Wednesday, January 9, 2019

PUISI-PUISI ABDUL KARIM AMAR





Di Merah Fajar Esok Pagi
: generasi bangsaku

di merah fajar esok pagi 
mari sepuhkan harapan untuk hari tua
bersenandung merebut kedamaian dalam sunyi
pergi melangkah ke bukitnya Hamka, Dante, Petrarca
walau jari-jari tertancap penuh duri
mengiangi ladang huma dan rawa
serta berteriak sayu seorang diri
mari tebalkan keyakinan buat borong kerja penuh jadi
menyiuli napas-napas duka
serta asahlah wajah puisi rindu
karena ia membunuh duka deritamu


Surat dari Desa

Eva,
suratmu berwarna biru telah kuterima
tentang diriku masih seperti dulu-dulu jua
terkurung di kesunyian kampung
sering termenung mencari senandung

Eva,
di sini tidak ada cita-cita sanjana
tidak ada kereta kencana, musik pesta ria
atau cincin emas kawin pertama

Eva,
di sini hanya punya piala tua
cuma tercenung dalam renungan menerawang
yang dinadakan seruling sumbang dari pegunungan
hidup di desa berbimbang dengan kebahagiaan
namun, kutempuh juga segala ancaman dan kenyataan
karena dara-dara di desa berbaju panjang
dan berwajah tenang


Cerita Tersisa Buat Eva

Eva,
Dikala aku masuk ke masjid
Salat membaca Alkitab
Serta berselawat atas nabi Muhammad
Di luar engkau dengan setia
Menanti aku bangkit

Eva,
Kemudian di kala engkau dalam gereja
Berdoa dengan nyayian rohani
Dengan mata berkaca
Menatap kayu salib dan bunda Maria
Di luar aku dengan setia
menunggu engkau tiba

Eva,
kita tidak perah bicara
tentang roh kudus, Yesus Kristus
atau tentang Nabi Muhammad
kita hanya bicara kesusastraan
dan sajak-sajak

Eva,
apa artinya jika kita sudah tiada
dengan jiwamu yang gelisah
serta cerita yang tiada terjalin
kita pun berpisah
lakum dinukum wa liyadin


Salam Terakhir
(Hari Sepeniggalan Ibuku)

Hening sesaat
Kurundukkan wajahku sebigini pucat
Mata pun menatap bumi penuh ratap
Ketika itu keranda bunda orang usungkan
Lewat jalan lengang
Yang telah sampai pada usia penghabisan
Dihantar pandangan mata kebasahan
Tiada daya menahan

Aku balik lalu menjerit
Terpaku pula menatap pusara
Membayang wajah bunda tak pernah hilang
Menangis sukma jiwaku
Segalanya luka dirasa
Dengan langkah lunglai kutinggalkan jua
Selama kuatku ada


Kuserahkan Diriku Ini Kepada-Mu, Tuhanku

Tuhanku, dalam hening di malam sepi
kuceritakan akan kesenyapan hidupku ini
dalam pengembaraan di alam tak berwujud
aku sering bermimpi menuju tiada arah
mencari selaput kasih di bumi beku

Tuhanku,
adakah lagi datang buatku cinta yang perkasa
di malam seribu bulan
atau terbang tak kembali

Tuhanku,
berkat kasih-Mu kembali aku mengerti
bahwa hakikat dunia ini hanya sementara waktu
hidup, cinta, dan kemudian mati
lalu masih pantaskah gerimis mataku sepanjang hari
serta merenungi langit ungu

Tuhanku,
betapa pun hampir putus asa dan diburu kematian
tiba-tiba aku sadar
bahwa Engkau dengan kasih melunakkan
jeruji-jeruji dukana di selaput nyawaku yang usang
akhirnya aku tersungkur gemetar
sedang di harga dumilah bulan sabit telah pergi
melewatkan malam kian menyepi
dan aku tanpa waham syak ragu lagi


Puisi Lebaran Sutardji

Sutardji,
aku rangkul senyummu di hari lebaran
kaupecahkan botol-botol arak dan
kaulemparkan jauh-jauh amuk kapak
dengan mengambil makna hidup yang hak

Sutardji,
usia kita melapuk banyak tersuruk
di malam gelap merangkak-rangkak
hati jiwa yang insaf
apa yang kita dapat di hari lebaran
dengan seteguk air zamzam dan
untaian tasbih serta zikir
yang menyelubungi napas kian berakhir

Sutardji,
dengan sepatumu titian syirathalmustaqim
dan masjid di dadamu, sajadah dikiblatkan ke kakbah
hati jiwa yang tenang
kita terus berjalan. Terus berjalan
semakin dekat, semakin dekat. Semakin dekat
akhirnya sampai ke titian yang hak
di pengujung jalan mata terpejam
semoga dapat husnul khatimah
La ilahaillah muhammadar rasulullah


Bulan di Lautan Darah

Bulan perak jatuh di lautan darah
Para datu-datu penghuni hutan randu
Mata merah terperengah
Menatap mendeng akan kayu gelombang tiada membiru
Tentara dari langit akan diturunkan
Genderang peperangan ditabuh bertalu-talu
Janji yang diselimuti kepalsuan
Menelanjangi republik demi republik
Menelanjangi yang sirik
Syi’ah, Jabariah, Qadariah, dan Ahmadiah
Tidak malu pada harga diri
Sementara di jalanan masih ada demonstrasi
Menghantam dan menghantui
Sedang bulan terantuk-antuk aib
Menanti titah dari alam gaib


Ilmu yang Mengusik Kalbu

Alkisah dari negeri antah berantah
Sang raja bertitah:
La haula wa la kuwata illa billah
La fa ilallah
Kita tidak punya kuat dan lemah
Tidak punya sehat dan sakit
Tidak punya hidup dan mati
Tidak punya gerak dan diam
Tidak punya roh. Bahkan
Kita wayang dipermainkan dalang
Atau seperti bulu ayam digantung pada hawa
Apa yang diambil Izrail?
Di kala sakaratul maut tiba
Walau badan sudah terbaring dingin
Hatiku menggelitik apa gerangan
Ini paham Jabariah, bukan!
Ini Ahlusunah wal Jama’ah?
Ada yang menggerutu, kita tidak punya hak
Pengajian ini mengusik kalbu
(aku ingin merampas arloji di tangan paduka
Karena katanya tidak mempunyai apa-apa)
Ada yang tersipu-sipu serta termangu
Ada yang tersenyum mengangguk tanda setuju
Ini ilmu mengusik kalbu
Hakikat melulu


Bulan Belah

bulan belah di harga dumilah
turun ke hadapan rasulullah
belah dua
masuk ke tangan baju jubah baginda
mengata dua kalimat syahadat
kemudian bersatu lagi naik ke langit
ajaib! Sang Raja Habib bin Malik
mendapat taufik
beriman dengan ribuan prajurit
wahai pembuktian apa lagi yang mengusik
mari sebelum ajal menyempit
masuklah secara kafah
berkiblat ke kakbah
ajaran dari Muhammad imamulhaq
yang tiada syak




Abdul Karim Amar (AKA) dengan nama aslinya Abdul Hamid lahir di Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar pada tanggal 10 November 1954. Mulai menulis puisi sejak tahun 1970. Di priode 1970 sampai tahun 1974 sebagai Sekretaris Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Kertak Hanyar. Kemudian pada tahun priode tahun 1974—1977 Ketua Umum.

AKA dipercayai membidangi seni dan budaya di KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Cabang Kertak Hanyar. Tahun 1973 membentuk sanggar ISMAYA (Ikatan Seni Drama Jaya) yang menyebabkan AKA juga menerjuni/main sandiwara. Daerah yang pernah dikunjunginya dalam mementaskan drama antara lain Handil Soebarjo, Barabai, Margasari. Adapun naskah yang diangkatnya antara lain, Darah Mengalir di Sisi Mayat, Penyesalan di Azan Subuh, Paman Durhaka, Fajar Telah Menyingsing, dan naskah karya Arsyad Indradi yang berjudul Elegi di Pasir Hitam.

Pertengahan tahun 1977 AKA ke Kotabaru, Pulau Laut bekerja sebagai Penyiar Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD), honorer. Bersama Agits Kursani, AKA di studio tersebut mengasuh acara Arena Sastra dan Budaya. AKA mendapatkan piagam  penghargaan dari Bupati H.G. Syamsiar Alam atas keberhasilannya memenangkan lomba mengarang puisi se-Kabupaten Kotabaru dalam rangka hari kemerdekaan Republik Indonesia. Tahun 1979 AKA mengundurkan diri secara hormat dari studio tersebut karena ibunya memintanya pulang ke Banjarmasin.

Publikasi puisinya antara lain di RRI Banjarmasin, majalah Bandarmasih Banjarmasin, SKH UPAYA, SKH Banjarmasin Post, beletin NU Kodya Banjarmasin. Puisinya berjudul Fragmen Kemerdekaan pernah disiarkan tiga tahun berturut-turut dalam rangka hari kemerdekaan RI di Untaian Mutiara sekitar Ilmu dan Seni RRI Banjarmasin. Antologi puisi bersama yang ikut memuat puisi-puisinya antara lain Tamu Malam, Festival Puisi Kalimantan (Tajuddin Noor Ganie, Banjarmasin 1992), Pelangi di Tahun Emas (antologi puisi Aruh Sastra 2009), Menyampir Bumi Leluhur (antologi puisi Aruh Sastra 2010), dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia (antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan, dkk).


0 comments: