penulis

Nida Anisatus Sholihah, S.Pd. lahir di Malang, 18 Agustus 1986. Alumnus Jurusan Sastra Jerman Universitas Negeri Malang (UM) dan Staf MPIKA UM. Puisi-puisinya dimuat di media dalam maupun luar negeri seperti, Harian Ekspres Malaysia, Malang Post, dan Radar Malang. Juga dimuat dalam berbagai Buku Antologi Bersama Puisi Tingkat Nasional, diantaranya Membaca Kartini (2016), Dialog dengan Bulan (2016) Arus Puisi Sungai (2016), dan Syair Nusantara (2016), Saat ini sedang memproses penerbitan Buku Antologi Tunggalnya.

Pada Maret 2016 menang dalam kompetisi puisi di Negeri Kertas. Pada November 2015 berkesempatan menjadi juri lomba baca puisi tingkat SMA se-Jawa-Bali dalam acara “Deutsche Tage” di UM.

Karya-karya jurnalistiknya terbit di Harian Kompas (November 2010), Harian Surya (Januari 2011, Mei 2011, 3 Juni, 15 Juni, 2 Juli, dan 18 Juli 2016), dan Majalah Komunikasi UM. Salah satu juara favorit dalam kompetisi penulisan artikel Internet Cerdas Nasional oleh Komunitas Internet Cerdas Indonesia (ICI) pada April—Juni 2012. Pada tahun 2014 mendapatkan juara lomba baca berita tingkat SMA dan Mahasiswa se-Malang Raya. Saat ini membimbing mahasiswa UM dalam merajut karya jurnalistik dan karya sastra di Majalah Komunikasi UM.

Berminat membaca puisi-puisi lainnya dalam Buku Fragmen Cinta? Silakan membacanya langsung. Pembelian buku bisa melalui nomor: 085646503507 atau Pos-el: nida.dedy1986@gmai.com.

Wednesday, January 30, 2019

Ajakan Menulis Cerpen dari Semarang, Memperkenalkan Kota Melalui Sastra



Sastra tidak sekadar karangan khayalan. Bahkan, kefiksian dalam cerita yang dibangun dengan daya pikir untuk membayangkan atau yang disebut imajinasi haruslah berdasarkan realitas indrawi. Tanpa dasar yang kuat, maka menjadilah cerita suram. Sebut saja misalnya (hanya dalam pengandaian) bahwa Indonesia merupakan salah satu provinsi di Rusia. Apa masuk akal? Tentu orang waras akan menyangkalnya secara alami, meski tidak dia katakan, baik secara lisan, maupun tulisan.

CERPEN. Salah satu genre sastra yang satu ini umumnya kentara dalam menampilkan latar tempat seperti itu. Dan, sah-sah saja jika melalui cerita pendek, pengarangnya memperkenalkan latar tempat tertentu kepada masyarakat luas. Nah, masih di awal tahun ini, ada berita menggembirakan datang dari Semarang. Seperti terlansir dalam brosur di akun Facebook pribadi Sulis Bambang, menyambut ulang tahun ke-3 Bengkel Sastra Taman Maluku, mereka mengajak sahabat pencinta sastra menulis cerpen dengan mengambil lokasi seputar Kota Semarang. Lokasi dalam cerita benar-benar nyata ada pada waktu ini.

Mengenai syarat-syaratnya, berdasarkan isi brosur tersebut, dapat Anda baca di bawah ini. 
  1. Peserta masyarakat umum (pelajar, mahasiswa, dan umum).
  2. Lokasi harus ada di Kota Semarang dengan detail, Tema bebas.  
  3. Berbahasa Indonesia.
  4. Huruf Calibri, ukuran 12, spasi 1
  5. Jumlah kata: 2.500—4000                                      
  6. Naskah dikirim ke hemophilia_smg@yahoo.com
  7. Dead line: 15 Maret 2019
  8. Pengumuman: 30 April 2019 

Keputusan kurator tidak dapat diganggu gugat. Untuk lebih memastikan tentang hal-hal  yang  belum jelas, alangkah baiknya ditanyakan langsung ke pihak panitinya melalui email yang tercantum di brosur. Selamat berjuang!

Tuesday, January 29, 2019

UPACARA YANG NIKMAT, INDAH, DAN MENCERDASKAN


oleh Tirto Suwondo

Kita harus percaya, sastra tidak hanya sekadar rentetan kata kosong belaka, tetapi lebih daripada itu, sastra mampu memberikan kenikmatan (batin), membangun keindahan (hidup), juga menambah kecerdasan (otak). Di tangan orang biasa, kata-kata (bahasa) boleh jadi hanya sekadar piranti komunikasi biasa, tetapi tak demikian di tangan pengarang. Oleh pengarang, kata-kata (bahasa) telah dipilih, dikemas, dan diberi kekuatan yang luar biasa sehingga kata-kata (di dalam sastra) itu mencerminkan sesuatu yang memiliki empat sifat—angin, air, api, dan tanah—yang tak seorang pun pernah lepas darinya. Baiklah, barangkali itu hanya teori. Sekarang, mari kita coba buktikan. Dan untuk membuktikan, bacalah novel Upacara karya Korrie Layun Rampan. Kalau kita membaca novel Upacara itu secara utuh dan seksama, segera kita akan menangkap beberapa hal.

Pertama, cobalah kita telusuri lebih dahulu kisah hidup tokohnya. Tokoh ‘aku’ dalam novel ini digambarkan hidup di sebuah masyarakat—Suku Benuaq, Dayak—di  pedalaman Kalimantan; dan masyarakat itu masih menjunjung tinggi tradisi budaya setempat yang terwujud dalam bentuk upacara-upacara (kebaktian/religi). Setidaknya ada empat upacara besar yang dilukiskan dalam novel ini, yakni balian (upacara yang dilakukan oleh dukun dalam hubungannya dengan nasuq juus atau pencarian jiwa yang hilang); kewangkey (uapacara penguburan tulang-belulang manusia); nalin taun (pesta tahunan yang berupa upacara persembahan kepada para dewa untuk menghindarkan kampung dari dosa dan malapetaka); dan pelulung (upacara perkawinan).

Selain itu, masih ada beberapa upacara kecil-kecil, di antaranya ompong (upacara adat atau gengsi), senteau (mencari sebab-musabab penyakit), ngejakat (belian awal, penyembuhan penykit ringan), tempong pusong (saat pusar bayi tanggal); dan lain sebagainya (kalau disebut satu per satu, ada puluhan lagi yang berhubungan dengan manusia, pembangunan rumah, perladangan, seni-budaya, hutan alam, dan lain-lain). Dan setiap diselenggarakan upacara, pengarang melukiskan secara detail/meyakinkan, sehingga kita (pembaca) larut ke dalamnya dan sampai pada sebuah anggapan bahwa upacara merupakan bagian dari kehidupan nyata dari kebaktian yang tak dapat dihindarkan dari kehidupan masyarakat saat  itu (Benuaq, Dayak). Dan dalam kaitan ini, karena si aku lahir dan besar di masyarakat tersebut, mau tidak mau, ia harus menerima sebagaimana adanya. Maka, ia pun tak kuasa menolak setiap diselenggarakan upacara baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keperluan (orang) lain.

Akan tetapi, ketika ia dewasa dan telah mengenal cinta, yang bukan suatu kebetulan dibarengi oleh perkembangan zaman, lebih-lebih ketika orang-orang luar (Barat) mulai berdatangan dengan membawa misi yang dilandasi pikiran modern dan rasional, dalam diri si aku pun berubah. Sehingga ia mulai bertanya, apa yang dinamakan kehidupan itu harus dilalui dengan upacara? Atau memang hidup itu upacara? Lalu apa tujuan hidup itu? Dan di tengah berbagai upacara itu, bagaimana sesungguhnya Tuhan yang mahaesa seperti yang sering dikatakan oleh orang Barat (Tuan Smith)?

Berangkat dari sekian banyak pertanyaan itulah pikiran si aku kemudian goyah, bingung, dan bahkan menyangsikan keberadaan/kebenaran upacara-upacara tersebut. Kesangsian itu pula yang membuat ia kemudian tak percaya bahwa balian (dukun) yang mengatakan bahwa gadis-gadis yang dicintai si aku dan hendak diperistri (Waning, Rie) akan selalu mati muda akibat terkena kutukan. Itulah sebabnya, di akhir cerita, si aku kemudian memiliki keyakinan penuh, bahwa tak seorang pun bisa meramalkan kematian seseorang—kecuali Tuhan Yang Mahaesa—sehingga  ia berani menikahi Ifing, adik Waning. Si aku berpikir bahwa ia akan hidup bahagia sampai tua bersama Ifing istrinya dan tidak lagi takut pada ramalan balian.

Nah, dengan menelusuri sejarah hidup dan lukisan pengalaman batin si aku tatkala menyaksikan sekaligus menjalani berbagai macam upacara itu, diakui atau tidak, kita merasa mendapatkan kenikmatan tertentu. Kenikmatan itu timbul tidak hanya karena dalam batin kita juga muncul sekian banyak pertanyaan seperti yang ada di dalam pikiran si aku, tetapi juga seolah kita dibawa serta menghayati alam pikiran dan kehidupan orang Benuaq (Dayak), bahkan seakan kita sendiri merasa terjun ke dalam dunia gaib mereka, ke dalam kosmos dan kepercayaan mereka. Kita tak dapat membayangkan—ini akan menimbulkan kenikmatan tertentu—bagaimana seandainya kita adalah si aku dan bagaimana menghadapi upacara-upacara itu? Nah, lintasan dan kenyataan itulah, yang, dalam tataran tertentu, membawa kita pada suatu suasana yang menikmatkan. Dan kenikmatan serupa juga akan kita rasakan tatkala kita mengandaikan diri sebagai si aku yang ‘dipermainkan’ nasib dalam bertualang cinta.

Kedua, ketika kita mengikuti alur petualangan cinta si aku, mulai dari kisah asmaranya dengan Waning sampai pernikahannya dengan Ifing, hidup kita juga terasa  lebih indah seindah kehidupan si aku dan Ifing. Hal itu terasa ketika kita menyaksikan di akhir cerita si aku berhasil meyakinkan diri bahwa tiada seorang pun yang bisa menentukan nasib/takdir seseorang kecuali Tuhan Yang Mahaesa. Keyakinan diri si aku itu—sehingga ia berani memutuskan menikahi Ifing—tidak lain adalah suatu kemenangan, dan kemenangan si aku melawan mitos dan ramalan balian tentang “siapa pun gadis yang dinikahi si aku akan mati muda” adalah suatu keindahan, sementara keindahan hidup si aku bersama Ifing adalah keindahan hidup kita juga. Jadi, keyakinan dan kemenangan si aku menjadi cermin yang meyakinkan kita bahwa di dalam kehidupan ini  kita diharapkan tidak berpaling ke yang lain kecuali kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Memang, kalau kita hanya membaca dan meresapi kisah kehidupan si aku di akhir cerita, pernikahan si aku dengan Ifing belum bisa menjadi cermin keindahan  hidup sebuah keluarga. Sebab pernikahan semacam itu hanyalah merupakan peristiwa biasa sebagaimana pernikahan pada umumnya. Barulah pernikahan itu menjadi tidak biasa, menjadi istimewa, dan terasa lebih indah, karena dibumbui oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Kehidupan si aku dan Ifing tidaklah indah tanpa adanya kisah tentang ketidakmengertian si aku mengapa Waning, gadis yang pertama dicintainya, harus meninggal di mulut buaya. Pernikahan si aku dengan Ifing juga takkan terasa indah jika tidak diawali dengan peristiwa mengapa Rie harus mati di air terjun yang menurut balian memang dikehendaki Dewa Air. Jadi, kalau kita cermati benang merahnya, peristiwa demi peristiwa yang terjadi sebelumnya menjadi semacam suspense dan foreshadowing sehingga bersatunya si aku dan Ifing ke dalam suatu ikatan keluarga terasa melegakan dan membahagiakan; dengan begitu terasa lebih indah.

Ketiga, itu tadi satu sisi tentang kisah kehidupan tokoh. Sekarang, mari kita lihat apa yang muncul di balik kata-kata (bahasa) ciptaan pengarang. Karena kata-kata  (bahasa) adalah simbol, dan simbol adalah cara penyampaian sesuatu untuk maksud lain, tentu saja di balik novel ini juga ada maksud lain. Dan, setelah menikmati dan menghayati novel ini, satu hal yang segera kita tangkap adalah bahwa pengarang ingin membongkar mitos. Agaknya Korrie ingin membuka mata masyarakat, bahwa mitos—berbagai macam upacara yang dilakukan sejak manusia lahir, remaja, dewasa, menikah, sampai mati—itu tidak layak lagi untuk dijadikan pegangan hidup dan hanya merupakan pemborosan belaka. Jadi, yang layak dikerjakan demi hidup dan kehidupan hanyalah tindakan rasional dan akal sehat. Selain itu, Korrie juga ingin menunjukkan kepada masyarakat (pembaca) bahwa manusia itu ciptaan Tuhan Yang Mahaesa sehingga ia mau tak mau harus dan hanya boleh berpaling pada-Nya. Lebih dari itu, dalam novel ini Korrie secara implisit juga melakukan protes atas dampak modernisasi dan dehumanisasi. Hal ini ia lakukan karena saat itu banyak terjadi malapetaka akibat orang-oprang Barat (pendatang) suka mempermainkan gadis-gadis Dayak di samping merusak (menggunduli) hutan.

Itulah, antara lain, sisi tertentu yang mencerdaskan (otak) kita dari karya sastra, tak terkecuali dari novel Upacara. Dan contoh ini hanya sebagian kecil saja, sebab sisi-sisi lain yang menderaskan otak itu masih banyak. Taruhlah misalnya pilihan kata-katanya yang diambil dari bahasa daerah (Dayak). Melalui kata-kata bahasa daerah itu—misalnya, anan la lumut ‘perjalanan ke surga’, lamin ‘rumah panjang suku Dayak’, selolo ‘sobekan daun pisang sebagai sarana perdukunan’, burey ‘pupur yang dibuat dari tepung beras’, dan sebagainya—kita akan memperoleh banyak pengetahuan tentang kebudayaan Dayak di Kalimantan. Karena itu, membaca novel ini berarti sekaligus belajar tentang etnologi budaya Dayak, seperti halnya kita belajar kebudayaan Jawa dari novel Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari atau Para Priyayi Umar Kayam; atau belajar kebudayaan Minang dari karya Wisran Hadi dan Darman Moenir; atau belajar kebudayaan Bali dari karya Oka Rusmini.

Demikianlah, ulasan sepintas—yang nikmat, indah, dan mencerdaskan—atas novel pertama karya Korrie Layun Rampan yang pernah memenangkan sayembara penulisan novel DKJ 1976. Kalau dilihat estetika strukturnya, memang novel ini tidak begitu istimewa, lebih-lebih segi alur dan sistem pengalurannya. Hanya saja, yang membuat novel ini menarik adalah aspek lokalitasnya pada awal 1970-an memang merupakan sesuatu yang baru dalam kancah sastra Indonesia. Selain itu, yang lebih menarik lagi, dalam novel ini Korrie mampu menghindar dari kecenderungan untuk menciptakan karya kitsch.

Hal tersebut terlihat pada usahanya mengakhiri cerita. Di akhir cerita, Korrie mampu menjaga keseimbangan untuk tidak secara frontal menolak mitos. Dan itu agaknya merupakan suatu kesengajaan agar tidak dianggap sebagai ‘pengkhianat’ terhadap kepercayaan dan tradisi budaya daerah suku itu (Benuaq). Buktinya, di akhir ia tidak mengemukakan apakah perkawinan si aku dan Ifing langgeng sampai tua atau tidak. Dan langgeng atau tidak perkawinan mereka, Korrie menyerahkan sepenuhnya pada tafsiran pembaca. Sebab, kalau mereka digambarkan langgeng sampai tua, misalnya, berarti niat Korrie membongkar mitos terlalu kentara (eksplisit); dan tentu saja ini tak bagus bagi sastra yang bermain di dunia simbol.(*)   

Catatan:
1). Tulisan ini dikutip dari majalah Horison No. 11, Th. XLII, November 2007, “Kakilangit”, 131/November 2007, hlm. 7-8.
2). Tirto Suwondo, sastrawan, peneliti, esais, Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Ia telah menulis sejumlah buku berupa hasil kajian, kritik dastra, esai, dan cerita anak-anak.

TERPERANGKAP, Sebuah Cerpen Korrie Layun Rampan dalam Nyanyian Lara



   
“Tak ada lagi yang ketinggalan?” Tamin menatap Tamah yang sedang memindahkan barang-barang belanjaan dari kantung kecil ke kantung yang lebih besar. “Termasuk gincu dan penebal alis?”
   
Tamah tertawa dalam deru bus antarkota.
   
“Sepatu bootmu saja ada, Min. Bahkan jarum dan obat luka.”
   
Mereka tertawa bersama.
   
Bus melaju dengan kencang. Kadang gerakan bus seperti disentak, kadang tak tersangka menyalip ke bagian yang lapang dari kendaraan lainnya. Meskipun berada di jalan yang mulus, bus melaju dalam kondisi yang tak begitu nyaman. Kadang zig-zag.
   
“Barang-barang yang tak dibutuhkan segera nanti dipak saja,” Tamin menunjuk tumpukan tas plastik. “Waktu kita sangat singkat, Mah,” lanjut lelaki muda itu kepada perempuan muda di sampingnya. “Jangan nanti malah merepotkan kita.”
   
“Merepotkan apa?” Tamah memegang lengan Tamin. “Bukankah apa yang kita belanjain sesuai dengan catatan kebutuhan?”
   
“Maksudku, barang yang kita butuhkan di sini kita sendirikan, sedangkan yang kita perlukan nanti di sana kita sisihkan.”

Mobil terus menderu di jalan bebas hambatan.

“Memang begitu, Tuan,” Tamah berkata sambil tertawa. “Katamu apa yang kurang bisa kita beli di Banjarmasin atau Palangkaraya.”

“Benar, Nya,” Tamin juga tertawa. Ia merasa sungguh senang berdampingan dengan Tamah, gadis yang diidamkannya karena cepat sekali menyesuaikan diri. Meskipun baru setahun berkenalan di Jakarta, Tamah mantap di hati Tamin. Ia kemudian segera melamar, setelah berdua sama sepakat membina rumah tangga. “Tamah memang guru terpuji,” Tamin melanjutkan.

“Insinyur muda jangan terlalu menyanjung,” Tamah senyum di kulum. “Bisa pingsan yang dikatakan.”

Tamin juga tersenyum. Hatinya berbunga menghadapi hari-hari sibuk padat kerja. Telah ia dapatkan izin pernikahan, dan selanjutnya surat berhenti berikut referensi. Ia telah memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dengan keyakinan bahwa pilihannya tidak keliru. Seperti juga pilihannya pada Tamah. Gadis itu lebih mudah, karena kerjanya sebagai guru tak usah berhenti sebab dapat mutasi. Di tempat yang baru ia bisa mengajar di SD sampai SMU atau SMK. Sebagai lulusan jurusan pendidikan, tenaga dan waktunya yang mungkin tak cukup dan kemudian menjadi lelah untuk mengisi ruang-ruang sekolah di daerah.

Tamin merasa lebih berdebar karena dipercaya ikut membuka lahan sejuta hektar.

“Proyek ini membutuhkan sejumlah motivator,” ia ingat percakapannya dengan wakil pemda. “Karena itu kami sangat berbahagia kalau yang ikut serta ada yang sarjana.”

Tamin memang sarjana pertanian.

“Tapi aku kekurangan pengalaman lapangan,” ia berkata dengan jujur. “Empat tahun kuliah dan kemudian bekerja kantoran di Jakarta. Namun aku ingin sekali menerapkan ilmu yang kudapatkan di bangku sekolah.”

“Pengalaman akan menyertai di dalam kepanjangan waktu,” wakil pemda itu melihat kesungguhan di mata Tamin. “Asal ada kemauan, jalan pasti terbuka.”

Ia memang telah dengar anjangsana pemda tentang proyek raksasa di hutan belantara. Ia dengar juga cuapan propaganda pencarian tenaga petani untuk lahan pencetakan sawah baru. Bahkan ia juga membaca berita bahwa pihak transmigrasi telah mendapatkan dana enam miliar  untuk menyiapkan pemukiman para transmigran. Namun sebenarnya Tamin sudah lama ingin melakukan sesuatu yang berarti bukan hanya untuk dirinya sendiri, terutama ia tertarik pada bidang penelitian. Kawasan pencetakan sawah baru diketahuinya sebagai kawasan tanah bergambut. Bukankah tanah seperti itu merupakan objek yang baik sekali untuk diteliti?

“Jika Anda mau,” ia juga ingat kata-kata wakil pemda, “Anda harus berangkat berdua.”

“Berdua? Dengan siapa?”

“Dengan istri.”

“Istri?”

“Anda belum beristri?”

“Belum.”

“Itu syarat kami,” wakil pemda itu menekankan soal syarat. “Tapi ‘kan syarat yang ringan,” sang wakil tersenyum sendiri. “Masa sarjana akan kewalahan mencari pendamping diri?”

Ia tersenyum dalam hati. Bukankah Tamah telah siap menjadi istri? Ia memang belum dibicarakan secara serius kapan waktu mereka meresmikan hubungan setelah setahun pacaran. Namun dari pembicaraan selintasan Tamah justru ingin segera resmi sebagai suami istri.

“Persiapan memang ada,” ia berkata jujur, “tapi waktunya belum ditetapkan.”

“Tetapkan saja secepatnya,” sang wakil ikut senang. “Kami selalu menanti kabar gembira.”

Baru sebulan yang lalu pertemuan itu terjadi. Kini Tamin bersama Tamah telah sepakat untuk tidak lagi menunda pernikahan setelah lamaran disampaikan. Adik Tamah menjemput dari Sukabumi, dan tiga hari lagi ijab kabul berikut resepsi diselenggarakan.

“Kami akan tempatkan Anda berdua sebagai transmigran umum berbantuan,” Tamin ingat ucapan pejabat teras di kantor transmigrasi kemarin. “Keinginan menjadi transmigran dari kalangan sarjana kami dukung sepenuhnya,” lanjut pejabat itu.

Tamin sebenarnya hampir tertawa. Kisah dirinya mirip sebuah pamflet propaganda.

“Bahkan,” lanjut pejabat teras itu, “jika Anda berdua ingin cepat, kami bisa usahakan membantu penerbangan ke Banjarmasin atau Palangkaraya, sebelum menuju kawasan lahan.”

Tamin ingat ia hanya mengangguk saja. Ia sebenarnya tidak ingin diistimewakan. Bahkan ia ingin berangkat bersama keluarga transmigran yang benar-benar berasal dari desa. Bukankah nanti ia akan menjadi motivator mereka? Mengapa ia harus tidak berada di dalam rombongan bersama?

Ia pun mendaftar waktu keberangkatan.

“Tapi ia harus bersama istri,” pejabat itu mengerling kepada Tamah. “Anda berdua belum menikah?”

“Baru akan,” Tamin mengedipkan mata pada Tamah. “Besok kami akan pulang ke Sukabumi untuk tujuan perkawinan.”

Urusan di kantor itu tak bertele-tele, karena semua surat yang dibutuhkan akan segera dilengkapkan. Kepastian waktu sudah diketahui, tinggal mereka menyelesaikan ijab-kabul dan resepsi di Sukabumi.

“Kok dari tadi tersenyum sendiri?” Tamah mengejutkan Tamin. “Sedang memikirkan pacar lama di Jakarta?”

“Memikirkan kita, Mah. Semua urusan seperti mimpi. Kok kita nekat meninggalkan pekerjaan yang sudah pasti untuk berangkat pada sesuatu yang belum pasti. Apa kau mampu hidup di hutan sawah baru. . .?”

“Jadi Tamin masih ragu?”

“Tidak!”

“Lalu. . .?”
                                                          ***

Bus terus melaju.

Tarmizi, adik Tamah, yang menjemput dari Sukabumi tampak sedang tertidur, mungkin kelelahan. Pemuda itu juga mengatakan ia tertarik ikut jika nanti sudah lulus universitas. “Hanya beratnya,” tadi ia berkata kepada Tamah, “mengapa harus menikah. Maksud Tarmizi, mengapa diharuskan mempunyai istri.”

“Agar tidak menciptakan kesulitan baru,” Tamah berkata sekenanya. “Coba kalau berbuat skandal di tempat baru? Siapa yang malu?”

“Tapi aku ingin sekali mengolah sawah, Mah,” Tarmizi seperti merengek. “Rasanya kaya raya karena disediakan dua hektar lahan. Siapa yang memberi tanah seluas itu di Sukabumi?”

“Tak ada, “ Tamah menjawab seperti orang tolol. “Hanya trasmigran yang disediakan. Itu untuk siapa yang mau datang memenuhi syarat yang ditetapkan. Jangan nanti sawah yang dicetak dijual lagi.”

Bus terguncang tetapi Tarmizi tampak nyenyak sekali.

Sementara di Sukabumi rumah Tamah sudah dihias dengan semarak. Aroma pengantin mengoar dari seluruh bilik dan ruang dalam hingga ke beranda. Hampir semua keluarga sudah hadir menanti kedatangan dari Jakarta. Perkawinan ini menjadi buah bibir karena memiliki keunikannya, sebab kedua mempelai akan segera hengkang ke tanah seberang. Kaum keluarga ingin berjumpa, sebab entah kapan bisa bertemu, jika Tamah dan Tamin sudah pergi dari Sukabumi. Undangan ribuan lembar sudah disebar dengan catatan bahwa kedua mempelai lebih suka menerima kado berupa uang daripada barang karena mereka akan segera pergi transmigrasi.

Bus berguncang lagi saat Tamah membayangkan dirinya menjadi guru di lahan sejuta hektar. Betapa banyaknya murid sekolah, betapa dirinya seperti wanita primadona di tengah tepuk sorak anak-anak yang bergembira menjelang panen tiba. Sementara Tamin lagi-lagi tersenyum sendiri saat terlintas dirinya sedang berdiam di sisi unggun api di tepi aliran pengairan luasan tanah sejuta hektar. Ia berdua Tamah sedang memanggang ikan hasil tangkapan dari waduk raksasa yang dirancangnya untuk mengairi tanah sawah. Waduk, ikan, padi, palawija, sayur-mayur, dan buah-buahan yang mengenyangkan Indonesia raya terhampar di pelupuk mata.

Alangkah membahagiakan.

Bus berguncang lagi Tamah merasa ada benturan yang keras sekali. Tamin memegang Tamah yang limbung dan Tarmizi ambruk bersama sejumlah tas plastik belanjaan. Beberapa penumpang bahkan seperti terbang jatuh dari jok menggelosor ke bawah. Beberapa orang anak berteriak dan menangis, sejumlah wanita berseru nama ibu, dan sejumlah penumpang lelaki istiqfar menyebut asma Allah.

Cepat sekali kejadiannya, seperti sebuah mimpi neraka. Tak seorang pun penumpang memperhatikan saat bus menyalip dari kanan ke kiri lalu melaju di bahu jalan. Ternyata di bahu jalan tol itu berjajar tiga kendaraan sedang berhenti untuk mendinginkan mesin yang panas.

Jam nahas dalam benturan yang keras menyulutkan api dari mobil yang nyangsang di moncong bus antarkota. Kebakaran terjadi dengan cepat dalam bus yang tertutup rapat. Puluhan penumpang terpanggang hidup-hidup tanpa dapat meloloskan diri. Pintu hidroliknya ngadat? Mengapa tak ada pintu darurat? Sopirnya teler? Mabuk ecstasy?

Petugas jalan raya yang membantu tak mampu segera memadamkan api yang mengojah langit. Saat televisi menayangkan kejadian mengenaskan itu, kengerian mengetuk hati-nurani. Sejumlah mayat tumpang tindih di depan pintu legam terbakar seperti arang. Sejumlah pamirsa istigfar dengan hati trenyuh. “Dosa siapa hingga muncul cobaan begini? Dosa apa gerangan hingga cobaan bertubi-tubi?” Sementara di Sukabumi ayah ibu Tamah dan Tamin sama saling berdoa, “Dijauhkan Allah kiranya bencana pada anak-anak kami.” Para petugas lahan sejuta hektar juga melihat peristiwa itu di televisi dan mereka ikut sedih. “Untung di sini tak ada jalan tol?” seorang petugas berkata kepada rekannya. Dari semua pemirsa itu tak ada yang tahu, siapa saja penumpang bus nahas tersebut.

Di Sukabumi keluarga Tamah dan Tamin dan Tarmizi terus menanti. Saat petugas mengevakuasi para korban dilakukan visum, roh Tamah dan Tamin dan Tarmizi naik ke keabadian.

“Kok kita tak jadi ke lahan sejuta hektar?” suara Tamah gemetar. “Lagi, Tarmizi ikut serta? ‘Kan ia belum menikah. Tak boleh ‘kan ikut transmigrasi?”

“Kita juga belum sempat menikah, Mah. Kapan kita bisa jadi transmigran?” Tamin memandang ke wajah Tamah.

Tarmizi tak bereaksi. Sementara mereka terus melayang seperti kapas kering dalam tiupan angin siang yang panas.

Jakarta, 1 April 1996
(Kado untuk Mas Iman Budhi Santosa)



Ada Apa Antara Jalan Umum dan Bahasa Indonesia?





Satu hal yang tak bisa kita pungkiri bahwa manusia normal tidak dapat langsung berjalan tanpa proses belajar.  Orang menyebutnya belajar berjalan.

Seorang anak mengalami proses itu secara bertahap hingga ia mampu berjalan dengan menggunakan kedua kakinya. Begitu pula dengan kemampuan berbahasa seseorang  yang didapat dari satu tahap ke tahap berikutnya hingga ia mampu berbahasa dengan lancar. Dan, di negara kita ada ratusan bahasa daerah dengan satu bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.

Lalu, apa yang terpikir di benak Anda dengan fenomena bahasa di Indonesia ini?

Secara mudahnya begini. Kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang di daerah kita sendiri dengan menggunakan bahasa daerah (kita). Di daerah Jawa dengan  bahasa Jawa, di Kalimantan Tengah dengan bahasa Ngaju, dan lainnya. Akan tetapi, pernahkah kita renungkan sebuah kenyataan bahwa bahasa daerah tersebut tidak dapat kita gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di luar daerah kita?

Tentu saja kenyataan tersebut mengandung sebuah pengertian bahwa kita sebenarnya memerlukan sarana penghubung yang dapat kita gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di luar daerah kita tersebut. Tidak lain sarana penghubung itu adalah bahasa Indonesia.

Nah, kembali kepada masalah berjalan kaki di atas, ketika seorang anak sudah mampu berjalan kaki tentu ia juga memerlukan sarana penghubung yang dapat digunakan untuk menuju satu tempat dan ke tempat lainya lagi. Sarana penghubung yang satu ini sudah sangat akrab dengan kita dan kita sebut dengan kata jalan.

Dengan kata lain, kita sangat memerlukan jalan umum untuk dapat menuju tempat-tempat yang kita inginkan dengan cepat. Sebenarnya bukan perkara berjalan kaki saja yang berhubungan dengan sarana penghubung yang satu ini. Dengan adanya alat transportasi yang dapat kita gunakan seperti sepeda motor dan mobil, sarana penghubung yang kita butuhkan haruslah jalan beraspal mulus.

Akan tetapi, mengenai sarana penghubung, baik jalan umum maupun bahasa Indonesia masih ada masalah. Masalah pada jalan umum tentunya kerusakan yang terjadi pada badan jalan itu sendiri di beberapa daerah. Bahkan, ada jalan penghubung antardesa yang belum beraspal dan rusak parah. Tentu ini sangat memprihatinkan. Kenyataan ini tentunya mengakibatkan kurang lancarnya arus lalu lintas di masyarakat.

Sementara masalah utama pada bahasa Indonesia lebih kepada realitas di lapangan bahwa bahasa Indonesia belum “membumi” secara keseluruhan di negara kita. Artinya, belum semua orang republik ini bisa berbahasa Indonesia. Ini biasanya terdapat di daerah-daerah sangat terpencil. Selain itu, masalah lainnya semisal  adanya pemakaian bahasa asing dalam kalimat bahasa Indonesia secara tidak tepat. Juga, masalah-masalah lainnya.


Kita berharap, jalan umum (beraspal mulus) dan bahasa Indonesia yang keduanya merupakan sarana penghubung bagi masyarakat dalam keadaan baik. Hal ini guna kelancaran arus lalu lintas dan komunikasi di negara kita.  

Monday, January 28, 2019

Surga yang Hilang, Sebuah Novel Karya Sus S. Hardjono



Kakekku dulu seorang waker atau pegawai pabrik tebu pada masa Belanda. Atasannya adalah sinder, pengawas tanaman tebu, pabrik yang sangat disegani di kotaku. Hampir setiap bulan mendapat jatah gula pasir. Gula pasir di rumah Eyang hampir tidak pernah towong, karena Eyang tiap bulan selain mendapat gaji sebagai waker, juga mendapat jatah gula dari pabrik.

Tanaman tebu pada masa itu dilakukan secara intensif, dengan sistem pengairan yang sangat baik karena dijaga sinder. Biasanya pabrik gula menyewa lahan milik masyarakat untuk menanam tebu yang usianya sekitar 18 bulan.

Varietas tebu yang ditanam pun adalah varietas unggul dalam pengertian masa itu, yaitu ruas tebu besar, banyak air tebunya, dan berasa sangat manis. Ternyata sifat banyak air tebunya dan berasa sangat manis ini menjadi magnet bagi anak-anak seusia aku untuk “mencuri” tebu. .

Ada hukum tidak tertulis bagi anak-anak kecil macam aku ini, yaitu boleh makan tebu sekenyangnya asal di dalam kebun tebu. Dan sama sekali tidak boleh membawa batangan tebu keluar dari kebun tebu. Jika itu yang dilakukan, maka anak-anak kecil akan dikejar oleh penjaga tanaman tebu.

Di kotaku ada pabrik gulanya namanya PG Mojo berada di tengah kota dan yang membangun dulu pemerintahan Belanda. Setiap musim giling, mulai giling tebu diadakan upacara ruwatan mantenan tebu yang kemudian dikenal dengan perayaan Cembrengan (Cembengan)….

Jika Anda telah membaca penggalan cerita di atas, mungkin ada rasa ingin berada di dalamnya. Menikmati indahnya kebun tebu, juga merasakan manisnya air yang keluar dari batang-batang beruas itu. Dan yang tak ketinggalan, kita dapat memperoleh hasil olahannya yang berkualitas, yakni gula lokal dari varietas tebu unggul tanpa harus mengimpornya.

Bahkan, agaknya ada harapan bersama pada masa datang kebutuhan gula dalam negeri terpenuhi dari hasil tanah sendiri. Tapi, akankah petani tebu dan masyarakat Indonesia akan jauh lebih mandiri dan sejahtera (tidak hanya sebatas gula, tapi kebutuhan lainnya) daripada yang digambarkan dalam novel Sus S. Hardjono tersebut?

Sus S. Hardjono berhasil menyajikan novel keduanya ini dengan baik. Ia menyebutnya dengan novel lirik. Sebuah novel yang apik dan memotret kehidupan secara apa adanya. Sebelumnya ia juga menulis novel Sekar Jagat dan masih merampungkan calon novel ketiganya, yakni Pengakuan Mendut.

Penulis kelahiran  5 November l969 di Sragen itu sudah aktif menulis sejak tahun 1990-an. Bukan hanya novel yang ditulisnya, tetapi ia juga menulis puisi, cerpen, dan geguritan. Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media massa yang terbit di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Nah, bagi pembaca yang berminat membaca keseluruhan isi novel Surga yang Hilang, silakan menghubungi penulisnya melalui akun facebook Sus S. Hardjono.


Sunday, January 27, 2019

Bagian Awal Lelaki dan Tangkai Sapu, Puisi Panjang Iyut Fitra


  
“Iyut Fitra melalui puisi panjang ini mengisahkan betapa perantauan hanyalah sebuah kesia-sian.”

Demikianlah yang ditulis Ivan Adilla, seorang pengajar di Universitas Andalas, dalam prolog buku Lelaki dan Tangkai Sapu.

Mungkin perkataan “puisi panjang” jika dikaitkan dengan sebuah buku puisi terkesan kurang familier bagi sebagian orang. Hal ini dapat dimaklumi mengingat perkataan itu mengandung makna hanya ada satu buah puisi dalam satu buku. Sedang lazimnya buku puisi (baca: antologi puisi) terdiri atas lebih daripada satu buah puisi. Bisa 25 puisi, 35, atau bisa ratusan. Bahkan, ada yang mencapai angka seribu puisi.  

Akan tetapi, hal itu akan terjawab kalau mau memperhatikan buku ini dari A—Z. Lelaki dan Tangkai Sapu sebenarnya bisa dikatakan sebagai antologi puisi Iyut Fitra yang sebagian besar pernah dimuat di media-media massa cetak. Sebut saja puisi Buang Pantang yang dimuat di Lombok Post pada 6 November 2016 dan Di Kalang Lengan dimuat Kompas pada 8 Oktober 2016. Namun, kemudian puisi-puisinya tersebut dikumpulkan dan sekaligus dijadikan sebuah puisi panjang dalam wujud buku. Lalu diberi judul baru, yakni Lelaki dan Tangkai Sapu.

Lantas, bagaimana dengan judul-judul aslinya? Jawabnya, diganti dengan angka-angka romawi. Misalnya puisi Buang Pantang menjadi I dan Di Kalang Lengan diganti II, begitu seterusnya hingga XLI yang kesemuanya merupakan bagian-bagian dari sebuah puisi panjang.

Begitulah cara Iyut Fitra—pria yang lahir di Payakumbuh 16 Februari tersebut—dalam membukukan sebagian puisi-puisinya. Nah, di bawah ini adalah bagian awal Lelaki dan Tangkai Sapu. Silakan dibaca, diapresiasi, atau mungkin diinterpetasikan. Selamat membaca!

I

tangislah kata pertamanya
ketika matahari merangkak setengah. seperduanya lenggang menuju petang
ia dengar lafaz kelahiran dari muncung waktu
“jadilah kau jantan yang akan melangkahi tangkai sapu!”
dan jalan-jalan kecil sepanjang ranah. dua tiga kelokan juga lembah
orang-orang himbaukan perihal kehidupan. asal mula kedatangan
lalu musim mengalir
cuaca tukar-tukaran
segala setia terhadap bayang-bayang
maka tiba masa tepian memanggil. sungai kecil tempat mengail
orang-orang berarak dengan dulang-dulang
batiah, sigi, tampang kelapa, dan apa saja segala
“mandilah kau. mandi berkusuk lada kecil lengkap
buang pantang seirama alir ke hilir!”
ramu-ramu disembur. mantra dan doa pun dihambur
tangis berikutnya menjalar ke pematang. mengalir tebing-tebing dan lurah
telah datang seorang jantan penghuni dusun. kelak akan ke surau
dan memuja pantu-pantun
telah datang seorang jantan di lingkar nagari. kelak akan pergi
setelah lepas kaji

ibu-ibu pulang
orang-orang pulang
tepian tak sempat mencatat nama-nama
sungai kecil lupa apa itu peristiwa
tangguk berisi tujuh batu
kelapa yang kemudian ditanam
selebihnya hanya waktu saling bersahutan

jantan yang telah lengkingkan kata petama
Ia lihat semua yang hanyut merasuki mimpi
menjadi petatah dan petitih. menjelma gulungan-gulungan pituah
alas pun diletakkan
serupa kepala nasi di simpang dan tikungan
suatu saat nanti akan dipahami. ia telah lahir
sebagai bujang kampung ini
merantau kehidupan


II

tidur kandung jangan merarau
lihatlah pukul sudah tengah malam
jika tersandung bujang rantau
ingatlah kampung juga halaman

dilesapkan ke tubuhnya kata demi kata
semenjak tepian ditinggalkan. sejak itu pula usia berjalan
lelaki yang beranjak umur
dari lapik ke kasur. dari dipan ke buaian
tak berhenti amanah disumbatkan. ibu yag tekun
menyusun lagu-lagu sepanjang malam. alif ba ta
abjad dan hitungan. siapa nanti yang membayar?
manakala orang-orang sibuk mengejar sorga
mencari-cari telapak kaki
sebelum menyerah pada tuhan
berlagu-lagu telah selesai. beragam pantun juga usai
malam runcing aur
“lelaplah kau anak bujang di kalang lengan. buaian tak membuat
waktu jadi singkat. esok matahari datang bercerita
tentang kota-kota. atau tangkai sapu
yang menunggu di balik pintu”
ada yang terasa ganjil
dingin turun membawa gigil
kata yang dilesapkan seolah iringan panjang
barisan orang-orang yang meninggalkan rumah gadang
menuju kerberangkatan

timang-timang
buaian rotan
tali berkain sarung
mimpi akan datang di ujung dendang
medengkurlah ia dalam pangkuan
jantan yang tengah menunggu matahari
lelap dalam dekapan  

Penasaran dan berminat dengan bagian-bagian lainnya? Silakan membacanya langsung di buku Lelaki dan Tangkai Sapu. Pembelian buku bisa melalui nomor 08126719131. Selanjutnya silakan menikmati, mengapresiasi, dan menginterpretasikannya.