Monday, March 18, 2019

ARUS, Cerpen Korrie Layun Rampan dalam Nyanyian Lara



Memang sudah santer kawasan itu akan ditertibkan. Akan tetapi warga yang terlanjur menghuni merasa tidak ada pilihan lain yang lebih tepat, kecuali bertahan sampai tiba masanya datang penggusuran.
    
Namun selama bertahun-tahun kemudian penggusuran itu belum juga dilaksanakan, sementara warga di situ akan bertambah. Selain pertambahan karena kelahiran, setiap usai lebaran, natal, atau tahun baru, ada saja warga yang membawa warga baru dari kampung yang ingin mengadu nasib di Jakarta.

Mimpi Jakarta seperti dongeng rumah roti bagi sekumpulan semut.
    
Kisahnya manis mengandung gula.
    
Namun Jakarta bukanlah gula-gula. Kadang mirip getah akar brotowali, pahit di lidah.
    
Hal itulah yang dialami oleh ribuan penghuni di kawasan yang akan ditertibkan itu. Kalau bukan menyanggupkan diri untuk kerja serabutan, hidup benar-benar bersaing dengan kekalahan. Saat berangkat dari desa tak ada yang bercita-cita menjadi pemulung, akan tetapi setelah tiba di Jakarta, jadi apa pun mau asal bisa bebas dari kelaparan.
    
Tak ada yang enak jika perut keroncongan. Segalanya menjadi pahit di bibir jika uang tak ada di saku. Pemulung adalah pekerjaan paling sederhana, karena tidak membutuhkan biaya atau keahlian. Dengan modal keranjang sampah yang bisa didapat di penumpukan sampah, yang dibutuhkan adalah kenekatan untuk menjelajah kawasan tertentu yang mungkin menyimpan kertas, beling, kawat besi, atau botol kosong. Meskipun persaingan cukup sengit di lapangan, akan tetapi pemulung merupakan profesi yang tak jarang memberi tuan di dalam hidup. Bagi yang mujur, bisa saja menemukan orang kaya yang menyerahkan rumahnya untuk dibongkar yang jika dijual harga barang-barang rongsokan bisa mencapai jutaan rupiah. Atau memulung merupakan batu loncatan untuk menemukan pekerjaan yang lebih bergengsi, misalnya menjadi sopir, kenek bus, atau pesuruh kantor, jika mujur bertemu dengan yang membutuhkan.
    
Jakarta selalu memberi kemungkinan tak terduga.
    
Namun nasib para penghuni di kawasan kumuh itu seperti olahragawan amatiran yang berlari di tempat. Semuanya kelelahan dan bermandian keringat, namun yang dinamakan nasib baik selalu menyisih. Di zaman masih ada undian, penghuni kawasan itu hampir semuanya demam lot karena mimpi untuk segera menjadi kaya menghinggapi semua kepala. Akan tetapi sampai kupon undian ditarik karena jenis judi lotere ditiadakan, tak seorang pun yang mampu menjadi konglomerat karena menang lotere. Satu dua orang pernah mendapat nomor buntut, akan tetapi jumlah kemenangan jika ditotal menjadi lebih kecil dibandingkan dana yang dikeluarkan untuk membeli kupon setiap hari. Utang pun jadi kian bertumpuk!
    
Jika diperhatikan kehidupan warga di kawasan itu, sungguh memelas. Pernah seorang peneliti ilmu-ilmu sosial mengatakan bahwa kehidupan warga di situ seperti kahidupan buruh paksaan di zaman poonale sanctie. Namun para warga, tampak sangat menikmati keadaan yang ada sehingga gelak tawa yang berbaur dengan suara radio dan televisi yang disetel keras-keras menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kekhawatiran. Masa depan dan masa kini menyatu di dalam lagu-lagu dangdut yang merintih dari bilik-bilik kardus. Dari pagi hingga jauh malam kawasan itu sangat ramai. Warung-warung makan tumbuh bagai kangkung comberan. Kios-kios rokok serta barang ketengan hidup sampai subuh. Tangis bayi dan suara pertengkaran saling bersaing sejak pagi. Anak-anak berkeliaran bagai marmut dengan leleran ingus dan pakaian seadanya. Banyak dari mereka berkeliaran tanpa baju atau celana dengan perut buncit kekurangan gizi.
    
Sulit membedakan antara kehidupan yang wajar dengan selingkuh dan tipu daya. Semua saling mau mengembat dan semua bertahan diri untuk tidak dimakan sesama kawan. Namun solidaritas jadi begitu tinggi jika datang ancaman dari pihak luar. Bahkan isyu penggusuran dan penertiban yang santer selama ini selalu menjadi bahan yang seakan mengenyangkan perut yang keroncongan.
    
Wong cilik selalu jadi korban,” Diman memandang Ahan di kedai kopi Lik Marni. “Kita hanya numpang sebentar, kok, maunya digusur saja.”
   
 “Ya, ya. Mbok rakyat kecil dikasih pekerjaan, kek,” Kiki menimpali. “Maunya gusur sana gusur sini. Orang kaya dijadikan lebih merajalela.”
    
“Kita ‘kan menempati kawasan tanah negara. Kok nggerundel digusur?” Kindur memandang pada Diman. “Syukur sudah dikasih waktu bertahun-tahun tanpa harus membayar sewa.”

“Sewa gundul-mu,” Ahan memandang Kiki. “Tak nyewa saja kita hampir mati kelaparan. Kadang memulung dikejar dikira pencuri!”
    
“Kerja di kantor saja, kalau mau terhormat,” Hikmat ikut bersuara dari ujung bangku kios rokok. “Bisa hidup enak. . . .”    

“Kantor Mbah-mu?” Ahan bersuara agak tinggi. “Kau enak, istrimu jual jamu dan. . . .”
    
Ahan tidak meneruskan karena kata-kata yang akan ke luar dari mulutnya akan membuat Hikmat blingsatan. Ia tak mau berkelahi lagi, seperti dulu melawan Kasdu. Hasilnya tak ada, yang tinggal hanya rasa sakit di seluruh badan.
    
Namun Hikmat memang malang. Sudahlah tidak mendapatkan pekerjaan yang bisa menghasilkan cukup uang, istrinya menjadi pembicaraan umum karena tukang selingkuh, dan setiap hari berkedok menjual jamu, sementara kadang ditemukan mejeng di bahwa lampu remang-remang.
    
“Aku melihat sendiri, lho,” Toto berkata pada Tono. “Saat pulang dari Bukit Duri. Dalam remang aku dapat mengenali Trimah, istri Hikmat. Aku berusaha cepat-cepat menghindar,” Tono menjeling ke arah Hikmat. “Saat itu Hikmat lagi tak pulang karena ikut borongan sebagai kenek bangunan di Bekasi.”
    
Percakapan dan gunjingan berbauran dengan ejekan, sumpah-serapah, dan tangis kanak-kanak yang diributi oleh suara radio yang melengking dengan lagu ratapan anak tiri. Lagu-lagu Melayu dan dangdut bersaing dengan suara orkes kaleng yang ditabuh anak-anak telanjang dada. Segala bunyi bersaing dengan ruapan bau busuk yang dibawa angin dari pembuangan sampah dan bersenyawa dengan asap masakan di kedai-kedai tumbuh yang dijadikan lahan kaum wanita.
   
Padat sekali kawasan itu.
    
Udara seakan terhembus dari satu hidung dan disedot oleh hidung yang lain, membuat kesehatan warganya sangat memprihatinkan. Kadang kala muntaber datang seperti hantu tanpa salam, kadang gondok atau cacingan menggerogoti leher dan perut, dan tak jarang warga dihinggapi tularan TBC, dan bahkan ada warga yang diketahui terinkubasi lepra.
    
Akan tetapi penyakit masih dapat diobati, namun yang datang kemudian sangat mengenaskan. Di saat semua warga terlelap di subuh hari, tiba-tiba saja kawasan itu dikepung oleh lidah api yang bagaikan lidah setan melalap rumah-rumah kardus dan bangunan seadanya yang terbuat dari kayu dan bahan-bahan murahan. Kawasan itu menyala bagaikan kebakaran hutan Kalimantan yang diliput televisi. Para warga lintang pukang menyelamatkan apa saja yang bisa dibawa, sementara lidah api menjulur makin memanjang oleh tiupan angin dari arah laut.

Teriakan dan tangis yang naik ke langit tak menghalangi api melalap semua kawasan. Hanya sekitar sejam kawasan itu jadi rata karena habis dimangsa si jago merah. Tak ada yang tahu dari mana asal api, yang dilihat oleh warga kawasan itu sudah hampir merata dinyalai api.
    
Musnah segala yang dapat dikumpulkan dengan susah payah.
    
Api sangat dibutuhkan sebagai teman kehidupan, seperti air merupakan sumber kekuatan. Akan tetapi api dan air kadang menjadi seteru manusia karena bila tak terkendali akan menghabiskan harta benda dan nyawa.
    
Pagi hari kawasan itu telah dipatok dengan tulisan dilarang mendirikan bangunan.
    
Para warga yang terkena musibah dengan susah payah mengumpulkan sisa-sisa lalapan api. Sebagian besar dari mereka merambah kawasan  di sebelahnya, sebuah bantaran kali kering yang memang telah ditandai dengan papan larangan untuk mendirikan bangunan.
    
Namun ke manakah ribuan warga itu pergi? Selama bertahun-tahun mereka menghuni kawasan yang telah terbakar itu dan setelah terbakar tempat itu telah kembali menjadi milik negara! Hanya bantaran kali kering itu merupakan lahan yang masih terbuka, dan para warga saling berebutan mematok untuk mendirikan gubuk-gubuk darurat.
    
Musibah itu cukup mengenaskan. Namun kehidupan lebih berharga untuk diperjuangkan, dan para warga merasa bersyukur sebab masih bisa mendirikan tempat berteduh seadanya di bantaran kali kering itu. Namun bantuan yang diulurkan para dermawan, belum seluruhnya sampai ke para penderita musibah, kejadian lain datang seperti malakulmaut merayap di dalam kegelapan malam. Hujan yang jatuh seperti ditumpahkan dari langit membuat kesengsaraan baru. “Mengapa tidak waktu kebakaran hujan turun. . . ,” para wanita seperti menyumpahi awan dan langit. “Setelah kita di sini baru hujan datang lagi!”

Namun hujan tak pernah mendengar sumpah-serapah. Malam gulita itu terus diguyur hujan yang sangat lebat, dan ketika fajar pagi tiba bantaran kali kering itu telah dipenuhi oleh arus yang deras. Semua gubuk darurat yang dibangun serabutan hanyut dibawa arus dan banjir merata di daerah itu.
    
Sejauh mata memandang dataran air merata hingga mencapai tepi laut. Dan dua hari setelah banjir reda, kegemparan baru terjadi. Ditemukan empat sosok manusia dalam dua sarung, semuanya tanpa nyawa. Saat diperiksa oleh petugas, ternyata di dalam satu sarung ditemukan mayat Hikmat bersama istri Tono dan mayat Ahan bersama dengan istri Hikmat. Keempat mayat itu ditemukan di bawah timbunan kardus, tersuruk bersama gubuk yang hanyut, dan nyangsang di kedung pasir basah.
    
Hampir semua warga terbelalak mata.
    
Api dan air memang sumber kehidupan, tetapi api dan air juga sumber kematian. Adakah para peselingkuh sadar bahwa mereka akan tersuruk ke dalam lumpur banjir dan kematian yang nista?
    
Beberapa orang ibu meludah ke tanah sambil menutup hidung. Sejumlah anak bertelanjang dada terus bermain dengan lumpur dan comberan. Di bawah gerimis beberapa lelaki saling memandang dan saling bertanya di mana keempat jisim itu dikebumikan?
    
Arus kali kering tinggal menyisakan sedikit airnya, mengalir pelahan sekali….Seperti tanpa kejadian!

Jakarta, 6 Maret 1996
(Untuk Drs.Juan Jenau)

0 comments: