Sunday, June 23, 2019

Masih Adakah Jarak Antara Rumah dan Sekolah?



Ini bukan cerita fiksi. Sungguh telah benar-benar terjadi. Dan, mungkin bisa menjadi sangat menarik jika suatu waktu kelak dituliskan dengan lengkap, kemudian dibaca banyak orang dari zaman ke zaman.

Sebut saja nama kota itu A. Begitulah kira-kira penyebutan yang menurut saya ideal. Di wilayah pinggirannya hidup sebuah keluarga sederhana. Suami istri dengan empat orang anak. Anak pertama dan kedua lahir di pulau yang jauh dari tanah perantauan mereka. Sedang dua yang lainnya lagi lahir di kota tersebut.

Sebagai seorang guru yang berstatus pegawai negeri sipil dengan tanggungan sejumlah lima orang, membuat sang ayah juga mengajar di beberapa sekolah sebagai tenaga honorer. Selebihnya, ia bertani di lahan subur dekat rumah mereka. Alhamdulillah, dengan uang tambahan dari pekerjaan-pekerjaan sampingan itulah, kebutuhan mereka dapat tercukupi sehari-hari.

Musim pun silih berganti. Hujan digantikan kemarau. Lalu hujan kembali. Begitu berulang-ulang. Kala itu anak pertama dan kedua yang telah sekolah selalu membuat bangga keluarga. Prestasi belajar mereka sangat cemerlang. Sementara yang dua lagi masih kecil dan menyenangkan.

Suatu ketika anak kedua mereka sakit parah. Lebih kurang satu bulan harus menginap di rumah sakit. Penyakit liver yang menyerang tubuhnya itu pun menyebabkan ia harus lama meninggalkan bangku sekolah. Padahal ujian kelulusan tingkat sekolah dasar hampir tiba. Artinya, jika dirinya ingin lulus dan melanjutkan pendidikan formal di sekolah impiannya, maka ia harus sembuh. Setidaknya mendekati tingkat kesembuhan dan dinyatakan dokter bisa menghadapi soal-soal ujian kelulusan.

Atas kehendak Allah swt jualah ia mampu mengikuti dan menyelesaikan seluruh ujian kelulusan tersebut. Dan, tak disangka-sangka, meski lebih daripada satu bulan telah menginggalkan ruang kelas, nilai ujian yang diperolehnya paling tinggi di sekolahnya. Hati anak kedua dari pasangan suami istri perantau itu pun begitu berbunga-bunga. Harapan bersekolah di SMP unggulan yang menjadi impiannya tinggal selangkah lagi. Sebab, nilai yang diperolehnya itu sangat memenuhi syarat dari SMP tersebut.

Namun, ibarat panas setahun dibasahi hujan sehari, harapannya pupus. Sang ayah tidak mengizinkannya. Bukan karena tak sayang. Apalagi kejam. Penyakit liver membuat ayahnya tak tega jika harus melihat anak keduanya itu kembali terbaring sakit karena kelelahan. Benar saja, jarak rumah mereka dengan sekolah impiannya lumayan jauh. Sementara tubuhnya yang telah diserang liver, mengharuskannya tidak boleh lelah. Ia harus dalam kondisi prima. Kondisi bugar. Dirinya hanya boleh beraktivitas yang ringan-ringan saja. Jika kelelahan, penyakit itu kemungkinan besar akan kambuh. Maka, mau tak mau, ia pun harus menyerah dan kalah dari penyakit yang pernah diidapnya.

Dengan hati yang gundah gulana, ia melanjutkan pendidikan di sekolah swasta dekat rumahnya. Sebuah sekolah milik yayasan pendidikan Islam yang telah berdiri sejak 1946 silam. Mirip pesantren, ada sejumlah mata pelajaran Islam, siswa laki-laki dan perempuan berbeda ruang kelas, serta hari Jumat mereka libur sedangkan hari Minggu masuk sekolah.

Tahun pertama, kedua, hingga ketiga ia jalani dengan tetap semangat dalam belajar. Dirinya selalu menjadi juara kelas dan umum dari semua kelas sederajat. Tak seorang siswa pun dapat mengalahkannya dalam hal prestasi belajar di sekolah itu.

Kemudian, tibalah saatnya ujian kelulusan sekolah lanjutan tingkat pertama ia hadapi. Satu harapannya yang masih tersisa saat itu, bisa bersekolah di SMA impiannya. Itulah sebabnya, ia sejak jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri menaklukkan soal-soal ujian tersebut. Hasilnya?

SANGAT MEMUASKAN. Dirinya kembali meraih nilai tertinggi di sekolahnya. Dan, seperti tiga tahun sebelumnya, nilai ujian yang diraihnya berada di atas syarat masuk sekolah unggulan sesuai impiannya.

Namun, apa yang terjadi?

Lagi-lagi ayahnya melarang dirinya mengenyam pendidikan formal di sekolah unggulan impiannya itu. Alasannya sama, jarak yang jauh dari rumah. Tempat tinggal di pinggiran kota dan penyakit yang pernah diidapnya seperti dinding tebal, tinggi, dan menyeramkan. Sungguh menjadi momok yang membuatnya menyerah dan kalah. 

Tapi, kali ini berbeda. Meski dirinya bersedia bersekolah di SMA Negeri dekat rumahnya, perasaannya benar-benar hancur. Anak remaja itu telah kehilangan impian besarnya. Hidupnya pun seperti tak berarti. Tak ada harganya lagi baginya.

Segala apa yang telah diusahakannya menjadi sia-sia.

Begitulah yang ada dalam pikirannya kala itu. Ia tak peduli dengan kenyataan bahwa sebenarnya ia dipuji-puji oleh teman-teman dan guru-guru barunya saat awal-awal bersekolah di SMA itu karena masuk dengan nilai ujian SMP tertinggi. Bahkan, ada saja siswi cantik yang tertarik padanya lantaran hal itu pula.

Benar-benar tragis. Hari-harinya ia isi dengan kesedihan dan dendam. Ya, dendam. Di usianya yang masih remaja, ia belum mampu memikul beban berat sehingga belum sanggup pula menerima keadaan dengan ikhlas. Api amarah yang terpendam dalam dirinya menjelma dendam terhadap ayahnya sendiri.

Dalam pikiran belianya, karena ayahnya lah dirinya gagal dua kali mencapai impiannya. Ia belum paham bahwa sejatinya ayahnya tak menghendaki dirinya menderita oleh penyakit liver seperti yang pernah ia alami sebelumnya. Ayahnya ingin ia hidup sehat meski harus bersekolah di tempat yang fasilitas belajarnya masih terbatas dan tidak difavoritkan. Dalam pikiran ayahnya, di mana pun bersekolah asalkan ada kemuan kuat dalam diri siswa, hasilnya juga akan bagus. Toh ayahnya juga bisa menjadi guru privat bagi diri anak keduanya itu.

Maka, hal mengerikan yang tak pernah terbayang oleh keluarganya ia wujudkan. Ia mulai merokok, bermalas-malasan, dan berbuat semaunya. Alhasil, nilai-nilainya di setiap mata pelajaran jeblok sepanjang ia duduk di bangku SMA. Tak ada lagi kebanggaan yang terkadang menjadi bahan cerita dalam perbincangan ayahnya saat duduk-duduk santai. Dan, saat itu ia telah benar-benar berhasil membuat ayahnya malu.

Meski demikian, rupanya masih tersisa kecerdasan dalam otaknya. Ia lulus dari SMA itu dan berhasil pula masuk perguruan tinggi negeri unggulan dan terfavorit sepulau tempat ia tinggal.

Singkat cerita, kini anak kedua dari pasangan perantau itu mengabdikan dirinya sebagai guru di sekolah terpencil yang jauh dari kota tempat ia tumbuh bersama ayah, ibu, kakak, dan adik-adiknya. Bersama istri tercintanya, ia melanjutkan hidup dengan rasa syukur dan semangat.

Cerita di atas mungkin juga dialami anak-anak lain. Lalu adakah yang menarik perhatian kita dari isi cerita itu?

Apakah tentang minat dan prestasi belajar anak? Kasih sayang orang tua terhadap anak-anak mereka? Sekolah unggulan dan nonunggulan? Jarak sekolah dan rumah siswa? Pemerataan sarana dan prasarana di semua sekolah? Ketersediaan guru yang memiliki kompetensi di bidang masing-masing? Atau lainnya?

Tampaknya ada lebih banyak lagi daripada yang sudah saya sebutkan di atas.

Dari sekian yang menarik perhatian tersebut, agaknya ada satu hal yang perlu kita pahami bersama bahwa ada keterkaitan antara satu dan lainnya. Sebutlah siswa. Ia tak bisa belajar sendiri dalam mengarungi kehidupannya. Dirinya perlu orang tua, guru, sekolah, buku-buku, juga lainnya.

Dan, untuk menunjang proses belajar-mengajar itulah, idealnya ada pemerataan di bidang pendidikan. Tentunya pula, pemerataan di sini tidak sekadar merata dari sisi ketersediaan bangunan sekolah di setiap wilayah. Akan tetapi, jauh lebih daripada itu. Diperlukan pemerataan guru yang berkualitas, suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan, ketersediaan alat praktik belajar seperti komputer canggih, dan lainnya yang semuanya mendukung tercapainya outcome yang diharapkan.


Khusus mengenai jarak antara rumah dan sekolah, saya membayangkan perjalanan yang menggembirakan. Ya, terbayang di otak saya, para siswa naik bus sekolah melalui sebuah jalan beraspal mulus yang membentang lengang. Di kanan dan kirinya ditumbuhi pepohonan rindang yang tumbuh subur di pekarangan rumah-rumah penduduk. Jarak antara rumah mereka dan sekolah pun paling jauh hanya satu kilometer. Dan sesampainya di sekolah, para siswa dan guru dapat menikmati proses belajar-mengajar yang nyaman. Begitu pula sebaliknya, setibanya di rumah, kondisi badan mereka yang masih segar dan prima. Dengan demikian, seakan-akan tak ada lagi jarak antara rumah dan sekolah. (MJA)

0 comments: