Tuesday, October 9, 2018

Pemimpin Ideal dan Bukan Pemimpin Milineal


"A leader is best when people barely know he exists, when his work is done, his aim fulfilled, they will say: we did it ourselves." - Lao Tzu


Jujur saja, saya terlalu menjadi orang awam untuk mengerti makna sejati dari kata "pemimpin". Banyak makna yang dikandungnya sesuai keberagaman sudut pandang setiap manusia. Berangkat dari situ ada yang mengatakan bahwa "sosok tertentu" adalah pemimpin baginya. Sementara yang lain berpendapat sosok lainlah yang cocok menjadi pemimpin. Mungkin dalam bahasa formalnya, "Entah siapa yang layak disebut pemimpin, terutama pada masa kini." Saya sendiri sering menemukan seseorang yang saya lihat sebagai pemimpin dari banyak orang di bawahnya, tapi tidak serta merta membuat saya kagum padanya. Kagum sebagai manusia, apalagi sebagai pemimpin. Mungkin benar bahwa kita tak dianjurkan mengagumi segala yang dicipta, melainkan kagumlah kepada Sang Pencipta.

Meski demikian, tentu ada harapan, setidaknya imajinasi memiliki pemimpin yang ideal. Misalnya mengutip pendapat seorang filsuf pada zaman Dinasti Zhou bernama Lao Tzu di atas. Menurutnya,
seorang pemimpin yang terbaik (paling ideal) adalah ketika orang hampir tidak tahu dia ada, ketika pekerjaannya selesai, tujuannya terpenuhi, mereka akan berkata: kita melakukannya sendiri. Kira-kira begitulah inti pemikiran dari filsuf yang hingga kini masih dimuliakan banyak orang tersebut. Kata-katanya jika cermati, mengandung makna yang dalam. Betapa tidak? Jarang orang yang bekerja secara diam-diam. Atau katakanlah tidak pamer. Kalau pun ada, sedikit sekali pemimpin yang seperti itu. Dia bekerja hingga visi tercapai, tapi tidak menginginkan dilihat, apalagi diliput banyak media untuk sekadar mendapatkan pujian. Jarang, 'kan? Sudah menjadi rahasia umum, secara empiris, hal yang paling susah ditiadakan adalah media. Suka tidak suka, mau tidak mau, realitas yang tersaji ialah pencitraan demi pencitraan sang pemimpin selalu ditampilkan di media-media massa. Terlebih jika sang pemimpin yang bersangkutan mencalonkan kembali sebagai pemimpin pada priode berikutnya. Ini satu contoh susahnya menjadi pemimpin yang ideal jika dikaitkan dengan pendapat Lao Tzu.

Lebih dalam lagi, saya masih ingat ada satu kalimat paling berat yang dipikul seorang pemimpin. Apa itu? "Setiap pemimpin bertanggung jawab atas orang-orang yang dipimpinnya." Bagi saya pribadi, ini berat sekali. Ya, ini berat, kamu tidak akan kuat, biar aku saja, ha ha ha. Beratnya begini, pemimpin, baik itu ketua karang taruna, kepala desa, kepala negara seperti raja, sultan, presiden, maupun lainnya wajib bertanggung jawab atas segala yang berkaitan dengan orang-orang (yang) dipimpinnyanya. Atau dengan kata lain, sebut saja presiden, jangan hanya karena ambisi pribadi yang besar, dia melupakan rakyatnya sendiri. Bagian terakhir ini dapat kita lihat contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Infrastruktur misalnya, dibangun di sana sini, tapi fakta di lapangan, outcome-nya tidak begitu mendukung terhadap usaha penyejahteraan rakyat, terutama kalangan ekonomi kelas bawah. Saking banyaknya data di lapangan (di banyak negara) seperti itu, sudah banyak pula pengejawantahannya dalam berbagai bentuk. Sebut saja novel Ma Yan karya Sanie B Kuncoro. Dalam novel itu dikisahkan perjuangan berat seorang anak perempuan bernama Ma Yan yang berasal dari keluarga miskin di daratan Republik Rakyat Cina. Sebagai bagian dari Suku Hui yang beragama Islam, Ma Yan dan keluarganya termasuk muslim yang taat di tengah himpitan kemiskinan materi. Kisah ini diangkat dari cerita nyata dan menjadi satu bukti kegagalan pemimpin di sana dalam menyejahterakan rakyatnya. Di bawah catatan singkat ini ada saya tampilkan bagian awal novel tersebut.

Lalu apa yang dapat kita lakukan dalam kaitannya dengan memilih pemimpin yang ideal? Orang awam seperti saya pasti akan berkata bahwa sebagai orang yang ber-Tuhan, memohon petunjuk dari-Nya sebelum memilih adalah hal yang mutlak dilakukan. Kedua, mencermati rekam jejak para kandidat yang ada.  Analisis penokohan ini diperlukan untuk mengetahui karakter seseorang atau tokoh. Nah, seandainya karakter seorang tokoh baik, boleh jadi dia akan menjadi pemimpin yang ideal pada masa depan. Lalu bagaimana langkah selanjutnya? Saya pikir yang ketiga dan seterusnya, terserah Anda. Ha ha ha. Ah, tak terduga, ternyata hari sudah pagi. Maka, sudah waktunya menikmati secangkir kopi. O iya, ini hanya celotehan lho ya dan jangan dianggap kampanye politik karena saya bukan orang partai mana pun. Akhirnya saya tutup dengan senyuman. Wassalam. (MJA)



Sumber foto: koleksi pribadi

0 comments: