Sunday, April 24, 2022

AJAMUDDIN TIFANI DALAM KENANGAN DAN JEJAK PENINGGALAN KARYANYA




Fahmi Wahid

Sepanjang perjalanan "bamudik" ke Balangan sehabis menghadiri acara Tadarus Seni di Kindai Seni Kreatif  Ali Arsy Kindai di Banjarbaru, saya tulis catatan ini dengan lelah yang bergayut di pundak dan pelupuk mata hingga sampai di Bumi Sanggam. 

Merespon acara Kampung Buku Banjarmasin yang menyelenggarakan Ngaji Puisi yang membicarakan Ajamuddin Tifani dan karyanya maka terbersit untuk sedikit juga memberikan pandangan pribadi saya terhadap beliau dan karya-karyanya lewat catatan singkat ini.

Ajamuddin Tifani yang lahir di Banjarmasin, 23 September 1951 dan wafat pada 06 Mei 2002. Semasa hidupnya yang saya tahu beliau merupakan seniman serba bisa dan merupakan sastrawan kawakan yang senior fenomenal di zamannya khususnya bagi Kalimantan Selatan. Beliau merupakan guru bagi seniman dan sastrawan yang bertumbuh pada saat itu, terlebih saya yang juga sempat menimba ilmu secara pergaulan seniman di Taman Budaya Kalimantan Selatan.

Dalam bukunya Tanah Perjanjian yang diberi pengantar oleh Abdul Hadi WM dan sebagai penyantun Tariganu memuat puisi-puisinya yang dihimpun oleh kawan-kawan Banjarmasin seperti Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat, Adjim Arijadi dan Maman S. Tawie dengan Pokja Riset dan Dokumentasi Sastra (RDS)Kalsel. Salah satu karya Ajamuddin Tifani yang saya senangi ialah puisi berjudul RINDU LAUT.

RINDU LAUT

sungguh, masih limpas jua rindu lautmu, setelah
kuciptakan surau di puncak karang, setelah kuhiasi langit
malammu dengan tujuh-puluh-ribu kubah-kubah al fatihah
dan merajuk pasir di seluruh pantaiku untuk mengaku: pasir dalam zikir pasir bagi lautmu

sudah kutimang tandas-tikammu sedarah, sedarah
sudah kubuai timpas-suburmu sepasir, sepasir
sudah kuludahkan khildimu setangis, setangis
tapi tak jua geramku memahami rahasia cinta
yang kau teteskan di sarang-sarang gelisahku
ia menjadi barah rindu senantiasa
senantiasa amarah pada jarak
dan waktu

mengapa masih jua ratap, derai lautmu, padahal
di lubuknya sudah kutanam pohon angsanaku
tempat camarku membangun rumah puisinya
tempat daun keringku menyelesaikan keberadaannya

Karya-karya Ajamuddin Tifani selalu penuh dengan kegetiran dan kritik terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan maupun lingkungannya. Latar belakang dan asupan buku-buku terutama tentang filsafat banyak memberi andil dalam karya-karya puisinya. Salah satunya puisi Rindu Laut tersebut, tafsir bebasnya barangkali pergolakan batin seorang hamba yang merindukan akan kehadiran Tuhan. Kesakitan demi kesakitan dilalui hanya untuk mencari kejatidiriannya.

Selain itu puisi-puisinya juga banyak memuat kritikan sosial terhadap rezim yang berkuasa pada masanya. Sebagaimana sajak WS. Rendra, Taufiq Ismail, dan lainnya. Kebangkitan bagi kaum-kaum tertindas selalu menjadi bahan dalam puisi-puisinya Ajamuddin Tifani, seakan almarhum ingin segala kemiskinan dunia maupun batin harus dibangkitkan dengan getaran puisi. Hak-hak kemanusiaan yang harus terpenuhi, kemewahan dunia yang menjadi penyesatan manusia hingga sifat manusia yang bernafsu akan keduniaan selalu juga disinggung dalam puisinya Ajamuddin Tifani. 

Karya yang bercorak religius Ajamuddin Tifani banyak digolongkan dalam puisi-puisi sufistik dengan banyak menyerap karya-karya dari penyair Barat maupun Timur. Sehingga karyanya boleh dibilang penerus dari karya sufistik penulis dunia seperti Omar Khayam, Jalaluddin Rumi, Faruddin Aththar dan lainnya. Dengan banyak menukil dan menjadi inspirasi karyanya dari surat-surat dalam Al Qur'an yang menjadikan puisinya bertambah puitis dan religius.

Ajamuddin Tifani juga merupakan deklamator terbaik di zamannya, banyak menuai prestasi dan langganan menjadi juri lomba deklamator ataupun baca puisi. Sehingga dalam kekaryaannya juga banyak dipengaruhi oleh diksi-diksi yang menggetarkan untuk dibacakan meski dalam metafor halus yang dapat menyentak pendengar yang menyibak pembacaan puisi-puisinya. 

Saya salah seorang dari ribuan orang yang mencintai Ajamuddin Tifani dan karya-karyanya dari puisi, essai, lukisan hingga gaya deklamatornya yang sangat berkesan, terlebih sosoknya yang menjadi panutan bagi kita semua. Sampai sekarang sangat sulit mencari penggantinya dan barangkali sudah sepatutkan Ajamuddin Tifani tidak tergantikan di jagat kesenian dan kesastraan Kalimantan Selatan juga di Indonesia. 

Dengan tuntasnya catatan ini, menjadikan saya bisa melepas lelah dan pengenang perjalanan "balabuh" dari Balangan ke Banjarbaru dan "bamudik" dari Banjarbaru ke Balangan, yang kiranya bila kelak senja ini redup dalam diri akan menjadi jejak rekam bagi generasi mendatang.

Balangan, Ramadan, 2022

Penulis adalah sastrawan tinggal di Kalimantan Selatan. 
-------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: akun Facebook penulis
Sumber ilustrasi: Pixabay

0 comments: