Monday, November 19, 2018

FUNGSI MAGIS KAIN SASIRANGAN


Warna biru dapat membantu mengurangi tekanan psikologis 
(Dari paparan Mardhika, 2007) 


Tajuddin Noor Ganie

Pada awal sejarah keberadaannya di tahun 1355-1362, kain sasirangan yang disebut kain langgundi itu difungsikan sebagai bahan dasar untuk membuat busana harian bagi segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa. Ketika itu kain langgundi diproduksi dalam jumlah banyak oleh banyak pengrajin yang tinggal di kota Amuntai. Keberadaan para pengrajin kain langgundi dimaksud menjadikan kota Amuntai dikenal luas sebagai kota industri yang terkemuka di zamannya.   

Sejak tahun 1362, busana berbahan kain langgundi hanya boleh dikenakan oleh Putri Junjung Buih dan para bangsawan Kerajaan Negara Dipa saja. Kain langgundi tidak lagi diproduksi dalam jumlah banyak. Para pengrajin hanya memproduksinya untuk memenuhi keperluan para bangsawan Kerajaan Negara Dipa saja. Tugas sebagai pembuat kain langgundi untuk memenuhi keperluan para bangsawan Kerajaan Negara Dipa ini ditangani oleh sebuah tim pengrajin yang khusus dibentuk untuk itu.

Para pengrajin kain langgundi lainnya tidak berani lagi membuatnya. Selain takut kualat mereka juga takut melanggar aturan proteksi yang dibuat oleh aparat Kerajaan Negara Dipa. Namun, alasan lain yang paling logis adalah fakta bahwa pangsa pasar kain langgundi itu sendiri sudah tidak menjanjikan lagi. Jumlah bangsawan Kerajaan Negara Dipa ketika itu masih sedikit. Mereka belum beranak pinak seperti sekarang ini.

Seiring dengan terjadinya perputaran waktu yang berlangsung selama berabad-abad. Jumlah anggota keluarga bangsawan Kerajaan Negara Dipa semakin lama semakin bertambah banyak pula. Ini berarti pangsa pasar kain langgundi juga ikut menaik secara signifikan. Selain itu, seiring dengan perputaran waktu juga yang berlangsung selama berabad-abad, kain langgundi juga mengalami diversifikasi fungsi.

Kain langgundi tidak lagi difungsikan sebagai bahan dasar pembuatan busana harian bagi para bangsawan Kerajaan Negara Dipa saja, tetapi juga sudah mulai difungsikan sebagai bahan dasar pembuatan busana khusus bagi para bangsawan Kerajaan Negara Dipa yang sedang pengidap suatu penyakit pingitan.

Penyakit pingitan adalah penyakit yang diyakini sebagai penyakit yang berasal dari ulah para arwah leluhur nenek moyang para bangsawan yang konon tinggal di pantheon alam roh (alam barzah). Konon, menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di Kalimantan Selatan, para arwah leluhur nenek moyang itu secara berkala akan menuntut anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi.

Begitulah, dalam siklus setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14—15 kain langgundi sudah berubah status menjadi kain yang dikeramatkan. Seiring dengan itu namanya juga berubah menjadi kain pamintan. Kain pamintan artinya kain yang hanya dibuat berdasarkan permintaan dari anak, cucu, buyut, intah piat para bangsawan yang pengidap penyakit pingitan.

Konon, diyakini tidak ada obat lain yang mujarab bagi para pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan kain pamintan di kepala (ikat kepala, selendang), di perut (bebat, sabuk), atau bahkan menjadikannya sebagai selimut tidur (sarung).
  1. Bebat atau sabuk kain pamintan (bahasa Banjar babat) yang dililitkan di perut dimaksudkan sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit diare, disentri, kolera, dan sebenar jenis penyakit perut lainnya. 
  2.  Ikat kepala kain pamintan (bahasa Banjar, laung) yang dililitkan di kepala dimaksudkan sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit kepala sebelah (migrain).
  3. Sarung kain pamintan (bahasa Banjar, tapih bahalai) dikenakan sebagai selimut untuk mengobati penyakit demam atau gatal-gatal.
  4. Selendang kain pamintan (bahasa Banjar, kakamban) yang dililitkan di kepala atau disampirkan sebagai penutup kepala dimaksudkan sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit kepala sebelah (migrain).
Dalam perkembangan lebih lanjut, bentuk fisik kain pamintan tidak lagi sebatas ikat kepala, selendang, bebat, sabuk, dan sarung saja. Tetapi sudah pula dibuat dalam bentuk kain lembaran yang siap untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan busana harian yang bersifat diapan atau profan. Pada zaman dahulu kala kain pamintan diberi warna sesuai dengan tujuan pembuatannya, yakni sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan suatu jenis penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang.
  1. Kain pamintan warna kuning dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa).
  2. Kain pamintan warna merah dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit migrain (sakit kepala sebelah) atau penyakit imsonia (penyakit sulit tidur).
  3. Kain pamintan warna hijau dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit stroke (lumpuh).
  4. Kain pamintan warna hitam dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal.
  5. Kain pamintan warna ungu dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit diare, disentri, dan kolera.
  6. Kain pamintan warna cokelat dibuat sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit kejiwaan (stress).
Pemanfaatan warna-warni tertentu sebagai sarana pengobatan ternyata bukanlah omong kosong. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa warna-warni tertentu dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menyembuhkan suatu jenis penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang.

Mengenai hal ini ada baiknya dikutipkan paparan Mardhika (2007) tentang potensi warna-warni tertentu sebagai sarana penyembuhan penyakit dimaksud.
  1. Merah, warna ini dapat membantu mengurangi sakit kepala, karena warna ini mampu meningkatkan peredaran adrenalin di dalam tubuh. Jika sakit kepala letakanlah kain lembab berwarna merah di atas mata.
  2. Biru, warna ini dapat membantu mengurangi tekanan psikologis. Jika mengalami tekanan psikologis maka fokuskanlah pandangan mata ke arah segala sesuatu yang berwarna biru.
  3. Merah jambu, warna ini dapat membantu mengurangi penyakit sulit tidur (insomnia), karena warna ini mampu menampilkan suasana santai dan romantik.
  4. Hijau, warna ini dapat membantu mengurangi rasa letih, karena warna ini mampu menciptakan suasana harmoni dalam tubuh manusia.
Penggunaan kain dengan corak dan warna gambar tertentu sebagai penangkal datangnya suatu jenis penyakit pingitan, atau sebagai sarana terapi pengobatan alternatif atas suatu jenis penyakit pingitan yang diyakini berasal dari alam gaib, ternyata bukanlah gejala sosial yang khas etnis Banjar di Kalsel saja.

Kepercayaan supertitious semacam ini sudah menjadi gejala sosial yang bersifat universal di seantero kepulauan nusantara. Menurut laporan Halimi (2007), wanita Jawa yang tinggal di kota Probolinggo sengaja memakai batik bercorak Tulak Watu pada saat menjalani upacara adat tingkeben usia tujuh bulan masa hamil anaknya yang pertama. Tujuannya agar dirinya dan anak pertama yang dikandungnya tidak diganggu oleh roh jahat.

Di Tanah Batak, seorang wanita yang sedang hamil tua menerima pemberian ulos ni tondi dari orang tuanya. Pemberian ulos yang dipakai dengan cara diselendangkan itu dimaksudkan sebagai tanda simbolik bahwa orang tua yang bersangkutan telah memindahkan semua kekuatan magis yang ada padanya kepada anaknya yang sedang hamil tua itu. Tujuannya agar anaknya itu mampu menghadapi segala marabahaya yang siapa tahu bakal menimpanya pada masa-masa kritis di saat kehamilannya itu (Halimi, 2007).

Kain ikat ganda yang disebut geringsing di Bali diyakini dapat menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pemakainya. Berkaitan dengan keyakinan itulah, kain geringsing juga dikenakan oleh seorang gadis yang sedang menjalani upacara potong gigi. Tujuannya agar anak gadis yang bersangkutan tidak merasakan sakit yang berarti ketika giginya dipotong (Halimi, 2007).   

Pada masa sekarang ini di berbagai kota di Kalsel masih ada segelintir orang yang menekuni profesi sebagai juru sembuh penyakit pingitan ini.  Salah seorang di antaranya adalah warga kota Banjarmasin yang akrab dipanggil dengan nama nenek Jumantan (72 tahun). Keahlian sebagai juru sembuh penyakit pingitan dengan terapi kain pamintan ini diwarisinya secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Menurut penuturan nenek Jumantan, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya tidak lain adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah dengan nenek moyang mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari (Wulan, 2006). Perlu dijelaskan, kota-kota yang disebut nenek Jumantan adalah kota-kota yang dulunya menjadi pusat pemukiman penduduk yang terbilang padat pada masa-masa jayanya Kerajaan Negara Dipa. Patut diduga, nenek moyang para pasien nenek Jumantan tersebut tidak lain adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari 40 orang wanita perawan yang dulu berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan kain langgundi yang diminta oleh Putri Junjung Buih.

Sesuai dengan asal-usul geneologisnya sebagai bangsawan berdarah biru, maka sekali waktu dalam siklus tertentu (1,3,5,atau 7 tahun) mereka akan terkena virus penyakit pingitan. Proses penyembuhan  penyakit pingitan yang diderita oleh kaum bangsawan berbeda dengan proses penyembuhan penyakit biasa yang diderita rakyat jelata. Proses penyembuhan penyakit biasa yang diderita oleh rakyat jelata dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat sederhana. Sekadar meminum air putih yang sudah diberi mantra-mantra atau do’a-do’a oleh para juru sembuhnya.

Sementara itu, proses penyembuhan penyakit pingitan yang diderita oleh kaum bangsawan relatif lebih rumit. Penyakit pingitan yang mereka derita baru dapat disembuhkan setelah mereka mengenakan kain pamintan dengan motif dan warna tertentu sesuai dengan jenis penyakit pingitan yang mereka derita. Kerumitan dalam hal proses penyembuhan penyakit pingitan semacam ini sudah barang tentu menuntut biaya pengobatan yang relatif mahal.

Harga kain pamintan yang relatif mahal sudah barang tentu tidak terjangkau oleh rakyat jelata yang hidupnya masih pas-pasan. Jangankan membeli kain pamintan, membeli bahan makanan untuk keperluan hidup sehari-hari saja mereka sudah kelimpungan. Untunglah, sekarang ini ada program asuransi kesehatan untuk rakyat miskin (askeskin). Sehingga mereka dapat berobat secara gratis di puskesmas milik pemerintah.

Ternyata, tidak sembarang orang boleh menekuni profesi sebagai pembuat kain pamintan. Profesi ini hanya boleh ditekuni oleh mereka yang berdarah bangsawan atau keturunan pembuat kain pamintan saja. Menurut keterangan nenek Antung Kacil, siapa saja yang tidak berdarah bangsawan atau bukan keturunan pembuat kain pamintan, akan kualat jika nekad menekuni profesi sebagai pembuat kain pamintan.  Lebih-lebih jika kain pamintan itu dibuat dengan tujuan sebagai sarana untuk mengobati suatu penyakit yang diderita oleh pasien yang sedang dirawatnya. Tulah yang bakal menimpanya sangatlah menakutkan, yakni mengalami kebutaan dan kelumpuhan (terkena penyakit stroke) (bahasa Banjar, mata picak tangan tengkong).

Perubahan nama dari kain pamintan menjadi kain sasirangan berkaitan erat dengan tujuan pembuatannya yang tidak lagi diapan (sakral), tetapi propan (nonsakral). Kain pamintan dibuat atas dasar permintaan dari orang-orang yang sedang mengidap suatu penyakit pingitan.

Sementara itu, kain sasirangan dibuat tidak berdasarkan pesanan orang dan tidak pula dibuat dengan tujuan untuk dijadikan sebagai sarana pengobatan penyakit pingitan. Pemakaian istilah sasirangan mulai menggejala sejak adanya keterbukaan dalam hal produksi kain sasirangan.  Para pihak yang memproduksi kain sasirangan tidak lagi diproteksi berdasarkan garis keturunan yang bersifat nepotisme seperti yang terjadi pada zaman dahulu kala.

Ceritanya konon bermula sejak tahun 1981, ketika itu Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan datang bertandang ke rumah nenek Antung Kacil, seorang juru sembuh yang menjadikan kain pamintan sebagai sarana pelengkap terapi pengobatannya. Mereka sengaja bertandang untuk meminta kesediaan nenek Antung Kacil mengajarkan kiat-kiat membuat kain pamintan. Pada mulanya Antung Kacil tidak bersedia mengajarkan kiat-kiat membuat kain pamintan. Beliau khawatir, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan akan terkena tulah mata picak tangan tengkong.

Tanpa maksud menantang bahaya, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan menyatakan siap menanggung tulah itu. Mereka yakin tidak akan kualat terkena tulah itu karena tujuan mereka belajar membuat kain pamintan kepada Antung Kacil semata-mata didasari dengan niat tulus. Mereka ingin ikut serta berperan aktif dalam upaya melestarikan salah satu kekayaan budaya milik bersama etnis Banjar yang ketika itu sedang terancam kepunahan.

Entah bagaimana proses negoisasinya, hati Antung Kacil akhirnya luluh juga. Apalagi setelah mengetahui bahwa di dalam tubuh Ida Fitriah Kusuma juga mengalir darah bangsawan. Setelah cukup lama menimba ilmu kepada Antung Kacil, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan akhirnya mampu membuat kain pamintan secara mandiri.

Mengingat latar belakang pembuatannya tidak lagi didasari oleh permintaan, maka nama kain pamintan dirasa sudah kurang begitu tepat lagi. Nama baru yang dinilai lebih pas adalah kain sasirangan. Pada tanggal 24 Juli 1982, Ida Firiah Kusuma sudah berani mengajarkan ilmu yang baru dikuasainya kepada ibu-ibu warga kota Banjarmasin yang berminat. Selepas pelatihan itu, yakni tanggal 10 Agustus 1982, mereka membentuk Kelompok Kerja Pembuat Kain Sasirangan Banawati (Wulan, 2006).

Kain sasirangan produksi mereka mulai diperkenalkan kepada khalayak ramai pada tanggal 27 Desember 1982. Ketika itu mereka menggelar peragaan busana kain sasirangan di Hotel Febiola Banjarmasin. Sambutannya sungguh luar biasa. Sejak itu kain sasirangan mulai dikenal luas oleh segenap anggota masyarakat di Kalsel.

Bak gayung bersambut, kata berjawab, Gubernur Kalsel Ir. HM Said kemudian mengeluarkan kebijakan mewajibkan para PNS mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada setiap hari Jum’at (1985). Tidak hanya itu, para calon jemaah haji Kalsel juga diwajibkan mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada saat upacara pelepasan keberangkatan mereka di Aula Asrama Haji Landasan Ulin Banjarbaru.

Tahun 1987, kain sasirangan dipamerkan di Departemen Perindustrian Jakarta. Ketika itu Prayudi, seorang perancang busana terkemuka, didaulat untuk merancang busana dari bahan kain sasirangan. Warna asli kain sasirangan yang didominasi warna gelap mulai diberi tambahan warna terang yang lebih beragam untuk lebih menarik minat para pembeli (Baldi, 1993).

Masih dalam rangka lebih memperkenalkan kain sasirangan kepada khalayak ramai di luar daerah Kalsel, pihak pemerintah daerah berinisiatif memberikan cinderamata kain sasirangan berkualitas istimewa kepada para pejabat tinggi sipil dan militer yang berkunjung ke daerah kalsel. Tidak kurang dari Bapak KH Abdurrahman Wahid almarhum, Presiden Republik Indonesia masa bakti 2000-2003, tercatat sebagai tokoh nasional yang gemar mengenakan baju berbahan kain sasirangan.

Semakin lama, kain sasirangan semakin dikenal luas, hal ini merangsang para pengrajin untuk lebih giat lagi memproduksinya. Menurut catatan Baldi Fauzi (1993), pada tahun 1993 saja sudah tercatat 68 unit usaha pembuat kain sasirangan di kota Banjarmasin. Usaha kecil ini melibatkan tenaga kerja sebanyak 700 orang. Omset penjualan kain sasirangan ketika itu mencapai Rp. 98 juta per tahun (Kain Sasirangan, untuk Bergaya dan Penolak Bala, SKH Kompas Jakarta, 15 Agustus 1993). 

Ini berarti, sejak tahun 1985 fungsi kain sasirangan sudah kembali menjadi kain propan yang berfungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani  seluruh warga negara sebagaimana yang dulu berlaku sebelum tahun 1355. Tidak lagi berfungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan rohani para pengidap penyakit pingitan saja. 

Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

0 comments: