Wednesday, January 15, 2020

Bagaimana Menurut Anda dengan Cerpen Denny JA Berikut?


Cerpen di bawah ini terlahir dari viralnya salah kirim pesan Denny JA di aplikasi obrolan WhatsApp yang semestinya ditujukan kepada Luhut Binsar Panjaitan, tapi justru terposting di WA grup bernama Tokoh Nasional.

Denny JA yang merupakan pemilik perusahaan LSI (Lembaga Survei Indonesia) itu diisukan meminta jabatan komisaris pada perusahaan BUMN Inalum kepada Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan melalui pesan di aplikasi tersebut.

Nah, Denny JA pun akhirnya mengklarifikasi isu pesan salah kirim ini dalam bentuk cerpen. Berikut adalah cerpen dimaksud.

KETIKA GOSIP KOMISARIS BUMN PUN DIJADIKAN ISU

(Klarifikasi Denny JA Dalam Bentuk Cerpen)

“Pastilah sebagian masyarakat ini kehilangan isu besar. Gosip pun dijadikan isu. Tanpa cek and rechek lagi, gosip itu diforward kemana- mana. Dan viral pula.”

Itulah responnya yang pertama ketika membaca teks di WA. Dengan senyum, sambil menyerumput kopi, ia baca sekali lagi pesan beruntun di ponselnya.

Diberitakan, WAnya ke salah satu mentri bocor. Ia menawarkan diri menjadi komisaris salah satu BUMN. Entah apa yang salah? Atau apa yang penting dari soal itu hingga dijadikan isu yang viral?

Dalam hidupnya sebagai aktivis, tak sekali ia menerima gosip itu. Sebelumnya di era Pilpres 2019, ia dikabarkan menerima uang dari Jokowi sebesar 45 Milyar rupiah untuk memenangkan Jokowi mengalahkan Prabowo.

Waktu itu, Ia santai saja menjawab. “Itu fitnah karena angka 45 Milyar kok kecil sekali. Padahal saya  TIDAK sedang banting harga.”

Sebagai konsultan politik yang ikut memenangkan presiden tiga kali berturut- turut (kini empat kali), apa
Iya  saya dibayar hanya 45 milyar?” Celotehan santai darinya saat itu terasa pas.  Agaknya lebih efektif merespon gosip politik dengan celotehan saja.

Apa daya. Ia tumbuh sebagai aktivis. Berdebat di publik menjadi nafasnya. Berdebat dengan data, angka dan hasil riset memang hobinya. Tapi berceloteh pun oke juga.

Sejak lama,  Ia memang rindu. Ia berharap  ruang publik lebih diisi oleh debat gagasan. Ia ingin para elit heboh oleh inovasi. Ia angankan kembali datang era berpolitik gaya Founding Fathers yang pejuang tapi juga pemikir.

Tapi yang marak dan heboh di ruang publik, acapkali hanya soal skandal tokoh, gosip dan hoax. Apa daya.

Ia teringat teks WA yang Ia terima semalam. Isi WA itu gosip tentang dirinya. Ia digambarkan seolah berkomunikasi dengan seorang menteri untuk jabatan komisaris BUMN.

Ia forward gosip itu ke beberapa, hanya untuk info. Ternyata, itu malah diforward beberapa kali oleh mereka yang senang bergosip ke aneka grup. Tanpa ada check and rechek dan mengelaborasi konteksnya dulu.

Di era media sosial, apapun mudah menjadi isu. Apalagi jika masyarakat yang kehilangan isu besar. Gosip pun menjadi isu. Lebih sensasional lebih asyik. Tak penting benar atau salah.

Ia teringat lirik lagu Michael Jackson: Beat it! beat it! No matter who is wrong or right. Just beat it!

-000-

Apa yang salah dengan seseorang yang ingin berperan ikut memajukan negaranya dengan mengajukan diri menjadi komisaris BUMN? Bukankah itu memang jabatan terbuka yang bisa diisi siapa saja yg kompeten?

Apa yang salah orang yang mengajukan diri menjadi rektor, menjadi menteri, menjadi direktur TV, menjadi bintang sinetron?

Bukankah tak ada pelanggaran hukum di sana? Tak ada skandal di sana? Bukankah semua orang pada dasarnya bagus bagus saja melakukan lobi, meyakinkan aneka pihak? Kok masalah itu saja bisa dijadikan isu dan viral?

-000-

Ia kembali minum itu kopi. Dinyalakannya Smart TV, dan masuk ke Neflix. Kembali ia lanjutkan serial docu drama tentang kisah para genius mengubah peradaban.

Kisah tentang Bill Gates, Pulitzer, Thomas Alfa Edison. Kadang mereka sedikit berkotor tangan, melobi sana dan sini untuk realisasi gagasan.

Perlukah Ia klarifikasi isu soal dirinya mengajukan diri sebagai komisaris BUMN itu? Baiklah, ujarnya. Klatifikasi saja dalam bentuk cerpen.

Dan jadilah cerpen ini.

15 Jan 2020.

Lalu, bagaimana menurut Anda dengan cerpen di atas?

0 comments: