Monday, March 22, 2021

Peci Ayah, Cerpen Satmoko Budi Santoso


KAKEK selalu mengenakan peci. Kapan pun, di mana pun. Peci kesayangannya tak pernah lepas dari kepala. Bahkan hingga ia jatuh tertidur, peci itu bisa saja nangkring menutupi wajahnya, hingga dapat menyaring suara ngorok yang keluar dari mulutnya. Sebagai cucunya, sesekali saya iseng membuat kakek kelimpungan. Satu-satunya peci miliknya, dan hanya seminggu sekali dicuci itu, beberapa kali sengaja saya sembunyikan. Kalau sudah begitu, keributan akan terjadi. Karena ada banyak cucu, merekalah yang kemudian menjadi sasaran tuduhan.

“Saya ini kan sudah tua, mbok jangan suka main-main begitu. Kalau kalian mau uang yang terselip di lipatan peci itu, ambillah secukupnya,” begitu omelan kakek, dengan sasaran entah saya, entah cucu-cucu yang lain. Di antara para cucu yang mendengar tentu hanya tertawa cekikikan. Jika kemudian tiba-tiba peci itu saya munculkan tanpa sepengetahuan kakek, misalnya tiba-tiba sudah ada di belakang tempat duduknya, maka kakek akan terlihat sangat riang. Serta-merta ia akan memeriksa sejumlah uang yang terselip di lipatan peci itu. Selalu utuh. Begitulah, jika pun saya sembunyikan, sama sekali saya tidak berniat untuk mencuri uang di lipatan peci kakek.

Baik saya, orangtua saya, dan saudara-saudara penghuni rumah lainnya tahu bahwa uang di lipatan peci kakek itu adalah uang saku yang biasanya akan ia gunakan sebagai bekal untuk membeli rokok atau keperluan lain sesuka hatinya. Itulah sebagian uang yang ia peroleh dari hasil sawah dan ladang miliknya. Kalau pas hati kakek lapang, tentu saja ia tidak akan melupakan cucu-cucunya, mereka akan diberi kakek uang jajan, yang diambil dari lipatan pecinya.

Sepeninggal nenek, peci itu seakan-akan telah menjadi pengganti istri kakek. Nilai perhatian kakek terhadap peci itu cukup berlebih.

***

Kini ayah saya yang menggantikan kebiasaan kakek. Ayah sering menyimpan uang di dalam lipatan peci. Ibu saya sudah kerap menegurnya.

“Ayah ini kan ketua RT, kok naruh uang di lipatan peci. Mbok bawa dompetlah, kalau mengeluarkan uang di depan banyak orang dari lipatan peci, tidak malu apa? Zaman sudah modern, setiap warga RT kita sudah punya laptop semua, kok ya masih seperti itu.”

Sebagai anak tertua yang pernah mengenyam bangku kuliah, jika mendengar ibu ngomel-ngomel seperti itu, saya tidak dapat menahan tawa.

“Mewarisi kebiasaan kakek dulu kan bagus-bagus saja, Bu,” kata saya.

“Wah, kamu ini malah membela ayahmu yang norak.”

“Sudahlah, sudah. Kalian semua tahu, meskipun urusanku hanya ulang-alik kantor saat bekerja sebagai PNS rendahan dan urusan menjadi Ketua RT di kampung, itu sudah cukup membuatku menjadi pelupa. Kalian tahu, berapa kali aku lupa, sering ketinggalan dompet. Pengalaman itulah yang membuatku memutuskan untuk menyimpan uang di lipatan peci saja.”

“Ah, sudahlah, terserah. Saya kalau pas arisan RT itu jadi sering malu kalau dikerjain ibu-ibu. Setelah mengeluarkan uang dari dalam dompetku, kata ibu-ibu itu, wah uangnya bau peci apek….” Kami sekeluarga lantas tertawa mendengar cerita ibu.

***

Waktu itu, kemeriahan bendera partai dan foto-foto calon legislatif baru saja usai di kampung kami. Kampung kami pun sudah steril. Sebagian caleg yang fotonya pernah nampang di kampung kami, ada yang benar-benar jadi, sebagian lainnya berguguran, bahkan ada yang sampai stres segala. Banyak pula yang ditenangkan mentalnya dengan cara masuk rumah sakit jiwa. Yang paling unik, ada seorang caleg yang pernah memberikan voucer pulsa seratus ribu di musim kampanye, meminta pemberian itu dikembalikan. Oleh karena ada warga kampung kami yang menerima gratifikasi berupa voucer pulsa itu, maka posisi ayah sebagai ketua RT juga terkena imbasnya.

“Pak RT pasti tidak hanya dapat sekadar voucer pulsa seratus ribu. Tuh pecinya baru, berarti isi lipatan pecinya juga baru dan segar-segar,” demikian sindiran salah seorang warga.

“Wah, kok teras rumahnya makin bagus ya, berapa rupiah tuh yang masuk ke Pak RT?” sindir warga yang lain.

Cobaan berupa sindiran tertuju pada ayah, terutama ketika sejumlah warga berkumpul bersama ayah di gardu ronda. Tentu saja ayah sulit menghindar dari sindiran yang sudah menjurus pada tuduhan itu. Sebab, kenyataannya, ada warga dari satu RT yang memang menerima gratifikasi voucer pulsa seratus ribu. Saya sendiri tahu perasaan ayah, meskipun saya yakin, ayah sama sekali tak menerima gratifi kasi voucer pulsa seratus ribu atau uang tertentu, sebagaimana yang disindirkan atau bahkan dituduhkan itu.

“Mbok sudahlah, diakui saja kalau memang menerima. Sayangnya, kok ya hanya sendiri lho. Kita semua sebenarnya juga mau,” demikian cibir nyinyir seorang warga.

Suasana setelah masa pencoblosan menjadi sedemikian keruh di kampung kami. Sejumlah warga yang diam-diam menerima voucer pulsa seratus ribu telah diserahkan dalam bentuk uang kepada caleg yang menagihnya kembali lantaran gagal mendapatkan kursi. Sementara ayah masih terus diserang tuduhan. Ia tidak tahu harus mengembalikan apa, karena memang tidak merasa pernah menerima apa-apa.

***

Karena desakan warga begitu kuat, ayah pun terguling dari jabatan ketua RT, tanpa bukti yang pasti bahwa ia telah melakukan kesalahan sebagaimana yang jamak dituduhkan. Tapi, ayah saya terguling karena memang mengundurkan diri, karena ia merasa sudah tidak nyaman lagi.

“Terus terang, saya bingung mau mengembalikan apa karena saya tidak menerima apa-apa. Tapi, meski begitu, dengan lapang hati, saya memutuskan untuk mundur saja sebagai ketua RT,” ujar ayah dalam sebuah rapat RT.

Permohonan pengunduran diri ayah ternyata diterima dengan senang hati oleh semua pengurus RT, yang tentu saja merupakan cerminan seluruh warga satu RT. Ayah saya pucat. Ia tak dapat menyembunyikan suasana hatinya yang terpukul. Berhari-hari saya menenangkan ayah. Saya khawatir, karena masalah itu ia bisa jatuh sakit. Tapi syukurlah, ayah tetap tegar. Begitu pula ibu, yang selalu menguatkan ayah.

***

Ayah tiba-tiba mendapatkan kesempatan untuk pergi umrah. Dibiayai oleh sahabat lamanya, yang setelah 20 tahun bertemu kembali karena jasa Facebook. Ayah diminta menemani sahabat itu dalam perjalanan ibadah umroh. Ia mendapatkan uang saku selama perjalanan, dan tentu saja semuanya ditanggung oleh temannya itu. Saya menduga nanti ayah akan semakin dicurigai warga RT yang pernah dipimpinnya.

“Alah… sudahlah, kalau tetap curiga, silakan! Ini murni keberuntungan Ayah karena jumpa kawan di masa muda,” ujar ayah kepada saya ketika mau berangkat umrah. Pagi harinya, saya yang mengantar ayah ke biro jasa perjalanan umrah dengan mengendarai motor. Ayah menolak dijemput mobil biro jasa perjalanan umrah itu.

Sesampai di Arab Saudi, ayah mengirim pesan pendek bahwa peci kesayangannya ketinggalan dalam sebuah rapat warga, sebelum ia berangkat umroh. Ketika peci tersebut saya urus, saya tanyakan ke pengurus RT baru. Pengurus RT lama pimpinan ayah telah diganti semua. Ternyata memang ada yang menemukan peci ayah. Kabarnya peci itu sudah diterima oleh ketua RT yang baru. Cara menyerahkannya hanya ditaruh di depan pintu rumah ketua RT baru. Jadi, ia tidak tahu siapa yang menemukannya. Saya periksa isinya di depan ketua RT, uang yang biasanya ada di selipan peci ayah ternyata masih ada.

Saya kemudian membalas pesan ayah, mengabarkan bahwa uang yang terselip dalam lipatan pecinya masih utuh. Ayah menanyakan perihal selembar kertas putih sobekan buku tulis yang juga ada dalam lipatan peci itu. Saya jawab, tidak ada. Ayah menjelaskan sobekan kertas itu berisi catatan alamat e-mail milik ayah lengkap dengan kata kuncinya, yang memang pernah saya buatkan. Termasuk kata kunci akun Facebook milik ayah.

“Wah, yang menemukan ternyata pintar, pengen tahu isi e-mail-ku,” kata ayah.

“Waduh, gimana kalau begitu?” balas saya.

“Ayah justru berharap si penemu membuka e-mail Ayah dan mengetahui isi curahan hati Ayah kepada kawan-kawan, terutama mengenai tuduhan bahwa Ayah telah menerima sesuatu dari seorang caleg. Dan, ternyata Ayah tidak menerimanya. Semoga orang yang menemukan kertas itu kemudian mengabarkannya kepada semua warga.”

Saya diam saja. Sesaat kemudian saya berkata dalam hati, “Ini baru intrik di tingkat RT. Banyak cara Tuhan dalam menyingkapkan kebenaran.”

Media Indonesia, 31 Agustus 2014


Tentang Satmoko Budi Santoso

Lahir di Kedungdowo, Wates, Kulon Progo. Cerpennya dipublikasikan, baik lewat media massa maupun antologi cerpen. Satmoko menulis cerpen sejak duduk di bangku SMP dengan menghasilkan cerpen “Khitan” yang dimuat majalah Suara Muhammadiyah

Karya-karyanya terkumpul dalam antologi cerpen Candramawa (1995), Tamansari (1998), Filantropi (2001), Perempuan Bersampan Cadik (2005), dan Bersampan ke Seberang Hikayat (2007).

Di samping itu, menulis esai dan novel. Novel Kasongan (Diva Press, 2012) dengan latar tradisi desa kerajinan gerabah Kasongan, Bantul, menjadi salah satu nominasi dalam Malam Penghargaan Bahasa dan Sastra (Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013). 

Sebagai penulis yang diakui kualitasnya, ia sempat diundang ke Forum Internasional Ubud Writers (2011), cerpennya “Om Zus” (dalam antologi Perempuan Bersampan Cadik, Grasindo, 2005) diterjemahkan oleh Lontar Foundition Jakarta dan dimuat dalam antologi Menagerie 7.

-----------------------------------------------

Sumber tulisan: buku "Sosok-Sosok Inspiratif: Antologi Biografi dan Karya Cerpenis Yogyakarta"

Sumber ilustrasi: Pixabay


0 comments: