Bagian Ketujuh


Puisi M. Johansyah (Tanah Bumbu, Kalsel)
Hutan Tak Perawan, Rintih Engkaukah
teriak, teriaklah
sebab tangismu tak tersedu biru
wajah hitam lekat
sekujur remuk rasa
bumi hanya membelai, pekat
setelah duka lara tiarap
karena kita ramai-ramai menyetuh
tubuhmu, akar-akar yang tercerabut
mereka punya alasan
berkelit di balik keserakahan
dan sembunyi-sembunyi pada hukum yang cacat

sakitmu kian percuma
membongkar setiap rongga tanah
hanya gersang
tiada jasad, tandus
jutaan telah direnggut
hutan tak perawan
rintih engkaukah itu
mengetuk setiap pintu hati
malam serasa rata memandang dataran
karena asap tak berkesudahan
perih kelat hingga menyesak dada

segenggam tanah pada waktunya bertanya
mengapa kita semakin dekat dengan matahari
keringat yang jatuh menjadi sia-sia
kering hembus angin menebar panas
di mana, hutan perawan
tubuhnya telah dijadikan kota
jalan-jalan dan jembatan
lalu tak bersisa hijau nan teduh
dan semua kehilangan makna
memutuskan mata rantai kehidupan
burung-burung terbang nelangsa, di mana sarangnya

teriak, teriakkan pada mereka
bahwa tangis kematian ada di belantara hutan kita


Batulicin, Tanah Bumbu, 13/07/2016#00.20



Puisi Moh. Ghufron Cholid (Bangkalan, Jatim)

Hutan yang Saling Melengkapi

Pohon-pohon pengertian
Tegakkan hutan kehidupan
Jangan pernah kautebang
              Jangan kautebang

Keterasingan; hutan
     Hilang keceriaan
         Letup duka
             Sirnakan tenang jiwa

Keterasingan; hutan
    Tak lagi tersenyum
: detak muram, kehidupan

Kau, aku
    Hutan yang saling melengkapi
         Saling mengubur nyeri
Saat kita, pengertian
         Tak dapat dipisahkan perbedaan

Al-Amien Prenduan, 25 Juni 2016


Puisi Mohammad Najmi Mujaddid Dindashwara (Tangerang, Banten)

Anak Hutan

Nuansa daun memanjaku dalam bentuk aroma
Hijaulah yang merasuki kedua mataku saat mereka pertama kali terbuka
Dia ayahku, sang hutan...
Kaki lembut nan lemah, namun dengan rantingnya ia memapahku
Lapar tak berdaya dan ia teteskan sari segar buah pada bibirku

Aku tumbuh bersama alam
Melompat di antara dedaunan yang gugur melayang
Bicara pada mentari tentang hangatnya dunia
Berlari bersama angin
Bermain dengan hujan
lalu tidur dalam pelukan bulan

Namun kini sang hutan bersedih
Rantingnya terlalu rapun untuk kembali memapahku
Aroma hijau darinya berubah menjadi gelap gersang

Matahari berpaling seakan tak mengenalku
Bulan bersedih dan membisu
Sang hutan mati di tangan sebangsaku yang tak tahu malu itu

Aku terus menggali di antara arang
Mencari hatinya kembali
Jika aku dimaafkan, aku berjanji akan menjaga
Dalam doa lewat seberkas cahaya matahari, sang hati kembali
Hujan memberikan kembali jiwanya yang hampir mati
Pucuk kecil tersenyum dan kujaga sepenuh hati



Puisi Mohamed Salleh Lamry (Malaysia)

Hutan yang Hampir Habis

Dulu negeriku banyak hutan
di mana tersimpan banyak pokok besar
yang usianya mencapai ratusan tahun.

Ada yang dibuka oleh pemerintah
untuk rancangan pembangunan tanah
bagi petani miskin yang tidak bertanah.

Tapi lebih banyak yang  dibuka
oleh pengusaha kaya yang rakus
yang mahu keuntungan segera
tanpa mengira apa akibatnya.

Setelah puluhan tahun berlalu
hutan di negeriku hampir habis
yang tinggal hanya hutan simpan
itu pun ada yang mencurinya
mereka bersekongkol
dengan pegawai negeri yang tidak amanah.

Apabila musim hujan tiba
banjir besar datang melanda
kerana  tidak ada lagi hutan untuk menyerapnya.

Banyak tanaman dan rumah musnah
ramai rakyat  marhaen yang mendapat susah
tapi pengusaha kaya yang tinggal di kota
yang rumah besarnya tersergam megah
tidak menghadapi  kerugian apa-apa.



Puisi M. Ridha Khairani  (Rantau, Kalsel)

Elegi dalam Pengharapan

aku mulai merasakan perubahan-perubahan itu
aku mulai merasa jarak kita yang semakin lama semakin merenggang
kau tak lagi hijau seperti biasa
senyummu tak semanis dan selembut dahulu
sapamu tak lagi sesejuk embun di pagi hari
aku yakin kita memang bisa bersama
tetapi ketika kita bersama malah yang muncul adalah berbeda
kuingin mengulang kembali waktu berdasamamu
ribuan kata salah dan jutaan kata maaf telah kusampaikan padamu
tetapi kupikir sudah terlambat untuk ucapkan itu
matamu merah membara nada bicaramu menjadi sinis
tidak ada lagi desahan manja yang ada cuma senyum gersang dan tatapan tandus
suaramu kasar rebah dan menghempas
aku tahu kau sakit aku tahu kau pedih
dan aku tidak bisa berharap
karena puluhan tahun bahkan ratusan tahun aku akan selalu sepi tanpa dirimu di sisiku
sayang...
Sebenarnya saat ini kuingin menyandarkan kepalaku di kakimu, seperti dulu kita pernah bersama,
daun rambutmu tergerai jatuh menyentuh pipiku dan hatiku semakin gemuruh
mungkin saat ini jutaan air mata membasahi pipiku tak berarti lagi
aku hanya melihat dirimu yang tak berada karena tebangan-tebangan dan api-api yang nakal.
Aku tahu kau juga rindu padaku. Alu berjanji akan merawat bibit cinta kita dan menyiramnya dengan penuh sabar dan cinta. Walaupun puluhan tahun diri ini akan tetap setia demi kenangan, ketenangan dan kedamaian.
Apalah artinya modern tanpa ada dirimu
kaulah sumber udara yang selalu kuhirup
kaulah sumber keteduhan yang membahagiakan semuanya
bila kau marah kepadaku
silakan lanjutkan dan aku rela kau sakiti
karena tangan ini telah membuat kesalahan yang tak pernah bisa dimaafkan
senyuman ini akan membuat dirimu tumbuh kembali dan memberikan kebahagian sejati
hujan baru saja usai
bersama awan menari
setiap hari setiap pagi
aku pun menangis sedih karena banjir mengiris tanah kami
aku tahu kita akan mulai dari nol lagi
tidak peduli 10 atau 100 tahun lagi satu pohon ditanam satu hari
untuk anak dan cucu kami
untuk generasi ini untuk dunia ini
kapak penebas digantikan mesin pemotong
satu dua pohon tumbang sehari sekarang bisa sepuluh dua puluh pohon berguguran
berulang kali kau telah peringatkan kami dengan mengirimkan pesan lewat suara alam tapi hati kami tertutup maafkan kekhilafan ini
dan kini pemanasan global setiap hari
hutan dengarkanlah isi hati ini
tangisan dan rintihanmu kan kugantikan dengan senyuman
karena sudah banyak goresan demi goresan kami buat pada cerita hidupmu
karena telah banyak kami tuliskan coretan demi coretan pena hitam pada kertasmu
izinkan kami kembali ke fitrah bersuci menjaga bumi ini
biarkan usia yang membuatmu merapuh sendiri dan bukannya tangan ini yang mengotori rambutmu, keningmu dan tubuhmu
kau telah padamkan api egois di jiwa kami dengan dahsyatnya gelombang air yang datang tiba- tiba
begitulah kau menyadarkan kami dan kami pun terendam bahkan tenggelam dalam lautan air mata dan ribuan penyesalan tajam dan berarti
jangan biarkan langkah kecil ini  surut terpejam
jangan biarkan tatapan sendu ini mebuatmu tak berarti
karena kami tak akan mengenal kata menyerah untuk memperbaiki keadaan ini
kami semua adalah manusia- manusia yang bertanggung jawab
kami ini adalah hati-hati yang peduli
kami adalah manusia yang tak mengenal kata kalah, gagal dan terlambat
kami sekarang adalah manusia yang cuma mengenal satu kata tanam dan tanam.

Rantau, 17 Juni 2016



Puisi Muhamad Rifqi (Jakarta)

Hutanku Dijarah

Hutanku kini menjanda
Karena mereka telah dijarah
Oleh cecunguk dari kota
Hutan yang dulunya rindang berambut pirang
Kini telah botak tak berkesudahan
Mereka memaksa kami jadi bahan bangunan
Dan furnitur orang-orang kantoran
Tiap tahun kami menangis kehilangan keperawanan
Sementara mereka tertawa tujuh turunan
Hingga kami kehabisan napas
Karena paru-paru kami tercabik terhinakan
Tolong lindungi kesucian kami
Dari bedebah tak bermoral
Agar kami tetap bernapas
Menyinari dunia


Puisi Muhammad Arifin (Grobogan, Jateng)

Tangisan Alam Pertiwi
:hutanku hutan lestari

Sebentar saja kulihat matahari memuncak di atas ubun yang luka
Terik kucur peluh meriak di tepi-tepi gardu
Selepas udara menyihir dalam bara 

Ada tangisan para pendoa
Hutan-hutan hilang kendali
Sabuk dan napasnya tersedu 
Dedaunan menjelma debu melayang bak anai-anai 

Para perusak udara menanam bangga 
Tiada rasa cemas dalam nuraninya
Sakral buta 

Hujan menangis di kaki sabana yang gersang 
Nestapa menghunjam roda-roda kuda 
Kala sebelumnya bermimpi 
Tinggal darah dan kering kerontang di sapu zaman penindasan 
Tenggelam kehausan.

Purwodadi, 19 Juni 2016.



Puisi Muhammad Lutfi (Pati, Jateng)

Isyarat Alam

Kemarin daun jatuh dari pangkuan langit
Perlahan mengguncang gelombang air
Di danau tengah hutan
Kawah di gunung berdetak
Seperti bara api
Alam yang masih hijau masih terpandang
Masih lama mengenang damai
Burung-burung bersiul dan menari dari berbagai ranting pohon
Buah-buah kenari dan daun jati sebagai pengungsian si semut merah

Ohhh… alamku
Tumbuh dan kembanglah seperti kemarin
Saat embun pagi selalu menetes ke pelupuk mata
Ohhh… hutanku
Masihkah kau ingat padaku?
Masihkah kau ingat pada kami?
Yang selalu datang saat kau dilanda sepi
Hadir setiap kabut mencuri air
Dan kaugendong setiap anak manusia
Melihat seluruh isi wilayah dunia
Dari bahu yang kokoh itu

Pati, 8 Juli 2016



Puisi Muhammad Noor Ahsin (Kudus, Jateng)

Bulu-Bulu Belantara

terdampar aku di kaki bukit
diterjal kerikil dalam sunyi rindu
melihat rerimbunan mahkota hijau
kini menjadi gundul, penuh asap, dan berdebu

pernahkah kau menangis wahai hutanku?
saat mereka mencabuti bulu-bulu belantara yang tertancap di kulitmu
pernahkah kau merasa marah wahai hutanku?
saat api mulai membakar semak belukar
lalu mengubahnya menjadi deretan sawit milik tetangga sebelah
pernahkah kau bersedih wahai hutanku?
saat mereka menjamahmu dan menodaimu
dengan sentuhan kasar di lekukan-lekukan tubuhmu

mungkin jika engkau punya hati dan perasaan
engkau pasti akan merasakan sakit dan kesedihan yang tak berujung
jika kau punya tangan kau mungkin akan menangkap mereka satu persatu
lalu mengadilinya dengan caramu

hingga, saat langit menangis
air hujan kini tak bisa kausimpan dengan rapat
sungai pun meluap karena bulumu sudah tercerabut

kata monyet
kini kau tak nyaman dijadikan rumah
kata burung
kini kau tak lagi enak untuk tempat bermain
kata singa
kau tak lagi menyimpan banyak makanan
karena penghunimu hijrah menuju negeri antah berantah

wahai monyet, burung, singa, dan sebagainya
entah dengan cara apa aku bisa membuatmu bahagia
kebun binatang tentu kau tak kan suka
karena di tempat itu tentu kau takkan bebas
seperti engkau di rumahmu sendiri, hutan belantara

Kudus, 15 Juli 2016



Puisi Muhammad Noor Fadillah (Banjarmasin, Kalsel)

Hujan yang Hitam

Hujan hitam membasahi hutan
Menabur ruang-ruang nyawa
Sembari berebut menuju lapisan daun-daun yang tak pernah menunggu kedatangannya
Menjadi selimut menyesakkan bagi urat-urat nadi yang membawa embun pagi
Lalu hanya bisa pasrah menunggu mati

Hujan masih hitam membasuh hutan
Turun bergerombol mengisi sela-sela akar yang tumpang tindih sambil mencengkram partikel bumi
Membuat lubang-lubang yang mempersilakan awan untuk bersedekap di dalamnya
Cacing tambang merayakan kehadiran pahlawan yang menyambungkan sarang Utara dan Selatan
Sedang air bingung ke mana harus berjalan

Hujan tetap hitam menyelimuti hutan
Menyusur jalan rimba, membelah dan membawa kayu-kayu tanpa air mata
Bising suara mengusik ia yang sedang bersuka cita, memberi makan belahan jiwanya
Derap langkah terdengar menghentak tanah yang kering kehitaman sambil ia mengipas tubuh anak-anaknya
Tak bisa pulang dan entah mau ke mana

Hujan hitam perusak hutan
Hadirnya membawa kelam
Selagi masih ada noda-noda hitam
Yang bersembunyi di balik kotoran

Marabahan, Juni 2016



Puisi Muhammad Rain (Aceh)

Ilmu Bumi

tak ada yang ia minta
meskipun setiap hari kita memijaknya
ia hanya minta dipelihara dijaga

jika marah ranting pecah terbawa badai
itu marah yang biasa
bila marah kesal menjadi-jadi lantas ia murka
bumi lalu menjadi gempa
segala yang menjulang kembali rata
siapa yang begitu hebatpun berkuasa di atasnya
kelak terkubur juga dalam pelukannya

ia belajar dari pemberian
belajar dari keikhlasan dan meyakini kehidupan
sebagai cirinya yang utama

bila laut berombak dan karang lepuh air
lalu mencebur daratan
bumi mengecil
planton-planton pesta pora
manusia mau ke mana?

jangan dirusak hutan
hutan kelak akan ingkar dari aksi menahan tsunami
jika gunung menyembul
tanda bumi siap menggelegar tak diwaspadai
jutaan makhluk jadi punah
peliharalah bumi seperti memelihara cinta
di sekujur hati

Banda Aceh, 12 Juni 2012



Puisi Muhisom Setiaki (Temanggung, Jateng)

Hutan Cemara Bukit Jumprit

di bukit jumprit
kusimpan rinduku
pada hangat susumu
canda cemara bercengkrama

mata air air suci
tengadah wajah mata terpejam
sepasang kera merancap pada dahan
kabut pelan suarakan desahan

di liku jalan terjal
kau dekap hangat embun
pasrah bersandar pada aroma harum
nikmat sekejap pucuk ranum

menusuk jantung rimba cemara
kubakar hasrat dan cinta
kamu pegang pundak raba dada
bukit jumprit meledak banjir air mata:
bahagia

Juni 2016



Puisi Muksalmina (Aceh)

Balada Tanah Gersang

Dikala fajar terbit
Di antara riuh burung yang bergemericit
Di sanalah kisah sang tanah terselip
Kisah jantung bumi yang kini sakit

Negri yang dulu menyimpan pesona
Kemakmuran dari hutan belantara
Kehijauannya menyejukkan mata
Terkenal hingga seantero dunia

Kini semua terasa sirna
Belantara disulap jadi pusat kota
Pohon ditebang di mana-mana
Kebakaran lahan sudah biasa

Wahai generasi penerus bangsa
Jagalah kilau hijau hutan Nusantara
Karena pepohonan jadi penyerap racun berbahaya
Demi hidup kita dan generasi seterusnya.

Pulau Weh,12 Juli 2016



Puisi Mulyadi Razak (Martapura, Kalsel)

Suara Hutanku

kau laksana gadis perawan
hartamu terpendam dengan lukisan sapaan
wajahmu kadang menakutkan
wajahmu kadang penuh senyuman
bahkan kadang kau lambaikan tangan

aku sangat ingin bercanda denganmu
saat sapaanmu bermanja di telingaku
suaramu tak menentu tapi aku tak jemu
terkadang terdengar seperti membelah dirimu
juga sangat lembut membuatku tersipu

aku ingin membenamkan semua hasrat diri
agar hapus semua tanda tanya yang mengebiri
saat baumu membenamkan keinginan hati
ada hasrat yang membuatku berintuisi
karena eksotikmu membuatku ingin berekspresi

namun seiring berjalannya masa
keadaanmu berubah seketika

kulitmu terkoyak
kaki tanganmu sopak
suaramu serak
perutmu dipasak
napasmu sesak
kau dijambak, dinjak

yang terdengar nyanyian bernada loba
perpaduan senyum pongah dan gelak tawa

di dalam kesunyianmu kau masih merona
kau masih memberikan keheningan dengan nada

            bila kau tersenyum aku kan ramah
            bila kau suka suka aku kan marah
            aku berasal dari hasratmu
            aku tak pernah menghianatimu
           

Martapura, 20 Juni 2016



Puisi Navys Ahmad (Tangerang, Banten)

Monolog Daun

jika ada tangkai yang meranggas  dengan  kulit  kelupas
kepada siapa aku menulis surat tentang perih menahun ini
jika ada batang menghitam di antara kepulan asap kelam
kepada siapa aku kirimkan tanya tentang penanggung laku

dan angin terik berdesau di antara renjai yang kering:
tak ada pemberi alamat tak ada pemberi jawab
lupakan saja kisah keluh pedih perih ini

bertahun bahkan berabad peradaban
kami harus setia menjalani takdir
sebagai penanggung luka

biarkan kami meregang
lalu mati.

Tangerang, 5-7-2016

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: