Friday, January 29, 2021

DAIAN, Cerpenis dan Penyair Cantik Kalimantan Timur


Kalimantan Timur terkenal dengan panoramanya yang sungguh eksotis, sajian kuliner lezat, dan penduduknya yang ramah. Selain itu, provinsi ini juga menyimpan banyak sastrawan andal yang membanggakan. Salah seorangnya dari sekian sastrawan tersebut adalah Daian. Siapakah dia?

DAIAN, alumnus Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini memiliki hobi membaca dan menggemari karya-karya Putu Wijaya. Sekarang bekerja menjadi peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur dan telah menyelesaikan pendidikan S2 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta. 

Cerpen dan puisinya dipublikasikan di beberapa media massa. Sebutlah cerpen-cerpennya telah dimuat di SKH Seputar Indonesia, Jurnal Indonesia, antologi cerpen cerpenis Kalimantan Timur Bingkisan Petir (Jaring Penulis Kaltim dan Mahatari, 2005), dan kumpulan cerpen perempuan Kaltim Badadai (Jaring Penulis Kaltim dan Araska, 2010). 

Puisinya masuk dalam Antologi Kaos Hitam Cinta (Masyarakat Sastra Jakarta, 2009). Sementara itu, esai sastranya masuk dalam antologi esai perempuan Kaltim Perca (Borneo's Women Community dan Jaring Penulis Kaltim, 2010). Mantan pegawai dari Penerbit Intan Pariwara ini kini berdomisili di Samarinda dan masih terus berproses untuk mematangkan tulisan-tulisannya. Berikut  ini dimuat cerpen karyanya berjudul Mengapa Matanya Berwarna Hijau?.


Mengapa Matanya Berwarna Hijau?

Daian


Ceritaku dimulai di senja ini. Senja yang tampak masih berpelangi. Gurat biru, merah, dan kuning menandakan kecerahan di langit. Semakin hari waktuku memang semakin berpelangi, semakin cerah, dan aku begitu berubah. Melesat seperti anak panah. Yah, aku bukan lagi laki-laki yang hanya bernama Abdi. Aku bukan lagi orang yang menuruti kemauan majikan dan hanya sebagai abdi. Namaku sekarang adalah Abdi Hartawan. Bukannya aku mengabdi pada harta, tapi Abdi yang kaya raya, berharta tumpah ruah. Akulah majikan dan semua oranglah yang mengabdi padaku.

"Pak, rapat, segera akan dimulai," sekretarisku masuk mengabarkan bahwa rapat akan segera dimulai. Berpura-pura memandang jam tangan, aku lalu mengangguk dan bersiap masuk ke ruang rapat. 

Ruang rapat itu sudah terisi penuh. Kupandang mereka satu persatu. Aku puas, mereka memang abdi yang baik. Tak pernah meninggalkan rapat-rapat yang aku adakan. Tapi tunggu dulu, ada satu orang yang belum datang. Bu Cahya.

"Ke mana Bu Cahya?" tanyaku pada Satya, kepala bidang keuangan.

"Bu Cahya sedang cuti melahirkan, Pak," jawab Satya. Wajahku mengeras. Tak ada yang tak boleh tak datang di rapat ini. Termasuk Cahya, yang sedang cuti melahirkan.

"Semua harus hadir di rapat. Ini rapat penting menyangkut perusahaan. Sia-sia saja kita menggaji orang, kalau di rapat penting dia tak datang," kujelaskan pada semua orang agar mereka mengerti. Ada yang mengangguk-angguk, ada yang melongo, ada yang geleng-geleng kepala.

"Kenapa Anda menggelengkan kepala, Siska. Tidak setujukah Anda dengan peraturan saya?" kutunjuk Siska, kepala bidang HRD.

"Bu Cahya baru saja satu melahirkan, Pak. Cuti tiga bulannya adalah hak setiap perempuan yang melahirkan," kata-kata tegasnya membuatku naik darah.

"Itu secara formal. Secara nonformal, pimpinanlah yang berhak menentukan," kataku lebih ketus. Kalau Anda tidak setuju dengan peraturan ini, Anda boleh mengundurkan diri dari perusahaan," kataku lebih tegas. Wajah Siska memerah menahan marah, tapi ia kemudian terdiam. Aku puas. 

Bu Cahya segera dipanggil. Ia datang masih dengan badan lemas. Tapi ia datang. Aku sangat puas!!!

***

Tak ada yang mengatakan kalau aku tidak diktator. Aku tahu itu. Tidak ada yang mengatakan aku tidak mata duitan. Aku tahu itu. Tapi, aku ditugaskan untuk memajukan perusahaan di kantor cabang di daerah ini. Apa pun akan kulakukan. Termasuk menjadi diktator dan mata duitan. Dan, lihatlah, aku selalu dipuji menjadi direktur terbaik. Direktur di kantor pusat mengakuinya dan memberiku berbagai macam fasilitas. Tapi, aku tetap harus mengumpulkan rupiah demi rupiah. Demi masa depan anak-anakku, agar mereka tidak menjadi abdi, tapi menjadi majikan sepertiku. Apalagi anak ketigaku bulan depan akan lahir. Semakin kukebut untuk menaikkan rupiah demi rupiah di kantongku. Yah, semua demi mereka.

"Pak, proyek pengadaan mobil untuk beberapa instansi terancam gagal. Pesaing kita lebih kompetitif," perkataan manajer baru bagian proyek di suatu senja itu membuatku kepalaku pusing di senja itu.

"Suap kepala proyek itu. Anda harus banyak belajar untuk menguntungkan perusahaan," jawabku cepat. Manajer baru itu tampak kaget.

"Suap itu sangat kecil jumlahnya dibandingkan dengan nilai proyek yang akan kita dapatkan," lanjutku. Ia mengangguk.

Apabila perusahaan mendapat untung besar, mereka jugalah, para pekerja jitu, yang akan menikmati hasilnya. Meski, aku memang yang harus mendapat untung paling banyak. Tak apalah. Usaha menyuap perlu diteruskan.

***

Senja yang senyap ketika istriku mengejan akan melahirkan anak ketigaku, Kukebut mobil setelah beberapa saat menerima telepon dari pembantu rumah tanggaku.

"Istriku, bersabarlah," kataku sambil mengendarai mobil.

Rumah sakit yang senyap saat aku masuk ke kamar itu. Dokter mengucapkan selamat atas kelahiran anakku. Istriku tersenyum meskipun masih kelihatan sangat lemah.

"Selamat. Anak Bapak laki-laki," dokter itu memberi selamat sambil menjabat tanganku.

"Tapi, Pak. Ada hal serius yang harus saya bicarakan." mendengar perkataannya, aku agak lemas, karena berarti sesuatu telah terjadi. Entah menyangkut istriku atau anakku.

"Anak Bapak masih di ruang bayi. Semua normal, kecuali matanya, ucapannya serius.

"Ada apa dengan mata anak saya, Dok? Butakah atau kenapa?" aku sesak dalam rasa penasaran.

"Mari, saya tunjukkan." aku mengikuti dokter itu berjalan ke ruang bayi.

Aku memandang bocah laki-lakiku. Gendut, kulitnya bersih, rambutnya, tapi, Tuhan... matanya... matanya.... Bola mata anak itu berwarna hijau menyala! Mengerikan! Aku tidak bisa bernapas dan tubuhku tak bertenaga lagi. Seketika terngiang-ngiang ucapan para stafku di kantor yang sering kudengar tanpa mereka ketahui, "Pak Abdi itu mata duitan banget, ya. Semua uang mau diambilnya." Lalu yang lain menyahut, "Iya, matanya selalu berwarna hijau.”

Tuhan.... Kupandangi bocah laki-lakiku. Ia tersenyum sambil mengedip-ngedipkan matanya.

"Astaga!" dokter itu tiba-tiba kaget melihatku.

"Ada apa, Dok?" tanyaku.

"Mata Bapak, mata Bapak, bola mata Bapak juga berwarna hijau," ia menunjuk sambil membalikkan badanku ke kaca sebelah kiriku.

Ya, warna hijau itu sekarang ada juga di bola mataku! Lalu... aku... lalu aku... dokter itu tergopoh-gopoh menopang tubuhku saat dunia kurasakan gelap.

***

Samarinda, Selasa, 4 Mei 2010, 22.18 WITA

--------------------------------------

Sumber tulisan: buku Kalimantan dalam Prosa Indonesia

Sumber foto: Facebook


0 comments: