Thursday, January 3, 2019

Puisi-Puisi Syarifuddin Arifin




Sungguh Hanya Kamu

sungguh hanya kamu terus menerus menggelegak
dan mengalir di antara tulang dan daging, mendenyut
di setiap langkah darah beku menghitung detak hati
lalu terbata-bata dalam nafas yang semakin sesak
menghilir menghitung usiaku yang bergeming, tak hanyut
begitu saja. kapan degapdegup padamu kan berhenti
sementara kata-kata semakin rimbun menyemak

sungguh hanya kamu nampak membayang
menyusuri padang ilalang tengah hari yang terik
panjangnya paha belalang menjanjikan loncatan
jauh sambil melentik-lentik. tapi angin menyuburkan
silet, menggoyang-goyang daun ilalang lalu
menyayat bak sembilu mengundang keperihan abadi

sungguh hanya kamu

(Padang, Juli 2015)


Mengundang Ibu

merantaulah sayang, jangan kau kundang ibu ke mana-mana
karena tempatnya di rumah, mengalirkan air ke sawah
keturunan materilini, plasentanya abadi

sayang anak pun dilecuti, berlayar dari pantai ke pantai
tapi ibu kau bawa jua, menakik cinta pada wanita
kau cari surga dan belaian manja
kau kundang-kundang pusaka lunglai

ibu mengalirkan warisan, di seiliran tepian
hati siapa yang teranja-anja?

di bendul peranginan, ibu menyulam rindu
di laut rantauan, ingatan mengundang ibu

(Padang, 2015)


Mengundang Batu

Orang-orang mengasah batu
hingga malin pun kehilangan tuju
dikundang juga ke mana-mana
pongah bukit membusung dada

di sepanjang jalanan
orang-orang mengasah batu
memanas dalam genggaman
kembali ke masa lalu

mengundang batu
yang diam sepanjang waktu
dimaknai berbagai misteri
batu diasah berapi-api

apa yang lebih dari sebongkah batu?

malinkundang tetap membisu

(Padang, 2015)


Tak Lagi Ani-Ani

di kejauhan kudengar suara musik itu
terbayang orang-orang berjoget
bermandikan keringatnya sendiri
melupakan penderitaaan anak negeri

sementara di balik dinding sana
ada yang asyik mengocok dadu
mempertaruhkan singgasana
berderik-derik rokok asapnya kelabu

di pentilasi itu, angin berhembus menusuk
baunya berkesiur, membenam di kasur
di sawah tak ada lagi ani-ani
yang membentang,  padang  ilalang

orang-orang masih saja berjoget
dadu tetap dikocok, melicinkan borok
di negeri langit atau di negeri laut
sama saja tak ada pohon
yang merimbun daun

(Padang, 2015)


Mencurah Darah 

berkali-kali aku sujud  padamu
hanya padamu, tapi kau tetap
menikam dada, membuta hati

kupanggil juga engkau
mencurah darahku

yang membelah langit biru
yang meretak tanah basah
yang meluluhlantakkan jiwa
yang menyekapku ke penjara
tak berjendela
denyut apakah yang setia di nadi
engkaukah itu?
tak sampai-sampai

19.01.2015


Mangsa Aku Jakarta
 
jakarta diselimuti mendung
gerimis hinggap di punggung
antara senen dan stasiun gambir
warga kota saling memercik air
menyibak berkeruh lanyah
menginjak segala sepah
mengayun beribu langkah
aku terjebak
dipaksa menyibak jakarta
di antara semak yang menyemak
ribuan kendaraan di sungai jalanan
gadget berebut sinyal
membanjir wacana di kursi kenyal
semua ingin memetik buah
pohon beton yang pongah

pagi ini jakarta ingin bersunyi-sunyi
gedung-gedung kaku beku
bagaikan lembah tak berangin
sepantun lebah bisanya tak dingin
bak bunga layu sebelum fajar
dimangsa aku sampai ke akar

jkt, 110215


Melautlah Aku

aku menancapkan keramba di antara teluk tak bernama
para penyelam menikmati beraneka karang di dasarnya
ada pelangi membagi warna, gelembung-gelembung
pernafasan dan kepak ritmis kaki para ampibi
serombongan tuna berbaris mengikuti arus
seakan menari, pinggulnya meliuk dan menukik menghunjam
melayah menyongsong arus yang dalam

aku menancapkan keramba di antara teluk tak bernama
menyalakan lampu di kelamnya malam
bergerombol ikan terperangkap cahaya
terpisah dari keluarga

di dasar laut, kutemukan sebuah negeri
semua warganya menutup telinga dan mata
apa yg dilihat dan dengar diatur dari atas
akibatnya? warga negeri itu jadi buta dan tuli
seperti negeri ini, sekejab lagi.

Padang, 2015


Gigilku Mendingin

di lambungmu, aku berenang
tanpa sentuhan

engkau membungkam
aku menggigil

gugur juga cinta itu
mekar di bibirmu

aku menggapai-gapai
menyelami hatimu


Padang,  1999.-





Syarifuddin Arifin lahir di Jakarta. Adalah seroang alumnus Jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia, STKIP,  Sumbar dan Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Pernah mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen tahun 1981 di Cibogo, Bogor oleh Majalah Sastra Horison dan Majalah Kebudayaan Basis.

Tulisanya pernah dimuat di beberapa majalah dan Koran cetak Jakarta dan Padang, juga di Majalah Sastra Horison. Dia merupakan salah seorang penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Pernah di BUMI (Teater,Sastera dan Senirupa), pengasuh/sutradara di Teater Jenjang dan Teater Flamboyan Padang, mendirikan Sanggar Penulisan MASA Padang (1984), mantan pengurus Dewan Kesenian Padang dan Sumbar.

Telah melakukan perjalanan sastra dan budaya serta jurnalistik ke Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.

Buku-buku puisi tungggalnya (bukan antologi bersama) adalah, Ngarai (1980) diterbitkan Kolase Kliq Jakarta, Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998) ditebitkan Taman Budaya Sumbar, dan Maling Kondang (2012) diterbitkan Teras Budaya, Jakarta. Sedang beberapa antologi bersama, al. Sembilan (1979) oleh Kolase Kliq Jakarta, Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka, (1995) oleh Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Parade Karya Sastra se Sumatera-Jawa (1995) oleh Forum Sastra Bengkulu, Hawa (1996) oleh Studio Sangkaduo Padang, Penyair Sumatera Barat (1999) oleh Dewan Kesenian Sumbar), Parade Penyair Sumatera (2000) Panitia Pameran dan Pergelaran Seni se Sumatera (PSS) Jambi, Suara-suara dari Pinggiran (2012) oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala,  dan Sauk Seloko (2012) terbitan Dewan Kesenian Jambi.

Kumpulan Cerpennya antara lain, Bermula dari Debu (1986) oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat (HMSSB), G a m a n g (1989) oleh Sanggar Sastra MASA dan Taman Budaya Sumbar.

Novel/cerbungnya antara lain, Untuk Sebuah Cinta (2000) dimuat Harian Umum Haluan Padang, Sarjana Sate (2001), dan Anak Angin di Celah Awan Jingga (2002) Mingguan Sumbar Ekspres Padang, Menguak Atmosfir (2004) dimuat Majalah Wanita Kartini.

Pernah memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 oleh PWI Sumbar, memenangkan Sayembara Penulisan Kritik Sastra,1984 oleh FPBS IKIP Padang, memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang pada 1985, memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara tahun 1984. Juga Pemenang Lomba Penulisan Kritik Seni Pertunjukan oleh Deputy Seni-Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,2003. Setelah memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen-Cerbung Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir dimuat sebagai cerbung di Majalah Wanita Kartini, 2004.

Dia beberapa kali mengikuti/peserta pada Pertemuan Sastrawan Nusantara, antara lain, di Jakarta (1979), Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999). Kongres Kesenian di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres PAPPRI di Puncak Jawa Barat (2002). Selain itu dia juga pekerja teater dan pemain film/sinetron.



0 comments: