Monday, December 3, 2018

Serba-Serbi Reuni Akbar Mujahid 212, Inspirasi dalam Bersastra



Mahmud Jauhari Ali


“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
1966

Beberapa larik di atas merupakan penggalan dari puisi berjudul Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya karya Taufiq Ismail. Puisi tersebut tidak lahir dari angan-angan kosong belaka. Seorang Taufiq menuliskan puisi perjuangan demi cinta tanah air dan bangsa Indonesia itu dari peristiwa bersejarah. Sebuah aksi fenomenal masa lalu, yakni unjuk rasa mahasiswa kepada pemerintah untuk menurunkan harga-harga. Tak bisa dielakkan, dalam aksi itu memang ada yang meninggal. Akan tetapi, perjuangan mereka tidak sia-sia. Harga-harga pun berhasil diturunkan semisal harga bensin kala itu. Singkat cerita, aksi massa mahasiswa telah menginspirasi Taufiq Ismail dalam berkarya sastra.  

Lalu, apakah hal yang demikian berhenti sampai di situ saja? Tentu jawabannya tidak. Setiap peristiwa selalu menjadi inspirasi bagi siapa saja yang peka dan mau berkarya. Dan sebenarnya, saya teringat puisi Taufiq itu juga dari sebuah aksi yang baru saja dilakukan oleh sejumlah massa pada tanggal 2 Desember 2018 kemarin. Mereka menyebutnya dengan Reuni Akbar Mujahid 212. Setidaknya saya menangkap beberapa hal yang dapat dijadikan inspirasi dalam menulis karya sastra berkaitan dengan aksi tersebut. Apa sajakah itu?  

Perjuangan.
Siapa yang berani menyangkal kebenaran bahwa para peserta aksi damai itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia? Bahkan, ada yang dari luar negeri. Mereka berdatangan dengan menggunakan uang sendiri menuju Jakarta, tepatnya di Monas sebagai titik kumpulnya. Kawasan itu pun menjadi lautan manusia. Ada jutaan orang, baik sebagai peserta maupun panitia aksi di sana. Mungkin bagi mereka yang materialisme akan berpikir perbuatan para pelaku aksi tersebut tidak rasional. Untuk apa misalnya mengeluarkan uang untuk aksi semacam itu? Dibayar saja tidak. Malahan harus mengeluarkan uang pribadi. Tapi bagi mereka yang masih memiliki semangat perjuangan membela agama (Islam) dalam jiwa persaudaraan, tentulah hal itu adalah sesuatu yang lumrah dilakukan. Perjuangan mereka inilah yang dapat menginspirasi sebagaimana terciptanya puisi Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya  pada puluhan tahun lalu itu.

Damai
Adakah kerusuhan yang terjadi dalam aksi tersebut? Perkelahian antardua orang pun tidak ada. Aksi itu sangat jauh dari sikap permusuhan, apalagi peperangan yang brutal. Para pelaku aksi begitu menunjukkan kesantunan yang beradab sebagai salah satu akar dari terciptanya damai itu sendiri. Ini pun sebenarnya menginspirasi dalam penulisan karya-karya dengan tema perdamaian antarumat manusia.  Kita tahu, di luar sana ada saja yang menjadikan perang sebagai santapan sehari-hari. Lewat karya sastra diharapkan Indonesia akan terus dalam keadaan damai (tanpa perang kata, terlebih kontak fisik) sebagaimana damainya aksi 212 tersebut. Jika kita kaitkan dengan puisi Taufiq di atas, begitu terasa damainya antara pak tukang rambutan dan para mahasiswa yang sedang berunjuk rasa.  

Kesosialan yang Tinggi
Tanah lapang tak pernah menjadi hutan meski ada sebuah pohon besar yang hidup di sana, ‘kan? Mungkin begitulah kira-kira gambaran tentang hidup dan kehidupan ini. Tidak memenuhi syarat ideal seandainya manusia atau makhluk lainnya hidup tanpa berinteraksi dengan sesamanya. Sebagai manusia, bersosial itu bisa dikatakan wajib hukumnya meski tidak tertulis dalam kitab undang-undang sekalipun. Dengan kata lain, sudah menjadi konvensi bersama. Dalam aksi 212 kemarin itu pun berlaku hal yang demikian. Ada yang menyediakan menu-menu makanan dan minuman misalnya. Jadi, bukan sekadar rambutan dalam puisinya Taufiq, tetapi lebih daripada itu. Ini merupakan wujud nyata kesosialan peserta aksi.  Tentunya dapat menjadi inspirasi yang sangat bagus dalam berkarya sastra. Jiwa sosial idealnya memang ditumbuhkembangkan. Salah satunya melalui sentuhan bahasa sastra yang halus dan indah.

Tertib
Dari pantauan melalu drone dan berita-berita terpercaya, pergerakan peserta aksi 212, baik saat menuju, maupun meninggalkan Monas sangatlah tertib. Tidak ada yang saling mendahului. Alhasil, tidak ada pula aksi dorong-mendorong. Bagi sastrawan, kenyataan ini sangat menginspirasi untuk  tulisan-tulisan yang menghibur dan bermanfaat dalam menggugah banyak jiwa menjadi pribadi-pribadi tertib. Ketertiban tersebut bisa dituangkan dalam bentuk puisi, cerpen, dan lainnya.   

Persatuan
Alangkah mustahilnya aksi itu dapat terlaksana jika tak ada semangat persatuan umat dalam jiwa peserta dan panitianya.  Dengan kata lain, aksi 212 terwujud karena semangat tersebut yang berkobar dalam jiwa mereka. Sebagaimana yang telah terjadi di lapangan, aksi itu juga tidak sekadar melibatkan umat Islam, tetapi  panitia turut mengundang tokoh-tokoh lintas agama. Hal terakhir tadi membuktikan persatuan yang dibangun dalam aksi itu merupakan eratnya hubungan antaranak bangsa di negara ini. Persatuan yang demikian sangatlah menginspirasi dalam sastra selama sastrawan yang bersangkutan  peka terhadapnya.

Kebersihan
Setelah aksi 212 itu usai, kawasan Monas dan sekitarnya pun bersih kembali seperti sediakala. Artinya, para peserta dan panitia aksi begitu mengutamakan kebersihan lingkungan. Hal ini sangat menginspirasi dalam berbagai bentuk karya sastra dengan harapan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam puisi Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya itu pun digambarkan kebersihan, yakni para mahasiswa tidak membuang kulit rambutan sembarangan. Adapun puisi lengkapnya sebagai berikut.

Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya

karya Taufiq Ismail

“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutani”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju karni, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.


1966


Sumber gambar: www.pixabay.com (gratis)

0 comments: