Saturday, October 6, 2018

Selia, Aku Bertanya Kembali Padamu



Udara mengering
Debu dan kabut melayang-layang
Langit bosan
Matahari pun terpejam dibuai malam

Dan waktu, pernahkah waktu menjadi tempat bertanya seperti kau yang selalu menjawab pertanyaan-pertanyaanku

Pada bulan yang kesekian, adalah waktu misi badai di atas angin besar digelar. Demikianlah aku dan kau menamai tarian perang mereka yang bersemayam di pucuk cemara itu. Aku tak tahu siapa mereka. Entah Pasukan Merah Mao? Atau mungkin Tentara Neohitler? Atau entah?

Yang jelas, pucuk cemara telah mereka cita-citakan sejak penjajahan angsa-angsa putih masa silam. Pucuk yang wanginya dapat tercium orang-orang utara sejauh ribuan kilometer jaraknya. Dan, misi mereka ialah jejak-jejak yang merongrong langkah antara sejarah dan muruah.

Maka, kau tak perlu heran betapa lembutnya mereka menarikan seorang ibu pedagang nasi siang hari pada sepotong bulan yang sakral. Mereka bagai tentara bayaran yang mendukung ibu itu. Sepuluh juta rupiah pun langsung mendarat di tangan sang ibu.

Tak perlu lama, mereka lahirkan plagiator remaja, yang kata pak Maman, seorang temanku, "Plagiator kok dibela?"

Oh, dibela!

Aku tertegun di balik tirai. Waktu seakan berderu. Mereka lantas membela penista-penista agama tertentu. Agama yang para pemeluknya begitu toleran di mana saja berada. Bahkan, ada kata-kata menyedihkan, "Tuhan tak perlu dibela." Jika demikian, di bawah Tuhan, maka presiden, raja, kaisar, atau sultan pun tak perlu dibela karena ia adalah penguasa tunggal yang perkasa. Tak perlu suara rakyat, tak perlu pajak, tak perlu apa-apa.

Dan beberapa hari lalu, terpampang di koran-koran, berita-berita televisi, dan media-media sosial sebuah kata, "persekusi". Kali ini aku harus bertanya padamu, Selia, "Adakah yang lebih luka daripada memersekusi seorang wanita?"

Terlebih ia seorang ibu yang hak bersuaranya dijamin undang-undang dasar di negaranya. Negara yang dipenuhi hamparan tanah subur dan air yang berpendaran kala cahaya bulan perak menyapanya.

Aku tak bisa membayangkan betapa luar biasa rusuh dan keruhnya jiwa mereka. Apakah pucuk cemara membuat manusia berubah? Ke mana harkat, ke mana martabat mereka? Kerusuhan dan kekeruhan mereka di luar nalar, di luar nurani, di luar segalanya. Mereka telah melampaui batas-batas dunia.

Oh, dunia.

Malam pun kian larut. Kuhirup udara kering. Angin kencang bermain-main di atas atap. Suara ribut, rusuh, dan amuk seng terkesan panik seperti manik-manik yang beterbangan mencari ranting. Dan kulihat lampu neon berkedipan di ujung gang sempit yang bersemak. Sedang ingatan-ingatan menggumpal menanti peristiwa yang akan datang.

By MJA

Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

0 comments: