Saturday, December 1, 2018

Inilah 5 Puisi tentang Sungai Paling Mengharukan




SUNGAI. Apa yang terbayang di benak Anda dengan kata itu? Mungkin air yang mengalir dari hulu ke hilir, anak-anak yang berenang riang saat sore tiba, para pemancing mania duduk di tepinya sambil memegang joran, atau mungkin juga yang lainnya semisal sampah rumah tangga mengapung di permukannya. Dan pernahkah Anda menuliskan apa yang terbayang di benak masing-masing berkenan dengan sungai itu? Dalam puisi misalnya? Berikut adalah lima puisi bertema sungai paling mengharukan.    


Sangkan Paraning Dumadi

Karya Bambang Widiatmoko (Bekasi)


Setiap kali mengingat aliran sungai
Yang bersumber dari kaki Merapi
Inilah sungai yang penuh  misteri
Menyimpan mitos dengan rapi
Sangkan paraning dumadi
Manunggaling kawula Gusti.

Batu tak akan habis dicari
Pasir tak akan surut digali
Sebagian menjadi candi
Berkah melimpah  letusan Merapi
Menyuburkan tanah kami
Keringat leluhur menjadi saksi.

Jika malam hari terdengar air tersibak
Tak perlu jiwa ikut merebak
Kereta melesat lewat tak beriak
Menjadi pertanda akan datangnya bencana
Lewat penguasa laut selatan yang bau dupa
Dan kita pun bersiap tanpa rasa duka.

Yogyakarta tetap setia menjaga sungai jiwa
Membelah kota dengan segenap rasa cinta
Mengalir tenang dan kadang menghanyutkan
Menjadi saksi zaman yang tak bisa diciutkan
Mengalir di sisi timur istana membawa harapan
Lalu lurus menuju muara laut selatan.

Kali Code, 2016


BAMBANG WIDIATMOKO. Penyair kelahiran Yogyakarta ini memiliki buku kumpulan puisi tunggal Kota Tanpa Bunga (2008), Hikayat Kata (2011), Jalan Tak Berumah (2014). Sajaknya terhimpun dalam antologi puisi antara lain Negeri Langit  (2014),  Negeri Laut (2015). Kumpulan esainya  Kata Ruang  (2015). Peneliti tradisi lisan dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).  Alamat: Jalan Meranti Raya H 200, Bekasi Timur 17515. Pos-El: bwdwidi@yahoo.com.
_________________________ 



Aku Ingin Selalu Bisa Berkaca di Permukaanmu

Karya Yuditeha (Surakarta)


sejak dipisahkan dari wana dan pelangi
menjauh ke sisi bukit yang penuh dengan batu terbelah
musim tiba-tiba tersesat kala ingin pergi ke sana
lupa akan rute dan tanda
karena segala warna hijau telah menghilang

kau tak lagi terlihat melingkar-lingkar
dari langit kau tampak tersendat-sendat
terputus-putus seperti garis marka di tengah jalan
dengan isyarat boleh menyalip
di manakah airmu?

mengapa orang-orang diam saja?
tidakkah mereka rindu untuk membasuh muka denganmu?
Di manakah mereka akan berkaca?
tidakkah mereka ingin hidup sehat?

aku ingin menghirup udara segar yang kau alirkan
aku ingin berlari-lari mengelilingimu di bantaranmu
aku ingin kau tetap menyertai buah padi muda hingga menguning
aku ingin selalu bisa berkaca di permukaanmu
terlebih sebelum waktunya bertemu dengan kekasihku tiba


Yuditeha. Penulis puisi, cerpen, dan novel yang hobi melukis wajah-wajah dan bernyanyi puisi. Pegiat Komunitas Sastra Alit Surakarta. Fb: Yuditeha. Laman: yuditeha.wordpress.com.
_________________________ 



Cisadane

Karya Novy Noorhayati Syahfida (Tangerang)


mencintai engkau
pada musim yang tak mengenal penghujan dan kemarau
tentang pohon salak yang merimbun
tentang gemerisik daun bambu yang mengalun
tentang hulu dari selatan yang menawan

di remang cisadane, seutas kenangan berjatuhan
berderai lepas dari deras arus ingatan
melambung pada gemerlap peh cun di tepi sungai
pada lentur tarian barongsai
dan gadis-gadis bergincu merah yang aduhai
bak lampion menari dengan gemulai

telah tercatat semua gemuruh
hingga tiba saatnya airmu meluruh; keruh

Tangerang


Keterangan:

Cisadane adalah nama sungai terpanjang di Tangerang, mengalir dari selatan dan bermuara di Laut Jawa.

Peh Cun adalah festival mendayung perahu naga yang dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek. Pada saat ini dipercaya bahwa matahari, bulan dan bumi berada pada satu garis orbit.



Novy Noorhayati Syahfida lahir di Jakarta pada tanggal 12 November. Alumni Fakultas Ekonomi dengan Program Studi Manajemen dari Universitas Pasundan Bandung ini mulai menulis puisi sejak usia 11 tahun. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di beberapa media cetak seperti Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, Sulbar Pos, Lampung Post, Haluan (Padang), Koran Madura, Harian Cakrawala (Makassar), Solopos, Posmetro Jambi, Fajar Sumatra, Tanjungpinang Pos, Majalah Islam Annida, Jurnal Puisi, Buletin "Raja Kadal", Majalah Sastra "Aksara", Buletin “Jejak”, Majalah Budaya “Sagang” dan Buletin “Mantra”
Puisi-puisinya juga terangkum dalam lebih dari 70 buku antologi bersama. Namanya juga tercantum dalam Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia (Kosa Kata Kita, 2012). Tiga buku kumpulan puisi tunggalnya yang berjudul Atas Nama Cinta (Shell-Jagat Tempurung, 2012), Kuukir Senja dari Balik Jendela (Oase Qalbu, 2013) dan Labirin (Metabook, 2015) telah terbit. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta.
_________________________ 



Dongeng Kali Mati

Karya Mukti Sutarman Espe (Kudus)


engkaulah kali mati itu
tak mengalir ke mana-mana
berhulu di langit bermuara di bumi

tak ada alir apalagi ricik apalagi riak apalagi ombak
dari tepi ke tepi permukaan sedatar cermin
dalam dan hening berkelindan memendam dingin

tiada alur alir
hanya hujan sesekali memberi kelimpahan air
hanya alun sesekali dikirim angin semilir
yang  sesudah deras dan sepoinya terperam
dayanya kau bagikan kepada ikan
                             kepada udang
                             kepada siput
                             kepada lumut
kapada segala yang terpaksa tinggal di lendut

engkaulah kali mati itu
mengada sebab musim yang keliru
    sebab  pohon hayat menjelma jadi debu
    sebab banjir bandang tiba salah waktu
              
tetapi kodrat kali tetaplah sebagai kali
sungguhpun hanya sedikit berarti
dharmamu kepada bumi adalah mengairi
hingga leladang bertanah pecah berubah basah
             kebun-kebun tak kehilangan warna daun
             persawahan kembali berlumpur gembur
             karangkitri bermakna indah bagi petani utun

dharmamu
menjadikan bumi  lebih memberi
setenggat pengabdian yang harus kau jalani

Kudus, 2016.

Mukti Sutarman Espe lahir di Semarang. Alumnus IKIP PGRI Semarang (sekarang UPGRIS) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Karya puisinya tersiar di Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Republika, Suara Merdeka, Solo Pos, Kedaulatan Rakyat, dan belasan buku antologi puisi bersama. Di antaranya, Antologi Puisi Jawa Tengah, Jentera Perkasa, Mahaduka Aceh, Hijau Kelon&Puisi, Jogya 5,9 Skala Richter, dan Negeri Laut. Buku puisi tunggalnya adalah  Bersiap Menjadi Dongeng. Tinggal di Kudus, Jawa Tengah.
_________________________  


Nyanyian Sungai

Karya Ariadi Rasidi (Temanggung)


Berawal dari kaki gunung rimba perawan
melewati kelokan demi kelokan
sungaiku mengalir
meliuk-liuk dari hulu ke hilir

Batang-batang padi senang
ikan-ikan menari-menari riang
bersama dendang air sungai yang datang
harapan petani jadi mengawang-awang

Gemercik air melahirkan simfoni
terus mengalir menderas menuju samudera biru
sesekali menerpa batu-batu
memberi berkah makhluk Ilahi.

Temanggung, 2016

Ariadi Rasidi lahir di Purwokerto pada tanggal 15 April 1959.  Menulis puisi sejak tahun 1980-an. Puisi-puisinya terdokumentasi di beberapa antologi puisi bersama di antaranya, Menoreh 2 (1995), Menoreh  3 (1996), Progo 1, Tangan-tangan Tengadah (2015), Progo 2  (2008), JenteraTerkesa (1993 ), Progo 3 (2015), antologi puisi penyair Jawa Tengah (2011), Antologi Puisi Tifa Nusantara 2 (2015), dll.
Tahun 2015 mendirikan komunitas Sastra bernama KSS3G (Keluarga Studi Sastra Temanggung). Bertempat tinggal di Dusun Kampung RT 01/RW 1 Desa/Kec. Kaloran, Temanggung, 56282. Pos-El:  ardiras53@gmail.com. 



Sumber tulisan: buku antologi Arus Puisi Sungai
Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

0 comments: