Thursday, January 16, 2020

Terkadang Ada Unsur Humor dalam Percakapan di Masyarakat, Pernah Dengarkah?


Suatu hari saya pernah mendengar seorang anak kecil bertanya kepada penjual sayur keliling, "Man, Ada kambil kah?"

Penjual itu langsung menjawab, "Kadada kambil."

Si anak pun pulang. Tak seberapa lama ibunya mendatangi tempat penjual sayur tersebut mangkal.

"Ada niur kah, Man?" tanyanya.

Anehnya, yang tadi jawabannya adalah tidak ada, berubah menjadi ada. Kok bisa? Dan, letak humornya di mana?

Begini, kisah di atas sebenarnya adalah antara orang Jawa dan orang Banjar di Kalimantan Selatan.

Nah, karena si anak menggunakan kata bahasa Jawa "kambil" yang artinya kelapa, maka penjual dari Suku Banjar sama sekali tidak paham. Daripada direpotkan oleh anak kecil, maka tanpa pikir panjang lagi, ia langsung menjawabnya dalam bahasa Banjar "kadada" yang artinya tidak ada.

Setelah ibu si anak mengajukan pertanyaan yang sama dengan bahasa Banjar "niur" atau kelapa, transaksi pun berjalan lancar.

Wah, andai tahu bakal seperti itu kejadiannya, mending langsung ibunya saja yang turun tangan ya? He he he....

Ada lagi kisah antara orang Banjar dan Dayak Bakumpai. Ini juga terkait hal jual beli. Seorang pedagang ubi kayu dari Suku Banjar mencoba peruntungan di daerah orang Dayak Bakumpai. Karena pengaruh cuaca, ubi yang dijualnya berukuran kecil-kecil.

Melihat ukuran yang seperti itu, seorang calon pembeli dari Dayak Bakumpai mengatakan, "Jawawnya kurik-kurik lah?"

Mendengar perkataan tersebut, si penjual langsung bereaksi, "Jangan dikurik-kurik kaina buruk!"

Bagi yang paham dialog mereka, kemungkinan besar akan terbahak-bahak. Setidaknya tertawa ringan.

Pasalnya, kata "kurik-kurik" yang diucapkan orang Dayak Bakumpai di atas artinya kecil-kecil. Tentu saja sangat wajar ia mengatakannya karena ukuran ubinya (jawawnya) memang kecil-kecil.

Sementara si penjual mengira kurik-kurik artinya korek-korek dalam bahasa Banjar. Itulah sebabnya ia melarang mengorek-ngorek ubi yang dijualnya agar tidak busuk.

Sebenarnya masih ada kelucuan-kelucuan lainnya dalam penggunaan bahasa di masyarakat. Selama tidak menyebabkan hal negatif seperti perkelahian atau semacamnya, unsur humor ini menjadi warna tersendiri dalam praktik berbahasa.


0 comments: