Bagian Kedua


Puisi Almunawaroh (Banjarmasin, Kalsel)

Hutan Rimba

Hutan rimba memeluk jiwaku
Sungai-sungai melingkar,alur denyut darahmu
Menyatu dgn darahku
Tegar mengapung, pesona hutan rimbaku.
Membawa arus birahi hidupku, dan anak cucu
Namun di manakah kini hutanku.
Yang dulu memeluk anak negeri dengan hijaunya, dengan lebatnya, dengan indahnya, dengan pesonanya.
Di mana hutan rimbaku.
Hanya kenangan tuk anak cucu.
Kautelanjangi hutanku
Di depan mata dan jiwa kami, saksi
Nyata atas terbantai dan terkurasnya hutan rimbaku.
Berselimut rerumputan kering.
Sedihmu, tangis alam menguning tak kauhiraukan.
Hanya demi rupiah.
Kami tunggu secuil janji, yg belum kau tepati.
Wahai pembabat hutan rimbaku.
Janji akan membangunkan nyala roh hutan rimbaku.
Yang dulu kau hijau dan lebatnya
Mana janjimu, kau ingkari, kau zolimi hutan rimbaku.
   

  
Puisi Aloeth Pathi (Pati, Jateng)

Hijau Hutan Negeri

Ambisi memuncak gelora jiwa tergagahi
Karena hutan terperawani
Satwa pulang di balai kota
Musim tak pasti di antara gergaji dan kapak
Menebar ambisi modernisasi
Melenyapkan hijau menjadi kusam

Meradang nyanyian pedalaman
Ilustrasi teduh dalam buaian mimpi
Karena hutan tercerabut
Digusur pilar-pilar beton kota

Hijau hutan negeriku, terbangkan persada bumi pertiwi
Semoga Jayalah tempat kekayaan alam dan satwa flora-fauna
Senantiasa dijaga dalam kesadaran
Lestari, Hijau Hutan Negeri kami
                                            
Kajen, Juli 2015 



Puisi Amat Selamat (Tanah Bumbu, Kalsel)

Jangan Salahkan Tuhan

Di pagi buta tiada berangin, ranting pohon tetap bergoyang
Terdengar suara gemuruh di setiap titik hutan
Satwa buas berlari, berterbangan mengganggu pelosok desa
Khatulistiwa menjerit hingga air mata meluap di sudut-sudut kota

Kini kemurkaan turut datang menjamu setiap desa dan kota
Tapi jangan salahkan tuhan!
Sebab tangan-tangan kalian yang telah melanggar norma Tuhan

Maka, jagalah hutan! Jagalah hutan!
Hilangkan suara gemuruh nafsu di setiap titik hutan
Tenangkan khatulistiwa hingga air mata tersapu disudut-sudut desa dan kota

Pagatan (Tanah Bumbu), 22 Juni 2016. 05.16 Wita



Puisi Annisa Akhla (Tanah Bumbu, Kalsel)

Hilang Kandas

Semula kau simpan surga
beningnya air
kicauan burung
embusan angin
cahaya mentari yang sejuk dari celah-celah pohonmu

tapi semua kandas
ranting rantingmu terbakar
abu pun terhampar di antara tanah yang berkabut

21 Jun 2016 10.47, "Annisa Akhla"


Puisi Andi Jamaluddin, AR. AK. (Tanah Bumbu, Kalsel)

Dendang Bah

Sebab apa kalian berteriak
sekeras dingin pada kepercumaan
dendang bah, bukankah kita sendiri yang
menabuhnya, pada nyanyian nafsu yang
terkadang tak tersadari, bahwa air
adalah darah tubuh yang mengalir
di setiap denyut sungai-sungai kehausan
sementara hutan terkubur dalam tulang yang
kian merapuh
jauhlah biduk di dermaga
menambatkan raga dalam ruh-Nya

Tak usahlah berteriak
dendang bah telah bergaung
di kembara riak
hutan telah dilenyapkan

Pagatan, 11/03/16  #22.01#



Puisi Annisa Halwa Achmad (Bandung, Jabar)

Hutan… Andai Mereka Mendengar

Hutan…
Andai tangan-tangan itu mendengar kau menangis
Andai mereka mendengar kau menjerit
Mungkin mereka akan lebih menangis dan menjerit

Tapi sayang, tangisanmu, jeritanmu,
Dan penderitaanmu tertutupi kebekuan hati
yang membuat mereka tuli dan tuli lagi



Puisi Ansyah Ibrahim (Bekasi, Jawa Barat)

Sang Paru–Paru Dunia yang Mulai Musnah

Dulu, hidupku sangat tenang
Aku tumbuh menyelimuti banyak daratan
Menjadi rumah para hewan
Menyegarkan dunia
Tapi kini, semua mulai musnah
Akarku mulai meninggalkan tanah
Badanku terbelah menjadi dua
Daun daun hijau mulai meninggalkan tangkainya
Udara bersih mulai menghilang ditelan gedung perkotaan
dan aku, tak bisa menjadi paru–parumu lagi 
                     


Puisi Ariadi Rasidi (Temanggung, Jateng)

Hutan Jumprit Satu Pagi

Angin bukit mengembus sejuk nyaman
sinar ultra violet memancar segar
menerobos gerumbul daun pinus mahoni
reranting bergesek melantunkan simponi pagi
embun pun mendendangkan kidung perpisahan
“Selamat tinggal pagi”
lalu menguap meninggalkan pucuk-pucuk daun

Kera menggelantung di reranting pohon
menyongsong pelancong yang berdatangan
burung-burung pun berkicau riang
karena masih banyak pepohonan tempat bersarang

Hutan Jumprit hutan di lereng gunung Sindoro
akar-akar gemulai menjalar melilit dalam tanah
menahan erosi  jadi mata air muara Kali Progo
air berkah bagi kehidupan makhluk Illahi

Bawah hutan air mengalir segar
meliuk-liuk membentuk sungai
basahi tanah regosol coklat muda
merasuk segarkan akar-akar
tunas-tunas pun ikut melambai
nun jauh di sana lagu cangkul membentur sawah
diayun berpasang-pasang tangan kekar petani

Temanggung, 2016
  


Puisi Arif Rahman (Tanah Bumbu, Kalsel)

Rimba Tak Berdaya

Hatiku adalah rimba belantara
Darahku adalah arus sungai yang mengarah ke hilir-muara
Suaraku adalah riuh angin yang menggoyangkan dedaunan
Badanku adalah hamparan di setiap pepohonan
Kekuatanku adalah jajaran bukit-bukit pegunungan
Perasaanku adalah tetesan embun pagi yang membasahi dedaunan

Ya...  Akulah si hutan
Ya... Akulah benteng kalian
Ya... Akulah juga kekayaan kalian

Tapi
Rimbaku kalian bakari
Darahku kalian kotori
Suaraku lenyap tak kembali
Badanku kau potongi
Kekuatanku kau sakiti
Perasaanku menangis tak terhenti
Sadarkah kalian dengan semua ini?

Please... hentikan nafsu kalian
Please... hentikan keserakahan kalian
Please... hentikan ketamakan

Karena aku adalah rimba tak berdaya

Tanah Laut, 15 Juni 2016


Puisi Arif Sakhbana Lubis (Sumatera Utara)

Damai

Kicauan burung-burung
Berterbangan bebas di dalam rimba raya
Pepohon turut berlagu menerima sentuhannya
sinaran sang mentari hari

Di alam rimba damai dirasa
Segala-galanya terlukis sempurna
Di alam rimba keajaibannya
Pesona di jiwa

Di rimba tiada
Derita sengketa
Tiada kudengari
Tangisan sepi yang mengguris hati

Sang pelangi ceria
Menanti kehadirannya gerimis senja
Bisikan desiran air
Turut sama menghiasi
keindahan ciptaan Ilahi



Puisi Astri Indah Lestari (Palembang, Sumsel)

Berisik dalam Risau

Riuh terdengar hingga ke tengah desa
Pagi pagi burung kutilang bernyanyi gembira
Siang-siang babi hutan mencari makan
Malam-malam jangkrik berpesta ria

Sejuk senang angin berembus
Tapi kini matahari lalu-lalang masuk ke hutan
Dulu berlumut sekarang gersang
Hewan-hewan mati kelaparan

Semut bertanya siapa gerangan,
tak punya hati tak ada kasihan?

Dulu riuh bagaikan melodi
Kini riuh bagaikan kembang api
Bakar sana sini, tebang ke sana tebang ke sini
Sudah lelah kami menanti
Akhirnya kami tak tahan hati
Kulongsorkan tanah ini agar kalian dapat berjanji



Puisi Aulia Fikri Fatahuddin (Jakarta)

Sebuah Kisah Tua

aku pernah mendengar sebuah kisah tua
sisah tentang hutan yang mewakili unsur gelap dan lembut
sebuah tempat terbaik bagi pejuang kita mengeluarkan siasat
dan suga sebagai tempat bermain bagi para pengembara

tapi itu hanya sebuah kisah tua
yang memiliki halaman baru di setiap zaman
kau mau tau kelanjutan kisah itu?
sebaiknya segera kau lupakan setelah kuceritakan

kisah tentang hutan yang tidak lagi gelap dan lembut
sebuah tempat terbaik bagi para mesin bernyanyi dan tertawa
hei, hutan itu menangis
apa kau mendengarnya?



Puisi Azra Mumtaz (Kalimantan Timur)

Ironi Hutan Borneo

Tak kujumpai pagi yang cerah ditemani keelokan sang enggang
Melainkan hanyalah debu dan rintihan pohon ulin yang tumbang
Tak kudapati malam purnama dengan bintang-gemintang
Melainkan kabut hitam pekat yang menghalang

Ironi sekali
Ketika burung enggang hanya kutemukan dilambang
Anggrek hitam yang hanya menjadi simbol
Juga bekantan yang nyaris menjadi kenangan

Teruntuk iblis jelmaan penjarah hutan
Apa yang ingin kaudapatkan dari ini semua?
Kemajuan bangsa atau kekayaan?
Mustahil rasanya, kau hanya terlihat menuruti nafsu dunia

Teruntuk iblis jelmaan penjarah hutan
Pernah kaurasa semilir angin yang menyejukkan?
Pernah kaulihat ketika anggrek hitam mulai bermekaran?
Pernah kaulihat senyum manis dari bayi bekantan?

Teruntuk iblis jelmaan penjarah hutan
Sajak ini kutulis khusus untukmu
Semoga kausadar akan yang didera Kalimantan
Salam hangat dari gadis di kota ungu
  


Puisi Bagus Nursyah (Surabaya, Jatim)

Pohonnya Pemerintah

Satu pohon dua kata
Namun ada seribu makna di dalamnya
Kadang menjadi dilema
Kadang hanya menjadi dusta pemerintah
Karenanya
Ia bermakna

Satu pohon seribu daun
Berguguran mengiringi musim semi
Seakan waktu cepat berlalu
Dan kepemimpinan pun berganti
Namun janji-janjinya
Belum terealisasi

Satu pohon sejuta bibit
Engkau tanam tuk jadikan hutan
Bukan hanya tuntutan rakyat
Namun itu kebutuhan manusia

Satu pohon beribu makna
Itulah yang tercermin di dalamnya
Bukan hanya mengenai amanah
Hutan, maupun manusia
Namun semuanya seakan tak pernah pudar
Dan terkait

Karena inilah kehidupan 



Puisi Bambang Suprayogi (Sidoarjo, Jatim)

Belantara dan Harapku

Pucat pasi wajah belantara 
Gersang meradang terpampang
Terbalut sang merah membara
Bertabur kepulan asap membumbung
Jeritan satwa riuh membahana
Menggetarkan nurani para pecinta
Jago merah mengamuk tanpa iba
Melahap rakus tanpa tersisa
Hilang ceriamu belantara
Musnah sudah elokmu belantara
Tiada lagi sejuk desis embusmu
Tiada lagi canda riang penghunimu
Wahai belantara bersemilah engkau
Saat hujan membasuhmu
Duhai belantara tersenyumlah engkau
Saat tunas-tunas merangkulmu
Sidoarjo, 11 Juli 2016

  

Puisi Bayu Angora (Bandung, Jabar)

Oleh-Oleh dari Surga

setiap kali aku mengingat
buah merah yang lezat itu
sisa bijinya terasa perih
menggerogoti urat leherku

terus berkembang biak
menjelma pohon-pohon
yang tak bisa kering
dan tak bisa tumbang

dosa yang kita tanam bersama
selalu mekar di segala musim

hingga sajak ini kulupakan
diriku kian menjelma hutan

hutan birahi: hutan surgawi

2013 
  


Puisi Carolus Petrus Fernandez Aliandu (Kupang, NTT)

Tak Ada Lagi di Hutan

Tak ada lagi di hutan
Beringin-beringin peneduh Hujan
Cabang dan rantingnya telah menguning
Berubah menjadi ribuan pencakar langit

Tak ada lagi di hutan
Banteng kurus yang rela mati untuk rakyat
Kini ia cukup di karantina sebulan, lalu menjadi obesitas
Karena moncongya putih tetapi hatinya tidak.

Tak ada lagi di hutan
Garuda-garuda yang terbang bebas di atas awan
Mereka telah lama diawetkan, sejak tujuh puluh tahun yang lalu
Hanya tersisa potret lawas di depan kelas.

Tak ada lagi di hutan
Harapan, cinta, dan rasa peduli
Namun yang ada hanya si gembala cacing tanah
Menunggu Beringin, Banteng, dan Garuda wafat.
Maka ia siap mengurainya demi hutan.

Sidoarjo, 16 Juli 2016



Puisi Defi Julayta (Sumatera Barat)

Dari Alam Akibat Kita

Kita memangkas rambut hutan yang lebih besar daripada rambut ini
Membuat air bah jatuh lebih tinggi daripada tubuh
Kadang kita menyulut api, menuai ladang tunai
Hingga ia muntahkan kerikil abu di langit biru putih
Atau sebarkan tuba di semak
Hingga mati raksasa yang kita panggil gajah
Jangan lupa ambil gadingnya agar perut makin buncit
“Haram!” kata Pria bersorban
Rungu terlalu pekak mendengar itu
Alam pun menghadiahi krisis bertubi-tubi
Akibat otak tandus rakus yang mengunyah air, tanah, dan angin

Pekanbaru, 20 Juli 2016


Puisi Dennis Aziz (Yogyakarta)

Hutan, Riwayatmu Kini

Kawanku, mesti berkemas sore itu
Ayahnya kena mutasi lagi
Mataku nanar
Ah, aku kehilangan benar olehnya
Kami tidak lagi bersisian menjelajah hutan
Menyibak semak, membuat jejak, menyusuri lekuk liku rerimbunan pekat
Mencari kayu bakar, buat hangat tungku rumah

Sementara, Pak Lik dengan kain komprang
Berusaha menghibur “Sudah. Biarkan saja.Toh, kawanmu bukan cuma Dia. Lihatlah, deretan pohon tegak menjulang, berebut mencakar angkasa. Mereka itu bagian dari kita. Kita semua,”
Aku bangkit dari amben, mengusap air mata

Sejak itu, aku lebih sering bertandang ke hutan
Pulang senja, bawa cerita, cerita apa saja
Waktu nyaris berpapasan dengan macan, waktu mengejar rusa dan babi hutan
Atau tentang orang asing menenteng chainsaw
Ia mengaku dari kota, dari pemerintah
Ia membabat dahan, mematahkan ranting, membanting daun
Raungan dari alat, membuat induk-induk kera
Pontang-panting memeluk anaknya
Kawanan rusa, babi hutan, dan harimau
Kabur, bersembunyi dengan harap-harap cemas
Sisa-sia mereka melawan sebisanya, sebelum timah panas memberondong
Menembus kulit dan jantung, menghancur kepala, melumat bongkahan otak


Aku bergegas menuju hutan, tanpa kompromi
Aku bersama warga menguapkan asap-asap kebencian, hingga mengenangi lamgit
Dalam batin “Aku akan lindungi hutan, selamatkan kawanku,”
Biar kami habisi orang itu!
Biar pemerintah tak semena-mena, buka mata!
Peluru-peluru kini menyasar pada kami
Aku surut
Mencari  senjata sedapatnya
Pak Lik dengan kain komprang menahan lengaku“Sudah. Biarkan saja. Biarpun seribu tenaga bertindak, bergerak, yang berlimpah harta tetap akan berkuasa,”
                                                                                                              
Banyuraden, Jogja 2016

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: