Wednesday, December 18, 2019

Tak Perlu Tebang Batangnya, tapi Cukup Rusak Akarnya


Telah terjadi perdebatan antara suami istri di pinggiran sebuah kota. Sebutlah kota itu bernama A.

Inti masalah yang membelit keduanya adalah tentang mangifera odorata. Atau istilah kerennya adalah kuweni. Orang juga biasa menyebutnya dengan nama kuini.

Pohon berbuah manis itu tumbuh sangat subur di samping rumah mereka. Buahnya begitu lebat. Para tetangga yang melintasinya sering berkata, "Pohonnya subur sekali."

Terlebih lagi aroma buahnya yang sungguh menggoda lidah, membuat banyak orang ingin terus menikmatinya. Meski demikian, suatu hari yang dingin, sang suami mendapatkan ide baru. Sangat terbarukan saat itu dan tentunya ada di tempat tersebut.

Istrinya menolak keras ide ini. Alasannya sudah menjadi rahasia umum. Ya, sayang.

Benar, kata itu. Sayang.

Agaknya, bukan hanya ia yang berkata demikian saat mendengarkan ide yang sangat bertolak belakang dari kelaziman banyak orang di sana. Betapa tidak? Pohon kuweni yang sangat subur di halaman samping rumah mereka akan ditebang. Sungguh ide yang aneh, 'kan?

Dan, sang suami bersikeras untuk melakukannya. Melakukan penebangan itu. Sebabnya satu, ia hendak membuat jalan di area pohon tersebut. Di samping rumah mereka.

Maka, pria itu pun berpikir keras. Sehari, dua hari, hingga sebuah cara ia temukan. Bisa dibilang cara yang kejam. Dalam pikirannya, hanya ada satu cara agar istrinya setuju dengan idenya menebang pohon kuweni mereka.

Lalu, diam-diam ia menerapkan cara itu. Pertama-tama hanya akar-akar kecil dari pohon tersebut yang ia rusak. Kemudian, pada hari berikutnya, dengan cangkul yang sama, dirusaknya akar-akar yang lebih besar.

Perlahan tapi pasti, pohon kuweni yang semula sangat subur itu pun daun-daunnya menjadi layu dan akhirnya mati. Melihat kondisi yang demikian, akhirnya sang istri setuju untuk menebang pohon kesayangannya.

Kisah di atas sebenarnya tak berbeda dengan cara Datuk Maringgih mendapatkan Siti Nurbaya. Dalam novel itu, dengan tega, ia matikan bisnis ayah si gadis agar berutang kepadanya. Setelah sang ayah tak bisa membayar utang tersebut, maka jadilah Siti Nurbaya sebagai bayarannya. Tragis dan kejam.

Hal di atas bisa juga disamakan seperti teori menghancurkan sebuah apel tanpa harus diinjak. Yakni dengan cukup membuat buah itu busuk dari dalam.

Cara kejam Ini sungguh di luar nurani dan akal sehat. Orang normal tentulah lebih mengedepankan kepentingan bersama. Bukan hanya ego pribadi.

Tapi sayangnya, masih banyak yang lebih memilih cara yang merugikan pihak lain demi kepentingan diri sendiri.

Dan parahnya, hal kejam itu bukan hanya dilakukan seorang, dua orang, melainkan sebuah negara. Perhatikan saja berapa negara di dunia ini yang telah tega menjajah negara lain. Bahkan, sampai hari ini, penjajahan masih saja dilakukan.

Oh, sungguh sangat memilukan, 'kan?


0 comments: