Sunday, November 11, 2018

Mamanda dan Eksistensi Bahasa Banjar



Mahmud Jauhari Ali



Secara administratif, Kalimantan Selatan terletak di bagian tenggara Pulau Kalimantan dengan batas-batas, yakni sebelah utara dengan Kalimantan Timur, sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Selat Makasar, dan sebelah barat dengan Kalimantan Tengah (Sam’ani dkk, 2005:7).

Provinsi ini mayoritas didiami oleh masyarakat dari suku Banjar. Hal inilah salah satu penyebab bahasa yang dipakai masyarakat sini pada umumnya juga bahasa Banjar. Memang kita temukan pula pemakaian bahasa-bahasa lain di daerah ini, seperti bahasa Bakumpai, bahasa Dusun Deyah, bahasa Ma’anyan, dan bahasa-bahasa Dayak lainnya di sepanjang Pegunungan Meratus, tetapi pemakaian bahasa-bahasa tersebut dipakai dalam kelompok masing-masing suku yang bersangkutan saja.

Sebagai contoh, bahasa Bakumpai dipakai oleh masyarakat suku Bakumpai atau bahasa Ma’anyan dipakai dalam masyarakat suku Ma’anyan. Berbeda dengan bahasa-bahasa tersebut, bahasa Banjar merupakan bahasa perantara (lingua pranca) di Provinsi yang dikenal dengan julukan Bumi Lambung Mangkurat ini. Semua suku yang ada di sini dapat menggunakan bahasa Banjar. Dengan demikian, masyarakat dari suku Banjar tidak harus menguasai bahasa dari suku lain jika ingin berkomunikasi dengan masyarakat dari suku lain tersebut. Misalnya, masyarakat Suku Banjar tidak perlu menguasai bahasa Bakumpai jika ingin berkomunikasi dengan masyarakat Suku Bakumpai. Sebab, orang-orang Bakumpai akan menggunaan bahasa Banjar jika mereka berkomunikasi dengan orang-orang Banjar.

Sebagaimana suku lainnya, masyarakat Banjar memiliki khazanah sastra yang sudah hidup dan berkembang sejak dahulu. Media yang digunakan dalam sastra lisan ini juga menggunakan bahasa Banjar yang terdiri atas puisi, prosa fiksi, dan teater tradisional. Bentuk puisi dapat berupa mantra, syair, dan pantun. Khusus mantra, terbagi dalam empat jenis, yakni mantra Banjar jenis tatamba, mantra Banjar jenis tatulak, mantra Banjar jenis pinunduk, dan mantra Banjar jenis pitua. Sedang bentuk prosa fiksi dapat berupa mite, legenda, dan dongeng. Contoh bentuk prosa fiksi yang dapat kita temukan adalah hikayat Lambung Mangkurat. Dan, salah satu jenis teater tradisonal di Provinsi Kalimatan Selatan yang sampai hari ini masih dipentaskan, walaupun tingkat frekuensi pementasannya mulai berkurang adalah mamanda.

Mamanda merupakan salah satu teater tradisional di Indonesia yang berasal dari Kalimantan Selatan. Teater tradisional ini dapat kita sebut sebagai salah satu sastra daerah yang setingkat dengan sastra daerah sejenis di daerah lainnya seperti lenong di daerah Jakarta dan ketoprak di daerah Jawa. Bahasa yang digunakan para tokoh dalam pementasan mamanda adalah bahasa Banjar yang hidup dan berkembang, baik di daerah pesisir, maupun di daerah pedalaman.

Disadari atau tidak, pementasan mamanda sebenarnya bermanfaat untuk mempertahankan eksistensi pemakaian bahasa Banjar yang dewasa ini mulai mendapatkan pengaruh luar. Pengaruh yang saya maksud ialah pemakaian bahasa gaul, bahasa Indonesia, dan bahasa asing di masyarakat Banjar sendiri. Kita bisa saksikan dan dengarkan betapa bangga sebagian orang tua menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka. Padahal mereka orang asli Banjar dan sedang berkomunikasi di Kalimantan Selatan. Wilayah mereka sendiri.

Sementara itu, kita ketahui bersama pula bahwa bahasa Banjar adalah salah satu bahasa daerah yang harus kita lestarikan eksistensinya. Bahkan, dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”, tercantum dengan tegas, “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara” dan “Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup”

Adapun istilah mamanda pada teater mamanda di Kalimantan Selatan itu sendiri ditengarai berasal dari kata paman. Kata ini merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar yang merujuk pada pengertian saudara laki-laki dari ayah atau ibu. Kata ini direkatkan dengan morfem -nda sebagai sebuah sugesti kekerabatan atau keakraban dengan orang yang disapa dengan sapaan ini, sehingga terbentuklah kata pamandamamanda, ayahanda yang mengisyarakatkan keakraban dengan kata sapaan dasar yang dirujuknya. (Jarkasi, 2002:20).

Kata sapaan pamanda dalam dialog antara mangkubumi kepada wajir saat cerita mamanda dipentaskan akhirnya sangat dikenal di kalangan masyarakat Banjar. Karena itulah, setiap pementasan teater ini selalu dikenal masyarakat Banjar dengan nama bamanda atau mamanda. Masyarakat Banjar tidak menyebut teater ini pamanda karena kata tersebut lebih merujuk pada kata sapaan saja yang tidak cocok untuk nama sebuah bentuk seni pementasan. Lama-kelamaan masyarakat Banjar hanya menyebutnya dengan mamanda dan bukan bamanda karena afiks ba- dalam kata bamanda lebih merujuk pada kata kerja.

Sejak dahulu hingga sekarang bahasa yang sering sekali dipakai dalam pementasan mamanda adalah bahasa Banjar. Memang ada juga mamanda yang dipentaskan di televisi dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ceritanya menjadi kurang hidup. Hal ini karena bahasa Banjar merupakan bagian dari budaya Banjar sehingga pemakaian bahasa Indonesia dalam mamanda kurang dapat memunculkan nuansa dan nilai rasa budaya Banjar. Kekakuan itu juga disebabkan oleh para pemeran lakon dalam mamanda yang terbiasa menggunakan bahasa Banjar menjadi kurang lancar dalam berimprovisasi jika menggunakan bahasa Indonesia, meskipun para pemerannya menguasai bahasa Indonesia.

Di samping itu pengunaan bahasa Indonesia dalam pementasan mamanda kurang dapat melestarikan pemakaian bahasa Banjar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa hubungan antara sastra dan bahasa tertentu sangatlah erat dan hubungan keduanya dapat kita katakan sebagai simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan). Hal ini berlaku juga dengan hubungan mamanda dan bahasa Banjar. untuk lebih jelasnya perhatikan penjelasan saya berikut ini.

Dalam kaitannya dengan mamanda, bahasa Banjar menjadi unsur penting yang digunakan pemeran mamanda untuk berkomunikasi dengan dirinya atau pemeran lainnya. Dengan kata lain, pementasan mamanda memerlukan bahasa Banjar. Di sisi lain dalam mamanda, bahasa Banjar menjadi unsur yang langsung disentuh masyarakat penonton. Kita sebagai masyarakat penonton langsung mendengarkan bahasa Banjar dalam pementasan mamanda. Jika bahasa Banjar adalah bahasa yang digunakan para pemeran pementasan mamanda, berarti dengan mendengarkan bahasa Banjar dalam pementasan tersebut masyarakat penonton pun menggunakan bahasa Banjar secara reseptif. Dengan demikian, bahasa Banjar yang digunakan para pemeran dan masyarakat penonton dalam pementasan mamanda akan bertambah lestari. Dengan kata lain kehidupan bahasa Banjar akan bertambah lestari dengan adanya pementasan mamanda. Jadi, mamanda dan bahasa Banjar saling memerlukan dan hubungan keduanya saling menguntungkan.

Meskipun demikian, dewasa ini pementasan mamanda mulai jarang digelar dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan terutama di Kota Banjarmasin. Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan lebih sering disuguhi tontonan lain seperti, sinetron, acara dangdut, dan konser music pop. Tontonan-tontonan lain ini lebih diminati sebagian besar masyarakat Banjar daripada mamanda. Karena itulah, pada saat ini jarang sekali misalnya dalam acara pesta perkawinan ditampilkan pementasan mamanda. Sebagian besar masyarakat Banjar modern lebih menyenangi acara dangdut di pesta perkawinan tersebut. Jika ada acara dangdutan seperti itu, sebagian besar masyarakat Banjar terutama para pemuda di sekitarnya sangat antusias ikut bergoyang hingga acaranya selesai.




Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

0 comments: