Bagian Kesepuluh


Puisi Supandi (Tanah Bumbu, Kalsel)

Burung-Burung  di Hutan Cemara

Kabut dingin merendah
Perlahan menyapa
Semak-semak tanah  basah
Langkah  kaki seiring
Pandangan hijau  terhampar
Di hutan cemara

Suara kicau  burung-burung
Merdu dalam  pohon cemara
Asyik riang dalam kicuan
Membuat hati senang dan riang

Burung burung  pun  menari nari
Dalam ranting-ranting cemara
Wahai alam dekaplah  jiwaku
Elok suara burung
Membuat  aku  terbuai
Dalam  keindahan hutan cemara

Karang indah,(angsana), 2016



Puisi Supi El-Bala (Tangerang, Banten)

Hutan Baduy

Dulu aku rasakan
Hening. Hening di puncak kendeng,
Hutan lindung, sopan-santun dan aliran kesucian
Bahkan dua jentik embun kutadah dengan lidah
Tak ada limbah, segar di sumsum tubuh
 Penghuni yang mengawini tanah rawayan dengan kasih sayang

Sekarang aku risaukan
Anak-anak hutan yang lincah, meloncat-loncat di antara tebing
Berlarian ke ketinggian, tersenyum di akun durian, rambutan,
dan tanggungan nangka pengisi pulsa
atau memenuhi hasrat berburu Minimart di Ciboleger.

Di Hutan Baduy itu setapaknya telah kususuri
Daun, kayu bercampur plastik adalah megalitikum pengunjung
Yang kutemui
Sampah-sampah kota besar kini bermigrasi ke hutan budaya
Dan berkembangbiak sembarangan!

Di hutan yang penghuninya di selimuti kejujuran
Di hutan yang penghuninya diajari kesucian
Masihkah menampung songong tangan-tangan pelancong ?

Kp. Marengo, Baduy Luar, 18012016



Puisi Syahriannur Khaidir (Sampang, Jatim)

Amit-Amit

Kabar duka melangit
Mata supit
Cengkeram menghimpit
Tak mampu kugalang jerit
Jika tubuh terjepit kait
Tali kawat  membelit
Robot gergaji berkomat-kamit
Aku sakit!
Tergeletak morat-marit
Gelagat banjir duit
Ngengat dan nafsu melejit ke langit
Mengusir burung-burung terbirit
Adakah kau pedulikan naas alit?
Menyemai tawa bibit
Hijau yang tak lagi tambun membukit
Karena usik dan ungkit
Tercabik-cabik Iprit
Menggoda ricuh anak cucu merakit
Atau membalik cekik sisa pahit
Rimbun yang tertanggal sedikit

Sampang, 20 Juni 2016



Puisi Syarif Hidayatullah (Banjarmasin, Kalsel)

Nyanyian Sebatang Pohon

Burung-burung terbang tersesat di kotamu
Mencari hutan untuk jalan pulang
Mendengar nyanyian pohon
Yang semakin terkikis peradaban

Dan pagi sedang menikmati kopinya
Di antara jalanan tua
Tempat orang berlalu-lalang menuju pasar

Tanah terkikis bersama pohon yang tumbang
Kawah bumi menjadi genangan terbaikan
Di tumbuhi lumut dan jentik bersarang
Rumput pun menjadi mati
Tempat yang dulu jaya kini merana
Sementara kita di desa terus mencoba menanam oksigen
Kembali berharap mendengar nyanyian pohon
Meskipun hanya sebatang

Bantuil, 8 Juli 2016



Puisi Taberi Lipani (Barabai, Kalsel)

Tangis Hutan Benuaku

Coba selami arti
ketika batang kayu-kayu tumbang
di antara kerlip bintang-bintang
buram kelabu
masa hijau benua ini telah ternoda
hati daki berdasi

Kering renta merana
hutan ini menangis rawan
sungai-sungai lali
kehilangan batu-batu pualam
ketika langit kita muru muram

Sisi hutan nan rawan
gelap tak terlalui mimpi
dan langkah pribumi yang serba salah
tak kuasa mengajak sanak saudara
pergi menjauhinya

Mari mendaki lembah-lembah
barangkali di sana terbaca sebabnya
tentang bayu yang memanas
kering merana
karena bibir tanah rengkah
tak kuasa memetik embun
senyap, getir bisiknya
kepada siapa ia dermakan air mata
berliku tak terjawab

Bila amarah sungai menyapa
tiada bergumam tentang kedamaian
yang keruh gemuruh
menyerbu padang-padang
tanpa sesunting senyum menyapa
dan dari hulu sungai-sungai itu
ada gunung yang hanyut
tanpa isak menyambutnya

Wahai kepada siapa bumi mengadu
apakah kami masih bias menangis
demi anak cucu
yang belum mengenal benua
hanya mampu merindu
ingin memeluk batang kayu
karena hutan ini jangan sirna
dimakan si tamak tama
matahari sudah mereguk ubun-ubun
gunung-gunung terapung
keringnya paya-paya
tuan, bapak, saudara-saudara
ini ruh gunung-gunung datang bertamu
menuntut setiap ulah polahmu

Sungguh karena kalian
sungai-sungai menjadi kubangan lumpur besar
setiap benua akan akan tahu hal ini
tentang kami yang telanjang tak berbaju
mencoba memberi wangi-wangi bunga
pada bau lumpur hutan bernanah
petikan dawai panting tak mampu mencanda kalbu
hanya pucuk-pucuk kering dimangsa sepi
balai-balai tanpa kehilangan balian
hutan jangan kehilangan tuah

Memang tak seharusnya beku kalbu
pura-pura tak merasa
di langit sana tertulis ribuan cerita
tentang keramahan sejuk benua kita
dan maaf tuan,bapak, saudara-saudara
berhentilah memamah kayu dan tunas-tunas
karena kami telah lebih mawas
saat dada rindu anak cucu menunggu

Barabai, 01 Juli 2016



Puisi Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin, Kalsel)

Jangan Tanami Sawit

Jangan tanami sawit
Hutan-hutan galam kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak ada lagi
Burung-burung liar berbiak di sini
Ikan-ikan liar berbiak di sini

Jangan tanami sawit
Hutan rawa-rawa kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak ada lagi
Buaya-buaya rawa berbiak di sini
Tidak ada lagi
Biawak-biawak liar berbiak di sini

Jangan tanami sawit
Hutan-hutan galam
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak ada lagi
Pelanduk-pelanduk liar berbiak di sini
Puraca-puraca liar berbiak di sini

Jangan tanami sawit
Padang rawa-rawa kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak ada lagi
Ular kobra liar berbiak di sini
Ular sawa liar berbiak di sini

Jangan tanami sawit
Hutan-hutan galam kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak bisa lagi
Ilung-ilung tumbuh subur di sini
Purun tumbuh subur di sini

Jangan tanami sawit
Hutan rawa-rawa kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak bisa lagi
Nipah tumbuh subur di sini
Pohon rumbia tumbuh subur di sini

Ketahuilah,
di hutan-hutan galam itulah
Di hutan rawa-rawa itulah
Tuhan membangun depo logistic alami
Tempat menyimpan
sumber nutrisi dan kalori kami
Supaya hidup kami makmur di negeri sendiri
Supaya kami tidak perlu menjadi budak di luar negeri
supaya kami tak perlu berdesak-desakan
berdarah-darah, sampai meregang nyawa
berebut zakat fitrah, sedekah, atau
sumbangan social dari pemerintah
Tak perlu itu
Tak perlu.

Kami bisa hidup makmur, mandiri
Jika hutan-hutan galam kami
Jika hutan rawa-rawa kami
Tidak dirusak ditanami sawit

Banjarmasin, 16 Juni 2016


Puisi Tato A. Setiawan (Tanah Bumbu, Kalsel)

Menunggu Murka

semenjak itu
pohon tak lagi sebagai rumah sungai
bukanlah lumbung
lembah tak lain hanyalah lubang kubur

bukankah leluhur berwasiat rimba raya semesta
harus menjadi karib
ayah sekaligus ibu bagi anak cucu
hingga bumi mati
pohon-pohon ranggas
air sungai serupa seringai
Ikan-ikan menduri mencari pertiwi

O Sang Hyang Wenang,
ke manakah kau pergi
jangan tinggalkan kami
jangan biarkan kami mati
jangan biarkan kami membara api
yang membakar mungkar
yang melumat laknat hari ini
lusa, atau nanti
ketika kami mati
adalah masa-masa suram yang cekam
sebab tak ada yang bisa lagi dipijak
tanah ialah entah
udara hanyalah suara
dan air sekadar desir
bagaimana, dan serupa apa
masa depan anak cucu kelak
sedang isi rimba sudah habis, titis!
menunggu murka
menunggu murka
menunggu murka
menunggu murka
dan kami melata mendupa

Batulicin, Tanah Bumbu, 29.06.16



Puisi Taufik Nor (Tanah Laut, Kalsel)

Apa Kabarmu Hutanku

Kenapa harus terjadi?
Ke mana hijaumu dulu yang aku agungkan
Di mana rindangmu yang selalu aku banggakan
Tempat burung-burung bermain sandiwara
Bergurau lepas tanpa cela

Apa yang akan aku ceritakan nanti
Pada hujan yang turun deras
Pada angin yang berembus
Pada lelah hati berselubung luka
Luka lara ....

Aku masih merindukan hijaumu
Hutanku ....
Tempat bersandar lelahku
Berbagi inspirasiku
Yang siap kubagikan pada anak cucuku

Aku masih berharap lestarimu
Hutanku ....
Penopang polusi asap kehidupan
Cerita masa depan
Yang siap kubagikan pada anak cucuku
Kembalilh hijaumu hutanku
Lestarilah hutanku!



Puisi Tri Adhit Bayu Pamungkas (Singkawang, Kalbar)

Riak-Riak Hijau

Riak-riak hijau
Bukan tentang ruang lingkupnya
Bukan juga tentang prasastinya
Hanya saja sepoi terasa parau

Dedaunan yang bergemercik
Sunyi riang berbahagia dalam tari
Peri hutan yang enggan berlari
Berbahagia dia dalam tercekik

Entah berawal dari mana
Angin api bertiup dengan tergesa-gesa
Membubarkan paguyuban gembira tanpa rasa
Entah berawal dari mana

Riak-riak hijau
Memerah dengan tiba-tiba hutannya
Seketika berhentikan hujannya
Sepoi-sepoi kemarau

Peri hutan berlari
Menjauh, meninggalkan adikuasa
Tertinggallah kutukan dalam apinya
Hingga padam dengan sendiri

Sunyi-sunyi sendiri
Hutan yang gembira tak lagi terasa
Mereka terus bertanya tentang fakta
Hingga akhirnya tertinggal mati

Seribu pasukan tanpa dosa tiba
Menggenggam belati, gergaji dan tanpa hati
Sedikit menyeringai di tepi hutan yang mati
Bersiap meluluh lantahkan tanpa iba

Gemericit di tengah sunyi
Tertawa puas pasukan yang kini berdosa
Tanpa sadar tanduk mereka mulai terasa
Hai lihat, mereka bernyanyi

Setelah mereka puas
Setelah mereka bahagia
Setelah tak ada yang tersisa
Mereka tinggalkan dengan wajah buas

Riak-riak hijau
Kini hanya tinggal nama yang tersisa
Entah apa kabar peri hutan yang mati rasa
Hanya terdengar lirih suara parau

Terlihat dari sudut keputus asaan
Anak kecil dengan wajah sedih tiba
Dengan sebatang pohon muda di tangan kanannya
Mulai ditanamnya dengan penuh harapan

Berharap…
Kelak…
di luluh lantahkan…
lagi.


Puisi Untung Prasyatyo Fahrurahman HB (Kandangan, Kalsel)

Kehancuran Anak Tuhan

Ia menangis. dalam binar mata airnya pancarkan kehancuran tiada tara. kesejukan jiwa dan keabadian raga. hancur seketika. sekejap alunan musik keangkuhan pengusaha.
Ia dicipta bukan dari tangan manusia. Ia tak bercampur cairan kimia. Ia suci. Ia jernih. Bahkan setitik noda sekalipun tak menggiring penciptaannya. Ia menjadi tempat bagi orang yang mencari kedamaian jiwa.ia menjadi tempat semua cipta bersemi. ia juga menjadi pelarian orang yang terpaksa hilang dari peradaban dunia.
Namun siapa sangka. Keanggunan. Keperkasaan. Kesucian. Keramahan. dan kejernihannya dirampas oleh keangkuhan nafsu gila manusia. Ia hancur tak tersisa.
Tak ada lagi cerita tentang kearifannya. tak ada lagi dongeng tentang ribuan pasukan yang tersesat di dalamnya. tidak ada lagi setetes harapan seorang anak akan cerita penghantar tidur dari ibunya
 ;tentang dirinya.

Banjarmasin /Desember/ 2015

Puisi Uwiks Tutupang (Tanah Bumbu, Kalsel)

Sisa Hutan

Lalu rinai hujan disaur saum
Lantas apa menyurutkan niat merambah sisa hutan
menyisir rawa

Langkah masih dilamun
Lantang pandang menembus tirai hujan
di ujung cakrawala

Lamunan waktu lalu
tentang hutan kita
tentang kegembiraan menikmat harta hutan

Lantas kita berkejar waktu
mengais disisa hutan yang mengubah wajah dengan pasti

Lengking jerit hati masih bersama gerimis subuh
mana hutanku
kami anak hutan
yang hidup dari hasil hutan

Lenguh menunggu imsak
jadi hangat linangan

Borneo, Tanah Bumbu, Juni 2016



Puisi Varli Pay Sandi (Kalimantan Barat)

Enggang Tak Lagi Bersayap

Jika keserakahan jadi raja
Puing-puing tak bersisa
Tuan-tuan ber-"Tuhan" Uang
Asal senang hutanpun hilang
Anak cucu tertimpa malang
Oleh ulah para jahanam

Demi mencapai ambisi, penjahat berKOALISI
Hukum, adat dan tradisi dianggap polusi
Segala cara menjadi amunisi, untuk mengancurkan harmonsasi

Enggang tak mengepakan sayap lagi
Pun paruh yang selalu siap memangsa tak beringas lagi
Enggang menanti mati

Enggang tak punya rumah
Kuku enggang tak bisa lagi mencekeram dahan-dahan
Akhirnya enggang mati tak ber-paruh

Enggang tak lagi terbang hingga ujung negeri
Lebih baik enggang mati, dari pada melihat wajah pencuri negeri
Enggang memilih mati, dari kehidupan bumi



Puisi Widya Hastuti Ningrum (Kudus, Jateng)

Kidung Rimba Raya

kidung rimba memeluk senja
mengaduh pada angin hingga bulan mendera malam
merintih rindukan rimbun pepohonan di sudut kota
yang bersenggama dengan dingin dan segarnya napas
mencium mesra suatu pagi dengan kabut yang megah
dan kicau burung yang bercinta di atas dahan yang rindang

Oh, angin yang semilir
mengapa kau tak lagi datang memeluk rimba nan menjulang
memanjakan harum bunga kembang jati
dengan akar yang menghunjam kuat pada bukit-bukit kecil
berderet menjuntai ranum hijau penuh pesona
nyanyikan kidung rimba dengan riang gembira

Lihatlah
kidung rimba rayamu kini tak lagi nyanyikan cinta
hanya terdengar sayup rintih bukit yang pucat warnanya
memenjarakan dendam dan kecemasan jiwa
pada hutan-hutan bopeng yang kehilangan surganya
akar-akar yang tak lagi kokoh mencengkeram bumi
hingga langsor pun menyapu ratusan nyawa
meregang hidup dari murka rima raya
sisakan duka meratapi sesal yang sama
nyanyikan kidung doa pada Yang Kuasa
merindukan rimbunmu kembali menghijau
di sepanjang bukit hingga lembah dan danau



Puisi Win Gemade (Aceh)

Erang  Rimba Bur Lintang

kabut menipis
masih terasa basahnya dari sisa-sisa pohon yang menjulang
melindungi hewan-hewan
dari cuaca tak terbaca

kabut menipis surut
enggan hinggap di dada bukit yang sedang sakit
enggan bergayut di ranting kering
aroma berbagai warna
plastik berbagai rupa
benda-benda asing tanpa identitas
mengerubuti dada bukit ini
menghisap sari bumi
menetaskan racun di aliran akar
di kakinya hewan-hewan memagut rumput-rumput menguning
di kakinya orang-orang desa menghisap air dari jari-jari terluka
di kakinya pohon-pohon kopi tak kuasa berbunga
di kakinya para petani menangisi panen yang ternoda

kabut menipis surut
pamit pada ranting kering
pada daun menguning
pada rumput-rumput mati akar

erang bukit bur lintang
di tubuhnya masih tersisa sperma dari kondom buatan eropa
remah makanan dari kemasan made in china
perdu-perdu enggan berbunga
pohon-pohon mati warna
hewan-hewan menjauhi rimba

erang rimba bur lintang
mata air yang tertimbun
perdu-perdu yang layu
hewan-hewan yang tak sempat membeli masker

kabut menipis
menangis pergi
embun kehilangan daun
kabut kehilangan pohon
air kehilangan akar
rimba kehilangan suara                                                           

Takengon 2014


Puisi Wyaz Ibn Sinentang (Ketapang, Kalbar)

Pertiwi dalam Bingkai Metropolitan

Tanah pusaka terjaga dari peraduan seabad zaman mimiknya terperanjat, wajah peradaban berpoles dan bertiangkan beton-beton megah. Di sana sini parfum kemunafikan usir lebatnya belantara yang dulu molek, perawan hijau itu telah uzur digertak serta disuap sekelompok begundal perusak lingkungan hidup

Cangkang-cangkang baja memonopoli sejuknya hawa perkampungan yang tadinya asri, lugu dari glamornya duniawi. Hijau dedaunan tak lagi pamerkan ramahnya berganti dengan lempengan metal panas mendera  napas celingukkan mencari-cari oksigen yang tersisa ozon menangis kian menipis tercemar polusi asap-asap besi berjalan

Sumber air kering kerontang tersedot nafsu sawit-sawit serakah yang ingin menggeser kedudukan pohon-pohon belian, meranti, kelapa, dan segala pakis-pakis menghijau. Kita semua dibutakan oleh lembaran berharga belaka sementara tanah pusaka merintih terkuras segala isinya dijarah tangan-tangan tak bermoral

Di hulu pabrik-pabrik bermunculan mengusir hijaunya bukit-bukit, napas kita pun semakin sesak menghirup asap-asap beracun. O – kehancuran tinggal di ambang mata tak pernah digubris setiap tirani bertahta. Tanah pusaka kini menangis menagih janji sang penguasa kapan hijaunya kembali ke pangkuan pewaris mendatang

Bumi Ale-Ale, 13 Juli 2016


Puisi Yanti S Sastroprayitno (Semarang, Jateng)

Hutan Impian

Langkah-langkah kecil gemerisik
meningkah dedaunan mblasah* di tanah basah
sejuknya embun mengalun di dedaunan rimbun
sinar mentari kesulitan mengintip di sela reranting

Kicau burung berdendang riang
bersautan suara aneka satwa bergema
sungguh harmoni alam tengah berkumandang
melantunkan syukur pada Sang pengatur

Langkah tersita terkesima
sejuknya hawa meresap ke dasar jiwa
ketentraman melingkup semesta
memeluk raga yang kian menua
lamat-lamat gemercik air
sungguh bagaikan sihir
laksana jiwa baru terlahir

Hai
di manakah aku berada
di bumiku atau di negeri antah di mana
pepohonan tinggi menjulang tak terkira
sulur-sulur bertautan merenda asa
bersinergi dengan alam semesta

Sebongkah batu terantuk ujung kaki
terjagalah aku dari mimpi
tak ada lagi hutan rimba riuh marga satwa
semua termakan napsu angkara
tinggalkan alam merana

tak ada lagi hutan hijauku
menyisakan asap yang menyesak dada setiap waktu
hamparan tanah gersang menangis pilu
merindu kedamaian hutanku
bilakah negri ini mampu menuju

Semarang, 20 Juli 2016

*mblasah: bertebaran di mana-mana ( Jawa)



Puisi Yoga Permana Wijaya (Cianjur, Jabar)

Elegi Embun yang Hilang di Tanah Gersang

Embun tengah mencium dedaunan hijau,
Mengaduk rindu makhluk melata yang kemarau.
Menetes jatuh di jantung pohon beringin,
Memantik segala ingin.
Menelusup ke akar-akar jati,
Memekarkan suasana hati.

Mahoni dan gandaria tersenyum ceria,
Seisi alam gembira.
Cahaya mentari menelusup malu-malu,
Disambut celah-celah kanopi penuh rayu.

Anggrek di pangkuan batang trembesi,
dengan manja ucapkan selamat pagi
Kepada burung berwarna-warni
Kepada tupai yang melambai
Kepada kancil yang terampil
Kepada ular yang pintar
Kepada monyet yang nakal
Bahkan kepada harimau yang liar
Kepada seluruh fauna.

Tetapi semua, tinggal cerita.
Sebab bertahun-tahun lalu,
Para manusia
Dengan mesin-mesin perkasa
Mencabik batang-batang menjulang
Merobek daun-daun rindang
Menguliti hewan-hewan malang
Lalu setelah semuanya porak-poranda
Kobaran api pun melumat tanpa sisa,
Meninggalkan sumpah serapah
Hutan yang meregang nyawa.

Kini, di bawah jasadnya
Telah bangun air dan tanah -- jiwanya yang marah
Serta di atas jasadnya,
Telah bangkit langit dan udara -- ruhnya yang murka
Mengumpati sebuah nama: "manusia"

Sukabumi, 29 Juni 2016



Puisi Yuditeha (Surakarta, Jateng)

Kota Pohon

rimba merayap
mimpi itu hadir
embun menghangat
menetes pada bumi
udara menghijau
menyadarkan napas

kenanganmu abadi
bumi yang mengandungmu
menetas dalam waktu semi
seiring terciptanya puisi
meski di kamar-kamar sempit
tapi berlangit-langit

daun membuka
gairah itu ada
satwa berkicau
menggaung pada jiwa
musik alam tertata
mengusir kekacauan

kata-katamu tereja
salam tersampaikan
tentang sebuah taman
kota lahir dan batin
sejalan terbacanya sajak
di ruang-ruang sukma
selamat tak terbatas


Puisi Zham Sastera (Pandeglang, Banten)

Wajah Hutan di Negeriku

Negeri ini, negeri yang amat kian hijau dalam hamparan hutan nan memukau
Dari ujung sabang tampak memukau sampai merauke hijau memukau
Tampak indah jika dua bola mata lepas memandang akan hijaunya hutan nan rindang
Di negeri ini, ya negeri yang kaya akan seribu satu hutan indahnya melebihi berlian
Hutanku napas kehidupan nyata, jangan sampai terbinasakan
Tanpa hutan, kehampaan besar tumpah di negeri tak ada senyum tawa hewan-hewan berlari
Inilah wajah hutanku hutan yang penuh dengan harapan besar dalam abdiku
Hutanku, kan’ ku jaga kau di setiap langkah musnahkan mereka yang mengancam serakah

Wajah hutan di negeriku berharap terus terjaga dalam tubuh tanah airku
Meski sebagian di seberang pulau sana masih bersatu dalam buai bencana
Ya, bencana yang di buat oleh tangan-tangan jahil manusia seperti bukan manusia
Mereka bermain-main dengan api seolah tak tampak wajah bersalah meratapi
Meraup hutan-hutan di tanah negeri dijadikan lahan-lahan gersang rakus materi
Penuh dengan di buai hitam. ya, para penguasa negeri di madu kelam
Detik ini, mari jaga hutan negeri# agar terus semerbak nan berseri

Wajah hutan di negeriku# kembali, perlahan kan’ terus ku jaga dalam abdiku
Bukan sekedar ucap dalam kata. ya, itu bisa saja di buai manis dalam dusta
Kini perlahan mulai menjaga dengan menanam bibit nan baru agar nyata terjaga
Kembali, hutanku napas kehidupan tanpa hutan, tak ada yang namanya kehidupan
Di setiap jejak dalam langkah semoga niat baik berbuah berkah
Demi hutanku di negeriku kembali, ya hutan tanah airku
Adalah maha karya Tuhan, Rabb Yang Maha menciptakan.


Pandeglang, 29 Juni 2016

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: