Tuesday, April 23, 2019

Hantu-Hantu yang Malang (I), Cerpen WS Rendra




HANTU-HANTU yang malang itu sekarang mendapat Sersan Harjo sebagai lawannya yang terkuat.

“Tidak ada hantu!” Kata Sersan Harjo, setiap kali bila orang bercerita kepadanya tentang hantu. Dan selamanya perkataannya selalu diiringi dengan tertawa besar.

Untuk membuktikan, bahwa ia tak percaya betul-betul akan adanya hantu-hantu itu, ia telah bertaruh dengan Walikota, dengan disaksikan oleh tuan Notaris, bahwa ia akan sanggup mendiami Loji Kelabu yang terkenal angker di luar kota.

Loji itu tak ada pemiliknya. Dan segenap warga kota telah bersepakat, bahwa kalau Sersan Harjo sanggup mendiami Loji Kelabu itu, ia boleh memilikinya ditambah uang hadiah duapuluh lima ribu rupiah.

Ia telah menandatangani persetujuan itu sambil berkata:

“Tuan-tuan sangat bermurah hati menghadiahkan harta itu kepadaku.”

“Tetapi lebih dulu Tuan harus membuktikan keberanian Tuan.” Kata Walikota.

Oke, mudah sekali.”

Seluruh kota telah mendengar hal itu. Sama sekali tak ada yang menyesali perbuatan Sersan Harjo yang gila itu. Tak ada seorang pun yang akan menyesali seandainya mereka menjumpai Sersan Harjo mati dicekik hantu. Sebab dengan begitu akan musnalah dari muka bumi ini seorang buaya yang paling berbahaya bagi gadis-gadis di kota itu.

Keesokan harinya Sersan Harjo pindah ke Loji Kelabu dengan seorang bujangnya, yang juga tak pernah percaya akan adanya hantu-hantu. Mereka hanya membawa kopor dan beberapa alatalat dapur saja. Sersan Harjo tak mempunyai lebih dari itu. Ia miskin dan tiada berpekerjaan. Meskipun namanya Sersan Harjo, tetapi tak pernah jadi sersan sama sekali. Nama itu didapatnya sejak mula pertama ia lahir ke dunia ini.

Sersan Harjo adalah orang yang tolol dan kebadutan-kebadutan. Ia tolol tetapi keras kepala. Neneknya dulu pernah sakit ingatan, tetapi penyakit itu sama sekali tak menurun kepada Sersan. Ia cuma tolol dan keras kepala. Dan memang suka lekas mata gelap. Karena itu ia tampak sedikit gila. Cacat satu-satunya ialah, ia seorang buaya perempuan. Mengenai perempuan ia amat mudah mata gelap dan berlaku gila-gilaan.

Loji Kelabu, yaitu sebuah loji yang sangat angker, menurut kata orang. Hantu-hantu banyak bersarang di situ. Kalau malam terdengar suara hantu-hantu itu bersendagurau dan berpestapesta. Kadang-kadang terdengar mereka bermain musik. Tetapi yang kedengaran hanya suara-suara saja, ujudnya tak nampak. Sebelum dijadikan loji, dulunya sebuah kuburan orang-orang Belanda, Arab, Tionghoa dan bermacam-macam bangsa asing. Bangsa Indonesia sendiri cuma satu yang berkubur di situ. Dan bangsa Indian Amerika juga satu. Seorang saudara bangsa Jerman telah membeli kuburan itu dan meratakannya, lalu di atasnya didirikanlah Loji Kelabu tadi. Setelah orang Jerman itu mati, rumah besar itu jadi didiami hantu-hantu. Itu sudah ada kurang lebih 90 tahun yang lalu.

Seluruh penduduk kota mempercayai cerita itu. Nenek moyang mereka, dan mereka sendiri telah mempersaksikan adanya hantu-hantu itu. Tetapi Sersan Harjo dan pelayannya tak mempercayai omong kosong itu.

Adapun hantu-hantu itu benar-benar ada dan istana dari segala hantu-hantu itu ialah sebuah sumur tua yang terletak di pekarangan belakang loji itu. Hantu-hantu itu mengetahui kedatangan Sersan Harjo. Dan rata-rata setiap hantu berdendam hati
terhadapnya.

Meskipun siang hari, Loji Kelabu itu memang nampak angker. Pekarangannya bersemak belukar dan rumput-rumputnya sudah tinggi. Keadaan rumah itu seram dan kekelabuannya mengandung misteri. Adapun dindingnya dan gentingnya dirambati oleh tanaman menjalar. Sebagian dari Loji itu telah roboh oleh gempa bumi.

Ketika Sersan Harjo memasuki rumah itu, gangguan pertama ialah sebuah pintu tua dari sebuah kamar luas yang berciut-ciut terbuka sendiri, lalu dari kamar itu terdengar suara besar:

“Selamat datang, Sersan!” Mendengar ini Sersan tertawa besar, katanya:

“Dengarlah, baru saja kita masuk sudah ada orang yang mengganggu kita. Jangan takut, itu cuma akal orang khianat belaka. Mari, kamar itu kita pakai.”

Keduanya lalu masuk ke dalam kamar tadi. Mereka tidak tahu, bahwa kamar itu didiami oleh suatu hantu berbulu yang bertubuh besar dan bermuka seperti gorilla. Hantu itu duduk di kursi besar dengan sedikit gusar melihat kedatangan kedua orang itu. Tetapi siang hari hantu-hantu tak mempunyai kekuatan, sebab itu ia cuma dapat menggerutu saja.

Setiba di kamar, Sersan Harjo melemparkan kopornya ke muka kursi besar. Dengan tidak disadarinya ia telah mengenai kaki hantu berbulu itu. Kemudian ia menyepak kursi besar, yang dianggapnya sudah jelek itu, yang sebenarnya diduduki oleh hantu berbulu tadi. Ia menyepaknya kuat-kuat, sehingga hantu dan kursi itu tunggang langgang. Hantu itu marah sekali. Ia bermaksud membalas dendam nanti malam. Kemudian pergilah ia dari kamar, dengan berjalan pincang.

Ia tak kelihatan, sebab ia hantu tapi kalau perlu ia menampakkan diri juga.

Akhirnya datanglah malam yang mengerikan itu. Hantu-hantu mulai mendapat kekuatan kembali dan mulai ngelambrang kian-kemari. Ketika mereka keluar mereka sangat gusar melihat kehadiran dua orang manusia di rumah itu. Di dalam setiap dada hantu-hantu itu terkandunglah maksud-maksud yang jahat. Kedua manusia bernapas dengan tenang saja. Sersan Harjo membuat tiga buah obor. Satu ia pasang di tengah-tengah ruang tengah. Satu lagi dijadikan alat penerangan memasak oleh pelayan di dapur (tentu saja tak ada aliran listrik di Loji yang tua benar itu). Dan satu lagi dibawa Sersan sendiri, untuk penerangan di sana-sini.

Sersan Harjo asyik membaca buku di beranda muka. Sedang pelayan asyik memasak di dapur. Hari malam dan rumah itu sungguh-sungguh kelihatan menakutkan bagi orang biasa. Temboknya kelabu, pintunya sudah tua dan retak-retak, sebentar-sebentar berciut-ciut terbuka dengan sendirinya, dibukakan oleh hantu berkaki panjang yang dengan tidak setahu Sersan telah mengelilingi dirinya. Disegenap pojok terdapat sarang laba-laba, tempat tidur hantu-hantu arwah orang Tionghoa, di waktu siang hari. Hantu-hantu bulat, berkepala gundul hanya berkucir dan bermata sipit. Hantu-hantu itu mulai mencoba mengganggu
Sersan.

Ruang itu telah dipenuhi dua jenis hantu. Hantu-hantu bundar, gundul dan berkucir, serta hantu-hantu tinggi, berkaki panjang, berkepala kecil dan semuanya memakai kalung ular. Hantu panjang itu berseru dengan suara kecil:

“Hallo, Sersan, buku apa yang sedang Tuan baca?”

Sersan menengok kiri kanan tetapi tak ada sesuatupun yang nampak. Ia yakin bahwa seorang manusia khianat, yang iri hati atas keberaniannya, sedang mencobanya.

“Hallo,” jawab Sersan dengan suara mengejek. “Saya sedang membaca riwayat hidup detektif X.” Lalu diteruskannya membaca buku yang menarik itu.

“Sukakah Tuan akan cerita-cerita seram?” Suara hantu itu dengan gaib.

“Tutup mulut.” Bentak Sersan, karena ia merasa diganggu oleh suara yang tidak kelihatan asalnya itu. Hantu-hantu itu tercengang mendengar bentakan itu. Rupanya manusia itu tidak takut akan suara-suara yang ajaib. Mereka lalu mencari akal lainnya.

Satu hantu bundar yang berkucir mendekati Sersan dari belakang, kemudian menghembusi tengkuknya. Sersan merasai geli di tengkuknya, lalu ia berpaling. Tetapi tak ada sesuatu pun yang nampak. Ia menggeliat-geliat karena tengkuknya terasa sangat geli. Hantu-hantu pada tertawa terkikik-kikik, melihat kelakuan Sersan itu. Sersan mendengar tertawa memenuhi ruang itu, malahan ada yang terdengar dekat sekali dibelakangnya, tetapi tak sesuatu pun yang dilihatnya.

Orang-orang di pinggir kota semua ngeri mendengar bunyi tertawa hantu-hantu itu, mereka mengira bahwa kedua orang itu telah mati ketakutan. Tetapi tidak, Sersan Harjo tidak takut sama sekali. Dalam hati ia berkata: Tak ada hantu. Yang ada cuma orang-orang khianat.Lalu ia meneruskan membaca riwayat hidup detektif X. Tengkuknya yang geli tak dipedulikannya lagi.

Berulang-ulang hantu gundul itu menghembusi lagi tengkuk Sersan, tetapi Sersan sudah tidak peduli, ia tak merasa geli lagi. Lalu satu hantu yang tinggi memperlihatkan tangannya yang panjang, dengan jari-jari dan kuku-kuku yang runcing dan sangat menjijikkan. Tangan itu diletakkan dibahu Sersan. Kemudian tangan yang mengerikan itu menggelitiki leher Sersan.

“Orang khianat itu telah meliwati batasnya.” Pikir Sersan. Lalu digigitnya kedua tangan yang mengerikan itu. Lekas-lekas hantu panjang itu menarik tangannya dan tangan itu lenyap lagi diiringi oleh sebuah raungan melengking-lengking yang lalu disusul oleh lengkingan-lengkingan lainnya. Riuh rendah dan mendirikan bulu roma orang biasa.

Hantu-hantu itu sangat heran akan peristiwa itu. Biasanya orang mati ketakutan setelah melihat tangan semacam itu. Satu hantu gundul yang bergigi ompong dan bermata ungu melengking:

“Sersan Harjo, betul-betul kau bangsat yang paling laknat.”

“Tutup mulutmu! Kalau habis sabarku tentu kamu sekalian kubunuh. Kau dengar?”

Mendengar ini hantu itu marah, lalu menggigiti telinga Sersan dengan giginya yang ompong itu. Kebetulan Sersan baru merasai gatal di telinganya. Ia merasa enak digigiti begitu.

“Terima kasih,” katanya pada apa yang dianggapnya tukang sulap itu. Lalu dikeluarkannya sebuah rokok siong, yaitu rokok yang diberi bumbu kemenyan, Rokok itu diisapnya dan asapnya dihembuskannya dengan nikmat. Oleh bau kemenyan itu hantu-hantu jadi mabuk.

Begini, Tuan, bagi hantu-hantu kemenyan itu adalah candu yang sangat nikmat. Meskipun amat memabukkan, tetapi mereka menyukainya. Sebab itu kalau Tuan diganggu oleh hantu jahat, berilah ia beberapa kemenyan, tentu ia akan segera pergi dan bersiul-siul.

Hantu-hantu di Loji Kelabu itu memang amat nakal-nakal. Pelayan yang asyik memasak di dapur tidak luput dari gangguannya. Dapur itu sudah tua, banyak sarang laba-laba dan temboknya sudah pada rengkah, rupanya kehitam-hitaman. Waktu siang hari adalah hantu-hantu tua yang pendek yang tidur ditungku-tungku dan dipojok-pojok dapur yang penuh abu. Hantu-hantu tua itu tingginya tak lebih dari setengah meter. Janggutnya panjang, rambutnya panjang, warnanya kelabu. Kulit di segala
bagian tubuhnya sudah kerut-merut.

Ketika pelayan menjadikan api untuk memasak, berbangunanlah hantu-hantu itu dengan terkejut sekali. Beberapa di antaranya terbakar rambutnya. Suaranya terdengar berciap-ciap seperti anak burung. Mendengar gaduh ini pelayan terkejut. Tak suatu pun dilihatnya. Lalu ia menggerutu: “Orang-orang khianat itu gila belaka.”

Dengan segera ia meletakkan kuwali wajan dan penyerok. Mulai memasak, menggoreng ikan. Setelah masak lalu diangkatnya. Tiba-tiba goreng ikan itu lalu berubah jadi goreng ular. Pelayan itu berpikir: Orang-orang khianat itu memang pandai bermain sulap. Tetapi biarlah goreng ular pun enak dimakan malah mengandung banyak vitamin. Lalu goreng ular itu dimasukkan kedalam panci. Kemudian ia menanak nasi.

Lama ia menunggui nasi itu. Tiba-tiba dirasainya badannya dipanjati oleh sesuatu yang tak kelihatan. Terasa kupingnya, hidungnya dan telinganya dipermainkan. Sebenarnya hantu-hantu tua itulah yang memanjati tubuh pelayan dan mempermainkan hidung, telinga, dan tangannya. Satu di antaranya menarik-narik rambutnya. Pelayan tidak menjadi takut, tetapi marah. Ia meninjui dirinya dan kepalanya. Hantu-hantu itu kembali memperdengarkan tertawanya yang menyiap-nyiap dan membisingkan telinga. Pelayan makin marah dan makin meninjui dirinya. Ia amat sehat dan kuat. Ia tidak juga merasa lelah. Akhirnya nasi masak. Ia merasa makanan sudah cukup. Lauk-pauk kaleng banyak ia bawa. Sebab itu ia lekas-lekas meninggalkan dapur yang sangat tidak menyenangkan itu.

Ia melalui koridor yang gelap dan suram, menuju ke beranda depan, dimana Sersan asyik membaca buku detektif. Sersan mengatakan, bahwa mereka akan makan di beranda itu saja. Lalu pelayan menyenduk nasi dan membuka kaleng lauk pauk. Akhirnya ia mengeluarkan goreng ular itu sambil berkata:

“Tuan Sersan, menyesal sekali, malam ini kita akan makan daging ular. Hal ini akibat dari kerja orang-orang khianat yang biadab itu.”

Lalu diceritakannya bagaimana orang-orang khianat itu bermain sulapan, dsb. Mendengar ini Sersan berkata:

“Koki rupanya banyak orang khianat yang iri hati akan keberanian kita. Betul katamu, mereka sangat pandai bermain sulap. Mereka mencoba menakut-nakuti kita. Tetapi mulai sekarang kita berjanji akan tidak mempedulikan mereka. Kita tidak akan berbuat gila dengan melepaskan rumah loji yang indah ini dan sejumlah uang duapuluh limaribu rupiah itu. Yang terpenting ingatlah: tak ada hantu di dunia ini!”

“Ya, Tuan Sersan.”

Lalu keduanya berdoa dulu sebelum makan. Mereka orang yang mencoba menjadi saleh dan selamanya berdoa mengucap terima kasih sebelum mulai makan makanan pemberian Tuhan.

Maka terdengarlah raungan-raungan yang mengerikan di seluruh ruang itu. Hantu-hantu di rumah itu merasai dirinya panas, kalau ada orang berdoa di dekat mereka.

“Tutup mulut, biadab!” Teriak Sersan Harjo. Lalu ia pun mulai makan hidangan yang lezat itu, sambil menceritakan cerita detektif. Sementara itu hantu-hantu di beranda muka, hantu-hantu tinggi dan hantu-hantu gundul itu, masih mabuk berkparan.

Setelah selesai makan mereka bercakap-cakap sebentar. Dalam pada itu di kamar tidur terdengar suara tempat tidur berderit-derit, seolah-olah ditimpa oleh sesuatu yang berat. Sesudah sebentar mereka bercakap-cakap, lalu mereka berniat akan tidur. Sebetulnya mereka belum mengantuk benar, tetapi tak ada lagi yang akan mereka kerjakan. Biasanya waktu begitu mereka biasa berjalan-jalan di tengah keramaian kota. Tetapi sekarang mereka tak dapat berjalan di tempat itu lagi, sebab mereka harus membuktikan bahwa mereka sanggup mendiami rumah itu semalam suntuk. Jadi mereka menuju ke kamar tidur membawa obor.

Didapati pintu kamar terkunci. Mereka betul-betul ingat, mereka telah meninggalkan kamar itu tidak berkunci. Jadi hal itu tentu perbuatan orang khianat. Sersan tidak mungkin bersabar lagi. Lalu ia menggasak pintu itu, hingga terbuka. Dan bersamaan dengan terbukanya pintu itu, terdengarlah suara gemuruh. Semacam suara raksasa, diiringi oleh deru-deru angin yang mematikan obor-obor mereka. Kedua orang itu terkejut. Sersan segera menyalakan kembali obornya. Tetapi belum apa-apa, terasa olehnya dua buah tangan yang besar dan berbulu merangkulnya. Dalam sekejap ia telah bergumul dengan makhluk semacam gorilla. Sersan mengamuk sejadi-jadinya. Ia marah sekali. Dan apabila sudah marah sekali, ia menjadi mata gelap. Otaknya seolah-olah sudah lepas dari kepalanya. Dalam hal beginilah biasanya orang menyangka ia sakit ingatan.

Minggu Pagi, No. 51, Th. VIII, 18 Maret 1956


Biodata W.S. Rendra




Nama aslinya Raden Mas Willibrordus Surendra Broto. Ia lahir di Solo, tanggal 7 November 1935 dan merupakan anak tertua dari delapan bersaudara. Ibunya bernama Raden Ayu Chatarina Ismadillah. Ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo.

Rendra mengawali pendidikannya di Taman Kanak-kanak Susteran. Kemudian melanjutkan di SD Kanisius Solo (lulus tahun 1942). Setelah itu meneruskan ke SMP Kanisius, Missi Katolik (lulus tahun 1948). Tamat dari SMA St. Yosef Solo pada tahun 1952. Sempat kuliah di Fakultas Sastra Barat, Universitas Gajah Mada (UGM), tetapi karena waktunya tersita oleh kegiatan kesastraan sehingga tidak selesai. Meski demikian, tahun 1972, Rendra menjadi dosen ilmu dramaturgi di Fakultas Sastra Budaya, UGM.

Semenjak masa sekolah, ia mulai menulis cerpen. Dan cerpen yang pertama kali ditulisnya berjudul Drama Pasar Pon (ditulis ketika ia masih duduk di bangku sekolah menengah
pertama, kelas dua). Selain itu, menulis puisi berjudul Tari Srimpi dan Drama Pasar Pon. Dua puisi itu dimuat dalam majalah Pembimbing Putra Nomor 1. Th I, 8 Maret 1950. Penerbitan kedua karya itu mendorong Rendra selalu berkarya.

Sepulang dari Amerika, dirinya mendirikan Bengkel Teater sebagai tempat bekerja dan mengembangkan kreativitas.

Adapun penghargaan yang pernah ia peroleh di antaranya: (1) pemenang Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta tahun 1954, (2) Penghargaan Sastra Nasional BMKN tahun 1956, (3) Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970, (4) Penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 1975, (5) Hadiah Yayasan Buku Utama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1976), (6) Penghargaan Adam Malik tahun 1989, (7) The S.E.A. Write Award TAHUN 1996, dan (8) Penghargaan Achmad Bakri tahun 2006. Di dunia sastra, W.S. Redra mendapatkan julukan si Burung Merak karena saat ia membacakan puisi-puisinya begitu memukau seperti burung merak yang mengagumkan. Dirinya juga mendapatkan julukan lain, yakni si Panembahan Reso karena keberhasilannya dalam pementasan drama yang berjudul Panembahan Reso.

0 comments: