Monday, November 19, 2018

SEJARAH ASAL-USUL KAIN SASIRANGAN

Salah satu motif kain sasirangan

Tajuddin Noor Ganie

Pada zaman prasejarah pakaian berfungsi sebagai pelindung tubuh manusia dari sengatan panas matahari, hawa dingin yang menusuk tulang, gigitan binatang berbisa, terkena miang yang membuat kulit menjadi gatal-gatal, dan terkena tusukan duri atau benda-benda tajam lainnya.

Pakaian manusia pada zaman prasejarah itu dibuat dari bahan-bahan yang relatif sederhana, tapi proses pembuatannya sangat sulit sehingga harus dibuat dalam waktu yang relatif lama, seperti kulit kayu, kulit binatang, serat, dedaunan, dan akar tumbuh-tumbuhan.

Alat yang dipergunakan untuk membuat pakaian juga sangat sederhana, seperti alat pemukul yang dibuat dari batu atau kayu dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang Sulteng menyebut alat ini fuya, sementara orang Papua menyebutnya capo.

Teknologi pembuatan pakaian dari bahan kapas sudah mulai dikenal di India sejak 1500 SM. Pembuatan pakaian dengan bahan kapas inilah yang di kemudian hari melahirkan teknik kria ikat celup dalam proses pembuatan gambar dengan corak dan warna pada sehelai kain.

Farid Abdullah (2003) dalam tulisannya di SKH Kompas Jakarta memaparkan bahwa teknik kria ikat celup sebenarnya sudah dikenal orang sejak tahun 906-618 SM.

Penetapan itu didasarkan pada perkiraan usia atas sejumlah artefak kain sutra di ruang bawah di banyak tempat di daerah Astana dan Khotan, Shenkiang, Turkistan Selatan (Kria Ikat Celup dalam Ruang dan Waktu, SKH Kompas Jakarta, 17 Agustus 2003).

Kota Shenkiang ketika itu berada di bawah kekuasaan Dinasti T’ang. Dari sini, kain sutra yang sudah diberi gambar dengan corak dan warna yang khas (disebut kain Kokichi) kemudian dijual sebagai barang ekspor yang berharga mahal ke India, Timur Tengah, dan bahkan sampai ke Italia melalui jalur sutra yang sudah mulai terbuka ketika itu.

Masih pada zaman Dinasti Tang, teknik kria ikat celup kain ini menyebar-luas sampai ke Jepang. Pada masa pemerintahan Nara (794-552 SM) sudah dimulai tradisi pembuatan kain Yuhata yang teknik pembuatannya sama dengan  teknik pembuatan kain Kokichi. Yu artinya ikat dan hata atinya kain (Abdullah, 2003:idem). Boleh jadi kain Yuhata inilah yang baru-baru ini diklaim sebagai kain sasirangan Jepang itu.

Di India, tepatnya di Ajanta, teknik kria ikat celup kain ini melahirkan tradisi pembuatan kain Bandana atau Badhana. Berbeda dengan Ko Kichi dan Yuhata yang dibuat dari kain sutra, kain Bandana di India dibuat dari kain katun. Disebut kain Bandana atau Badhana karena orang yang membuatnya adalah para wanita bersuku bangsa Bandhani.

Konon, demi memudahkan pekerjaan sebagai pembuat kain Bandana atau Badhani, para wanita suku Bandhani sengaja memanjangkan kuku-kuku jari tangannya. Tradisi pembuatan kain Bandana atau Badhana ini sudah dilakukan sejak zaman India purba. Hal ini terbukti dari adanya lukisan tentang hal ini di goa Ajanta, India.

Selain di Ajanta, kain sejenis Bandana atau Badhani ini juga diproduksi di Rajastan, Gujarat, Bombay, Hindustan, Koramandel, Sindh, dan Hyderabat. Bermula dari kota-kota inilah teknik kria ikat celup kain ini menyebar-luas ke seluruh kawasan Asia Tengah dan Asia Tenggara.

Di Asia Tenggara, kain ikat celup dikenal sebagai kain pelangi. Para pembuatnya antara lain suku bangsa Moon (Thailand), dan suku bangsa Cham (Kamboja). Teknik kria ikat celup mulai dikenal di tanah air kita sejak ditemukannya teknologi pembuatan kain tenun pada masa Neolitikum sekitar 3.000 tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda prasejarah berupa alat tenun dan alat tera di situs-situs purbakala seperti Gilimanuk, Melolo, Sumba Timur, Gunung Wingko, dan Yogyakarta (Halimi, 2007). Bukti lain, gambar manusia dan bahkan kera pada relief-relief di Candi Borobodur dan Candi Prambanan sudah digambarkan sebagai makhluk hidup yang mengenakan pakaian yang terbuat dari kain.

Cerita rakyat Dayang Sumbi dan Sangkuriang tak pelak lagi juga merupakan bukti yang berkaitan dengan adanya kegiatan pembuatan kain di Tanah Pasundan pada zaman dahulu kala (Halimi, 2007).

Selain itu, pada sejumlah prasasti Jawa kuno juga ada dituliskan sejumlah istilah yang berkaitan erat dengan kegiatan pembuatan kain tenun, seperti
1.    Istilah kalambi yang artinya baju pada Prasasti Karang Tengah (847 M),
2.    Istilah makapas artinya pedagang kapas pada Prasasti Singosari (929 M)
3.    Istilah makapas artinya pedagang kapas pada Prasasti Cane (1021 M)
4.    Istilah pawdikan yang artinya penenun pada Prasasti Baru (1034)
(Halimi, 2007).   

Merujuk kepada paparan yang ada di dalam Hikayat Banjar (selesai ditulis tahun 1728), kain sasirangan sudah dikenal orang sejak tahun 1355. Ketika itu kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Namun, sudah barang tentu kain langgundi yang dibuat pada kurun-kurun waktu dimaksud (tahun 1355) sudah tidak mungkin ditemukan lagi artefaknya.

Menurut laporan Wulan (2006), kain sasirangan yang paling tua berusia sekitar 300 tahun. Kain sasirangan ini dimiliki oleh Ibu Ida Fitriah Kusuma salah seorang warga kota Banjarmasin.

Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa. Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak akan banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama.

Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa. Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu (1362) meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih perjaka.

Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang harus selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.

Kata Putri Tunjung Buih :
“Aku tiada mau diam di dalam candi itu, karana bakas barhala. Sida manyuruh maambil batung batulis di gunung Batu Piring itu ampat kayu itu akan tihangnya. Buatkan aku mahligai tampatku diam. Jadikan sahari ini jua itu.
Maka aku suruh parbuatkan tapih kuning, panjangnya tujuh hasta, libarnya tujuh kilan, buatkan jadi sahari ini jua akan tudungku naik ka mahligai itu. Anak dara ampat puluh yang mambuatnya itu, jangan orang yang sudah balaki.”
Sudah itu hari pun siang, sahut Lambung Mangkurat :
“Baiklah tuanku.”
(Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)

Terjemahan bebas
Kata Putri Tunjung Buih :
“Aku tidak mau bertempat tinggal di dalam candi yang sudah ada, karena candi itu pernah dijadikan sebagai tempat meletakkan patung yang diberhalakan.
Aku memerintahkan engkau menebang empat batang pohon betung bertulis yang tumbuh di Gunung Batu Piring.
Lalu dirikanlah buatku sebuah mahligai tempatku bertahta. Mahliugai itu harus selesai dibangun dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang laki-laki yang kesemuanya masih perjaka.
Selain itu, buatkan pula sehelai kain berwarna kuning yang panjangnya tujuh hasta dan lebarnya tujuh kilan. Kain itu harus selesai ditenun dalam tempo satu hari oleh 40 orang penenun wanita yang kesemuanya masih perawan.
Aku akan menjadikan kain itu sebagai penutup tubuhku ketika naik ke darat menuju ke mahligai.
Setelah itu hari pun siang. Lambung Mangkurat menyahut titah itu dengan takzimnya:
“Baiklah tuanku.”
(Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)

Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat dipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih perjaka, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih. 

Agaknya perlu dijelaskan bahwa sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya, para tukang (pandai kayu) dan penenun (pandai benang) ketika itu menempati posisi yang sangat terhormat dalam stratifikasi sosial di Kerajaan Negara Dipa. Posisi mereka sama terhormatnya dengan para empu penempa besi (pandai besi), yakni termasuk dalam strata kaum teknorat yang cerdik pandai.

Keberadaan pandai besi, pandai kayu, dan pandai benang dalam jumlah yang relatif banyak di Kerajaan Negara Dipa merupakan bukti implikatif yang menunjukkan statusnya sebagai kerajaan dengan kemampuan teknologi yang relatif tinggi.

Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan alam gaib yang menjadi tempat persemayamannya selama ini yakni suatu tempat yang terletak di kedalaman Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning hasil tenunan 40 orang penenun wanita yang masih perawan.

Sejak itu, warga negara Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi. Mereka khawatir akan kualat karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu menjadi raja putri junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi tidak lagi membuatnya secara massal dalam jumlah banyak. Mereka hanya membuat kain langgundi sekadar untuk memenuhi keperluan sandang bagi kalangan bangsawan saja.

Sehubungan dengan itu, maka di kemudian hari dikenal istilah lain yang digunakan untuk menyebut kain langgundi, yakni kain pamintan. Bahasa Banjar artinya kain yang dibuat hanya berdasarkan atas permintaan saja.

Sumber gambar: koleksi pribadi

0 comments: