Monday, December 24, 2018

LEGENDA AWI TADUNG DAN ULAR BUNTUNG



Oleh Tajuddin Noor Ganie

Pada zaman dahulu kala di kaki Pegunungan Maratus, tepatnya di Desa Haratai, hiduplah seorang pemuda bernama Awi Tadung (22 tahun) yang bertugas sebagai petugas pemelihara keamanan lingkungan.
Awi Tadung orangnya sakti mandraguna sehingga tidak ada orang jahat yang berani mengganggu keamanan lingkungan di Desa Haratai. Penjahat yang nekat berbuat jahat di wilayah yang menjadi tanggung-jawabnya itu akan dihajar tanpa ampun oleh Awi Tadung.  
Nama asli Awi Tadung adalah Awirusan. Nama atau lebih tepatnya gelar Awi Tadung diberikan orang kepadanya karena Awirusan memiliki seekor ular yang selalu melilit di pergelangan tangan kirinya. Ular dimaksud warnanya hitam legam dan merupakan jenis ular berbisa yang terkenal paling ganas. Di kalangan warga setempat, ular jenis ini disebut dengan nama tadung mura (ular kobra jenis naja). Tapi yang lebih unik lagi ular yang melilit di tangan kiri Awi Tadung ini bukanlah ular biasa, tapi adalah ular buntung (ular yang tidak mempunyai ekor).
Ular buntung ini sangat setia kepada Awi Tadung. Konon, ular buntung dimaksud akan langsung bereaksi keras jika mendengar Awi Tadung bertengkar dengan orang lain. Setiap kali mendengar Awi Tadung bertengkar dengan orang lain, maka hampir bisa dipastikan lawan bertengkar Awi Tadung itu akan tewas secara mengenaskan.
Tubuh korbannya akan berwarna hitam legam dan  dipenuhi  dengan bekas gigitan ular berbisa. Memang, setiap kali bertengkar dengan orang lain, Awi Tadung selalu memerintahkan ular buntungnya untuk membinasakan musuhnya itu. Tugas mematuk musuh Awi Tadung itu dikerjakan oleh ular buntung pada malam hari, yakni ketika yang bersangkutan tertidur lelap di rumahnya.
Suatu hal yang mengerikan, pembunuhan atas musuh Awi Tadung dimaksud tidak hanya dilakukan oleh ular buntung itu sendiri, tetapi dilakukannya bersama-sama dengan puluhan ekor ular lainnya. Terkesan dengan keganasan ular buntung peliharaan Awi Tadung dalam membunuh musuh-musuhnya itulah, maka Pan Mapaun selaku Damang atau kepala adat di desa Haratai menugaskan Awi Tadung dan ular buntung sebagai petugas pemelihara keamanan lingkungan di Desa Haratai. Tugas tersebut dijalankan dengan baik oleh ular buntung dan kawan-kawannya sesama ular yang tinggal di Hutan Rumbia di dekat rumah Awi Tadung.
Sudah tidak terbilang lagi berapa jumlah orang jahat yang tewas dipatuk ular berbisa ketika mencoba menyusup memasuki Desa Haratai. Awi Tadung dan ular buntung sesungguhnya bersaudara kembar. Keduanya sama-sama dilahirkan oleh Umbu Kitai, seorang wanita warga kampung setempat. Ayah Awi Tadung adalah seorang petani yang banyak memiliki tanah persawahan dan perkebunan di Haratai. Namanya Abah Kitai.
Ketika Awi Tadung dan ular buntung dilahirkan, bidan kampung yang menolong persalinannya langsung pingsan begitu melihat Umbu Kitai melahirkan seorang anak manusia dan seekor ular hitam. Abah Kitai dan Umbu Kitai juga sempat terpana beberapa saat karenanya.
“Sabarlah, Bu. Mungkin sudah takdir kita berdua mempunyai anak seekor ular. Sebaiknya kita ambil hikmahnya saja, Bu,” ujar Abah Kita mencoba menyabarkan perasaan istrinya.
Ringkas cerita, Abah Kitai dan Umbu Kitai kemudian memberi nama Awirusan untuk anaknya yang berwujud manusia dan Awirusin untuk anaknya yang berwujud ular hitam. Tapi, di kemudian hari orang lebih mengenal Awirusan sebagai Awi Tadung dan Awirusin sebagai  ular buntung. Hari demi hari berlalu, Awi Tadung dan kembarannya ular hitam tumbuh dewasa secara bersama-sama di rumah yang sama pula.
Sesuai dengan kodrat dan wujudnya masing-masing, maka bila Awi Tadung tidur di tilam, maka ular hitam kembarannya lebih suka tidur di dalam pedaringan beras. Kebiasaan ular hitam yang demikian itu sering membuat Umbu Kitai jengkel. Setiap kali Umbu Kitai mengambil beras di pedaringan, tangannya selalu dipatuk oleh anaknya ular hitam. Saking kagetnya, tidak jarang Umbu Kitai yang latah itu terpekik berlama-lama karena ulah nakal anaknya sendiri. Ular hitam anaknya itu agaknya suka sekali bercanda dengan ibunya dengan cara seperti itu. Tidak hanya Umbu Kitai yang jengkel dengan ulah ular hitam yang demikian itu. Abah Kitai juga demikian. Hingga pada suatu pagi, Umbu Kitai kembali mengambil beras untuk ditanak, ketika itulah tangannya kembali dipatuk ular hitam. Umbu Kitai terpekik. Entah bagaimana, Abah Kitai yang mendengar pekikan kaget istrinya itu, langsung meradang  saking marahnya.
Tanpa pikir panjang lagi orang tua itu dengan refleks meraih mandau (sejenis parang) dan cras langsung menetakkannya ke arah ular hitam. Untunglah, ular hitam tidak tewas terkena tetakan mandau itu, karena tetakan itu cuma mengenai ekornya. Sejak kejadian itu ular hitam tidak lagi tinggal di rumah bersama-sama dengan ayah, ibu dan saudara kembarnya. Ia tinggal di Hutan Rumbia tak jauh dari rumahnya.
Ternyata, di tempat tinggalnya yang baru ini ular hitam berhasil menempatkan dirinya sebagai pimpinan komunitas ular. Namun, beberapa tahun kemudian ia datang berkunjung ke rumah orang tuanya, ketika itulah Abah Kitai dan Umbu Kitai mengetahui jika ular hitam anaknya itu sudah  tidak memiliki ekor lagi akibat terkena tetakan mandau ayahnya sendiri. Abah Kitai sempat meneteskan air mata karena menyesali perbuatannya puluhan tahun yang silam. Tapi apa hendak dikata semuanya itu telah terjadi dan tak mungkin diperbaiki lagi. Sejak itulah ular hitam itu dikenal sebagai ular buntung. Sejak itu pula, ular buntung tidak lagi tinggal di Hutan Rumbia tapi kembali tinggal di rumah orang tuanya.
Setiap hari ia selalu berada di sekitar Awirusan saudara kembarnya yang berwujud manusia. Awirusan sendiri sangat sayang dengan Awirusin, ke mana-mana selalu dibawanya dengan cara dililitkannya di tangan kirinya.

Berminat membaca kisah-kisah lainnya dalam buku Awi Tadung dan Ular Buntung? Silakan pesan sekarang.  






0 comments: