Friday, March 1, 2019

TELUK GONG, Cerpen Korrie Layun Rampan dalam Nyanyian Lara





Bara api baru saja padam. Beberapa saat tadi bara itu bagaikan pijaran sebuah tanur peleburan baja. Merah menyala!

Asap dari sisa kebakaran itu masih membubung ke angkasa. Kesibukan di sekitar area yang barusan saja dilibas api tampak masih menjadi-jadi. Ada yang mengais, ada yang berteriak, dan memanggil-manggil, ada yang tersedu bertangisan seperti kesetanan. Tampak sejumlah petugas keamanan—yang berjaga-jaga—dan beberapa regu dari dinas pemadam kebakaran sedang menyelesaikan tugas akhir mematikan bara api.
    
Pada saat itu ada dua bayangan yang melesat di udara, bagaikan meteor. Tak seorang pun yang melihat, akan tetapi kedua nyawa yang berwujud roh itu sedang melayang-layang bagaikan sepasang burung dara yang lasak bermain di angkasa.
    
“Katamu kita akan menjadi TKI. Kok kita bukannya berangkat bersama kawan-kawan?” yang seorang menowel kuping kawan di sebelahnya. “Kau jangan menjebak aku, Toiri. . . .”
    
“Menjebak bagaimana? Siapa yang bilang kita berdua bukan pergi sebagai TKI?” kawan yang ditanya balik menowel kuping temannya. “Bahkan kita akan lebih dari siapa pun juga!”
    
“Tapi kita ini seperti terbang melayang? Belum pernah aku merasa berjalan seperti ini. Kita bukannya ke sawah selayaknya bekerja. Tidak juga seperti kita berangkat ke Jakarta.”
    
“Berarti kita telah mengalami sesuatu yang hebat. Suatu kemenangan.”
    
“Hebat dan menang macam apa? Menang dalam pertandingan apa?”
    
“Kita menemukan pembebasan!”
    
“Pembebasan? Dari apa?”
    
“Dari kekalahan hingga kita menjadi TKI.”
    
“Kau jangan ngawur, Toiri. Kau ‘kan tak pernah menyentuh alkohol. Apalagi rugi uangmu untuk membeli ecstasy. Tapi mabukmu kenapa bisa di tengah jaga?”
    
Kedua orang terus melayang.
    
“Tak ada aku mabuk. Bahkan aku sedang kasihan pada Sri.”
    
Kawan Toiri juga ingat istrinya Ratmini. Baru tiga bulan lalu dinikahi. “Aku juga ingat istriku, Toiri. ‘Demi untuk mengubah nasib,’ aku membujuk agar diberikan izin menjadi TKI. Kau mendingan, sudah menikah lebih setahun lalu.”
    
“Sama saja, Jo. Tiga bulan atau setahun menikah, tak beda. Suami-istri mana yang mau berjauhan? Kalau bukan karena miskin, mana aku mau membuang diri menjadi TKI?”
    
Dengan bergandengan tangan kedua karib itu melayang dalam udara terbuka. Seakan mereka sedang bermain dengan elang atau pesawat terbang. Mega-mega yang berarak dilalui begitu saja. Mereka rasakan tubuh tiba-tiba menjadi ringan, mirip kapas yang ditiupkan angin siang.
    
“Tapi hatimu lebih berpuasi, Toiri. Sedang aku? Ratmini saja menitikkan air mata saat aku melangkah pergi.”
    
“Kau kira Sri tidak begitu? Aku pun semedut di dada.”
    
“Aku lebih lagi,” Marjo menandang kepada Toiri. “Mini ingin jika keberangkatan kita tertunda sehari dua.”
    
“Inginku juga begitu, Jo. Tapi pihak pengirim tenaga kerja memaksa. Jika kita tak mau berangkat tepat waktu, tenaga lain yang akan menggantikan. Rasanya kesempatan langka tak mungkin tak kita rebutkan.”
    
Mereka terus mengawang dalam awan gemawan. Jauh di bawah Jakarta terhampar rumah. Bersaing antara gedung-gedung tinggi dan kawasan kumuh. Bersaing pula dengan asap pabrik dan asap kendaraan di jalan raya. Kota bersaing dengan keriuhannya sendiri.
    
“Hidup memang kian keras dan kejam,” Marjo seperti menyesalkan. “Kalau tak sigap berebutan, akan kelindas sendiri!”
    
“Seperti kita ini,” Toiri menyahuti. “Selepas SMA kita tak bisa kuliah karena tak ada biaya. Padi sawahku tahun tadi habis apes karena pupuk tak tersedia. Jalan satu-satunya menjadi TKI dengan beban sawah digadaikan.”
    
Marjo ingat mereka berdua memang berteman akrab sejak SD. Sama tak bisa melanjutkan kuliah karena miskin. Ia sempat bekerja di kota tetapi tak lama terkena PHK karena kantor tempatnya bekerja bangkrut disebabkan usaha yang dijalankan tak mampu bersaing dengan produk sejenis yang harganya jauh lebih murah. Ia berusaha beralih menjadi kuli di pasar, tetapi tak lama pula pasar itu terbakar. Ia sempat luntang-lantung, sebelum menjadi pedagang burung di kampung.
    
Akan tetapi burung menjadi langka karena pestisida.
    
Karena selalu rugi, ia pun melepaskan semua burungnya di Pasar Pagi, dan saat itulah ia bertemu dengan Ratmini. Sungguh tak terkira, dalam kepapaan itu bisa jatuh cinta. Tiga bulan yang lalu ia menikahi Ratmini di depan penghulu.
    
“Terima kasihku padamu, Toiri. Sawahmu membantu aku untuk perjalanan kita ini. Tanpamu aku mungkin akan terus keleleran.”
    
“Kuharap kita mujur, Jo. Kontrak setahun bisa kita perpanjang jika memang menguntungkan. Kau sudah punya pengalaman di kota. Aku ingin jualan bakso atau mie ayam di Jakarta dari uang kita dapatkan dari kontrak setahun. Setelah mengganti uang gadaian sawah, mungkin usaha jualan itu dapat mengubah nasib kita.”
    
“Aku juga harap begitu,” Marjo memandang kepada temannya. “Tapi mengapa kita berangkat sendiri? Aku belum pernah terbang, tapi kita rasanya seperti terbang makin tinggi?”
    
Toiri juga sebenarnya merasa aneh. Tapi ia ingat koran yang dibacanya tentang sukses seorang penjual bakso asal Wonogiri. Belum begitu lama lelaki jebolan SD itu menggeluti usaha bakso, ia sudah sukses menjadi konglomerat. Mungkin belum konglomerat sebenarnya menurut ukuran kota, tetapi menurut ukuran desa? Betapa kaya dan jayanya lelaki yang mulanya hanya bermodalkan kenekatan?
    
Ingin Toiri mengikuti jejak lelaki Wonogiri. Tak usahlah jadi konglomerat, akan tetapi ingin ia istrinya merasakan sedikit nyaman sebagai keluarga yang berpunya. Tidak lagi menderita karena beban utang dan gadaian sawah.
    
“Mungkin inilah kemujuran pertama,” Toiri agak kaget karena rasanya tubuhnya menjadi ringan. “Orang jujur dikasihani Allah.”
    
“Tapi kita tidak naik bendi, Toiri. Juga tak naik kereta api. Rasanya seperti melayang di dalam kecepatan kapal terbang.”
    
“Kapal terbang? Kau pernah naik kapal terbang?”
    
“Belum.”
    
“Aku juga belum, Jo. TKI inilah pertama aku mencoba.”
    
“Tapi kita ini melayang, Toiri. Kau merasakan?”
    
“Aku merasakan. Tapi apa kita masih mabuk perjalanan?”
    
“Mabuk apa? Aku sehat-sehat saja setiba di Jakarta. Toiri sendiri tak ada keluhan sama sekali!”
    
Mereka terus melayang.
    
Sementara Marjo memikirkan Ratmini, Toiri juga memikirkan istrinya. Marjo bercita-cita gaji pertamanya untuk membeli kalung, gelang, dan cincin Ratmini, Toiri akan mengirimkan uangnya untuk biaya ternak ayam pedaging. Marjo akan menulis pada Ratmini, “Logam mulia itu dapar diuangkan jika terdesak, Mini,” sementara Toiri akan menulis pada Sri istrinya, “Sampai aku datang, kau bisa enam tujuh kali menjual ayam peliharaanmu. Setelah selesai gadaian sawah, kita jualan bakso di Jakarta. . . .”
    
Kedua sahabat itu sama saling tersenyum.
    
Alangkah bahagianya  jika hidup berkecukupan. Tak lagi memikirkan makan apa esok pagi? Adakah masih nasi? Atau gaplek? Tiwul? Jagung atau bulgur? Rasanya belum mampu untuk menyeleweng menjadi maling bajing loncat? Apa lagi membobol bank. Ikut menggarong dan menjadi pemerkosa?!
    
Toiri jadi merasa aneh karena mereka makin jauh dari Jakarta. Tadi telah enam gerbang dilewati, kini di depan mereka gerbang ketujuh.
    
“Apa aku pusing, Jo? Rasanya kita tadi melewati enam gerbang. Panorama apa yang kaulihat di masing-masing gerbang?”
     
“Aku juga melihat, Toiri. Tak bisa kukatakan, terlalu aneh rasanya. Apa kita sudah berada di luar dunia?”
    
“Di luar dunia? Kita ‘kan pergi ke luar negeri sebagai TKI.”
    
“Tapi pemandangan tadi? Mengerikan sekali! Apa kengerian itu berarti luar negeri?”
    
“Kaumaksudkan di tiap tingkat gerbang itu?”
    
“Ya. Manusia seperti disiksa?”
    
“Aku juga ingin tahu, Jo. Tapi jalan kita terlalu cepat. Tak bisa kurem. Kau tak bantu?”
    
“Aku juga begitu, Toiri. Jika becak bisa kurem. Jika bendi bisa kukekang kudanya. Tapi jalan kita?”
    
Kedua sahabat itu makin merasa aneh. Ada apa pada gerbang ketujuh? Akankah dilewati lagi? Atau di situ mereka akan istirahat? Mengapa tadi tak bisa barang sejenak pun berhenti?
    
Saat kedua sahabat itu melewati gerbang ketujuh, mereka jadi terpesona. Keindahan kawasan di depan alangkah indahnya. Belum pernah mereka melihat panorama yang begitu indah. Jalannya mampu tempat mereka mengaca diri.
    
“Jadi ini negeri yang dituju TKI?” Marjo masih menggenggam jemari Toiri. “Sejuta tahun pun aku betah di sini.”
    
Kedua sahabat itu segera disongsong oleh orang-orang yang sangat sopan. “Kami menyambut Anda berdua,” suara itu begitu merdu, lebih merdu dari bunyi musik yang ke luar dari pita rekaman. “Sejak tadi Anda berdua ditunggu,” suara itu sopan sekali.
    
Mata kedua sahabat itu merasa silau. Pakaian para penyambut itu semuanya putih, tanpa noda. Tiba-tiba kedua sobat itu merasa tubuh mereka seperti terbakar. Gosong! Dari sosok yang hangus hitam legam itu tiba-tiba muncul sosok baru yang putih seperti salju.
    
“Kok kita berubah?” kedua sobat itu sama saling terpana.
    
Di arah depan menggema kasidah dan marhaban. . . .Lagu-lagu pujian.
                                                         
                                                          ***
    
Kegemparan di Teluk Gong menjalar ke seluruh penjuru. Api telah menghanguskan sejumlah bangunan dan membakar segala isinya, termasuk dua lelaki yang sedang menanti pemberangkatan di asrama TKI. Saat para petugas menemukan dua sosok mayat yang hangus terbakar, pagi itu di rumah Ratmini dan di rumah istri Toiri di Desa Jatitri terjadi hal yang ganjil.
    
“Aku tadi malam bermimpi bulan jatuh menimpa gigiku hingga tanggal satu,” Ratmini berkata kepada ibunya, sembari menahan rasa mual yang menyerang tenggorokannya karena perutnya melilit-lilit. Saat itu istri Toiri juga mengisahkan hal yang sama kepada mertuanya. Ia tak tahan untuk tidak muntah, seperti juga Ratmini.
    
Ibu Ratmini dan ibu Toiri segera tahu apa yang akan terjadi.
    
“Kau hamil,” kedua wanita itu menatap wajah wanita muda di depan masing-masing.

“Tapi. . . ,” suara itu tertahan membayangkan kejadian lain yang mungkin datang karena takhyul          mimpi ketanggalan gigi. . . .
    
“Hamil? Tapi apa. . . ?” kedua wanita muda itu berkata berbarengan. “Akan ada kecelakaan? Bencana?”
    
Toiri dan Marjo masih terpesona oleh panorama yang gilang-gemilang. . . .
    
“Ini surga apa negeri TKI?” Marjo berbisik di telinga Toiri. “Sayang istri kita tak dibawa serta?”
    
Toiri tak menjawab. Ia masih seperti mabuk oleh pesona indah panorama dan bunyi musik yang belum pernah didengarnya selama ini.
    
Merduuuu. . . sekali!

Jakarta, 31 Maret 1996
(Kenangan persahabatan untuk Mas drg.Ircham Mahfoedz)

0 comments: