Saturday, January 30, 2021

Sekilas tentang Yuni Ambarwati Winardi dengan Puisi-puisinya


Yuni Ambarwati Winardi lahir di Ambarawa. Menghabiskan keriangan masa kanak-kanak di Kota Prabumulih yang dikenal dengan belalai panjang kilang minyak juga dari cerita tentang perlawanan Saman. Alumnus Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan bekerja pada program Strata Tiga UMY ini akrab dengan kebun karet, layang layang, kupu-kupu, capung, kunang-kunang, dan pematang sawah.

Penyuka warna-warna senja, harum tanah selepas hujan, sunset, dan laut. Menjadi penikmat sastra, menulis-membaca-menulis dan membaca sembari ditemani secangkir kopi. 

Berikut adalah sebagian puisi karyanya.


PERSEMBAHAN TANPA MAKNA

Bila saat ini kau menekuri malam
Menghitung ribuan tapak
Yang tertinggal terpupuk kenangan
Mengenyahkan sepi yang menggerogoti dinding nurani
Izinkan aku menemani bersama nyanyian bulan pucat
yang tak lelah bertengger di langit pekat

Kupanggil ribuan kunang-kunang
yang berkedip, replika gugusan bintang
Untuk menemani keping hati yang menanti siang
jangan pernah mempertanyakan
lagu apa yang pernah dinyanyikan kunang-kunang?
juga untuk apa ramarama terbang di pangkuan?

Bila kemarin kau membantuku
menyusut air mata yang membeku di sudut mata
Maka kini izinkanlah aku
Mengirim bait doa
lewat sepoi angin malam yang kian menggigit tulang
Di awal hari jadimu

Semoga masih kau sediakan
jeda di hatimu ...
biar setiap orang merasa mendapatkan tempat lapang
dalam rahim keteduhan itu ...
Selamat hari jadi sahabatku ...


SESIANG INI KOTA SEPERTI MATI

Ke mana saja kau mengembara duhai angan
Kucari di laci
Gelas kopi tadi pagi
Tumpukan buku, surat kabar, dan majalah yang berserak

Tak kau lihat matahari garang di cakrawalaku
Menjilat atap gedung yang angkuh
Membuat angsa memilih berteduh
Tertegun di tepi kolam batu

Aku masih menanti ...
ditemani rasa yang kian menjulang tinggi
tak perduli detak arloji yang memukul hati
dan obrolan siang tentang teori antara logika dan hati
masih saja tak mencuri minat untuk dicermati

Sesiang ini kota seperti mati
Seperti batu terpanggang matahari


TAK AKAN MENYERAH PADA MALAM

Kukayuh biduk sampai jauh
Meski laut hari ini mendendang nyanyian pilu
Kata membias, awan pias
di ambang waktu dan celah ranting kering bebukitan

Kusibak pintu ombak
Dengan kayuh merengkuh waktu
Menuju tepi ...
berbekal kiriman doa, bunga, dan cinta
yang bertebaran di sisi cadik yang kutumpangi

Aku tak akan pernah menyerah
pada malam yang menyimpan rahasia
juga pada kelam yang mencintai kecemasan
karena di sana ...
ada bintang sang penunjuk arah
Hasratku tak padam, meski usia berkurang

Aku ingin memberi arti
untuk sisa umurku ini

-----------------------------------

Sumber: buku Menjaring Cakrawala


0 comments: