Monday, November 26, 2018

Kalimantan, Siapa Sajakah Tokoh-Tokoh dari Pulau Ini yang Menjadi Pahlawan Nasional Indonesia?

    
Mahmud Jauhari Ali

Apa semboyan yang melambangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia? Anda pasti sudah tahu jawabannya. Ya, bhinneka tunggal ika. Artinya, berbeda-beda, tetapi satu juga. Nah, Anda pasti juga tahu bahwa kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari jasa para pahlawannya. Atas perjuangan mereka dan atas izin Tuhan YME jualah, Indonesia dapat menjadi bangsa merdeka yang bersatu padu seperti sekarang ini.

Tentunya kita harus bersyukur memiliki para pahlawan dari Sabang sampai Mareuke, ‘kan? Dan, tahukah Anda sebagian para pahlawan tersebut berasal dari Pulau Kalimantan? Ya, ada enam Pahlawan Nasional Indonesia dari pulau ini.
       
Secara umum, Kalimantan merupakan pulau yang dihuni tiga warga negara. Ada warga negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Ketiga warga negara tersebut hidup dengan rukun dengan tetap memiliki jati diri dan mencintai negara masing-masing. Nah, warga negara Indonesia di Kalimantan tersebar di lima provinsi. Para Pahlawan Nasional Indonesia dari pulau ini pun berasal dari provinsi-provinsi yang berbeda. Pangeran Antasari, Brigjen Hasan Basry, Dr. K.H. Idham Chalid, dan Ir. H. Pangeran Muhammad Noor  berasal dari Kalimantan Selatan.  Sementara Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan berasal dari Kalimantan Barat. Sedangkan Marsekal Pertama TNI (Anumerta) Tjilik Riwut berasal dari Kalimantan Tengah. Meskipun tidak berasal dari satu provinsi yang sama, mereka berjuang demi kemerdekaan bangsa Indoneia.

1. Abdul Kadir (Raden Tumenggung Setia Pahlawan)  


Siapa yang tak mengetahui tugu khatulistwa atau equator monument? Benar, tugu khatulistiwa adalah penanda daerah yang dilintasi garis khatulistiwa. Meski ada beberapa jumlahnya, tapi hanya ada satu yang benar-benar dilintasi garis kahtulistiwa. Di manakah itu? Tepatnya di Provinsi Kalimantan Barat. Di provinsi ini pulalah lahir seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia bernama Abdul Kadir dengan gelar Raden Tumenggung Setia Pahlawan.  

Masa kecil dan Pendidikan
Abdul kadir lahir di Sintang, Kalimantan Barat pada tahun 1771 Masehi. Ayahnya bernama Oerip dan ibunya bernama Siti Safriyah. Ia adalah putra seorang bangsawan Kerajaan Sintang. Ayahnya menjabat sebagai kepala pemerintahan di kawasan Melawi.

Ia didik di lingkungan kaum bangsawan. Tentunya ia mendapatkan pendidikan tentang disiplin, kejujuran, keberanian, dan terutama pertahanan keamanan. Itulah sebabnya, saat usianya masih sangat muda, Abdul Kadir sudah mengabdi sebagai pegawai Kerajaan Sintang. Ia mampu melaksanakan tugas dengan baik selama mengabdi di sana. Raja Sintang pernah mengugasinya untuk mengamankan kerajaan dari ganguan pengacau dan perampok. Tugas itu pun dapat ia laksanakan dengan baik.

Kemudian Abdul Kadir diangkat menjadi pembantu ayahnya sendiri di pemerintahan kawasan Melawi. Sebagai putera kepala pemerintahan di kawasan itu tidak membuatnya sombong dan bermalas-malasan. Abdul Kadir tetaplah pemuda yang rajin dalam bertugas. Setelah ayahnya wafat pada tahun 1845, ia pun diangkat menggantikan kedudukan ayahnya pada tahun yang sama. Raja Sintang memberinya gelar Raden Tumenggung karena jabatannya tersebut.

Perjuangan
Abdul Kadir berjuang dengan sangat keras. Ia berhasil mempersatukan Suku-Suku Dayak dan Melayu di Melawi. Dengan perjuangannya, ia juga berhasil mengembangkan potensi ekonomi daerah tersebut. Di samping kedua kerberhasilannya itu, ia juga berjuang menghadapi Belanda.

Ketika itu Kerajaan Sintang sudah berada di bawah kekuasaan Belanda. Kondisi yang sulit membuatnya memakai strategi peran ganda. Artinya, pada satu sisi dia tetap setia kepada Raja Sintang yang berarti pula ia setia pada Pemerintah Belanda.  Pada sisi lain, ia secara diam-diam menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Strategi tersebut merupakan pilihan paling tepat untuk dilakukan seorang pejabat serpertinya kala itu. Selanjutnya ia membentuk kesatuan-kesatuan rakyat bersenjata di Melawi dan sekitarnya. Kecurigaan Belanda pun muncul terhadapnya. Belanda berusaha melunakkan sikapnya agar mau bekerja sama dengan pihak mereka. Contohnya, 1866 Belanda memberikan uang dan gelar Setia Pahlawan  kepada Abdul Kadir Raden Tumeggung. Namun, tidak mengubah sikapnya yang ingin melepaskan Melawi dan Kerajaan Sintang dari cengkeraman Belanda.

Dari hari ke hari ia terus mempersiapkan diri bersama pasukannya untuk melawan Belanda. Baginya persiapan sangat diperlukan mengingat Belanda sangatlah tangguh pada masa itu. Perlawanan demi perlawawan pun mulai dilakukan terhadap Belanda. Hal ini tentu membuat negara penjajah tersebut bersikap tegas terhadap Abdul Kadir dan pasukannya.

Akibatnya, pada tahun 1868 Belanda melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Dengan gagah berani, para pengikut setia Abdul Kadir menghadapi serangan Belanda tersebut. Tentunya ia menggunakan strategi yang jitu. Dengan bermodalkan segala informasi tentang berbagai rencana operasi militer pemerintah Belanda, ia dan pasukannya mendapatkan hasil yang bagus. Mereka berhasil mengacaukan serangan Belanda.

Penghargaan dari Pemerintah Indonesia.
Dengan segala upaya dan siasat, Belanda berhasil menangkap Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan pada tahun 1875.  Ia dipenjarakan di Benteng Saka Dua milik milik belanda di Nanga Pinoh. Setelah tiga minggu dipenjara, ia meninggal dunia dalam usia 104 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Natali Mangguk Liang, Melawi. Pada tahun 1999 ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keuptusan Presiden Nomor 114/ TK/ 1999 tanggal 13-10-1999.

  
 2. Pangeran Antasari


Tahukah Anda pasar terapung atau floating market tertua di dunia? Berdasarkan sejarah, hanya ada dua tempat pasar terapung yang asli. Kedua tempat tersebut, yaitu di Indonesia dan Thailand. Dari keduanya yang tertua adalah di Indonesia. Tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan. Di provinsi ini pulalah lahir seorang Pahlawan Nasional Indonesia, yakni Pangeran Antasari. Ia dikenal sebagai sosok yang jujur, rendah hati, ramah, dan tentunya tak mengenal menyerah. Keberaniannya membebaskan tanah airnya dari Belanda begitu gigih.

Masa kecil dan Pendidikan
Pangeran Antasari lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, sekitar tahun 1809. Ia adalah putra dari pasangan Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir.  Semasa muda, namanya adalah Gusti Inu Kartapati. Meskipun ia berdarah biru Kesultanan Banjar, sejak kecil ia sudah tidak suka hidup di lingkungan istana. Hal ini karena di lingkungan istana penuh dengan dominasi Belanda. Itulah sebabnya, ia besar di tengah-tengah lingkungan rakyat biasa, yakni di Antasan Senor, Martapura.

Di luar istana, ia didik oleh ayahnya sendiri. Sang Ayah mendidiknya agar ia selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan, seperti dalam hubungan keluarga. Dari ayahnyalah ia tahu tentang cara-cara Belanda memecah-belah persatuan di Kesultanan Banjar. Dalam hal ini tentu ayahnya berharap kelak ia mempersatukan rakyat Banjar membebaskan diri dari tangan Belanda.
         
Selain itu, ia juga belajar dari para ulama. Pemahamannya terhadap agama Islam hari demi hari kian dalam dan luas. Perlahan ajaran-ajaran agama yang dianutnya pun ia amalkan. Wujud pengalaman ajaran agama Islam olehnya terlihat dalam sikap hidupnya sehari-hari. Ia sangat jujur, ikhlas, pemurah, dan berakhlak mulia lainnya. Itulah sebabnya, sejak kecil ia sangat disukai rakyat di sekitarnya.

Perjuangan
Setelah beranjak dewasa, Pangeran Antasari tetap hidup di luar istana. Ia hidup dengan cara berdagang dan bertani. Keadaan inilah yang menyebabkan ia selalu dekat dengan rakyat biasa. Selain itu menyebabkan dirinya mengerti keadaan sebenarnya di luar istana. Ia mengerti betul perasaan dan penderitaan rakyat di sekitarnya. Terutama yang disebabkan oleh Belanda.
         
Belanda waktu itu melakukan penindasan terhadap rakyat Banjar dengan sewenang-wenang. Di samping hal tersebut, Belanda juga sudah terlalu ikut campur dalam Kesultanan Banjar. Contoh dari terlalu ikut campur itu adalah, Belanda menunjuk langsung Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar. Sementara Pangeran Hidayutullah yang lebih layak menjadi Sultan Banjar, saat itu hanya menjadi Mangkubumi Kesultanan Banjar. Padahal  Sultan Adam Alwasyiqubillah yang merupakan kakek dari Pangeran Hidatullah telah bewasiat. Salah satu wasiatnya itu berbunyi bahwa ”Apabila Sultan Adam wafat, maka pengggantinya ialah Pangeran Hidayat (Hidayatullah), dan hendaknya memerintah rakyat dengan penuh keadilan dan mengikuti perintah agama.” Hal ini membuat rakyat Banjar dan beberapa Kerabat Kesultanan Banjar melakukan perlawanan terhadap Belanda.
         
Keadaan seperti itu menyebabkan Pangeran Antasari prihatin. Semula ia mau utus untuk menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergolak oleh Pangeran Hidayatullah yang saat itu berkedudukan sebagai Mangkubumi. Kesempatan ini digunakan Pangeran Antasari untuk menghubungi para pemimpin gerakan rakyat tersebut. Alhasil, ia mendapatkan kepercayaan rakyat dan dipilih menjadi pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Selanjutnya ia bersama keluarganya diam-diam meninggalkan kediamannya di Antasan Senor, Martapura. Mereka menuju pedalaman bergabung dengan kaum perlawanan.
         
Pada permulaannya ia berhasil menghimpn 6.000 laskar atau pasukan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan yang terhimpun itu berasal dari berbagai daerah. Ada pasukan yang dipimpin Tumengung Jalil dari Banua Lima. Wilayah ini mencakup daerah Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai, dan Kalua. Ada lagi pasukan yang dipimpin Panembahan Muda Aling dari daerah Muning. Begitu juga daerah-daerah lainya seperti Tanah Dusun Atas, Tabanio. Bahkan, Kuala Kapuas dan Tanah Bumbu.      
         
Gerakan rakyat menentang Belanda di semua daerah itu menjadi satu di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Keberhasilan pertama dari perjuangan mereka itu ada dua. Keduanya adalah, merebut kembali tambang batu bara Oranje Nassau dan menguasai Benteng Belanda di  daerah Pengaron tahun 1859. Perjuangan demi perjuangan Pangeran Antasari dan para pasukannya terus berlanjut. Ia terus mengobarkan semangat juang untuk membebaskan tanah Banjar dari penjajah Belanda. Hal itu tentu membuat Belanda kesulitan menghadapi perjuangan mereka.         

Pada bulan Maret 1862 para pemimpin gerakan rakyat dari Barito, Murung, Sihong, Teweh, Kepala-kepala Dayak Kapuas-Kahayan, serta tokoh agama berkumpul di Dusun Hulu. Tujuan mereka berkumpul adalah menobatkan Pangeran Antasari menjadi Panembahan amiruddin Khalifatul Mukminin. Artinya, ia sah menjadi kepala pemerintahan, panglima perang, dan sekaligus pemimpin tertinggi agama Islam. 
         
Perlawanan rakyat Banjar di bawah kepemimpinannya kian meluas. Alhasil, Belanda mengalami kesulitan menghadapi perlawawan tersebut.  Lalu, pihak Belanda berusaha untuk berdamai dan meberikan pengampunan kepada Pangeran Antasari. Akan tetapi, ia menolak ajakan Belanda itu. Ia tidak percaya dengan janji-janji yang diberikan Belanda. Pangeran Antasari terus melanjukan perjuangan rakyat banjar. Ia selalu menyerukan semangat Haram manyarah, waja sampai ka puting. Artinya dari kata-kata semangat itu adalah keharaman, berjuanglah sampai titik darah penghabisan kepada seluruh rakyat Banjar.

Penghargaan dari Pemerintah Indonesia.
         
Pangeran Antasari telah melewati perjuangan demi perjuangan bersama rakyat. Ia tak pernah sekalipun menyerah, tertangkap atau tertipu bujuk rayu Belanda.  Pertempuran terakhirnya bersama rakyat adalah di bawah kaki Bukit Bagantung. Setelah itu ia terkena penyakit paru-paru dan cacar.  Tepat pada 11 Oktober 1862 beliau wafat di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang  dalam usia lebih kurang 53 tahun.
         
Pangeran antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan  SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968. 


3.  Marasekal Pertama TNI (Anumerta) Cilik Riwut


Saya yakin Anda sudah tahu Bandar Udara Tjilik Riwut ada di Kota Palangkaraya. Kota ini adalah Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Tapi tahukah Anda nama bandara tersebut diambil dari salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia?  Ia adalah seorang putra asli Dayak Ngaju bernama Tjilik Riwut. O iya, Anda mungkin bingung soal huruf awal nama depannya. Nama depan pahlawan nasional yang satu ini, yakni “Tjilik” menggunakan ejaan lama. Jika dilafalkan, menjadi “Cilik”. Hal itu karena, huruf “tj” sama dengan “c” dalam ejaan yang berlaku saat ini.

Masa kecil dan Pendidikan
Tjilik Riwut lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah pada 2 Februari 1918. Ia lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan Tengah. Karena itulah, ia selalu bangga menyatakan diri sebagai “Orang Hutan”. Kecintaannya pada alam sungguh luar biasa. Ia juga begitu menjunjung kebudayaan leluhurnya, yakni Dayak Ngaju. Saat usia belia, ia telah tiga kali mengelilingi Pulau Kalimantan dengan berjalan kaki, naik perahu, dan rakit.
         
Ia mendapatkan pendidikan keluarga yang disiplin. Di luar lingkungan keluarga, ia mendapatkan pendidikan dasar di kota kelahirannya. Setelah lulus, ia mendapatkan pendidikan sekolah perawat di Purwakarta dan Bandung.

Perjuangan
Tjilik Riwut memiliki ketertarikan yang besar terhadap dunia jurnalistik. Ketertarikannya itu membuatnya menjadi wartawan. Pada tahun 1940 ia sudah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pakat. Ia juga menjadi jurnalis di Harian Pembangunan bersama Sanusi Pane yang merupakan sastrawan nasional Indonesia itu. Melalui dunia jurnalistik inilah, ia menyumbangkan tenaga dan pikirannya menyebarkan berita, yakni seputar pergerakan nasional di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
         
Pada masa penjajahan Jepang, ia menjalin komunikasi dengan beragam suku di Kalimantan. Ia meyakinkan mereka semua agar tetap setia dan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia kemudian terjun ke dunia militer dengan menjadi tentara di Angkatan Udara Republik Indonesia. Dengan kegigihannya, ia berhasil menjadi Komandan Pasukan MN 101 Mobiele Brigade MBT/TNI Kalimantan. Dalam dunia militer ini ia mencatat prestasi, yakni kesuksesannya sebagai Komando Penerjun Payung Pertama AURI pada tanggal 17 Oktober 1947. Sejak saat itu, 17 Okotber diperingati sebagai Hari Pasukan Khas TNI AU. 
         
Ia pun dipercaya menjadi Perwakilan Dewan Pimpinan Penyelenggara Ekspedisi ke Borneo di Yogyakarta. Satu tahun kemudian ia mewakili 185 ribu rakyat Dayak di pedalaman Kalimantan untuk menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Mereka yang diwakilkannya itu terdiri atas 142 suku, 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 4 kepala suku, 3 panglima, 10 patih, 2 tumenggung, disertai dua kepala burung. Dengan sumpah itu, berarti Kalimantan telah menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Para anggota suku ini juga bersumpah akan mempertahankan daerahnya masing-masing. Yaitu dari serangan tentara NICA yang berusaha merebut kembali Indonesia.
         
Salah satu jasanya yang masih dikenang di bidang pembangunan adalah membuka hutan serta membangun daerah di sekitar desa pahandut (yang ini menjadi kota Palangkaraya), ibukota Kalimantan Tengah. Ia memiliki komitmen yang tinggi untuk kemajuan daerahnya. Tentunya tanpa meninggalkan kebudayaan dan kekayaan leluhurnya sebagai orang Kalimantan. 

Penghargaan dari Pemerintah Indonesia.
Tjilik Riwut dipanggil Sang Pencipta pada tanggal 17 Agustus 1987 di Banjarmsin. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makam Sanaman Lampang, Palangka Raya. Tjilik Riwut ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 108/TK/Tahun 1998 pada tanggal 6 November 1998.


4. Dr. K.H. Idham Chalid


Pernahkah Anda melihat sosok pahlawan di bagian depan uang pecahan Rp5.000,00 rupiah kertas terbaru? Pasti pernah ‘kan? Nah, itulah sosok Dr. K.H. Idham Chalid yang merupakan pahlawan nasional Indonesia asal Kalimantan Selatan. Sekarang, yuk kita cari tahu siapa sebenarnya Pahlawan Nasional Indonesia yang satu ini. 

Masa kecil dan Pendidikan
Idham Chalid lahir pada 27 Agustus 1921 di Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Daerah kelahirannya terletak di bagian tenggara provinsi ini. Ia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya adalah seorang penghulu bernama Muhammad Cholid yang berasal dari Kota Amuntai. Kota itu terletak di Kabupaten  Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
         
Saat ia berusia enam tahun, keluarganya pindah ke kota asal ayahnya itu. Ada dua hal yang tampak darinya sejak ia kecil. Pertama ia sangat cerdas. Contohnya, saat masuk SR, ia langsung duduk di kelas dua. Artinya, karena kecerdasannya, ia tidak perlu mengenyam satu tahun pelajaran di kelas satu SR. Kedua, ia terkenal pemberani. Contoh keberaniannya sejak kecil ini ialah dalam hal berpidato. Ia berani tampil di hadapan orang banyak saat membawakan pidatonya. Lama-kelamaan kemampuan berpidatonya ini pun kian terasah. Kemampuan berorasinya inilah yang menjadi salah satu modal perjuangannya kelak.
         
Pada tahun 1922, ia melanjutkan pendidikanya di Madrasah Ar-Rasyidiyyah. Di madrasah ini ia memperoleh banyak kesempatan mendalami bahasa Arab, bahasa Inggeris, dan tentunya pengetahuan umum. Setelah lulus, ia menimba ilmu di Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Di sinilah ia mendalami bahasa Jepang, bahasa  Jerman, dan bahasa Prancis. Tahun 1943, ia menamatkan pendidikannya di Pesantren Gontor. Pada tahun yang sama ia melanjutkan pendidikanya di Jakarta.

Perjuangan
Kefasihannya dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Jepang  (Dai Nipon) sangat kagum. Karena itulah, pihak Jepang sering memintanya menjadi penerjemah dalam pertemuan dengan alim ulama. Alhasil, ia  mulai akrab dengan para tokoh utama Nahdatul Ulama. Lalu ia bergabung ke dalam badan-badan perjuangan setelah Jepang kalah di tangan sekutu. Saat itu sekutu sudah masuk di Indonesia. Ia pun aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di Kota Amuntai, yakni menjelang kemerdekaan 1945. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, ia bergabung partai lokal bernama Persatuan Rakyat Indonesia.
         
Kemudian ia pindah ke Serikat Muslim Indonesia. Bersama dengan Komandan divisi IV ALRI, yakni Hasan Basry, ia mendierikan Fonds Basiona Indonesia Kalimantan. Ia pun ikut bergerilya bersama anggota devisi itu. Pada bulan Maret tahun 1949 ia ditangkap Belanda. Ia baru dibebaskan pada bulan November pada tahun yang sama. Setelah itu ia diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Pada tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi DPRS mewakili Masyumi. Barulah setelah Nahdatul Ulama memisahkan diri dari Masyumi, ia memilih bergabung Partai Nahdatul Ulama.
         
Sejak tahun 1956 ia menjadi ketua PBNU hingga tahun 1984.  Saat pertama memangku jabatan itu, usianya baru 34 tahun. Kepemimpinannya selama 28 tahun itu merupakan yang terlama sepanjang sejarah di Nahdatul Ulama. Pada tahun yang sama, yakni 1956, ia diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Kabinet ini hanya bertahan satu tahun dan berganti Kabinet Djuanda. Akan tetapi, ia tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai dekrit presiden 1959.
         
Tak lama setelah itu, ia ditarik menjadi  anggota Dewan pertimbangn agung. Setahun kemudian ia mejadi wakil ketua MPRS. Ia juga dipercaya menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Ampera I, Ampera II, dan Pembangunan I pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pada akhir tahun 1970 ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial. Jabatan terakhir yang diembannya adalah sebagai ketua dewan pertimbangan agung sampai tahun 1983. Dalam dunia pendidikan, ia mendirikan Universitas Nahdahtul Ulama (sekarang Universitas Islam Nusantara) pada 30 November 1950. Ia mendirikan universitas itu bersma K.H. Subhan Z.E., K.H. Achien, K.H. Habib Utsman Al-Aydarus, dan lain-lain.

Penghargaan dari Pemerintah Indonesia.
         
Dr. K.H. Idham Chalid meninggal dunia di Jakarta pada 11 Juli 2010 dalam usia lebih kurang 88 tahun. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011.


5. Brigjend. H. Hasan Basry
         

Mungkin Anda mendengar atau membaca tentang olahraga mengarungi sungai berjeram dengan menggunakan perahu atau sejenisnya? Ya, namanya olahraga arung jeram. Asalkan mau menuruti petunjuk pemandunya, olahraga ini aman, baik bagi orang dewasa, maupun anak-anak. Tapi, percayakah Anda kalau olahraga ini bisa dilakukan dengan menggunakan bambu? Ya, Anda harus percaya karena kita dapat mengarungi Sungai Amandit di Kecamaan Loksado dengan menggunakan rakit bambu. Artinya, rakit tersebut terbuat dari susunan bambo yang diikat dengan rapi.
         
Loksado sendiri merupakan nama kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Di kabupaten inilah lahir seorang Pahlawan Nasional Indoneia beranama Hasan Basry. Ia adalah putera asli Kalimantan Selatan yang berjuang demi Negara Kesatuan republik Indonesia.

Masa kecil dan Pendidikan
Brigjend H. Hasan Basry lahir pada 17 Juni 1923 di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Ia menempuh pendidikan sekolah dasarnya di  Hollands Inlandsche School (HIS) dan lulus pada 1939. Lalu melanjutkan di Tsanawiyah Al-Wathaniah di Kandangan (setingkat SMP) dan lulus pada tahun 1942. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan di Kweekschool Islam Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur sampai lulus pada tahun 1945.

Perjuangan
Setelah lulus dari Pondok Pesantren Gontor, ia diangkat menjadi guru agama di sekolah menengah pertama Islam di kota Malang. Selain mengajar, ia bersama para pemuda dari Kaliamntan yang bermukim di Pulau Jawa ikut menyumbangkan tenaga bagi tegaknya Republik Indonesia. Mereka tergabung dalam organisasi Pemuda Kalimantan yang berpusat di Surabaya. Sejak itulah ia mengawali karirnya sebagai pejuang.

Lalu pada tangal 30 oktober 1945, ia bersama rekan lainnya berhasil menyusup pulang ke Kalimantan Selatan. Mereka menumpang Kapal Bintang Tuleng. Kepulangan mereka karena di ada kabar tentang kegagalan perjuangan di Kalimantan melawan Belanda dan sekutu. Para pejuang pun membentuk Laskar Syaifullah pada 5 Mei 1946 di Haruyan, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Sebagai pemimpinnya ditunjukkah Hasan Basry. Akan tetapi, kemudian banyak tokoh Laskar Syaifullah ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Penangkapan mereka terjadi saat Acara Pasar Malam Amal pada 24 September 1946.
         
Tak lama setelah kejadian itu, Hasan Basry mereorganiasi anggota Laskar Syaifullah yang tersisa dengan membentuk Benteng Indonesia. Selanjutna ia berhasil membentuk Batlyon ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) Devisi IV Kalimantan Selatan. Ia menempatkan markasnya di Haruyan. Keberhasilannya itu dicapai dengan cara mengerahkan Benteng Indonesia. Pembentukan batalyon tersebut berdasarkan tugas yang disampaikan Letnan Ali Zuchri dan Letnan Muda M. Mursid kepadanya pada tanggal 15 November 1946.
         
Pada 17 Mei 1949, ia memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia. Proklamasi itu dikenal dengan Proklamasi Kalimantan. Tak lama setelah itu, yakni pada 1 November 1949, ALRI Devisi IV (Devisi A) dilebur ke dalam TNI Angkatan Darat Devisi Lambung Mangkurat. Hasan Basry dipercaya sebagai panglima ALRI Divisi IV (A).

Perang kemerdekaan Indonesia pun selesai. Kalimantan menjadi bagian dari Indonesia yang bebas dari penjajahan. Pada tahun 1951—1953, ia melanjutkan pendidikan agamanya di Univerisitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Kemudian ia teruskan di American Universty Cairo tahun 1953—1955.   Sepulang dari Mesir ke Indonesia, pada tahun 1956 ia diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri 21 di Kalimantan Selatan. Pada tanggal 3—10 Maret 1957 Ia bersama rekan-rekan Kesatuan Tentara Nasional Indonesia Divisi Lambung Mangkurat, para pejuang, dan tokoh masyarakat membentuk Dewan Lambung Mangkurat. Salah satu rencana kerja mereka adalah mendirikan perguruan tinggi di Kalimantan. Maka dibentuklah Panitia Persiapan Pendirian Universitas Lambung  Mangkurat yang diketuai Hasan Basry. Setelah berjuang, akhirnya pada 21 September 1958. Mereka berhasil mendirikan Universitas Lambung Mangkurat. Sejak tanggal 1 November 1960 Universitas Lambung Mangkurat resmi menjadi perguruan tinggi negeri.
         
Pada tahun 1959 ia ditunjuk sebagai Panglima Daerah Milter X Lambung mangkurat. Sejak tahun 1961 sampai dengan 1963, ia menjabat Deputi Wilayah Kamando Antardaerah Kalimantan dengan pangkat  brigadir jenderal.  Saat ia menjabat sebagai deputi itu,  ia sebenarnya merangkap juga sebagai  anggota MPRS (sejak 1960—1966). Kemudian pada tahun 1978 sampai dengan 1982 ia menjadi anggota DPRRI.

Penghargaan dari Pemerintah Indonesia.
Setelah sakit dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Hasan Basry meninggal pada tanggal 15 Juli 1984. Ia dimakamkan di Liang Anggang, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 110/TK/2001 tanggal 3 November 2001.


6. Ir. H. Pangeran Muhammad Noor 



Tokoh yang satu ini dilahirkan di Martapura pada tanggal 24 Juni 1901 dan wafat di Jakarta pada 15 Januari 1979. Sebagai seorang yang lahir dari keluarga bangsawan Banjar, Pangeran Muhammad Noor mendapatkan pendidikan dengan sangat baik.

Masa kecil dan Pendidikan
Ia lulus HIS (setingkat dengan pendidikan dasar sekarang)  tahun 1917. Kemudian pada tahun 1921 ia berhasil menamatkan pendidikannya di MULO dan juga lulus dari HBS (pendidikan menengah umum ) tahun 1923. Pada tahun yang sama ia masuk Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) atau sekolah teknik tinggi di Bandung. Dalam waktu empat tahun sesuai masa studi, ia berhasil meraih gelar Insinyur, yakni pada tahun  1927.

Perjuangan
Selama empat tahun pula (1935—1939) ia menggantikan ayahnya sebagai wakil Kalimantan dalam  Volksraad pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Setelah itu ia berjuang dalam merebut kemerdekaan di Kalimantan atau Borneo (masa itu), termasuk juga menugaskan Hasan Basry dan Tjilik Riwut dalam misi yang sama.

Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Menteri Pekerjaan Umum pada periode 24 Maret 195610 Juli 1959. Pada saat duduk sebagai menteri inilah ia mencanangkan sejumlah proyek. Proyek-proyek itu seperti, Proyek Waduk Riam Kanan di Kalimantan Selatan dan Proyek Waduk Karangkates di Jawa Timur. Di samping itu, ia juga menggagas Proyek Pasang Surut di Kalimantan dan Sumatera, serta Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Barito yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu PLTA Riam Kanan dan Pengerukan Muara/Ambang Sungai Barito yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970.

Penghargaan dari Pemerintah Indonesia.
Atas jasa dan pengabdiannya, ia menerima Anugerah Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama  pada tahun 1973. Begitu pula dengan namanya diabadikan pada PLTA Waduk Riam KananKabupaten Banjar yang dinamakan Waduk Ir. H. Pangeran Muhammad Noor. Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 123/TK/2018 tanggal 6 November 2018, ia dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional.


Sumber: Buku  “Pelajaran Penting dari Para Pahlawan Nasional Indonesia Asal Kalimantan” karya Mahmud Jauhari Ali

0 comments: