Monday, October 19, 2020

Ada Hal-Hal Aneh yang Tidak Selaras dengan Napas Sastra Belakangan Ini, Benarkah?



Beberapa teman membahas tentang sastra yang berfokus pada realitas kekinian. Sebagian lainnya masih melanjutkan estafet ritual kesastraan yang jauh dari situasi dan kondisi nyata. Sedang sebagiannya lagi ada yang sekadar menunaikan tugas kantor yang bergerak di bidang ini, lalu menarik selimut tebal untuk beristirahat di atas kasur empuk dan nyaman. 

Entah mana yang benar, semuanya menjadi pertanggungjawaban masing-masing. Dan, berangkat dari tanggung jawab itulah, ada temuan-temuan aneh seputar sastra. 

Apa sajakah itu?

Memandang sastra kekinian, agaknya terlalu susah melepaskan diri dari dunia digital. Begitu banyak platform bertebaran di sekitar kita. Lihatlah begitu ramai sebagian penyair merekam pembacaan puisi mereka dan mengunggahnya di kanal-kanal (channel) YouTube, misalnya. 

Meski demikian, pembacaan puisi di atas panggung masih tetap dilakukan hingga zaman sekarang. Pertanyaannya, apakah aktivitas semacam itu harus menggunakan buku? 

Pembacaan puisi bisa dilakukan dengan secarik kertas atau yang lebih modern dengan layar gawai bertuliskan puisi. Artinya, bersastra tidak harus menerbitkan atau menuliskan antologi puisi dalam wujud buku cetak ber-ISBN terlebih dahulu. 

Nah, di sinilah keanehan itu mulai dirasakan di kalangan sastrawan. Lebih kurang tiga tahun lalu, ada panitia pertemuan sastrawan nasional (pertemuan kedua) yang mensyaratkan calon pesertanya wajib "telah" menerbitkan minimal sebuah buku karya sendiri dalam bentuk buku ber-ISBN. Tentunya hal tersebut tidak selaras dengan gerak napas sastra yang beraneka ragam. Lebih aneh lagi, buku yang diterbitkan tidak boleh melampaui lima tahun terakhir. 

Sekadar informasi, menerbitkan buku sastra bukanlah perkara gampang. Penerbit mayor lebih mengutamakan karya-karya sastrawan terkenal di masyarakat secara luas agar penjualan bukunya dapat lebih tinggi. Sebutlah penyair Sapardi Djoko Damono dengan puisinya "Hujan Bulan Juni". Dengan kata lain, karya sastra yang berbobot sekalipun belum tentu diterbitkan jika sastrawan bersangkutan kurang dikenal publik. Lalu, alternatif lainnya dengan menerbitkan secara indie. 

Bagian terakhir di atas juga tidak semudah yang dibayangkan. Sastrawan yang ingin menerbitkan bukunya secara indie harus mengeluarkan uang pribadinya. Terkadang, sastrawan lebih memperioritaskan kebutuhan keluarga terlebih dahulu daripada kepentingan pribadinya, termasuk dalam penerbitan bukunya sendiri. 

Selain syarat yang demikian aneh itu, pihak panitia pertemuan sastrawan nasional tersebut sempat diprotes para peserta karena enggan menanggung uang transportasi peserta. Padahal dalam ketentuan awal dituliskan bahwa sastrawan yang lolos seleksi akan ditanggung biaya transportasi dari dan ke daerah (provinsi) asal. Setelah mendapatkan protes dan ada artikel tentang hal negatif itu dimuat di media massa cetak, barulah panitia yang bernaung di bawah lembaga kebahasaan ini pun menepati janji mereka.

Selanjutnya, ada lagi ajang penulisan buku sastra  dengan syarat pernah menulis di surat kabar atau media massa lainnya. Pertanyaannya, apakah penulis buku wajib terlebih dahulu menjadi penulis di media massa? Jawabannya tentu "tidak". Lantas, mengapa syarat seperti itu harus ada? Inilah keanehan yang kedua.

Ada lagi, lomba penulisan buku sastra (bacaan) anak yang panitianya tidak langsung menyerahkan hadiah kepada para pemenang. Para pemenang diharuskan merevisi naskah buku masing-masing terlebih dahulu di Jakarta. Itu pun berlangsung dua kali perbaikan dengan rentang waktu cukup berjauhan. Parahnya, para pemenang harus merevisinya di Adobe Indesign, bukan di microsoft word. Bayangkan, penulis yang sebagian besar lebih akrab dengan microsoft word, dipaksa akrab dengan Adobe Indesign. Panitia lomba ini juga bernaung di bawah lembaga kebahasaan yang sama dengan di atas. 

Di samping perkara buku, keanehan juga terjadi pada dewan juri. Sudah menjadi rahasia umum, para juri lomba atau semacamnya yang diadakan lembaga pemerintah pusat itu dari tahun ke tahun kurang mengalami perubahan. 

Kemudian, ada juga unit pelaksana teknis di daerah dari lembaga tersebut yang lebih mengutamakan sastrawan luar (dari daerah lain) sebagai narasumber sastra. Akibatnya, sastrawan nasional di daerah tersebut kurang diperhatikan. 

Lantas, adakah keanehan lainnya?

Belakangan ramai dibahas perihal dua jalur bagi peserta pertemuan sastrawan nasional (yang ketiga) oleh lembaga kebahasaan itu juga (sama dengan di atas). 

Semula dan yang dipopulerkan adalah jalur seleksi. Para calon peserta yang ingin ikut harus menulis esai sastra. Pada bagian ini pun sangat aneh. Mengapa? Sebab, apakah sastra itu hanya berupa esai? Sebutlah seorang itu adalah penyair, maka idealnya ia menulis puisi dan bukannya esai. Begitu pula cerpenis dan lainnya.

Pengumuman peserta yang lolos seleksi pun diinformasikan. Sampai di situ situasi dan kondisi adem ayem. Nah, ternyata jalur lainnya yang selama ini disembunyikan terbongkar. Apakah jalur itu? Ialah undangan. Panitia juga mengundang sastrawan yang mereka anggap layak mengikuti pertemuan sastrawan (ketiga) untuk bermusyawarah pada tahun 2020 ini seputar hal-hal kesastraan. Sontak dunia sastra merasa diberi kejutan yang tidak menyenangkan. 

Sejumlah pertanyaan digelontorkan. Dan, hal mendasar yang perlu dicermati di sini adalah, mengapa lembaga kebahasaan ini tidak bergerak secara transparan. Juga, apakah pengamatan terhadap sepak terjang sastrawan yang diundang sudah benar-benar dilakukan pihak panitia? 

Mencermati segala yang terjadi dalam realitas  dunia sastra kekinian di atas, maka idealnya lembaga pemerintah bersangkutan dapat lebih mengakrabi sastra secara luas dan mendalam. 

Ini penting agar kebijakan yang mereka buat dapat selaras dengan gerak napas kehidupan sastra di Indonesia. 

Sekian.


0 comments: