Friday, December 27, 2019

Sastrawan Itu Dekil, Liar, Aneh, dan Miskin. Saya Tidak Suka.


Pernah suatu waktu saya mendapatkan informasi yang memperihatinkan. Betapa tidak? Para pendamping rombongan sastrawan menyatakan hal tak terduga. Mereka menyebut bahwa sastrawan bertingkah aneh yang sulit dimengerti.

Ada lagi yang menanyakan apakah si A adalah sastrawan liar? Kata liar dalam pertanyaan itu jelas membuktikan bahwa di masyarakat ada anggapan bahwa sastrawan itu liar. Entah apa alasannya.

Selebihnya, dari sisi penampilan. Dekil dan berambut gondrong seakan dijadikan ciri khas sastrawan oleh sebagian orang. Dan, hal paling menyedihkan ialah predikat miskin yang disematkan kepada sastrawan.

Lantas apakah semuanya benar? Sastrawan dekil? Liar? Berambut gondrong? Aneh? Dan miskin?

Siapa pun bisa jadi dekil jika yang bersangkutan tidak rajin membersihkan diri. Ya, bisa saya, Anda, atau lainnya. Tidak harus yang bersangkutan adalah sastrawan. Jadi, terpulang kepada pribadi masing-masing.

Liar? Agaknya ini juga seperti halnya dekil di atas. Berbeda ceritanya jika yang dimaksudkan itu terkait dengan pemikiran, mungkin lebih tepatnya luas, kritis, dan tajam. Secara sadar atau tidak, sebenarnya sastrawan merupakan cendekiawan yang berpikir luas, kritis, dan tajam terhadap persoalan dalam berbagai bidang kehidupan. Sebutlah politik, ekonomi, dan sosial kebudayaan.

Kemudian berambut gondrong. Ini terkait kaum lelakinya. Kata sastrawan memang dipahami oleh sebagian orang sebagai makhluk sastra berjenis kelamin laki-laki. Akan tetapi, secara umum, kaum Hawa yang bergelut di dunia sastra juga disebut sastrawan selain sastrawati. Nah, khusus yang dari kalangan kaum Adam, memang tak bisa dipungkiri bahwa sebagian sastrawan berambut gondrong.

Pertanyaannya, apakah pria dengan rambut gondrong dikategorikan sebuah kejahatan? Tentu jawabnya tidak. Selama tidak menyerupai perempuan, hal ini bukanlah bagian sisi gelap manusia.

Selanjutnya aneh dan miskin. Dua hal terakhir ini sepertinya yang umum dilihat masyarakat luas. Secara jujur, sastrawan terkadang memang terkesan aneh. Misalnya duduk berjam-jam di depan cermin sambil merenung untuk dapat melahirkan karya berkualitas. Bagi yang bersangkutan itu wajar. Untuk mendapatkan hakikat sesuatu memang perlu pemikiran yang dalam dan menyeluruh. Maka, dalam berpikir itu susah kalau sambil berlari, berjoget, atau jingkrak-jingkrak.

Mengenai miskin, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Orang yang berwawasan luas pastilah ia bukan termasuk miskin dalam hal pengetahuan. Sastrawan selalu menambah wawasan sebagaimana prinsip belajar dari buaian sampai ujung kehidupan. Jadi, apakah sastrawan miskin? Jawabnya tentu saja tidak.

Lantas, bagaimana jika ada orang tidak menyukai sastrawan? Itu hak mereka. Siapa pun tidak boleh melarang orang dalam kepemilikan hak individu.


0 comments: