Monday, November 12, 2018

Bidan Salwa





Oleh Teguh Winarsho AS

BERJALAN tertatih-tatih menerobos gelap malam, perempuan hamil itu terengah kehabisan nafas. Tapi ia terus melangkah sebab rumah itu sudah semakin dekat. Ia bisa melihat kerlip lampu teras rumah itu seperti kunang-kunang. Juga pagar bambu di seling pohon perdu. Selain itu, rasa sakit di perutnya sudah tak tertahan, mual, mulas. Ini adalah kehamilan pertama sejak dua tahun menikah dan ia tak mau melahirkan di tengah jalan, disergap dingin. Ia harus cepat-cepat menemui Bidan Salwa, perempuan penghuni rumah itu, satu-satunya bidan di kampung.
Sempoyongan perempuan hamil itu saat menapakkan kaki menaiki undakan teras. Tapi rumah bidan Salwa tampak sepi seperti tidak berpenghuni. Diketuknya pintu dengan tangan gemetar lantaran menahan mual di perutnya. Tapi hingga ketukan kelima, tidak ada jawaban dari dalam. Perempuan itu kian cemas menggigit bibir, mengusap-usap perutnya yang tampak besar dalam bayangan lampu neon. Menggelembung seperti tumbuh balon. Ke mana bidan Salwa pergi? Kenapa selarut ini belum pulang? Perempuan itu bertanya-tanya dalam hati. Pertanyaan yang membuat perasaannya tak enak.
Lelah berdiri, perempuan hamil itu duduk di bangku teras, mengatur nafasnya yang masih terengah. Angin malam yang dingin tiba-tiba meniup kantuk, kelopak matanya perlahan memejam, tertidur di atas bangku panjang. Sangat lelap tidurnya hingga tak terusik oleh denging nyamuk-nyamuk nakal berebut menggigit sekujur tubuhnya. Juga saat sebuah bayangan putih berkelebat di jalan depan, membuka pintu pagar, menghampiri. Dia adalah bidan Salwa, perempuan cantik, masih muda.
Tersentak perempuan hamil itu, menggosok-gosok mata, seperti baru mendapat mimpi buruk ketika bidan Salwa mengguncang bahunya pelan. Sejuta gugup menyelinap di dadanya manakala bersitatap dengan bidan Salwa yang telah berdiri anggun di depannya. Juga rasa kagum aneh. Bahkan di bawah cahaya lampu muram, kecantikan bidan Salwa tampak nyata. Sempurna. Berhadapan dengan bidan Salwa, perempuan itu merasa menjadi seorang buruk rupa.
“Sudah lama menunggu, Masita?” Lembut tatapan bidan Salwa membuat Masita, perempuan hamil itu, kembali gugup membetulkan duduk. Ia telah melupakan rasa sakit di perutnya. Tapi sesuatu lain tiba-tiba bergolak di dadanya. Terus bergolak seperti debur ombak. Tapi sekuat tenaga Masita berusaha meredamnya. Masita tak ingin bidan Salwa membaca perasaannya yang gelisah.
“Ayo, masuklah…” suara bidan Salwa terdengar keras di lengang malam sembari membimbing lengan Masita masuk ke dalam rumah. Masita merasakan betapa lembut tangan bidan Salwa. Betapa harum tubuhnya. Kulitnya kuning langsat seolah menguar cahaya. Tidak seperti miliknya yang kasar tidak terawat.
“Apa yang kamu rasakan Masita?” tanya bidan Salwa usai Masita berbaring di atas ranjang ruang periksa.
“Perutku sakit sekali. Apakah aku akan melahirkan?” Suara Masita lirih.
Bidan Salwa tersenyum, memeriksa denyut nadi Masita. Mengusap-usap perut Masita. Menepuk-nepuknya pelan. Lalu: “Tidak malam ini, Masita. Mungkin empat atau lima hari lagi. Kau hanya terlalu capek dan banyak pikiran. Sebaiknya kau istirahat yang cukup…” Bidan Salwa beranjak mengambil botol kecil dari almari, menumpahkan isinya, —berupa pil-pil warna merah jambu, dibungkus plastik lalu diberikan pada Masita. “Ini hanya vitamin. Minumlah setiap habis makan.”
Gemetar tangan Masita menerima bungkusan itu. Secara tiba-tiba telinga kirinya berdenging seperti isyarat buruk. Lagi, sesuatu bergolak di dada Masita, kali ini sangat kuat, menghentak. Malam kian mencekam di benak Masita. Ruang periksa itu tiba-tiba terasa panas. Gerah. Tak ada kipas angin. Yang ada hanya gunting, pisau bedah, jarum suntik dan botol-botol putih berderet di dalam lemari kaca. Benarkah pil-pil itu vitamin? Bukan racun mematikan? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di batok kepala Masita seperti baling-baling pesawat.
“Kau datang sendirian, Masita. Pasti suamimu tidak di rumah.” Sambil lalu bidan Salwa mengucapkan kata-kata itu, —sambil memberesi kertas-kertas yang berserak di atas meja, namun cukup membuat Masita gelisah.
Wajah Masita tiba-tiba bersemu merah. Teringat sejak sore tadi suaminya memang pergi meninggalkan rumah. Dan bidan Salwa? Kenapa pada saat bersamaan bidan Salwa juga pergi meninggalkan rumahnya? Ke mana? Darah Masita kembali berdesir. Jantungnya nyeri seperti tertusuk duri. Benarkah…
***
LELAKI itu, suami Masita, cuma tertawa sewaktu Masita mengutarakan niatnya membuang pil-pil pemberian bidan Salwa. Masita yakin bahwa pil-pil itu bukan vitamin melainkan racun yang akan membunuh dirinya dan bayi di dalam perutnya. Masita tak mau mati konyol usai menelan pil-pil itu. Mestinya usai sarapan, ia menelan sebutir. Tapi memandang pun ia enggan.
“Percayalah, kau tidak akan mati oleh pil-pil itu,” kata lelaki itu di antara derai tawanya yang renyah.
“Hari ini mungkin tidak. Tapi bagaimana jika besok pagi?”
“Kau jangan mengada-ada, Masita. Bidan Salwa perempuan baik-baik. Untuk apa membunuhmu?” lanjut lelaki itu berusaha menghentikan tawanya, tapi gagal.
Masita terdiam. Sadar dan menyesal telah mengutarakan niatnya pada lelaki itu. Mestinya ia langsung membuang pil-pil itu ke bak sampah. Atau menghanyutkan di selokan depan rumah. Muncul kekecewaan di hati Masita pada lelaki itu yang diam-diam mengagumi bidan Salwa. Ah, mungkin tidak sekadar kagum saja, sebab di antara keduanya dulu semasa sekolah pernah terjalin hubungan asmara. Hanya karena orangtua bidan Salwa tak merestui hubungan itu, maka kisah kasih itu tidak berlanjut. Tapi kini orangtua bidan Salwa sudah tiada. Segalanya bisa terjadi.
Dan, benarkah kasak-kusuk itu? Benarkah lelaki itu kini menjalin hubungan khusus dengan bidan Salwa? Sejauh mana hubungan mereka? Memang, kadang sulit dipercaya omongan orang-orang kampung yang cuma iseng, kurang kerjaan. Tapi kenyataan lelaki itu mengagumi bidan Salwa, sering membuat Masita ketakutan. Resah. Gelisah. Benarkah.
“Kukira kau sudah terhasut omongan orang-orang kampung.” Lelaki itu memecah sunyi. “Lagi pula siapa nanti yang akan membantu persalinanmu jika bukan bidan Salwa? Percayalah aku tak ada hubungan apa-apa dengannya.”
“Tapi kau mengaguminya.” Sesak dada Masita mengucapkan kata-kata itu.
“Sebatas kagum, apa salahnya? Aku juga kagum padamu. Kau perempuan cantik yang tabah.”
Masita kembali terdiam. Di benaknya membersit sebuah kesadaran. Ya, tak ada salahnya seseorang mengagumi seseorang lain. Hanya sebatas kagum saja apa salahnya? Batin Masita teringat dirinya juga mengagumi ketampanan Armando kekasih Betty La Fea dalam serial telenovela. Ah… Dan sewaktu lelaki itu beranjak pergi, perlahan-lahan Masita mengeluarkan sebutir pil dari bungkusan plastik lalu menelannya.
***
SUDAH hampir satu jam bidan Salwa gelisah di kamarnya. Apalagi ketika sayup-sayup terdengar gema alunan ayat suci, menyusup gendang telinganya. Perasaannya kian hancur. Lebur. Seandainya ia bisa memutar waktu beberapa jam ke belakang, ia berharap peristiwa menyakitkan itu tidak terjadi. Tapi ia tak bisa melakukan itu, sebab waktu terus melaju. Kini tinggal penyesalan yang dalam. Mungkin sia-sia. Masih terbayang jelas di benak bidan Salwa peristiwa Subuh tadi, sewaktu membantu persalinan Masita. Meski telah berusaha sekuat tenaga, tapi ia hanya berhasil mengeluarkan bayi laki-laki montok dari rahim Masita. Sedang nyawa Masita tidak selamat lantaran pendarahan hebat.
Baru pertama kali ini ia merasa gagal menjalankan tugasnya. Ia sangat terpukul. Merasa berdosa. Sungguh pengalaman yang menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi karena perempuan malang itu adalah Masita. Teringat bidan Salwa bagaimana tatapan orang-orang yang pagi tadi membawa pulang jenazah Masita. Begitu muak, penuh kebencian, membuat dirinya seperti makhluk paling celaka di dunia. Justru lelaki itu, suami Masita, dalam dukanya yang dalam hanya menunduk tanpa kata-kata.
Kini di kamarnya yang serba putih, bidan Salwa gelisah, bingung, apakah akan berangkat melayat atau tetap tinggal di rumah. Berkali-kali ia melirik arloji di tangannya. Berkali-kali mengusap cairan bening di sudut matanya. Hingga entah, tiba-tiba ada sebuah kekuatan gaib menggerakkan kedua kakinya menghampiri pintu depan. Memutar gagang pintu, lalu dengan langkah tegar berjalan keluar menyusuri jalan kampung yang lengang di bawah terik matahari siang memanggang….

(cerita utk: ama, aw, oscr, swa) Kulonprogo, 2002

Dapat dibaca pula di http://sastra-indonesia.com/2010/10/bidan-salwa/

Teguh Winarsho AS lahir di Kulonprogo, Wates, Yogyakarta, 27 Desember 1973. Banyak menulis cerpen, puisi, esai, dan novel. Karya-karyanya tersebar di berbagai media massa seperti, Harian Kompas, Koran Tempo, Republika, Majalah Horison, dan Annida. Karya-karyanya juga terkumpul dalam antologi Kepak Merpati (1996), Tamansari (1998), Aceh Mendesah dalam Napasku (1999), Embun Tajjali (2000), Waktu Nayla (2003). 

Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

0 comments: