Thursday, November 22, 2018

Inilah 6 Puisi Bertema Kepedulian terhadap Hutan Paling Menyentuh Hati



Siapa yang tak mengenal angka 17 dalam Agustus? 

Itu adalah angka yang sangat istimewa dan angka termanis bagi bangsa Indonesia. Mungkin demikianlah yang muncul di benak Anda. Hal itu sangat wajar. Sebab, pada tanggal itulah, pada tahun 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Maka, menjadilah bangsa kita bebas dari penjajahan bangsa asing. Alhamdulillah. Dan, setiap tahun kita merayakan hari yang sangat bersejarah tersebut.

Akan tetapi, selama di alam kemerdekaan ini, sudahkah bangsa kita hidup sesuai yang telah dicita-citakan para pejuang zaman dulu? Alam kita misalnya, apakah sungai-sungai kita tetap lestari? Airnya mengalir jernih dari hulu ke hilir tanpa tercemar limbah apa pun?

Yang tak kalah pentingnya daripada sungai, adalah hutan. Apakah hutan-hutan kita masih tumbuh dengan subur? Hijau dan sejuk? Burung-burung beterbangan riang dan satwa lainnya hidup dengan tenang di dalamnya? Sebagai contoh, sebut saja di Kalimantan. Di pulau yang dikenal juga dengan sebuta Borneo ini, hutan yang dulu hijau, kini kian gersang saja. Hawa panas ketika musim kemarau tiba sangat terasa. Begitu pun banjir sering terijadi tatkala hujan turun.

Lalu di mana puisi? 

Adakah pengaruh positif dari puisi terhadap pembangunan bangsa kita, baik dulu maupun sekarang? Puisi memang tidak langsung mengubah sesuatu atau kumpulan sesuatu menjadi sesuatu wujud yang lain, semisal bahan-bahan material menjadi gedung megah. Namun, dengan puisi, penyair berusaha menggugah jiwa manusia bangkit menuju ke hal-hal positif. Sebut saja para penyair berusaha menggugah kesadaran  masyarakat dan pemerintah agar lebih peduli terhadap hutan, seperti tidak membakar hutan, menindak pelaku perburuan satwa liar yang dilindungi, dan melakukan reboisasi. 

Dengan itu, diharapkan hutan-hutan di Indonesia yang kini mengalami krisis akan membaik sehingga banjir, tanah longsor, dan lainnya akan berkurang. Nah, kembali kepada alam seperti tersebut di atas, berikut ada enam puisi bertema kepedulian terhadap hutan. Selamat membaca, mengapresiasi, dan menginterpretasi semuanya!

Hutan di Mataku

Karya Micky Hidayat


sebuah hutan
tak bernama
tak berpeta
tak terbaca
terhampar di anganku

sebuah hutan
tak berpohon
tak berakar
tak berdahan
tak beranting
tak berdaun
terbakar di jantungku

sebuah hutan
menjerit-jerit
melolong-lolong
mengerang-erang
meraung-raung
merintih-rintih
terkapar di lorong jiwaku

sebuah hutan
menjelma jadi api, asap,
bara, dan puing
berserakan di ruang sunyiku

sebuah hutan
adalah luka adalah duka
sebuah hutan
adalah perih adalah pedih
sebuah hutan
menjadi hujan di mataku
menderaskan bencana
berkepanjangan

2005



Hutan yang Hampir Habis

Karya Mohamed Salleh Lamry


Dulu negeriku banyak hutan
di mana tersimpan banyak pokok besar
yang usianya mencapai ratusan tahun.

Ada yang dibuka oleh pemerintah
untuk rancangan pembangunan tanah
bagi petani miskin yang tidak bertanah.

Tapi lebih banyak yang  dibuka
oleh pengusaha kaya yang rakus
yang mahu keuntungan segera
tanpa mengira apa akibatnya.

Setelah puluhan tahun berlalu
hutan di negeriku hampir habis
yang tinggal hanya hutan simpan
itu pun ada yang mencurinya
mereka bersekongkol
dengan pegawai negeri yang tidak amanah.

Apabila musim hujan tiba
banjir besar datang melanda
kerana  tidak ada lagi hutan untuk menyerapnya.

Banyak tanaman dan rumah musnah
ramai rakyat  marhaen yang mendapat susah
tapi pengusaha kaya yang tinggal di kota
yang rumah besarnya tersergam megah
tidak menghadapi  kerugian apa-apa.



Ketika Singgah di Kotamu

Karya Iyut Fitra


hampir Magrib aku sampai di kotamu
sebelumnya kulihat hutan sudah menepi, sisa asap dan petak-petak rapi
kubayangkan seekor burung kepanasan dan yang lain terbang
dengan sayap terbakar. seolah bau dedaun dan ranting tinggal cerita
kawanan yang tak punya rumah. arah sungsang kehilangan sarang
ke mana rimbun itu dibawa?

seperti biasa, malamnya kita duduk di batanghari
jagung bakar dan segelas air tebu. kata-kataku mati, puisi di sini hanya barisan
mayat-mayat tak berarti, katamu seolah ingin membuang semuanya
di seberang, penduduk asal mungkin airmatanya lebih. mungkin perih
mengalir ke sungai ini
dan juga bertanya, ke mana rimbun itu dibawa?

Jambi, 2010



Hutan Mati

Karya Rissari Yayuk


Kepak elang tak lagi terlihat di ujung kampung
Dia beri kabar kalau mangsanya tinggal belatung
Pemburu tak lagi tambatkan jebakannya di lereng gunung
Mereka beri kabar kalau babi hutan dan kijang tak lagi bisa terkurung

Pencari rotan pun  kini tak bisa bawa hasil dalam gulungan
Mereka beri kabar kalau  belukar kini semakin hilang
Peracik obat alam kini tak leluasa temukan dedaunan
Mereka beri kabar kalau  kini daun berganti tanah merah

Ya. Tanah merah yang membuat kayu manis menangis
Aroma daunnya tak mampu semaikan perkampungan dan pegunungan
Sebab tubuhnya telah diberangus oleh parang dan mesin raksasa pembunuh

Ya. Tanah merah yang membuat gunung tak lagi  biru
Sebab gaun indahnya telah dikoyak paksa untuk lahan batu bara tanpa keluh

Ya. Tanah merah yang memberi tanda kalau telah telan hijaunya alam rimba
Alam yang kini telah berganti dengan lahan karet dan kelapa sawit

Ke manakah elang kan cari mangsanya
Ke manakah pemburu kan tambatkan jebakannya
Ke mana para pencari rotan kan tambah gulungannya
Ke mana para peracik obat kan temukan dedaunannya

Ke mana?
Ke mana elang kan mengadu, jikalau kampung kini diam membisu
Ke mana pemburu kan mengadu, jikalau gunung kini tak lagi biru
Ke mana pencari rotan kan mengadu, jikalau belukar tak lagi menghijau
Ke mana peracik obat kan mengadu, jikalau daun kini sudah tak punya pohon dan ranting

Hutan negeri tak bisa lagi beri janji
Janji pada elang, pemburu, pencari rotan, dan peracik obat
Janji tuk bisa terus berbagi
Sebab jantungnya mati ditusuk bayonet putra sendiri dan  yang mengaku kerabat!

        
 
Kerakap Membatu Musim demi Musim

Karya Setia B Borneo


Menancap di dinding berbatu
Kerakap musim kemarau
Sekadar mencuri air
Menghisap lumut berplasenta

Demikianlah bukit-bukit hutan menyerah pada longsor
Sejuta cengkeram tercerabut ribuan bolduzer
Mata gergaji dengan geram memotong nadi
Akar gantungan tinggal kenangan

Anak-anak dengan tangisan rintih mengirimkan kabar pilu
Ibunda mereka terkubur tercerabut menghantam sawah ladang
Ibunda itu bernama Dewi Sri yang menggenggam setangkai padi
Memberi mereka buah-buah dan sayur mayur

Siapakah yang salah
Ataukah pada pergantian musim
Ketika malapateka runtuh dari atas bukit

Akar kering menutup sumur tua di lereng perbukitan
Sebab air telah lama beracun pestisida
Kerakap itu membatu musim demi musim
Sedang Ibunda Dewi Sri telah lama menghilang
Terbang jauh bersama asap dupa dan kematian

Malay 2014



Apa Kabar Hutan

Karya Sulchan MS


Mendengar, rumput-rumput mati
Tanah kering kerontang
Tandus retak berlubang

Mendengar, asap-asap liar meracuni daun
dan ranting terbakar
Hangus rata terkapar

Mendengar, pohon-pohon tumbang
Tunas-tunas terpasung
Gersang tak terhitung

Mendengar, pembalakan liar membabi buta
Merampas, menjarah seenaknya
Tak tersisa, hingga akar-akarnya 

Seketika hati pun merintih pedih
Menyaksikan hutanku yang kini merangkak tertatih
Hilang segala teduh merimbun
Yang dulunya hijau dibasahi embun
Kini rata dengan arang dan sisa asap
Tergeletak, berserak, panas, dan pengap

Apa kabar hutan ?
Bagaimana jika nanti anak cucu bertanya tentangmu
Tentang sejuk rindangmu dan aneka jenis pohonmu
Tentang hijau rimbun daunmu dan subur tanahmu
Tentang rumah satwa berlindung dan istana burung-burung
Tentang nasib berpuluh ribu nyawa darimu mereka bergantung

Apa hanya mampu terdiam bisu
Menyaksikan nasibmu tak lagi sehijau dulu
Menyimpan cerita kelam tentang kebinasaan hutan
Dari muramnya sejarah peradaban

Apa kabar hutan?
Kau kah itu,
Yang kini sedang menjerit bagai diiris sembilu 

Kudus, 27 Juni 2016


Biodata Para Penyair

Micky Hidayat lahir di Banjarmasin, 4 Mei 1959. Mulai bergiat menulis sajak sejak tahun 1978. Di samping sajak, ia juga menulis esai sastra, ulasan/kritik sastra dan teater, reportase seni, resensi, artikel masalah sosial, politik, dan gerakan mahasiswa, di sejumlah media cetak daerah dan nasional antara lain, Pelita, Republika, dan Majalah Horison, serta di beberapa Jurnal Sastra. Kumpulan sajak tunggalnya Meditasi Rindu (Tahura Media, Banjarmasin, 2008, dan Penerbit Bukupop, Jakarta, 2009). Pembicaraan atas sajak-sajaknya terhimpun dalam buku Memikirkan Sajak-sajak Micky Hidayat (Pustaka Puitika, Yogyakarta, 2016). Sajak-sajaknya juga diterbitkan dalam antologi bersama di berbagai event/forum dan festival sastra lokal dan nasional. Ia juga menjadi editor beberapa buku antologi sastra karya sastrawan Kalimantan Selatan. Mengikuti berbagai forum sastra dan pembacaan puisi di Kalimantan Selatan dan berbagai daerah di tanah air.

Mohamed Salleh Lamry, orang keturunan Banjar dari Malaysia, lahir di Selangor pada tahun 1942. Pernah menjadi dosen Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), pada  tahun 1978-2003.  Pernah menulis sajak,  cerita pendek,  dan novel  pada tahun 1960-an. Kini ia menulis sajak lagi, setelah tidak menulis selama kira-kira 40 tahun. Alamat untuk dihubungi: ms.lamry@gmail.com.

Iyut Fitra lahir di Payakumbuh 16 Februari. Karya-karyanya dalam bentuk puisi dan cerpen telah diterbitkan di berbagai media di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Beberapa kali menjadi pemenang dalam lomba cipta puisi seperti, pemenang lomba cipta puisi Sanggar Minum Kopi Bali dan pemenang lomba cipta puisi 100 tahun Bung Hatta. Selain itu, ia juga mendapatkan ANUGRAH SASTRA dari Balai Bahasa Padang sebagai pegiat yang telah berjasa membina dunia sastra dan penulisan kreatif di Sumatra Barat. Beberapakali juga diundang ke even-even nasional dan internasional antara lain, Mimbar Penyair Abad 21 di Jakarta, Pertemuan Penyair 8 Kota di Jakarta, dan Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru Malaysia. Karya-karyanya yang sudah terbit Musim Retak, Dongeng-dongeng Tua, Beri Aku Malam (Kumpulan Puisi), Orang-orang Berpayung Hitam (Kumpulan Cerpen). Kini aktif di Komunitas Seni INTRO Payakumbuh.

Rissari Yayuk, lahir di Kandangan, 4 Juni 1976. Selain gemar menulis puisi, juga aktif meniliti di bawah komando pemimpin Balai Bahasa Kalimantan Selatan. Dapat di temui di Herlina B/24 Kuin Utara Banjarmasin.

Setia Budhi nama pena Setia B Borneo. Lahir di Marabahan, Barito Kuala, 1 Januari 1965. Ia melanjutkan studi dengan mengambil spesialisasi Anthropology di Universiti Kebangsaan Malaysia dan lulus Ph.D. tahun 2011. Selain mengajar di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan Banjarbaru, ia aktif dalam berbagai seminar nasional dan internasional. Tahun 1998 bersama beberapa tokoh Kalimantan Selatan mendirikan Center for Regional Development Studies –CRDS untuk kajian opini publik dan pembangunan. Sampai tahun 2000 aktif dalam membangun jejaring sosial dan pemerintahan dan adat pada lima kawasan Kabupaten DAS Barito. Dalam lima belas tahun terakhir ia menekuni bidang Anthropology, selain melakukan penelitian, ia juga melakukan pengembangan masyarakat berbasis kearifan lokal. Tahun 2004 bersama Tim Jurnalis Kompas melakukan ekspedisi Anthropology Sungai Barito—Mulle  Schawanner–Sungai Mahakam. Sejak tahun 1980-an aktif bersama penyair mengisi acara Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni RRI Banjarmasin, asuhan Hijaz Yamani.  Mengikuti  pertemuan Sastrawan di Kalimantan Selatan. Menulis Puisi dan Cerita Pendek untuk Banjarmasin Post, Media Kalimantan, dan Radar Banjarmasin. Kumpulan Cerpen Gadis Dayak terbit di Banjarbaru tahun 2005. Tahun 2012 menulis naskah monolog Tanah Ayungku. Akhir tahun 2014 menerbitkan antologi puisi  Tanah Semenanjung dan Kumpulan Cerpen Nyanyian Balian. Tahun 2015 dengan Antologi Cerpen Rumah Hutan bersama Penerbit Pustaka Banua.

Sulchan MS lahir di Kudus, Jateng, 30 Oktober 1987 dan tinggal di kota yang sama. Menulis puisi dan naskah drama. Aktif membina kelompok teater pelajar (teater pelangi) di Kudus sejak 2008. Karya puisinya banyak tergabung dalam antologi puisi bersama antara lain, Memo Anti Terorisme (MAT) bersama 250 penyair Indonesia (Penerbir Forum Sastra Surakarta, 2016), Bahtera Nelayan bersama bersama 100 penulis Nusantara (Penerbit Genom, 2016), Hijrah ke Jalan-MU bersama 117 penulis Nusantara (Penerbit Nahima Press, 2016 ), Senyuman (Penerbit Hikari Publisher, 2016 ), Kata Kasih untuk Ibu ( Penerbit Uwais, 2016 ), dan Arus Puisi Sungai (Penerbit Tuas Media, 2016). Akun facebook: Mangir Chan, pos-el: mangir.mangirchan@gmail.com, & nomor ponsel: 085865503040.


Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

1 comments:

Unknown said...

Terima kasih kerana memuat sajak saya seperti di atas. Sebenarnya kerana masalah komunikasi, s sehingga kini saya masih belum melihat dan
memiliki buku antologi sajak yang memuatkan sajak saya itu.