Tuesday, April 23, 2019

Hantu-Hantu yang Malang (II), Cerpen WS Rendra



SEMENTARA itu pelayan telah menyalakan obornya kembali, tepat pada ketika makhluk itu menghempaskan Sersan ke lantai. Maka tampaklah tubuh makhluk berbulu, bertubuh tinggi besar dan hitam. Makhluk itu mengaum sambil berseru:

“Hai Sersan Harjo, keluarlah dari kamar ini!”

Perlahan Sersan bangkit lalu menjawab:

“Binatang macam apa kau ini?”

“Aku bukan binatang!” Aum makhluk itu sekeras-kerasnya.

“Aku hantu yang mendiami kamar ini, tahu!”

“Nah, makhluk biadab, engkaulah yang harus meninggalkan kamar ini. Mungkin ini memang kamarmu, tetapi aku tidak peduli, sekarang kamar ini milikku. Sekarang pergilah dari kamar ini dan jangan mendidihkan darahku!”

Hantu itu berpikir, bahwa kata-kata itu adalah kata-kata yang paling sombong yang pernah ia dengar. Tentu saja ia mengaum sekeras-kerasnya. Tetapi kemudian ia sedikit panik, ketika dilihatnya kedua manusia itu tenang saja. Malah setiap kali ia membuka mulutnya yang lebar itu, selalu Sersan mengamat-amatinya dengan asyik. Sersan berpendapat, bahwa mulut yang luar biasa lebarnya itu sangat menarik. Hantu itu mengaum lebih dahsyat lagi, hingga hal itu menjengkelkan hati Sersan. Segera Sersan memungut obor menyala dari tangan pelayan dan menyorongkannya ke muka makhluk itu. Tiba-tiba makhluk itu lekas-lekas berpaling dan berlari pontang-panting melalui jendela. Hal api obor itu sangat dahsyat baginya. Ia merasa seolah-olah api neraka telah menyerbunya. Dan setiap hantu takut pada neraka setengah mati.

Kemudian Sersan dan pelayan menutupi jendela-jendela kamar, lalu berbaring di tempat tidur (Di kamar itu ada dua buah tempat tidur kayu berukir yang sudah tua). Karena lelah, mereka lekas tertidur.

Tapi antara berapa lama kemudian pelayan terbangun. Ia mendengar langkah-langkah sepatu yang berat di luar, hilir-mudik di luar kamar itu. Ia mengira ada orang bersepatu laras berjalan di luar itu. Segera ia mengintip dari lubang kunci pintu. Maka dilihatnya seorang serdadu kompeni Belanda kuno berjalan hilir-mudik. Kemudian ia membuka pintu, keluar, dan menegur:

“Hallo…”

Serdadu Kompeni Belanda itu tiba-tiba berpaling kepadanya, lalu menyeringai. Giginya putih-putih dan hidungnya rusak. Pelayan itu membentak:

“Anjing kulit putih, jelek benar tampang kowe!”

Badan serdadu itu bergetar sebentar, lalu lenyap. Hilang begitu saja. Pelayan mengangkat bahu, lalu kembali ke tempat tidurnya, setelah mengunci pintu kembali sambil menggerutu:

“Bodoh benar! Awak sudah ngantuk, diajak main sulapan.”

Baru saja ia membaringkan dirinya, dilihatnya di lantai muncul anak bayi, yang anehnya sudah dapat berjalan dan berlari-lari. Sulapan lagi, pikir pelayan itu.

Bayi itu bermain-main berlari-larian, sambil terkikik-kikik tertawa-tawa. Pelayan suka menontonnya. Tapi lama-lama ia mengantuk lalu tertidur.

Malam itu Sersan terjaga sebentar, karena merasa tempat tidurnya digoyang-goyangkan orang. Tetapi ia sangat ngantuk. Jadi ia segan melayani kekuranganajaran itu. Ia tak mempedulikan lagi hal-hal semacam itu. Dan kalau ia sudah tak mempedulikan sesuatu, benar-benar ia tak mempedulikan, meskipun ada terasa sepasang tangan gaib yang memijiti seluruh tubuhnya.

Akhirnya datanglah pagi hari. Hantu-hantu sudah kehilangan kekuatannya, lalu kembalilah mereka meniduri sarang labah-labah, pojok-pojok suram, celah-celah tembok, dsb. Sersan dan pelayannya mencuci muka (mereka jarang-jarang mandi), lalu pergi ke kota, akan menghadap walikota.

Di sepanjang jalan mereka dielu-elukan orang banyak yang kagum karena mereka masih hidup. Tetapi Sersan tak mempedulikan orang banyak selain gadis-gadis. Setiba kedua orang itu di balai kota, perkataan Sersan yang pertama-tama keluar ialah: “Selamat pagi tuan-tuan! Dari rumah kami belum makan pagi.” Maka Walikota menjamunya makan pagi. Dan dalam mereka makan itu Walikota berkata:

“Kami sangat mengagumi tuan-tuan. Kami tahu, bahwa tuan-tuan betul-betul telah tinggal dalam Loji Kelabu itu semalam suntuk. Detektif kami telah menyaksikannya dari jauh, maksud saya, mereka mengamat-amati sedemikian rupa hingga apabila tuan-tuan menyalahi janji, mereka akan tahu.”

“Terima kasih!” kata Sersan, “Lebih-lebih untuk makan pagi yang lezat ini.” Lalu ia terus makan dengan lahap. Caranya makan sangat rakus dan memalukan sekali.

“Nah,” kata Walikota, “Boleh memiliki Loji Kelabu dan menerima hadiah uang. Tinggal soalnya apakah tuan akan bisa terus mendiami rumah itu.”

“Mengapa tidak!” Kata Sersan sambil tertawa keras-keras dan membuka mulutnya lebar-lebar, hingga pelayan merasa dibikin malu.

Sehabis makan Sersan harus menghadapi wartawan-wartawan dulu “Nyamuk pers jahanam,” katanya, “Saya tak akan ngomong banyak!” Lalu ia ngomong selama dua jam terus-menerus. Baru akhirnya pulang ke Loji Kelabu.

Ketika hari menjelang malam, berhimpunlah segera hantu dan mambang peri di Loji Kelabu, bermusyawarah di dekat sumur tua, di bawah pimpinan rajanya, yaitu penjelmaan arwah Arab. Tubuhnya berkulit hijau, dahinya berlubang, matanya seperti mata kucing, kulit mukanya berkerut-kerut dan senantiasa mengeluarkan keringat hitam yang kental seperti getah. Hantu-hantu yang berhimpun itu bermacam-macam rupanya, tetapi tak ada yang tidak mendirikan bulu roma. Mereka yang telah mengalami gangguan kedua manusia itu berganti-ganti  mengadukan halnya kepada sang raja. Hantu arwah orang Belanda mengatakan, bahwa ia tak bisa lagi makan angin di beranda muka loji itu, sebab ia selalu akan kawatir kepada kedua orang itu, karena ia yakin, bahwa mereka pasti diutus oleh Sultan Aceh, yang ditugaskan selalu mengejar orang Belanda dengan siasat gerilya mereka yang seram itu. Hantu-hantu yang lain rata-rata mengatakan, bahwa adanya kedua manusia itu di loji itu sangat menyengsarakan hantu-hantu. Manusia selamanya menjadikan udara bertambah panas dan mata mereka sangat menyilaukan. Hantu berbulu yang seperti gorilla, memberi penegasan, bahwa kata teman-temannya itu benar belaka, dan ia lalu menceritakan tentang obor neraka kemarin.

Raja Jin Hijau itu insyaf, bahwa keadaan sangat genting sekali, sebab itu ia berkata dengan agak berapi-api hingga ludah bersemburan dari mulutnya:

“Rakyatku, kedua orang itu harus kita pertakuti sejadi-jadinya!”

“Mustahil!” kata hantu berbulu “Orang itu tak punya jantung, saya kira, jadi ia tak takut. Kita bisa mempertakuti orang sehat, tapi terhadap orang gila kita tak bisa berbuat apa-apa. Orang itu sedemikian bodohnya hingga ia tak tahu apa takut itu. Orang berani tak akan berani menyerang hantu. Tidak, lebih baik kita pindah saja ke Kutub Utara.”

“Tetapi kita tak bisa meninggalkan. Loji Kelabu begitu saja!” Teriak raja jin.

“Kami akan mengusir mereka!” Lengking satu peri, yaitu hantu perempuan.

Lalu seketika itu juga persidangan itu sunyi senyap. Kemudian raja jin menerangkan, bahwa akan bijaksana sekali kalau peri-peri dibiarkan menjelaskan hal itu. Sejarah telah membuktikan, bahwa peri-peri itu dapat habis-habisan memperdayakan manusia. Baik untuk kali ini peri-peri dibiarkan bertindak, baru kemudian kalau tidak berhasil jin-jin dan hantu-hantu lelaki akan menolongnya.

Hari telah malam. Untuk membiarkan peri-peri bertindak sendiri, hantu-hantu lelaki meninggalkan rumah itu dan pindah ke atas pohon beringin tua yang rimbun, di belakang rumah. Peri-peri bersama memasuki rumah itu dengan menembang. Suaranya melengking-lengking bergetaran sangat ajaib.

Mula-mula Sersan dan pelayan merasa aneh dan asing mendengar tempat mereka. Lebih-lebih setelah lagu itu merayap-rayap memenuhi segenap ruang di rumah itu. Lama-lama Sersan jadi terharu (tidak takut) dan ia mengira, itulah lagu percintaan penduduk Polinesia. Ia sangat mengagumi. Begitu pula pelayan. Tiba-tiba Sersan bangkit dan merasai darah buaya wanitanya bangkit bergolak mendengar tembang itu.

“Malam ini nikmat untuk bercinta,” katanya “Aku akan keluar makan angin.”

Di halaman depan Loji Kelabu, Sersan berjalan-jalan makan angin. Karena gelap ia membawa lampu batere. Dari mulutnya terpancar lagu putri Solo. Darah buayanya bergolak dan tiba-tiba ia sangat rindu pada wanita.

Adapun peri-peri itu ada yang muda benar, ada yang tua benar. Yang muda cantik-cantik benar, melebihi manusia. Yang tua jelek-jelek benar, melebihi manusia. Peri-peri yang muda, meskipun cantik luar biasa, dapat berubah dalam bentuk yang mengerikan. Semua peri berkeliaran di kamar-kamar mengatur rencana yang jahat.

Sersan ngelamun di halaman yang gelap itu. Mendadak didengarnya suara perempuan terkikik-kikik. Ia berpaling, lalu dilihatnya seorang perempuan yang sangat cantik keluar dari beranda muka rumah. Ia merasa heran mengapa tahu-tahu perempuan itu sudah berada di beranda situ. Kehadiran perempuan itu sama sekali tidak disangkanya. Perempuan itu menyapa:

“Apa kabar?” Suaranya keras. Sebelum menjawab Sersan bersiut dulu. Fuiiit-fuiiit!!

“Demi neraka, baik sekali!” Katanya dengan sikap seorang buaya “Siapa namamu?”

“Essy!”

Kemudian keduanya beraksi. Sedikit demi sedikit omongan mereka semakin hangat. Mereka omong tentang minyak wangi, sabun, kutang, kancing baju, sisir, kimono, dll. Sersan senang sekali, sampai pada saat ia menanyakan satu pertanyaan.

“He, kau datang dari dalam rumah, padahal aku tak pernah melihatmu di sini.”

“Di mana kau diam?”

“Di sumur”

“Di sumur! Bah!” Tiba-tiba Sersan ingat, bahwa mungkin sekali gadis itu seorang khianat yang mencoba merebut rumah itu.

“Sungguh, karena aku....”

“Tutup mulut, betina! Dengar, rumah ini rumahku, jadi semua orang yang mendiami ini harus minta izin padaku, biar di sumur, apa di dapur, apa di kakus, apa....”

Belum sampai habis, bibir perempuan itu tiba-tiba melekat di mulutnya, kemudian larutlah maki-makian di dadanya. Dalam hati perempuan (yang sebenarnya peri) itu menggerutu, bahwa Sersan memang tidak berjantung dan perlu diberi jantung dengan sebuah ciuman. Sesudah itu keduanya bersikap seolah-olah sudah lama bercintaan.

Kedua orang itu lalu berjalan-jalan di sekitar rumah. Mereka melalui sisi rumah, pergi ke halaman belakang. Rumput-rumput yang sudah tinggi menyapui kaki-kaki mereka. Peri itu sedikit jengkel karena Sersan terlalu kerap menciuminya.

Akhirnya sampailah mereka ke sumur tua. Tiba-tiba muka peri itu jadi berubah putih seperti kapur, mulutnya meringai jelek. Sersan terkejut, tapi segera ia tertawa.

“Hahaha, rupanya kau termasuk salah satu di antara tukang-tukang sulap yang mau memperdayakan saja! Tapi tak apa! Karena aku tahu kau cantik dan aku suka itu!”

Peri itu insyaf bahwa sebagian rencananya telah gagal.

“Dengarkan, gadis!” Kata Sersan lagi “Kita tak usah berlingkar-lingkar lagi. Nah, dengarkan....” Lalu ia membisikkan maksudnya yang kotor kepada peri itu. Mendengar itu muka peri jadi merah padam. Matanya merah. Rambutnya merah, mulutnya juga merah meringis, hingga tampak giginya yang juga merah seperti besi terbakar.

“Aku bukan sundal,” jerit peri itu. Tetapi Sersan tertawa keras-keras. Lalu bertindak hendak memperkosa peri itu. Peri itu melengking-lengking. Kemudian tiba-tiba tubuhnya berubah
jadi rangka dipelukan Sersan. Darah Sersan tersirap sebentar, tapi kemudian ia tertawa sambil menyorot muka rangka itu dengan lampu baterenya dan berkata:

“Ayo jangan main-main! Aku tahu kau cantik!”

Setan, jin, dan segala macam hantu tak ada yang tahan api atau sinar lampu batere, demikian juga dengan peri itu. Pelan-pelan melelehlah tengkorak yang disorot Sersan itu, akhirnya berubah kembali jadi peri yang cantik. Darah Sersan menggelegak oleh nafsu. Ia mencoba hendak memperkosa peri itu. Ini adalah untuk pertama kalinya terjadi dalam sejarah hantu.

Adapun peri-peri yang lain; waktu itu sedang di dalam loji mengganggu pelayan. Pelayan adalah satu-satunya lelaki yang paling membenci perempuan. Ia sangat jijik pada perempuan dan seandainya diizinkan, ia akan menyiksa perempuan sekejam-kejamnya. Sebab itu waktu peri-peri yang cantik mengganggu-nya, ia jijik sekali. Ia berpikir bahwa tukang sulap yang khianat dan iri hati itu, sekarang telah menjalankan akal yang laknat
sekali: hal ini melewati batas!

Demikianlah ketika seorang peri menggoda dengan mencium pipinya, ia jadi mata gelap. Lekas-lekas ia ambil obor dan ia bakar rambut peri itu. Segala peri-peri tua pun datanglah menyerbu. Susu-susu mereka yang kering terkulai itu sangat menjijikkan pelayan. Segera ia membakari mereka, hingga terjadilah semacam neraka di rumah itu dan pekik mereka sangat menyayat-nyayat. Lalu peri-peri itu, dengan tubuh yang meleleh, lari keluar beramai-ramai. Pelayan mengejar mereka dengan obornya.

Peri-peri itu lari kehalaman belakang, menuju pohon beringin tua. Pelayan terus mengejar mereka. Tapi tiba-tiba ia terhenti. Dilihatnya di sumur tua Sersan sedang bergulat dengan seorang peri. Ia berteriak: “Tuan Sersan, apa yang sedang tuan kerjakan?”

Mendengar ini Sersan terkejut, lalu melepaskan pelukannya. Peri memakai kesempatan untuk berlari, menuju beringin tua. Sersan marah sekali.

“Koki!” Teriaknya, “Jangan kau ulang perbuatan itu lagi!”

Segera Sersan bergerak ke pohon beringin itu. Pelayan ikut dia diam-diam. Karena kemarahannya, kelakuan Sersan tak ubahnya orang gila.

Raja Jin memperintahkan segenap rakyatnya supaya menakuti mereka dengan menampakkan wujud mereka. Mereka harus menyerbu kedua manusia bangsat itu, sampai mati ketakutan. Lalu hantu-hantu itu menampakkan dirinya yang menakutkan itu. Suara mereka bergalau seperti sekawan anjing hutan.

Sersan mendengar suara galau itu hatinya makin panas. Ia menyerbu dengan obor di tangannya. Sekonyong-konyong bertiuplah angin besar yang mematikan obor itu. Lalu dalam sekejap mata Sersan ialah dikeroyok oleh hantu-hantu yang mengerikan.

Sersan melawan sekuat tenaganya dengan bergada lampu batere yang menyala di tangan. Sinar batere itu seperti kilat karena terayun-ayun. Itu sangat menggetarkan hati hantu-hantu. Pelayan segera menghampiri tuannya.

Hantu-hantu itu sangat sakti. Yang ditakuti cuma apa dari orang gila. Mereka tak berhasil membunuh Sersan, sebab Sersan melawan untuk dibunuh. Manusia akan gampang mati oleh takdir, tapi tak akan mudah mati oleh pembunuh macam makhluk apa pun juga, asal ia berani melawannya.

Demikianlah Sersan dan pelayan melawan hantu-hantu itu dengan kenekatan orang gila. Mereka telah berhasil mendapatkan obor-obor mereka kembali. Dan dengan obor itu mereka mengajar hantu-hantu itu, yang menurut pendapatnya mereka tak lebih dari pada tukang-tukang sulap yang jahanam.

Akhirnya dalam perkelahian itu hantu-hantu menderita kekalahan yang besar. Tubuh mereka meleleh karena api. Mereka lenyap buyar menghilangkan diri ke Kutub Utara. Perkelahian pun selesailah.

Dan sampai sekarang Loji Kelabu itu tetap berada di tangan Sersan yang tolol, keturunan orang yang gila itu.... Happy ending!

Minggu Pagi, No. 52, Th. VIII, 25 Maret 1956


Biodata W.S. Rendra



Nama aslinya Raden Mas Willibrordus Surendra Broto. Ia lahir di Solo, tanggal 7 November 1935 dan merupakan anak tertua dari delapan bersaudara. Ibunya bernama Raden Ayu Chatarina Ismadillah. Ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo.

Rendra mengawali pendidikannya di Taman Kanak-kanak Susteran. Kemudian melanjutkan di SD Kanisius Solo (lulus tahun 1942). Setelah itu meneruskan ke SMP Kanisius, Missi Katolik (lulus tahun 1948). Tamat dari SMA St. Yosef Solo pada tahun 1952. Sempat kuliah di Fakultas Sastra Barat, Universitas Gajah Mada (UGM), tetapi karena waktunya tersita oleh kegiatan kesastraan sehingga tidak selesai. Meski demikian, tahun 1972, Rendra menjadi dosen ilmu dramaturgi di Fakultas Sastra Budaya, UGM.

Semenjak masa sekolah, ia mulai menulis cerpen. Dan cerpen yang pertama kali ditulisnya berjudul Drama Pasar Pon (ditulis ketika ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, kelas dua). Selain itu, menulis puisi berjudul Tari Srimpi dan Drama Pasar Pon. Dua puisi itu dimuat dalam majalah Pembimbing Putra Nomor 1. Th I, 8 Maret 1950. Penerbitan kedua karya itu mendorong Rendra selalu berkarya.

Sepulang dari Amerika, dirinya mendirikan Bengkel Teater sebagai tempat bekerja dan mengembangkan kreativitas.

Adapun penghargaan yang pernah ia peroleh di antaranya: (1) pemenang Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta tahun 1954, (2) Penghargaan Sastra Nasional BMKN tahun 1956, (3) Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970, (4) Penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 1975, (5) Hadiah Yayasan Buku Utama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1976), (6) Penghargaan Adam Malik tahun 1989, (7) The S.E.A. Write Award TAHUN 1996, dan (8) Penghargaan Achmad Bakri tahun 2006. Di dunia sastra, W.S. Redra mendapatkan julukan si Burung Merak karena saat ia membacakan puisi-puisinya begitu memukau seperti burung merak yang mengagumkan. Dirinya juga mendapatkan julukan lain, yakni si Panembahan Reso karena keberhasilannya dalam pementasan drama yang berjudul Panembahan Reso.

0 comments: